Akarasa – Selamat datang
kerabat akarasa. Malem jum’at seperti akan lebih komplit cerita tentang dunia
perhatuan, meski cerita ini masih tetep kalah dengan cerita tentang sunah rosul
yang lebih banyan diminati.
Perkenalanku dengan
hantu pertama kali terbilang dini, jika tak salah ingat mungkin kelas 2 MI
(SD). Saya masih ingat ketika itu, saat kamis malam, persis seperti ini saya
seringkali nginep di rumah Mbah, disamping karena besuknya libur sekolah di rumah
mbah juga ada TV. Ketika itu namanya TV itu adalah barang yang mewah. Waktu itu
belum ada listrik di desa, jadi TV nya pakai aki mobil yang gede itu.
Nah, ketika di rumah
simbah ini, ada satu kebiasaan saya dan saudara sepupu (anaknya bulek) belajar
bersama (maklum mereka sekolah di SD jadi jum’at masuk) dan selesai kira-kira
jam delapan malam. Waktu itu siaran TV hanya TVRI thok. Seingat saya pada jam
segitu biasanya tayangan ketoprak (dari TVRI Jogjakarta relaynya) dan dilanjut
nonton Dunia Dalam Berita yang kesohor itu. Selesai itu berangkat tidur.
Rumah simbah yang ditempati
bulek itu terbilang rumah yang cukup berumur dan terbilang besar diantara rumah
lainnya (maklum alm mbah nang adalah kades). Terdiri dari rumah utama yang
terbagi menjadi beranda, ruang tamu yang hanya berdinding setengah badan, ruang
keluarga, tiga kamar tidur, dan ruang tengah.
Dari rumah utama ada
koridor menuju satu bangunan yang terdiri dari kamar (yang menjadi kamar kami
anak-anaknya bulek), dapur, kamar mandi, wc, dan sumur. Dan karena televisi
hanya ada di rumah utama, maka setiap malam selesai belajar, kami jalan ke
koridor dan begitu pula setelah selesai menonton televisi.
Suatu ketika, setelah
menonton Dunia Dalam Berita, kami bertiga bersiap untuk tidur. Begitu selesai
menutup pintu rumah utama, kami dikejutkan oleh suara tawa mengikik yang
membahana. Saking terkejutnya, kami hanya bisa diam saja. Tidak bergerak, tidak
lari. Kami sama-sama mencari asal suara itu. Dan mungkin seperti pernah dibaca
atau didengar, suara tawa yang terdengar keras itu menandakan sumber suara itu
jauh. Dan sebaliknya.
Dan kami pun sama-sama
melihat sumber suara itu. Dia bergerak seperti kain yang ditarik benang. Tidak
terbang. Tidak melayang. Tapi meloncat-loncat. Hanya saja dia tidak meloncat di
tanah, tetapi di udara. Sosoknya benar-benar seperti kain putih belaka. Tidak
berwujud seperti manusia. Tidak terlihat rambut panjang hitam yang mengkilap
seperti rambut di iklan shampoo atau rambut mendiang Suzana yang sukses
memerankan sosok yang sedang kami lihat itu.
Dia meloncat dari udara
ke atap kamar kami lalu meloncat lagi pergi menghilang ke langit malam. Setelah
dia menghilang baru kami berhamburan untuk masuk ke dalam kamar kami.
Cerita melihat
kuntilanak lainnya ketika saya berdarmawisata bersama teman-teman sekolah ke
Jawa Tengah. Hampir tengah malam bus yang kami tumpangi itu masuk ke wilayah
Alas Roban, Kendal - Semarang. Sebelum masuk Alas Roban, seorang guru kami
sudah mendapat firasat yang tidak enak. Untuk itu, beliau bilang kepada
rombongan agar tidur saja kalau tidak ya berdoa. Benar saja, malam yang tadinya
tidak berkabut, tiba-tiba muncul kabut yang pekat.
Rombongan mulai panik
akan apa yang terjadi. Meskipun dalam kabut yang pekat, Sopir tetap menjalankan
bus memasuki Alas Roban. Tiba-tiba terdengarlah suara tawa mengikik yang membahana
itu. Semua orang mulai berdoa dan bahkan banyak yang memejamkan mata. Kami
semua dicekam ketakutan. Saya duduk persis di bangku belakang bagian tengah. Bisa
dibilang saya ini orangnya cuek. Karena saya pikir, toh semua orang mendengar
suara cekikikan itu.
Ketika kabut pekat itu
lenyap, Pak Sopir menjerit karena melihat di depan bus sudah berdiri sosok itu.
Untungnya dia tidak panik sehingga tidak membanting setir ke kiri atau ke
kanan. Sebab apabila dia banting setir, pastilah bus yang dikemudikan itu akan
masuk ke jurang atau menghantam dinding cadas.
Pada saat yang sama
saya dan seorang teman sebangku saya melihat dengan jelas sosok itu menembus
bus. Dan seperti slow motion, sosok itu seolah-olah meneliti satu per satu penumpang
yang ada di dalam bus. Beberapa diantara kami sudah pingsan, ada pula yang
menutupkan tangan ke muka sambil menjerit dan menangis. Saya melihat dengan
jelas sosok yang disebut kuntilanak itu. Memang seperti yang sering digambarkan
itu. Rambutnya panjang hitam, tapi mukanya tidak kelihatan. Seperti kosong. Dia
menggunakan jubah putih panjang. Saya tidak melihat mukanya sama sekali. Rata
saja. nuwun
0 on: "Kuntilanak di Malam Jumat"