Akarasa – Selamat datang
kerabat akarasa. Pada judul di atas, bagi sebagian kita yang kebetulan wong
Jowo tentu tidak lah asing. Ungkapan seperti pada judul di atas, hampir serupa
dengan ungkapan ‘Ojo podho nyacat wong liyo,
Ngilo githo'e dewe’. Ungkapan yang baru saya sebutkan ini kalau di
Indonesi-kan adalah ‘Jangan senang mencela orang lain, berkacalah pada tengkuk
sendiri ".
Githok
(Jawa) atau tengkuk ini seperti yang kita tahu adalah bagian leher paling
belakang. Bagian satu ini termasuk sangat sulit terlihat, segede apapun
cerminnya. Bagian satu ini mustahil untuk terlihat. Kecuali kalau kita ke
tukang cukur rambut atau ke salon, yang kacanya ada di depan dan belakang itu.
Pitutur ini sama arti dengan peribahasa ‘Gajah
bengkak di depan mata tak tampak, semut di seberang lautan tampak’.
Baik kita kembali pada
judul di atas, Ana Catur Mungkur. Ana Catur Mungkur secara harfiah kalau
kita Indonesia-kan adalah ‘ada pembicaraan membelakangi’ atau menggunjing. Ungkapan
ini adalah kiasan atau pasemon (Jawa)
untuk menggambarkan yang menyangkut keberukan atau keburukan orang lain. Catur yang dimaksud dalam ungkapan ini
artinya ngrasani eleking liyan (membicarakan
keburukan orang lain), meski kata catur ini dalam bahasa Jawa juga bisa berarti
empat.
Dalam budaya manapun, perbuatan
catur atau nyatur atau juga ngrasani (mempergunjingkan) orang lain adalah satu
perbuatab tercela, karena dapat menimbulkan sakit hati pada orang lain yang
dirasani.
Pada umumnya, nyatur atau ngrasani (membicarakan) orang lain itu mengacu pada sudut
kelemahannya atau sisi negatifnya, dan jarang membicarakan dari sudut
kebaikannya karena tujuannya memang untuk menjatuhkan martabat orang yang
dirasani atau dipergunjingkan. Ungkapan ini sejajar dengan nasihat ojo metani alaning liyan (jangan mencari-cari
keburukan orang lain).
Jamaknya seorang
manusia yang lebih senang mencela orang lain, pada sisi lain justru enggan dan
tidak mau mengerti tentang kesalahan sendiri. Tindakan itu sangat negatif
karena dapat menimbulkan perselisihan. Pertama, hampir semua orang tidak suka
dipergunjingkan keburukannya. Orang cenderung akan kecewa, sakit hati, atau
bahkan marah sewaktu orang lain ngrasani keburukan diri kita, keluarga kita,
masyarakat kita yang secara norma hukum dan sosial tidak ada kaitannya dengan
sang penggunjing.
Kedua, tindakan ngrasani sebagai tindakan tidak
transparan. Sang penggunjing dapat melihat keburukan orang lain, tapi tidak
berani mengatakan keburukan diri sendiri. Lebih jauh, seseorang cenderung tidak
konsekuen, dapat atau mau melihat kesalahan orang lain sekecil apapun tetapi
tidak mau melihat kesalahan diri sendiri walaupun kesalahan itu sangat besar.
Para pendahulu Jawa
telah memberikan wejangan atau nasihat agar seseorang tidak mempergunjingkan
kesalahan orang lain. Ia lebih baik mengoreksi diri atau kesalahannya sendiri
dengan harapan dapat memperbaiki perbuatannya. Akan tetapi, hal itu sudah pasti
sulit dilakukan jika tidak didasarkan pada sikap lembah manah (rendah hati).
Nasihat atau wejangan
tersebut disapaikan dengan ungkapan wong
ikut ora bisa ngilo githoke dhewe (seseorang itu tidak dapat berkaca pada
punggung sendiri). Maksudnya, seseorang itu tidak dapat melihat kesalahan diri
sendiri, dan justru pandai melihat kesalahan orang lain.
Cermin adalah kaca yang
dapat menampakkan sesuatu yang ada di depannya. Apa yang terlihat di cermin
sesuai dengan keadaan yang sebenarnya. Namun tidak mungkin orang bercermin pada
punggung sendiri. Punggung jelas bukan cermin sehingga tidak mampu
memperlihatkan kesalahan yang telah diperbuat pada waktu sebelumnya.
Ungkapan Ana Catur Mungkur menganjurkan kita untuk
tidak membicarkan kelemahan orang lain. Jika ada orang lain yang mengajak
dirinya untuk membicarakan kelemahan orang lain, jika ada orang yang sengaja
menyeret kita untuk mempermasalahkan kelemahan orang lain, segeralah
menghindar. Segeralah untuk mungkur
(menghindar) dari pembicaraan tersebut. Nuwun.
0 on: "Makna Filosofis dari Pitutur Jawa, Ana Catur Mungkur"