Akarasa – Selamat datang
kerabat akarasa. Minggu yang semenjak pagi Jogja bergelayut mendung saya akan
ajak kisanak membincang lagi-lagi tentang Majapahit. semoga sampeyan tidak
bosen.
Sampeyan masih inget
lagu ini,”…nenek moyangku seorang pelaut, gemar mengarung luas samudera,
menerjang ombak tiada tara, menggulung badai sudah biasa…”. Ya, bener, lagu
yang sering kita apalkan sejak SD itu.
Tentu lagu tersebut
bukan tanpa alasan jelas hingga sejak pendidikan dasar, lagu ini menjadi
favorit hapalan ketika pelajaran kesenian. Bener kan.
Secara tersirat, lagu
diatas menggambarkan kejayaan masa lampau embah buyut kita di bidang maritim. Tidak
banyak yang tahu, meski Majapahit terpusat di pedalaman Jawa, ternyata dalam
sejarahnya Majapahit termasuk penguasa lautan.
Ketika misalnya menyebut
nama Raden Wijaya, Gajah Mada, Hayam Wuruk, dan Brawijaya saya yakin dalam
benak kita langsung menunjuk kata Majapahit. Ada yang salah. Tentu tidak,
karena memang begitulah adanya. Namun kita sering lupa, dibalik kejayaan
Majapahit dalam sejarah penaklukan untuk mempersatukan nusantara ada satu nama
yang layak disejajarkan dengan beberapa nama yang saya sebutkan barusan. Dia adalah,
Laksamana Mpu Nala. Ya, dia adalah sosok penting dibalik suksesnya ekspansi Majapahit
dalam memperluas wilayah kekuasannya.
Tentu dalam suksesnya
Mpu Nala dalam sejarah ekspansinya bukan semata-mata kecakapannya semata,
barang tentu ada penunjang dibelakangnya. Angkatan laut Majapahit pada masanya
bisa dikatakan salah satu angkatan laut terbesar di dunia. Sayangnya penguasa
lautan yang di wariskan Majapahit ini tidak diwarisi oleh kerajaan selanjutnya.
Perlahan namun pasti,
popularitas Jawa (Nusantara) mulai meredup total saat Panembahan Senopati
merebut kuasa atas Pajang. Senopati dengan Mataramnya benar-benar melupakan
lautan. Lebih dari itu, Senopati malah membubarkan dan menelantarkan armada
laut yang selama ini menjadi kedigdayaan nusantara.
Senopati mengisolasi
Jawa dari luar. Akibatnya, dominasi negara maritim yang pernah berjaya itu
terus meredup. Apalagi para penerus Panembahan Senopati senantiasa menakut-nakuti
rakyatnya agar tidak melaut dengan kisah angker Nyi Roro Kidul sebagai penguasa
laut selatan Jawa. Perilaku raja yang meminggirkan negara maritim dan melupakan
sejarah kejayaan sebagai penguasa dunia itu mengakibatkan Jawa kian terpuruk.
Hal ini pula yang
menjadi salah satu pendorong bangsa Eropa, khususnya Belanda, dengan mudah
menaklukkan Jawa. Sebagaimana dikatakan raja Mongol, Kubilai Khan, jika pasukan
Mongol mampu mengalahkan Jawa maka negara-negara lain akan tunduk dengan
sendirinya. Ia yakin dengan ucapannya itu karena memang tidak mudah menaklukkan
tentara dan dominasi niaga yang dibangun Jawa. Sepanjang kariernya, Mongol
kalah telak melawan pasukan perang dari Jawa. Prediksi Kubilai Khan memang
benar.
Ketika Belanda berhasil
menaklukkan dan menguasai Jawa dengan mudah karena memang minim perlawanan dari
penguasa Jawa, sejak saat itulah VOC terus berkibar. Ia memonopoli perniagaan
hampir setara dengan yang dikuasai Jawa. Sejak itulah, hari demi hari Jawa
penuh dengan kegelapan. Nasibnya serupa dengan Eropa pasca-Romawi. Bahkan lebih
tragis lagi, rakyat Jawa telah menjelma menjadi budak-budak dari kolonialis
tersebut.
Maka tak mengherankan
jika ada ungkapan pewaskita yang mengatakan, jika kita ingin mewujudkan
kehidupan masyarakat bangsa yang maju, modern, sejahtera, dan menjadi adidaya
maka kita harus tetap di laut dan menguasai kembali lautan.
Menilik dari narasi di
atas, atau dalam bahasa lainnya jika kita tarik dalam konteks kekeinian, Indonesia
dapat bersinar lagi di kancah perekonomian global jika dan hanya jika seluruh
pemimpin negeri memiliki kebijakan kuat di laut. Apalagi sekitar 70 persen
wilayah Indonesia berupa laut.
Tak hanya itu.
Indonesia adalah negara yang memiliki garis pantai terpanjang kedua di dunia
setelah Kanada. Dengan keunggulan tidak banyak dimiliki bangsa lain tersebut
dan didukung sejarah budaya maritim yang kuat, dan kemauan untuk berubah maka
niscaya kita mampu mengembalikan kejayaan Nusantara di masa silam.
Mpu Nala dalam
membangun kekuatan laut yang tersohor kala itu, ia menemukan sejenis pohon
raksasa yang dirahasiakan lokasinya, untuk membangun kapal-kapal Majapahit yang
berukuran besar pada masanya. Bahkan kapal-kapal tersebut sudah dipersenjatai berupa meriam Jawa.
Berkaitan dengan meriam
ini, konon Gajah Mada kecil pernah diasuh oleh tentara Mongol yang dikirim Kublai
Khan menyerbu Jawa ketika hendak membalas penghinaan yang dilakukan oleh Kertanegara
saat mencoreng-coreng wajah utusan Tiongkok yang menuntut agar Singosari tunduk
di bawah kekuasaan Tiongkok.
Gajah Mada diajarkan
oleh pengasuhnya orang Mongol itu mengenai prinsip senjata api sederhana. Selanjutnya
Gajah Mada mengembangkan senjata api itu untuk mempersenjatai kapal-kapal
perang Majapahit ciptaan Mpu Nala yang istimewa itu, hingga mampu merajai
wilayah di perairan Selatan (Nan Yang).
Armada Majapahit dengan
persenjataan yang canggih pada masanya dan berkekuatan 40.000 prajurit menjadi
sesuatu kekuatan dahsyat tak ada tandingannya di Asia Tenggara. Dengan
demikian, Nusantara bagian barat sepenuhnya sudah bersatu di bawah panji
kerajaan Majapahit, kecuali kerajaan Sunda.
Tahun 1343 / Bali
diserang dan berhasil ditaklukkan Majapahit. Serangan oleh armada Majapahit ini
di bawah komando langsung Gajah Mada. Tahun 1343 / Mahapatih Gajah Mada dibantu
oleh Laksamana Mpu Nala memimpin armada laut Majapahit dengan kekuatan 3.000
prajurit menuju wilayah timur Nusantara untuk menaklukkan kerajaan-kerajaan
yang bersikap dingin atau mencoba melepaskan diri. Kerajaan itu antara lain:
Bali, Lombok, Sumbawa, Seram, Sulawesi, Dompo.
Seluruh wilayah timur
Nusantara telah disatukan, termasuk Pulau Irian, Sanggir Talaud, sampai kepulauan
Filipina Selatan. Pasukan kekuatan Majapahit tidak semuanya berasal dari pusat
pemerintahan. Namun, hampir dua per tiga justru berasal dari kerajaan Melayu
dan gabungan beberapa dari kerajaan di wilayah Jawa yang sudah mengakui
kekuasaan kerajaan Majapahit.
Salah satu kisah
peperangan Mpu Nala yang tertuang dalam sejarah lisan adalah ketika tahun 1350. Ketika
itu, Laksamana Nala mengadakan ekspedisi ke Nansarunai dengan menyamar sebagai
nahkoda kapal dagang. Di Nansarunai ia memakai nama samaran Tuan Penayar dan
bertemu dengan raja Raden Anyan, bergelar Datu Tatuyan Wulau Miharaja Papangkat
Amas, serta Ratu Dara Gangsa Tulen.
Laksamana Nala sangat
kagum melihat begitu banyak barang-barang terbuat dari emas murni, ketika ia
dipersilahkan untuk melihat-lihat perlengkapan pesta adat di ruangan tempat
bermusyawarah. Yang sangat dikagumi oleh Laksamana Nala, ialah Soko Guru balai
adat yang terbuat dari emas murni juga dimana dibagian atasnya bermotif patung
manusia.
Setelah kembali ke
Majapahit, Laksamana Nala berpendapat, untuk menundukkan Nansarunai, harus
dicari kelemahan raja Raden Anyan yang mempunyai kharisma kuat. Pada pelayanan
berikutnya, Laksamana Nala membawa serta seorang panglima perangnya yang
bernama Demang Wiraja dengan memakai nama samaran Tuan Andringau, serta
beberapa prajurit dari suku Kalang. Hasil pengamatan Demang Wiraja dilaporkan
kepada Laksamana Nala.
Demikianlah pada awal
tahun 1356, Laksamana Nala datang lagi ke Nansarunai dengan membawa serta
istrinya bernama Damayanti. Sewaktu kembali ke Majapahit, sengaja Laksamana
Nala membiarkankan isterinya tinggal di Nansarunai. Damayanti berwajah sangat
cantik dan pribadinya menarik.
Pada tahun 1356 itu,
terjadi kemarau panjang, sehingga raja Raden Anyan secara kebetulan bertemu
dengan Damayanti di sumur yang khusus diperuntukkan bagi anggota keluarga
kerajaan. Pertemuan pertama berlanjut dengan kedua dan demikian seterusnya,
sehingga Damayanti melahirkan seorang anak perempuan, lau diberi nama Sekar
Mekar.
Pada awal tahun 1358,
Laksamana Nala datang ke Nansarunai dan menemukan isterinya sedang menimang
seorang anak perempuan. Damayanti yang memakai nama samaran Samoni Batu,
menerangkan bahwa anak yang ada dipangkuaanya itu adalah anak-anak mereka berdua.
Dan Laksamana Nala percaya saja akan apa yang telah dikatakan oleh isterinya
tersebut.
Ketika kembali ke
Majapahit, Damayanti beserta anaknya dibawa serta, lalu tinggal dipangkalan armada
laut Majapahit di Tuban. Beberapa bulan kemudian, Laksamana Nala secara
kebetulan mendengar isterinya bersenandung untuk menidurkan puterinya dimana
syair-syairnya menyebutkan bahwa Sekar Mekar mempunyai ayah yang sebenarnya
ialah raja Raden Anyan.
Bulan April 1358,
datanglah prajurit-prajurit Majapahit, dibawah pimpinan Laksamana Nala dan
Demang Wiraja menyerang Nansarunai. Mereka membakar apa saja termasuk
kapal-kapal yang ada di pelabuhan dan rumah-rumah penduduk. Serangan itu
mendapat perlawanan gigih prajurit-prajurit Nansarunai walaupun mereka kurang
terlatih.
Menurut cerita, Ratu
Dara Gangsa Tulen bersembunyi dipelepah kelapa gading bersenjata pisau dari
besi kuning, bernama Lading Lansar Kuning. Ia banyak menimbulkan korban pada
pihak musuh sebelum ia sendiri gugur.
Raja Raden Anyan dalam
keadaan terdesak lalu disembunyikan oleh para Patih dan Uria kedalam sebuah
sumur tua yang sudah tidak berair lagi. Diatas kepalanya ditutup dengan
sembilan buah gong besar, kemudian dirapikan dengan tanah dan rerumputan, agar
tidak mudah diketahui musuh.
Ketika keadaan sudah bisa
dikuasai oleh pihak Majapahit, Laksamana Nala memerintahkan Demang Wiraja untuk
mencari Raden Anyan hidup atau mati. Atas petunjuk prajurit-prajurit suku
Kalang yang terkenal mempunyai indera yang tajam, tempat persembunyian raja
Raden Anyan akhirnya dapat ditemukan.
Raja Raden Anyan tewas
kena tumbak Laksamana Nala dengan lembing bertangkai panjang. Peristiwa
hancurnya Nansarunai dalam perang tahun 1358 itu, terkenal dalam sejarah lisan
suku Dayak Maanyan yang mereka sebut Nansarunai Usak Jawa.
Dalam perang itu telah
gugur pula seorang nahkoda kapal dagang Nansarunai yang terkenal berani
mengarungi lautan luas bernama Jumulaha. Ia banyak bergaul dan bersahabat
dengan pelaut-pelaut asal Bugis dan Bajau. Untuk mengenang persahabatan itu,
maka puterinya yang lahir ketika ditinggalkan sedang berlayar, diberi nama
berbau Bugis yaitu La Isomena.
Prajurit-prajurit
Majapahit yang gugur dalam perang tahun 1358 itu, diperabukan berikut
persenjataan yang mereka miliki, didekat sungai Tabalong yang dikemudian hari
dikenal dengan sebutan Tambak-Wasi. Tambak arti kuburan dan Wasi artinya besi
dalam bahasa Maanyan kuno. Sehingga Tambak-Wasi artinya adalah kuburan yang
mengandung unsur besi.
Keturunan Mpu Nala
terus melanjutkan kepemimpinan militer Majapahit. Mpu Nala II tidak segemilang
pendahulunya apalagi militer laut sudah demikian parah dalam melakukan tindak
korupsi di wilayah kekuasaan masing-masing, sehingga rakyat tidak lagi
menghormati kekuasaan pemerintahan pusat. Dan menurunkan wibawa Majapahit di
kalangan kerajaan taklukannya.
Di masa kehancuran itu
Mpu Nala II tidak segemilang pendahulunya. Sehingga seperti yang terjadi
kemudian, kekuatan laut yang tersohor di Nan Yang itu saling bertempur satu
kapal dengan kapal yang lain.
“Orang Jawa sangat
berpengalaman dalam seni navigasi. Mereka dianggap sebagai perintis seni paling
kuno ini. Walaupun banyak yang menunjukkan bahwa orang Tionghoa lebih berhak
atas penghargaan ini, dan menegaskan bahwa seni ini diteruskan dari mereka
kepada orang Jawa.”
Narasi di atas adalah
kutipan dari buku Da Asia karya Diego de Cauto yang terbit tahun 1645. Bahkan,
pelaut Portugis yang menjelajahi samudera pada pertengahan abad XVI itu
menyebutkan, orang Jawa lebih dulu berlayar sampai ke Tanjung Harapan, Afrika,
dan Madagaskar. Ia mendapati penduduk Tanjung Harapan awal abad XVI berkulit
cokelat seperti orang Jawa.
“Mereka mengaku
keturunan Jawa,” kata Couto, sebagaimana dikutip Anthony Reid dalam buku
Sejarah Modern Awal Asia Tenggara.
Ketika pelaut Portugis
mencapai perairan Asia Tenggara pada awal tahun 1500-an mereka menemukan
kawasan ini didominasi kapal-kapal Jung Jawa. Kapal dagang milik orang Jawa ini
menguasai jalur rempah rempah yang sangat vital, antara Maluku, Jawa, dan
Malaka. Kota pelabuhan Malaka pada waktu itu praktis menjadi kota orang Jawa.
Di sana banyak saudagar
dan nakhoda kapal Jawa yang menetap, dan sekaligus mengendalikan perdagangan
internasional. Tukang-tukang kayu Jawa yang terampil membangun galangan kapal
di kota pelabuhan terbesar di Asia Tenggara itu. Bukti kepiawaian orang Jawa
dalam bidang perkapalan juga ditemukan pada relief Candi Borobudur yang
memvisualkan perahu bercadik – belakangan disebut sebagai “Kapal Borobudur”.
Sekilas Tentang Konstruksi Kapal Borobudur
Konstruksi perahu
bercadik sangat unik. Lambung perahu dibentuk sebagai menyambungkan papan-papan
pada lunas kapal. Kemudian disambungkan pada pasak kayu tanpa menggunakan
kerangka, baut, atau paku besi. Ujung haluan dan buritan kapal berbentuk
lancip.
Kapal ini dilengkapi
dengan dua batang kemudi menyerupai dayung, serta layar berbentuk segi empat.
Kapal Jawa jelas berbeda dengan kapal Tiongkok yang lambungnya dikencangkan
dengan bilah-bilah kayu dan paku besi. Selain itu kapal Tiongkok memiliki
kemudi tunggal yang dipasang pada palang rusuk buritan.
Kapal Borobudur telah
memainkan peran besar dalam segenap urusan orang Jawa di bidang pelayaran,
selama beratus ratus tahun sebelum abad XIII. Memasuki awal abad VIII, peran
kapal Borobudur digeser oleh kapal kapal Jawa yang berukuran lebih besar,
dengan tiga atau empat layar sebagai Jung. Pelaut Portugis menyebut juncos,
pelaut Italia menyebut zonchi. Istilah jung dipakai pertama kali dalam catatan
perjalanan Rahib Odrico, Jonhan de Marignolli, dan Ibn Battuta yang berlayar ke
Nusantara, awal abad XIV mereka memuji kehebatan kapal Jawa berukuran raksasa
sebagai penguasa laut Asia Tenggara. Teknologi pembuatan Jung tak jauh berbeda
dengan pengerjaan kapal Borobudur; seluruh badan kapal dibangun tanpa menggunakan
paku.
Gambaran tentang jung
Jawa secara spesifik dilaporkan Alfonso de Albuquerque, komandan armada
Portugis yang menduduki Malaka pada 1511. Orang Portugis mengenali Jawa sebagai
asal usul jung-jung terbesar. Kapal jenis ini digunakan angkatan laut kerajaan
Jawa (Demak) untuk menyerang armada Portugis.
Disebutkan, jung Jawa
memiliki empat tiang layar, terbuat dari papan berlapis empat serta mampu
menahan tembakan meriam kapal kapal Portugis. Bobot jung rata-rata sekitar 600
ton, melebihi kapal perang Portugis. Jung terbesar dari Kerajaan Demak bobotnya
mencapai 1.000 ton yang digunakan sebagai pengangkut pasukan Jawa untuk
menyerang armada Portugis di Malaka pada 1513. Bisa dikatakan, kapal jung jawa
ini disandingkan dengan kapal induk di era modern sekarang ini.
“Anunciada (kapal
Portugis yang terbesar yang berada di Malaka pada tahun 1511) sama sekali tidak
menyerupai sebuah kapal bila disandingkan dengan Jung Jawa.” tulis pelaut
Portugis Tom Pires dalam Summa Orientel (1515). Hanya saja jung Jawa raksasa
ini, menurut Tome Pires, lamban bergerak saat bertempur dedengan kapal-kapal
portugis yang lebih ramping dan lincah. Dengan begitu, armada Portugis bisa
menghalau jung Jawa dari perairan Malaka.
Puncak kejayaan
Majapahit terukir pada 1450-an. Bayangkan, ketika itu wilayah kekuasaan Jawa
mencakup luas mulai dari Nusantara, Indocina, China, dan India. Kejayaan
tersebut tak terlepas dari penguasaan teknologi kapal laut yang memang saat ini
menjadi satu-satunya transportasi laut yang menghubungkan daerah-daerah
kekuasaannya. Kapal Jong Majapahit sangatlah disegani.
Dalam buku Majapahit
Peradaban Maritim (2011), jumlah armada Jong Majapahit ketika itu mencapai 400
kapal. Bandingkan dengan armada kapal yang dimiliki VOC (Belanda), EIC,
Spanyol, dan Portugis pada tahun sesudahnya (1674). Kalau kekuatan itu
digabung, mereka yang menguasai India, Nusantara, Indocina, dan China hanya
memiliki 124 kapal.
Berdasarkan catatan
sejarah dari China dan Portugis, Jawa atau Nusantara melakukan berbagai
pelayaran menyeberangi Samudra Hindia dengan kapal besar ke Madagaskar pada
abad III hingga XVII. Kapal berbobot lebih dari 500 ton itu tentu saja termasuk
kapal tercanggih di zamannya. Bukan apa-apa, kapal layar berukuran panjang
sekitar 70 meter itu mampu membawa penumpang sebanyak 600 orang.
Kapal-kapal itu
biasanya dilengkapi dengan empat layar yang terbuat dari tanaman yang dianyam.
Ketika angin berembus, layar-layar itu mudah digerakkan sesuai arah angin.
Dengan demikian, laju kapal dapat bergerak lincah sesuai tujuan. Sekali lagi,
Jawa telah menunjukkan penguasaan teknologi maritimnya. Coba bandingkan dengan
kapalkapal perintis yang dibuat bangsa Eropa.
Kapal Gracedieu buatan
Inggris pada 1418 misalnya, memiliki panjang hanya 54 meter. Lagi pula kapal
ini tak mampu berlayar. Bertahun-tahun hanya mengapung dan akhirnya ludes
terbakar dilalap si jago merah. Lalu, diluncurkan Kapal Christoporus Columbus
pada 1492 dan Vasco da Gama (1497). Kapal-kapal tersebut hanya memiliki
kapasitas masing-masing 88 dan 171 penumpang.
Kapal-kapal besar Eropa
baru hadir setelah melewati hubungan interkasi dengan kapal-kapal yang
digunakan di wilayah-wilayah yang mendapat pengaruh kuat dari Jawa. Ada beberapa
fakta menunjukkan, perdagangan yang dikelola Jawa jauh melampaui gabungan
pedagang besar di wilayah Eropa.
Kedigdayaan Jawa ketika
itu benar-benar tak ada yang mampu menandinginya. Dengan armada laut yang kuat
dan gagah perkasa itulah, para pendahulu kita mampu mengendalikan
pelabuhan-pelabuhan yang menjadi sumber perekonomian Nusantara. Tak berlebihan
kalau tempo dulu (abad XII) Jawa sangat termasyhur di jagat raya.
Bahkan seorang ekonom
China pernah menulis, dari semua kerajaan asing yang kaya raya (memiliki
cadangan devisa berlimpah ruah), kehebatan bangsa She-p’o (Jawa) berada di
urutan kedua setelah bangsa Ta-shih (Arab). Urutan ketiga ditempati San-fo-Chi
(Sriwijaya). Marco Polo mengungkapkan, jumlah emas yang dikumpulkan Majapahit
lebih banyak daripada yang dihitung dan hampir tidak dapat dipercaya. Jawa
menjadi pemegang rekor sebagai kerajaan yang paling banyak memiliki cadangan
logam mulia tersebut.
Uniknya lagi, cadangan
tersebut bukan berasal dari perut bumi di tanah Jawa. Bongkahan emas-emas itu
dikumpulkan melalui aktivitas pengendalian pelabuhan-pelabuhan di dunia. Saking
kaya rayanya Jawa, membuat bangsa Mongol pernah menargetkan penyerangan
besar-besaran di wilayah Jawa yang berada di Samudra Selatan (Samudra Hindia).
Namun mereka tak pernah berhasil mewujudkan impiannya itu.
Barus dan Cengkeh
Selain menguasai
teknologi perkapalan dan navigasi (peta), Nusantara juga diperkuat dengan
kekuatan agraris yang tiada tara. Dari ujung daratan Sumatra Utara, tepatnya di
Kota Barus, dulu dikenal sebagai penghasil kapur barus yang diperoleh dari
pohon kamper (Dryobalanops aromatica). Barus sudah menjadi catatan tertua ahli
filsafat termasyhur dari Alexandra, Ptolemaeus sebagai penghasil bahan pengawet
yang harganya melebihi emas.
Sudah menjadi rahasia
umum kalau jasad Raja Mesir Kuno, Firaun masih utuh hingga kini lantaran
dibalsem dengan menggunakan kapur barus asal Nusantara. Sejarah mencatat, sejak
tahun 3000 Sebelum Masehi (SM), kapur barus telah melanglang buana ke Mesir.
Hal ini menunjukkan, Jawa dan Mesir sudah lama melakukan diplomasi niaga melalui
armada laut. Kapur barus ini sudah diniagakan sejak 6.000 tahun silam.
Tak ada cara lain,
perdagangan tersebut dapat terjadi melalui angkutan kapal laut. Bergeser ke
timur, tepatnya di Maluku, juga terhampar luas cengkeh yang kelak di kemudian
hari membuat Belanda sangat bernafsu untuk menguasainya. Catatan mengenai
popularitas cengkeh dari Maluku dikemukakan arkeolog Giorgio Buccellati. Dari
rumah seorang pedagang di Terqa, Efrat Tengah pada 1700 SM, ia menemukan wadah
berisi cengkeh.
Ketika itu di dunia,
cengkeh hanya diketahui dapat tumbuh di pulau-pulau kecil di Maluku.
Rempah-rempah ini telah menjadi barang berharga bagi para pembesar yang dapat
digunakan untuk aneka keperluan mulai dari perasa makanan, minuman,
obat-obatan, dan rokok lantaran memiliki cita rasa prima. Cengkeh Maluku bisa
sampai ke Efrat tersebut berkat peran para pelaut Jawa yang dengan gagah berani
mampu menaklukkan samudra luas hingga ke Timur Tengah, Eropa, dan Cina.
Kalau sekarang ini
ekonomi Indonesia terpuruk dan kalah jauh dibandingkan dengan kekuasaan Jawa
tempo dulu, tentu ada yang salah dalam membangun dan menata bangsa ini. Laut
yang harusnya menjadi pemersatu bangsa terkesan dibiarkan, tak diurus
sebaik-baiknya. Terbukti, pelayaran niaga yang melayani ekspor-impor di perairan
Nusantara kini dikuasai asing.
Dari seluruh kapal
niaga yang melayani kebutuhan tersebut, hanya 10 persen yang berbendara
Indonesia. Sisanya, yang 90 persen dioperasikan oleh pihak asing. Ya, kini kita
seperti menjadi penonton di rumah sendiri. Kita telah tega meninggalkan sejarah
gemilang yang telah terukir itu. Sekian. Nuwun.
Dirangkum dari berbagai
sumber
Eman yo pak, sejarahe masyur ngono, sak iki mojokerto wes ra onok opo2ne, entek kabeh peninggalane.
BalasHapusMpu Nala dimakamkan di mana yaaa......
BalasHapusTulisan yang bagus Pak Ulul Rosyad. Kita semua perlu faham sejarah negeri maritim yang luar biasa ini.
BalasHapusTolong kalau bisa diedit dengan sumber-sumber referensi dicantumkan. Terimakasih.