Akarasa – Selamat
datang kerabat akarasa. Tulisan kedua dalam label Jejak Pecinan ini saya ada
pengalaman menarik untuk saya bagikan di sini. Dalam komunitas motor yang saya
ikuti, bisa dikatakan perbandingannya adalah 50-50, artinya separuh ‘pribumi’
dan selebihnya adalah ‘cina’. Mengapa, dua kata tersebut saya kasih tanda
petik? Sebenarnya saya tidak menyukai dua istilah ini dalam adab pergaulan.
Pada suatu kesempatan
kopdar yang biasa kami lakukan setiap jum’at malam di salah satu coffe shop
dibilangan jalan Mangkubumi, Jogja, saya sempat berbincang dengan seorang teman
dalam satu komunitas yang kebetulan keturunan Tionghoa. Ia mengatakan
belakangan ini ia sedang getol-getolnya mempromosikan penggunaan istilah
‘tionghoa’ untuk menggantikan kata ‘cina’.
Tentu saja dalam hal
ini saya bertanya, lho kenapa, bukannya sama. Antara Tionghoa dan Cina? Mau
tahu apa jawabannya? Beda. Ia mengatakan bahwa ia keberatan bila dipanggil
dengan ‘cina’, karena kata ini merujuk pada sebuah nama negara, yaitu China
People’s republic of China (PRC) meski sekarang sudah mejadi Tiongkok.
Menurut dia orang-orang
Tionghoa di Indonesia bukanlah warga negara China/Tiongkok, namun sudah benar-benar
menjadi warga negara seutuhnya dari bangsa Indonesia. Bahkan untuk meyakinkan
perbedaan tersebut, ia mengatakan lebih jauh bahwa orang-orang tionghoa di
Indonesia siap untuk menberikan nyawa mereka untuk Indonesia bila misalnya
terjadi peperangan atau konflik besar antara negara, sebagai bentuk cinta
terhadap bangsa dan nasionalisme yang kuat, seperti halnya ‘pribumi’.
Namun dalam kesempatan
ini, saya tidak hendak membincang tentang istilah tersebut lebih jauh, mungkin
dikesempatan yang lain saya akan menuliskannya. Agar lebih runut tentang
sejarah keturunan Tionghoa ini, terlebih dahulu saya akan ajak kisanak untuk
membincang sejarah awal masuknya keturunan Tionghoa di Nusantara (Indonesia)
ini.
Membicang tentang
sejarah masuknya orang Tionghoa di Nusatara ada satu sumber rujukan yang pakai
di sini, yakni dari buku “The 6th
overseas Chinese state”, Nanyang Huaren. Dari buku yang sekarang sudah ada
format e-booknya ini secara khusus mengupas sejarah awal masuknya Tionghoa di
berbagai kota di Indonesia, yakni Palembang, Demak, Banten, Cirebon, dan
Kalimantan. Semoga sajian hasil dari translate dan saya bahasakan ulang ini
tidak mengecewakan kisanak semua, pembaca setia akarasa ini.
Palembang
Membincang sejarah
masuknya keturunan Tionghoa di Palembang ini berkait erat dengan ekspedisi
Pamalayu ke Dharmasraya (Sriwijaya, Sumatera Selatan dengan ibukota Palembang)
yang dilakukan oleh raja Singosari terakhir Kertanegara pada tahun 1275. Selang
sembilan tahun kemudian, tepatnya tahun 1286 serangan Singosari dala ekspedisi
Pamalayu pimpinan Kebo Anabrang tersebut berhasil merebut Sriwijaya. Sayangnya,
Singosari sendiri sebagai penakluk Sriwijaya pada tahun 1292 jatuh oleh
pemberontakan Kadiri, bahkan Kertanegara dikabarkan terbunuh dalam pralaya
tersebut. Tentu dalam hal ini, Sriwijaya sebagai kerajaan taklukan menjadi
terlantar, kaca balau selayaknya ayam kehilangan induknya.
Victor Purcell dalam
buku “The Chinese in Malaya” menyatakan setelah kerajaan Sriwijaya jatuh,
Palembang telah dikuasai orang-orang Tionghoa selama 200 (duaratus) tahun.
Ketika kejayaan Sriwijaya surut, sekian ribu orang Tionghoa dari Fukien dan
Canton yang telah menetap disana telah memerintah diri sendiri.
Gambaran dari paragraf
di atas selaras dengan catatan Dinsti Ming, yang berkuasa di Tiongkok kala itu.
Catatan terebut menyatakan bahwa orang Jawa tidak mampu menguasai seluruhnya
negara-negara bagian yang ditaklukkannya, termasuk Sriwijaya (San-bo-tsi).
Karenanya, dalam catatan Dinasti Ming ini menyatakan bahwa orang Tionghoa
setempat teah berdiri sendiri.
Seorang dari Nan-Hai
(Namhoi) atau Canton yang bernama Liang Tau-ming terpilih sebagai pimpinan
Tionghoa peranakan di Palembang ini. Dikabarkan, kekuasaan orang Tionghoa ini
adalah sebagian dari keseluruhan Palembang. Bahkan seorang putranya dikabarkan
ikut sebagai delegasi ketika menghadap kaisar di Tiongkok.
Masih dalam catatan
dari Dinasti Ming, pada tahun 1405 kaisar yang berkuasa di Tingkok mengutus
seorang kurir yang berasal satu kampung dengan asal penguasa Sriwijaya (Liang
Tau-ming) untuk menyapampaikan pesan agar Liang Tau-ming untuk menghadapnya ke
istana. Liang Tau-ming bersama kawan seperjuangannya Cheng Po-k’o berangkat ke
Tiongkok dengan membawa serta hadiah yang berlimpah sebagai cindera mata dan
upeti.
Tak lama berselang,
tepatnya tahun 1407 Laksamana Cheng Ho yang seorang muslim mendirikan
masyarakat muslim Tionghoa di Palembang. Selanjutnya, pada tahun 1415, Tiongkok
sepenuhnya baru mengakui bahwa Palembang berada di bawah kekuasaan Jawa
(Majapahit).
Dalam buku ‘Runtuhnya
kerajaan Hindu Jawa dan Timbulnya Negara-Negara Islam di Nusatara’ karya Slamet
Muljana justru ada temuan menarik berkaitan dengan muasal keturunan Tionghoa di
Nusantara ini. Buku ini pada tahun 1971 sempat di bredel oleh penguasa Orde
Baru kala itu. Buku Prof. Muljana mengandung cukup banyak data lain yang sangat
menarik perhatian.
Kerajaan Majapahit juga
berdiri kurang lebih 200 (duaratus) tahun. Menurut Muljana dari 1294 hingga
1478 Palembang berada di bawah penguasaan kerajaan Islam Demak hingga Majapahit
benar-benar runtuh pada tahun 1527. Namun di sisi lain pendapat ini berbeda
dengan Prof. Hoesin Djajadiningrat yang menyatakan bahwa kejatuhan total
Majapahit sekitar tahun 1518. Buku Malay Annals yang saya sebutkan di atas pun
diperdebatkan oleh dua sejarawan kesohor Indonesia ini antara lain ebagai
berikut;
Pada tahun 1443 Swan
Leong (Arya Damar) putra dari mendiang raja Majapahit dengan seorang Tionghoa,
oleh Haji Gan Eng Chou (Arya Teja) telah ditunjuk sebagai seorang kapten
muslimin Tionghoa di Palembang sekaligus penguasa atas nama saudara
perempuan-tirinya, yaitu ratu Suhita dari Majapahit.
Gan Eng Chou (Arya
Teja) adalah kapten Tionghoa di Tuban, Jawa Timur. Dia oleh Ratu telah
dianugerahi gelar Arya sebagai bukti penghargaan terhadap jasa-jasanya. Muljana
berkesimpulan hal tersebut menunjukkan suatu sikap yang sangat baik dari pihak
keluarga raja terhadap orang Tionghoa.
Melanjutkan kutipan
sebelumnya dari buku “The 6th overseas Chinese state, Nanyang Huaren” tentang Palembang
(Ku-kang). Kertanegara, raja Singosari terakhir pada tahun 1289 secara
terang-terangan telah menentang kaisar Mongol, Khubilai Khan yang ketika itu
berkuasa atas Tiongkok dengan memotong kuping sebelah utusannya. Ia memulangkan
utusan Khubilai Khan yang elah dilukai tersebut dan menyatakan bahwa Singosari
tidak akan tunduk atas hegemoni Mongol.
Khubilai Khan yang
merasa dilecehkan kemudian mengirimkan tentaranya ke Jawa. Sayangnya, sebelum
tentara Mongol yang sering disebut juga prajurit Tartar ini mendarat di Jawa,
Kertanegara pada tahun 1292 telah tewas karena pemberontakan Kadiri. Singosari jatuh.
Selengkapnya bisa
kisanak baca di Kronik
Sejarah Majapahit : Warisan Konspirasi yang Terwariskan Hingga Kini dan Kronik
Sejarah Majapahit : Warisan Konspirasi yang Terlestarika Hingga Kini
Ketika prajurit Tartar
dari Mongol mendarat, Raden Wijaya, kemenakan sekaligus menantunya Kertanegara
menyerahkan diri pada pimpinan tentara Mongol dan menyatakan, bahwa raja
Kadiri, Jayakatwang telah menggantikan Kertanegara. Raden Wijaya berhasil
membujuk tentara Khubilai Khan untuk menjatuhkan Daha (Kadiri). Cerita selengkapnya
ada pada tautan di atas. Setelah Kadiri hancur, Raden Wijaya justru berbalik
menyerang tentara Khubilai Khan.
Wijaya minta diberi 200
pengawal Mongol yang tidak dipersenjatai untuk menyertainya ke Majapahit dimana
Wijaya akan menyerah dengan resmi pada wakil-wakil Khubilai Khan. Nah, ditengah
perjalanan para pengawal dari Mongol ini dibantai tak tersisa karena tidak
pernah menduga atas siasat Wijaya ini.
Siasat Raden Wijaya ini
membuat Mongol kehilangan 3000 prajutitnya dan terpaksa meninggalkan Jawa tanpa
membawa hadiah yang dijanjikan. Kemudian, antara tahun 1293-94 raden Wijaya
mendirikan Majapahit sebagai penerus Singosari di Jawa Timur.
Baca juga Susur
Galur Imperium Majapahit
Khubilai Khan, cucunya
Genghis Khan, meninggal pada 18 Pebruari 1294. Antara tahun 1325 atau 1375
hubungan Majapahit dengan Tiongkok telah membaik. Adityawarman yang dibesarkan
di Majapahit yang kemudian ditunjuk sebagai raja Sumatera Barat mengunjungi
istana Tiongkok sebagai utusan resmi Majapahit pada tahun 1325 dan kunjungan
untuk kedua kalinya pada tahun 1332.
Berita dari Tiongkok di
atas ini berbeda dengan catatan bangsa Eropa. Ibarat bumi dan langit. O.W.
Wolters dalam bukunya “The fall of Srivijaya in Malay history” menyatakan
gambaran berbeda dengan catatan dari Tiongkok di atas.
Pada tanggal 30 Oktober
1371, kaisar T’ai-tsu mengeluarkan pengumuman dengan petunjuk untuk para
pejabatnya :
“…menguasai tanah yang
terlalu besar tidak mendatangkan ketenteraman. Bila rakyat diharuskan bekerja
terlalu berat, keadaan itu menjadi sumber kekacauan …” Pernyataan-pernyataan
T’ai-tsu kepada penguasa-penguasa asing mengandung banyak saran kebijaksanaan.
Daripada menganjurkan
mereka untuk berdagang dengan Tiongkok, ia lebih menginginkan mereka berkuasa
dengan baik, memelihara hubungan mesra dengan negara tetangganya dan saling mengindahkan
tapal-batas masing-masing.
Jika T’ai-tsu curiga
ada penguasa asing berakal bulus serta mengirim utusan dengan maksud yang tidak
jujur, ia lebih baik menolak upeti mereka. Misalnya, upeti perampas-perampas kuasa (usurpers) tidak dapat diterima olehnya
(were unacceptable to him).
Dr. John Crawfurd
mengenai pembayaran-pembayaran upeti kepada kaisar Tiongkok:
Hubungan Tiongkok-Siam
jaman lampau mengandung unsur yang di satu pihak berdasarkan “vanity”
(pengumpakan diri) dan di lain pihak berdasar pada “rapacity” (nafsu
menggarong, lebih jelek daripada serakah). Raja Siam mengaku dirinya sebagai
pembayar upeti terhadap kaisar Tiongkok bukan karena terpaksa dan bukan karena
berada dibawah kekuasaan kaisar, melainkan demi menghindarkan pembayaran bea
bagi kapal-kapal yang membawak utusan-utusannya ke Tiongkok.
Para utusan tersebut
mempersembahkan bunga dari mas sebagai tanda upeti, tetapi menerima dari kaisar
hadiah-hadiah yang jauh lebih berharga sebagai tanda penghargaan. Negara-negara
lain yang lemah mengakui kaisar Tiongkok karena sebagai imbalannya mendapat
perlindungan terhadap gangguan-gangguan dari luar.
Dalam arsip Tiongkok
tercatat bahwa pada tahun 1376 ketika dinasti Yuan (Monggol) sudah digantikan
oleh dinasti Ming (1368-1644) raja Tan-ma-sa-na-ho wafat. Tidak jelas siapa
nama aslinya, tetapi kawasan yang dipersoalkan menyangkut tanah bekas
Sriwijaya. Raja yang wafat digantikan oleh puteranya yang disebut sebagai
Ma-la-cha Wu Li. Menurut Groeneveldt putera yang dimaksud tersebut mungkin
adalah Maharadja Wuli. Tetapi menurut Muljana orang yang dimaksud adalah
maharaja Mauliwarmadewa.
Tahun berikutnya
maharaja mengirim upeti kepada kaisar Tiongkok berupa barang-barang dan
binatang-binatang khas dari negerinya. Utusan-utasan tersebut menyampaikan
pesan darinya bahwa ia segan naik tahta atas kehendak sendiri serta mohon
mendapat ijin kaisar (dengan maksud mendapat perlindungannya). Kaisar memuji tanggungjawab
maharaja dan memberi perintah untuk menyampaikan segel (cap, seal) kepadanya
disertai pengangkatan dia sebagai raja San-bo-tsai (Sriwijaya). Namun pada
waktu itu Sriwijaya sudah dibawah kekuasaan Jawa (Majapahit).
Raja Majapahit sangat
murka mendengar kaisar telah menunjuk raja untuk San-bo-tsai dan mengirim anak
buahnya untuk mencegat dan membunuh utusan kaisar. Kaisar dapat mengerti
kemurkaan raja Majapahit dan tidak mengadakan pembalasan. Setelah kejadian ini
lambat-laun San-bo-tsai/Sriwijaya jatuh miskin dan tidak datang lagi upeti dari
kawasan itu.
Catatan tersebut sesuai
dengan kenyataan bahwa bekas Sriwijaya terlantar dan kacau. Keguncangan
Singasari-Kediri dan belum terkonsolidasinya Majapahit menyebabkan pihak Jawa
tidak mampu mengurus tanah Sriwijaya yang tadinya ditaklukkan oleh Kertanagara.
Tentang perang saudara
Paregreg di Majapahit tercatat bahwa dalam tahun 1405 kasim Laksamana Cheng Ho
telah diutus ke Majapahit yang ketika itu dikuasai oleh dua raja, Raja Timur
dan Raja Barat. Tahun berikutnya kedua raja saling berperang. Raja Timur
dikalahkan dan kerajaannya hancur. Pada itu waktu utusan-utusan kaisar Tiongkok
kebetulan berada di negara Raja Timur.
Ketika
prajurit-prajurit Raja Barat masuk ke tempat pasar, 170 orang dari utusan
kaisar terbunuh, hal mana membuat Raja Barat kuatir serta mengirim utusan minta
maaf. Kaisar mengeluarkan pengumuman sangat mencela Raja Barat dan menuntut
pembayaran enam-puluh ribu tail mas sebagai denda. Tahun 1408 Cheng Ho sekali
lagi diutus ke negara ini dan Raja Barat memberi sepuluh ribu tail emas.
Petugas-petugas Dewan
Tatacara di Tiongkok melihat jumlah tersebut tidak cukup dan bermaksud
mempenjara utusan-utusan yang membawanya, tetapi kaisar mengatakan: “Yang saya
kehendaki dari orang-orang yang hidup adalah mereka menginsyafi kesalahannya.
Saya tidak ingin memperkaya diri dengan emasnya.” Seluruh denda dikembalikan.
Sedari itu mereka terus-menerus membawa upeti. Terkadang sekali dalam dua
tahun, ada kalanya lebih dari satu kali setahunnya. Para utusan Wu Pin dan
Cheng Ho seringkali mengunjungi Majapahit.
Demak
Pada dasawarsa terakhir
abad XV di Jawa Tengah berdiri kerajaan Islam Demak, tepatnya tahun 1475/1478
hingga 1546/1568. Pendirinya adalah putera dari Cek Ko-Po yang berasal dari
Palembang yang mana ketika itu terdapat masyarakat Islam Tionghoa yang besar. Pendiri
Demak ini terkenal dengan nama Raden Patah (AL Fatah), alias Jin Bun /
Panembahan Jimbun / Arya (Cu-Cu) Sumangsang / Prabu Anom. Namu orang-orang
Portugis menyebutnya Pate Rodin Sr.
Menurut orang Portugis,
Tome Pires, pendiri Demak ini adalah seorang
seorang satria. Terkaan bahwa Jimbun nama suatu tempat dekat Demak tidak
masuk akal. Penjelasan Muljana nama Jin Bun berarti “orang kuat” dalam dialek
Tionghoa-Yunnan. Semasa Dinasti Yuan (Monggol) di propinsi Yunnan terdapat
banyak penganut agama Islam.
Kalangan berkuasa Demak
sebagian besar terdiri dari orang-orang keturunan Tionghoa. Sebelum jaman
kolonial pernikahan antara orang Tionghoa dengan orang Pribumi merupakan hal
yang normal. Pigeaud dan de Graaf menggambarkan keadaan pada abad ke XVI
sebagai berikut:
Di kota-kota pelabuhan
pulau Jawa kalangan yang berkuasa terdiri dari keluarga-keluarga campuran,
kebanyakan Tionghoa peranakan Jawa dan Indo-Jawa. Sumber-sumber sejarah pihak
Pribumi Indonesia menyebut, dalam abad ke XVI sejumlah besar orang Tionghoa
hidup di kota-kota pantai Utara Jawa. Disamping Demak, juga terdapat di Cirebon,
Lasem, Tuban, Gresik (Tse Tsun) dan Surabaya. Banyak orang Tionghoa Islam
mempunyai nama Jawa dan dengan sendirinya juga nama Arab. Pada jaman itu
sebagai Muslimin mempunyai nama Arab meninggikan gengsi.
Salah satu cucunya Raden
Patah tercatat mempunyai cita-cita untuk menyamai Sultan Turki. Menurut De
Graaf dan Pigeaud, Sunan Prawata (Muk Ming) raja Demak terakhir yang mengatakan
pada Manuel Pinto, Prawata berjuang sekeras-kerasnyanya untuk meng-Islam-kan seluruh
Jawa. Bila berhasil ia akan menjadi “segundo Turco” (seorang Sultan Turki ke
II) setanding sultan Turki Suleiman I dengan kemegahannya. Nampaknya selain
naik haji Prawata telah mengunjungi Turki.
Sumber-sumber Pribumi
menegaskan raja-raja Demak adalah orang Tionghoa atau Tionghoa peranakan Jawa.
Terlalu banyak untuk memuat semua nama-nama tokoh sejarah yang di-identifikasi
sebagai orang Tionghoa.
Namun beberapa diantaranya
adalah ;
Raden Kusen (Kin San,
adik tiri Raden Patah),
Sunan Bonang (Bong Ang,
putera Sunan Ngampel alias Bong Swee Ho),
Sunan Derajat juga
putera Sunan Ngampel,
Ja Tik Su (tidak jelas
orang ini Sunan Undung atau Sunan Kudus, namun ada sumber mengatakan Sunan
Undung ayah Sunan Kudus dan menantunya Sunan Ngampel),
Endroseno panglima terakhir
Giri Kedaton,
Pangeran Hadiri alias
Sunan Mantingan suami Ratu Kalinyamat,
Ki Rakim,
Nyai Gede Pinatih (ibu
angkatnya Sunan Giri dan keturunannya Shih Chin Ching tuan besar orang Tionghoa
di Palembang),
Puteri Ong Tien Nio
yang menurut tradisi adalah isterinya Sunan Gunung Jati,
Cekong Mas (dari
keluarga Han, makamnya terletak didalam suatu langgar di Prajekan dekat Situbondo
Jawa Timur dan dikeramatkan),
Adipati Astrawijaya,
bupati yang diangkat oleh VOC tetapi memihak pemberontak ketika orang-orang Tionghoa
di Semarang berontak melawan Belanda pada tahun 1741, dan
Raden Tumenggung
Secodiningrat Yogyakarta (Baba Jim Sing alias Tan Jin Sing).
Menurut Muljana, Sunan
Giri dari pihak ayahnya adalah cucu dari Bong Tak Keng, seorang Muslim asal
Yunnan Tiongkok yang terkenal sebagai Raja Champa, suatu daerah yang kini
menjadi bagian Vietnam. Bong Tak Keng koordinator Tionghoa Perantauan di Asia
Tenggara. Ayah ibunya Sunan Giri adalah Raja Blambangan, Jawa Timur.
Pengaruh arsitektur
Tionghoa terlihat pada bentuk masjid-masjid di Jawa terutama di daerah pesisir
bagian Utara. Agama Islam yang pertama masuk di Sumatera Selatan dan di Jawa bermazhab
Hanafi. Datangnya melalui Yunnan Tiongkok pada waktu Dinasti Yuan dan permulaan
Dinasti Ming.
Muljana berpendapat
bila agama Islam di pantai Utara Jawa masuknya dari Malaka atau Sumatera Timur,
mazhabnya Syafi'I atau Syiah dan ini bukan demikian halnya. Muljana menekankan
mazhab Hanafi hingga abad XIII hanya dikenal di Central Asia, India Utara dan
Turki. Meskipun agama Islam pada abad ke VIII sudah tercatat di Tiongkok,
Mazhab Hanafi baru masuk Tiongkok pada jaman Dinasti Yuan abad XIII, setelah
Central Asia dikuasai Genghis Khan.
Kepergian banyak Muslim
Tionghoa dari Tiongkok terjadi pada tahun 1385 ketika diusir dari kota Canton.
Jauh sebelum itu, Champa sudah diduduki Nasaruddin jendral Muslim dari Kublai
Khan. Jendral Nasaruddin diduga telah mendatangkan agama Islam ke Cochin China.
Sejumlah pusat Muslim Tionghoa didirikan di Champa, Palembang dan Jawa Timur.
Pada tahun 1413 Ma Huan
mengunjungi Pulau Jawa dengan Laksamana Cheng Ho, ia mencatat agama Islam
terutama agamanya orang Tionghoa dan orang Ta-shi (menurut Muljana orang-orang
Arab) belum ada Muslimin Pribumi.
Pada tahun 1513-1514
Tome Pires mengambarkan kota Gresik sebagai kota makmur dikuasai oleh
orang-orang Muslim asal luar Jawa. Pada tahun 1451 Ngampel Denta didirikan oleh
Bong Swee Ho alias Sunan Ngampel untuk menyebarkan agama Islam mazhab Hanafi
diantara orang-orang Pribumi. Sebelum itu beliau mempunyai pusat Muslim
Tionghoa di Bangil. Pusat ini ditutup setelah bantuan dari Tiongkok berhenti
karena tahun 1430 hingga 1567 berlaku maklumat kaisar melarang orang-orang
Tionghoa untuk meninggalkan Tiongkok.
Sangat menarik disini,
setidaknya hingga jaman pendudukan Jepang, rakyat kota Malang Jawa Timur masih mempergunakan
sebutan “Kyai” untuk seorang lelaki Tionghoa Totok. Kyai berarti guru agama
Islam. Padahal yang dijuluki itu bukan orang Islam. Kebiasaan tersebut
peninggalan jaman dulu. Gelar Sunan berasal dari perkataan dialek Tionghoa
Hokkian “Suhu, Saihu”. Bahkan diyakini 8 orang Walisongo mazhab Hanafi bergelar
Sunan.
Satu dari Walisongo
mazhab Syiâh bergelar Syeh dari bahasa Arab Sheik. Kesimpulan wajar, para
aktivis Islam mazhab Hanafi di Asia Tenggara semasa itu semuanya orang
Tionghoa. Sedikit banyak dapat dipersamakan dengan penyebaran agama Kristen
dari Eropa ke lain-lain benua. Hingga abad ke XIX kaum penyebar diatas tingkat
lokal dapat dikatakan semuanya orang Eropa.
Tanah Tiongkok hampir
seluas Eropa. Membuat perbandingan dengan Tiongkok tidak dapat dilakukan dengan
salah satu negara Eropa tetapi harus dengan seluruh Eropa. Seperti juga
suku-suku Eropa dengan bahasa-bahasanya berbeda satu sama lain, demikian pula
terdapat perbedaan antara suku-suku dengan bahasa-bahasanya di Tiongkok.
Keunggulan Tiongkok memiliki tulisan ideogram yang dapat dimengerti meskipun
bahasanya berlainan. Sekian.
Referensi :
De Graaf and Pigeaud
“De eerste Moslimse Vorstendommen op Java”, “Islamic states in Java 1500-1700.
Slamet Muljana
“Runtuhnya keradjaan Hindu Djawa dan timbulnja negara2 Islam di Nusantara.
Sebagian besar artikel dikutib
dari “The 6th overseas Chinese state” Nanyang Huaren, 1990.
0 on: "Menelusuri Jajak Awal Masuknya Keturunan Tionghoa ke Nusantara"