Akarasa – Selamat datang
kerabat akarasa. Membincang tatar Sunda (Jawa Barat) ada satu nama yang tidak
bisa dilepaskan dari nama satu ini, Siliwangi. Benar? Ya, memang begitulah
adanya. Bahkan, jika kisanak melintas tapal batas Jawa Barat dan Jawa Tegah di
jalur selatan, tugu selamat datangnya dengan jelas memberi satu gambaran
tentang hal ini.
Siliwangi adalah rakyat
Jawa Barat, Rakyat Jawa Barat adalah Siliwangi. Ini slogan yang ada di bawah tugu
patung harimau yang diapit gapura kujang. Kalau dalam bahasa anak sekarang,
Siliwangi lah ‘paling’ Jawa Barat. Tak ada nama satupun tokoh tatar Sunda yang
melebihi kebesaran namanya.
Paling Jawa Barat-nya
Siliwangi ini dapat kita temukan dalam nama jalan, gedung, institusi,
universitas, ormas, bahkan, nama sebuah institusi militer setingkat kodam. Bener?
Apakah hanya sampai di
sini? Seperti belum, narasi di atas masih koma, belum titik. Artinya, Jawa
Barat dan Siliwangi tidak sendiri, masih ada lagi satu sosok yang tidak bisa
dilepaskan pada tokoh ‘paling’ Jawa Barat ini. Jika kisanak lebih seksama,
bisananya nama atau kata Siliwangi selalu berdampingan dengan Harimau. Benar? Sepertinya
jawabanya adalah iya.
Ya, sepertinya gambar
atau wujud harimau tersebut merupakan kata ganti dari Siliwangi. Seperti pada
gapura selamat datang yang saya sebutkan di atas, gambaran harimau pun cukup
beragam, baik diwakili oleh kepalanya saja, maupun yang utuh seperti pada tugu
di atas.
Bagi urang Sunda
khususnya, tidak perlu untuk mempertanyakan siapa itu Siliwangi? Tokoh satu ini
adalah kebanggaan, bahkan sejak kecil kebanggan ini dituturkan dari generasi ke
generasi. Setidaknya tentang hal ini adalah pengalaman pribadi.
Meski demikian, pada
tulisan ini, secara ringkas saya akan cuplik pada tulisan sebelumnya Misteri
Siliwangi : Ngahiang atau Dibunuh Anaknya Sendiri? tentang sosok Siliwangi
ini.
Pertanyaan paling
mendasar adalah, apa dan siapa Siliwangi?
Kata Siliwangi berasal
dari kata Sili(h) dan Wangi. Kata ini jika diartikan secara utuh adalah
Pengganti (prabu) Wangi. Maksudnya adalah Siliwangi diberikan kepada raja-raja
yang menjadi pengganti Prabu Wangi. Adapun Prabu Wangi (sutah) sendiri adalah
gelar untuk Prabu Niskala Wastu Kencana, raja dari kerajaan Sunda (Pajajaran)
ke 32 sejak Prabu Tarusbawa. Wilayah kerajaannya saat itu kurang lebih meliputi
provinsi Lampung, Banten dan Jawa Barat sekarang. Selengkapnya bisa kerabat
akarasa baca di Sejarah
Kerajaan Galuh dan Sejarah
Lengkap Kerajaan Sunda.
Sudah menjadi
pengetahuan umum, terutama bagi masyarakat Jawa Barat, bahwa Siliwangi
merupakan gelar bagi raja di kerajaan Pajajaran. Namun belum banyak yang tahu
bahwa raja yang mempunyai gelar Siliwangi adalah tidak hanya satu. Pertanyaannya,
lalu siapa yang di gantikan. Tentu ada nama yang wangi sebelum ada Silih, pasti ada sejarah yang
besar hingga namanya di sebut Harum
Mewangi. Selengkapnya tentang hal ini kita ulas pada tulisan selanjutnya.
Kemudian, seperti yang
sudah ternarasikan di atas, apa hubungannya Siliwangi dan Harimau? Mosok seorang
manusia sampai dgambarkan dengan seekor harimau?
Menjawab pertanyaan di
atas, sepertinya berkait erat dengan cerita tutur mengenai Siliwangi yang terdesak oleh musuh,
ia kemudian pergi ke gunung Sancang kemudian menjelma menjadi harimau dan
akhirnya menghilang (Nga-Hyang) atau moksa. Ya, mitos ini tertutur secara turun
temurun. Bahkan, bisa dipastikan urang Sunda tahu tentang mitos ini,meskipun
dengan perbedaan versi. Saking meresapnya mitos ini di masyarakat Sunda (Jawa
Barat), bisa jadi antara nama Siliwangi dan Harimau berpangkal dari mitos ini.
Akibatnya apa? Manakala
anak saya menayakan hal ini yang dia dapatkan dari ninihnya (nenek) saya
kesulitan untuk menjawabnya. Namun untungnya, ibunya bisa menjawab hal ini. Bahwa
urang Sunda di jaman dulu gagah-gagah sehingga dipersamakan bagai harimau. Dan prabu
Siliwangi itu orang sakti sehingga dapat menghilang.
Kisanak tahu sendiri
toh, bagaimana kritisnya anak sekarang. Mereka tidak bisa terima begitu saja
jawaban yang tidak logis. Jawaban rekaan istri saya itu lebih kurang ada
benarnya juga, namun sebagian dari mitos tersebut belum bisa masuk nalar
anak-anak jaman sekarang. Mungkin ada yang bilang memang orang jaman dulu
begitu adanya. Tapi saya rasa setiap mitos ada penjelasan logisnya, ada
pemicunya atau ada kisah sebenarnya yang tertutupi oleh pengaruh-pengaruh
bunga-bunga cerita dari si petutur, karena mitos ini merupakan kisah lisan yang
diwariskan dari mulut ke mulut.
Lagi-lagi ada satu
pertanyaan (takon terus), apakah benar manusia bisa menjadi harimau? Apakah
benar Prabu Siliwangi menghilang? Siapa Prabu Siliwangi ini? Apakah benar dia
bisa menjelma menjadi harimau dan menghilang?
Nah, berangkat dari
sinilah saya mencoba menelisiknya, tentu saja dalam hal ini menelisik dalam
bentuk tulisan-tulisan yang relevan dan menggabungkannya. Namun sebelumnya
harap dimaklumkan jika ada kekeliruan di dalamnya. Setuju?
Baik jika demikian,
dalam telisik mitos ini saya kerucutkan saja dalam 3 hal mendasar. Yakni,
tentang Siliwangi sendiri, Ngahiang, dan Harimau.
Pada tulisan sebelumnya
sudah pernah saya bahas tentang sosok ‘paling’ Jawa Barat ini. pun halnya, seperti
yang saya narasikan di atas, tokoh yang mempunyai gelar Siliwangi setidaknya
ada beberapa orang. Selanjutnya dari beberapa orang tersebut mana yang
diceritakan dalam mitos?
Menjawab pertannyaan
barusan, setidaknya ada dua Siliwangi yang menurut saya dimungkinkan menjadi
tokoh dalam peristiwa Nga-Hyang ini. Pertama adalah Prabu Nilakendra. Ini
dikarenakan Nilakendra adalah raja yang terusir dari istana. Carita Parahyangan
menyatakan bahwa Nilakendra mengalami "alah
prangrang, maka tan nitih ring kadatwan" (kalah perang, maka ia tidak
tinggal di keraton).
Selanjutnya adalah Prabu Surya Kancana. Ini disebabkan karena
memang tokoh inilah raja terakhir Pajajaran. Dalam banyak literatur pun Prabu
Surya Kencana diberitakan tidak berada di istana Pakuan. Ia diberitakan
bergelar Pucuk Umum Pulasari yang berarti Panembahan Pulasari (lereng gunung
Palasari Pandeglang, Banten).
Nah, dari kedua raja
inilah saya cenderung beranggapan bahwa yang diceritakan dalam tutur tinular
dalam masyarakat Sunda adalah yang terakhir, yakni Surya Kencana. Alasan paling
logis adalah, dengang ‘hilangnya’ Surya Kencana menyebabkan ia tak pernah ada
penggantinya. Hal ini logis karena bisa jadi yang berkeinginan menggantikannya
pun menjadi gamang akibat tidak jelas nasib sang prabu terakhir ini.
Selanjutnya mari kita
bincang tentang Ngahyang. Pada tulisan sebelumnya Misteri
Siliwangi : Ngahyang atau Dibunuh Anaknya Sendiri? secara singkat sudah
saya bincang tentang hal ini. Ngahyang secara harfiah berarti ‘menjadi Hyang’.
Hyang sendiri menurut saya adalah yang di-Agung-kan, diberi derajat yang
”tinggi” dalam sisi spiritual. Sehingga Nga-Hyang berarti meng-agung-kan /
di-agung-kan, dalam hal ini berati mendekatkan diri kepada Yang Maha Kuasa. Di
sisi lain, beberapa ahli mengartikan Nga-Hyang ini sebagai menghilang dengan
proses spiritual yang tinggi. Namun dari catatan sejarah berupa prasasti yang
lainnya, tidak ada yang menyatakan Nga-Hyang.
Kemudian, jika
dihubungkan dengan tidak adanya catatan sejarah mengenai peristiwa Nga-Hyang
ini, dapat dianggap bahwa Nga-Hyang ini hanyalah merupakan sebutan masyarakat
umum tehadap kondisi yang terjadi. Namun jika dihubungkan dengan kejadian yang
terjadi saat terakhir Surya Kencana berkuasa, bagi saya memberi sedikit titik
terang. Adapun kejadian tersebut adalah sebagai berikut :
Menurut Pustaka
Nusantara III/1 dan Kretabhumi I/2, pada 8 Mei 1568, Pajajaran runtuh. Saat itu
utusan Pajajaran (kandaga lante) menitipkan perhiasan kerajaan ke Raja Sumedang
(Geusan Ulun selengkapnya baca Menakar
Hakekat Perempuan dari Kisah Cinta Segitiga Harisbaya) serta Prabu
Siliwangi memberi amanah terakhir yang dikenal dengan Uga Wangsit Siliwangi. Selengkapnya
baca di Kajian
Singkat Wangsit Siliwangi
Dalam wangsit tersebut
Siliwangi menyatakan ”Lalakon urang ngan
nepi ka poé ieu, najan dia kabéhan ka ngaing pada satia! Tapi ngaing henteu
meunang mawa dia pipilueun, ngilu hirup jadi balangsak, ngilu rudin bari lapar.
..”.
Artinya kurang lebih
”Kisah kita (Pajajaran) hanya sampai disini, meskipun kalian semua setia
kepadaku! Tapi saya tidak bisa membawa kalian ikut-ikutan (bermasalah), ikut
hidup susah, ikut miskin dan kelaparan. ....”.
Artinya dengan dengan
peristiwa tersebut bisa disimpulkan bahwa sejak saat itu Siliwangi menghilang (tiada
kabar berita). Rakyat saat itu juga menyadari bahwa ia menghilang, dan untuk
menyatakan kondisi tersebut masyarakat banyak menyebutnya dengan Nga-Hyang yang kurang lebih berarti
hilang untuk mendekatkan diri kepada Yang Maha Kuasa. Sesuai amanatnya, ia telah
menjadi rakyat jelata, namun entah dimana. Ada kemungkinan menjadi pertapa (resi)
untuk mendekatkan diri pada Yang Maha Kuasa.
Yang ketiga adalah
mitos menjadi harimau. Harimau sebetulnya termasuk keluarga kucing (Falidae)
berbadan kekar dan memliki otot-otot yang kuat. Kuku-kukunya yang sangat tajam
dapat disembunyikan jika sedang tidak digunakan. Harimau hanya terdapat di
Benua Asia. Pada awalnya harimau berkeliaran di daerah Kaspia dan Manchuria.
Sebagai hasil proses evolusi selama 50 ribu tahun hewan ini menyebar ke Selatan
dan Barat. Harimau memiliki daerah jelajah yang berbeda-beda dan suka
menyendiri (soliter).
Di Jawa Barat ada orang
yang percaya ada satu kampung yang penduduknya siang hari manusia dan malam
hari harimau. Bahkan di tatar Pasundan ini, makna harimau memiliki dimensi
kultural historis karena ada kepercayaan bahwa sosok Siliwangi yang merupakan
representasi dari harimau (maung).
Berdasarkan
catatan-catatan sejarah yang ada, tidak ada catatan yang menyatakan bahwa
harimau pernah digunakan sebagai lambang kerajaan Sunda ataupun kerajaan
pendahulunya, baik Taruma Nagara maupun Salaka Nagara. Adapun binatang yang
pernah disebutkan dalam prasasti adalah Gajah dan Lebah.
Bahkan, Lebah konon
menjadi lambang Taruma Nagara jaman Prabu Purnawarman. Sehingga keberadaan atau
penggunaan harimau ini menjadi lambang Siliwangi masih sangat kabur, meskipun
kemungkinan tentu saja ada, namun tak ada bukti sejarah berupa catatan,
piteket, prasasti atau sejenisnya dari jaman kerajaan yang bisa direka-reka
untuk dihubung-hubungkan.
Sebuah catatan pada
jaman Belanda tahun 1687 sedikit membuka tabir mengenai mitos harimau ini.
Catatan tersebut menyatakan tentang Laporan Scipio (peneliti asal belanda) pada
Gubernur Jenderal Joanes Camphuijs yang diteruskan kepada atasannya di Belanda
yang isinya memberitakan kepercayaan penduduk saat itu.
Adapun laporan tersebut
berbunyi "dat hetselve paleijs en
specialijck de verheven zitplaets van den getal tijgers bewaakt ent bewaart
wort" (bahwa istana tersebut terutama sekali tempat duduk yang
ditinggikan untuk raja "Jawa" Pajajaran sekarang masih berkabut dan
dijaga serta dirawat oleh sejumlah besar harimau). Laporan tersebut ditulis
tanggal 23 Desember 1687.
Catatan tersebut
menyebutkan bahwa sudah ada kepercayaan penduduk saat itu yang menyatakan bahwa
(bekas) istana Pajajaran dijaga oleh sekelompok harimau. Dan menurut catatan,
pada tanggal 28 Agustus 1687 pernah ada serangan harimau terhadap rombongan
peneliti di daerah tersebut. Karena kelompok harimau tersebut terkesan bagaikan
para penjaga (reruntuhan) istana Pakuan, maka kelompok harimau tersebut
dianggap sebagai jelmaan para prajurit yang sangat setia terhadap Prabu
Siliwangi.
Dengan kisah tersebut
saya berkesimpulan bahwa sumber mitos harimau Siliwangi berawal dari sini.
Namun dalam cerita masyarakat ini, harimau tersebut hanya digambarkan sebagai
para prajuritnya, Siliwangi sendiri sama sekali tidak disebut-sebut.
Penggambaran harimau ini semakin kuat saat kesatuan militer yang diberi nama Siliwangi
dan berlambang harimau, sukses mengambil hati masyarakat Jawa Barat di masa
perjuangan kemerdekaan.
Jadi dari uraian tersebut,
secara pribadi saya kemudian berkesimpulan bahwa Siliwangi yang terakhir memang Nga-Hyang. Namun dalam artian ia mengundurkan
diri secara politik dari hiruk pikuk kerajaan (pada saat itu). Sedangkan untuk
mitos Siliwangi menjadi harimau sepertinya hanyalah sebuah mitos hasil rekaan
kisah masyarakat dari mulut ke mulut, dengan dasar adanya kelompok harimau yang
bagaikan penjaga istana. Dengan demikian mitos tersebut Siliwangi Nga-Hyang dan
menjelma menjadi harimau hanyalah sebuah cerita masyarakat yang menggambarkan
reruntuhan istana Pakuan dengan rekayasa bumbu-bumbu mistis. Nuwun
Disarikan dari berbagai sumber
0 on: "Menyoal Mitos Maung dan Siliwangi di Tatar Pasundan"