Akarasa – Selamat datang
kerabat akarasa. Pada tulisan sebelumnya, Candi Prambanan : Legenda Kasih Tak Sampai secara singkat terceritakan tentang kisah kasih Bandung Bondowoso dan Roro
Jongrang yang terkenal itu. Kesempatan kali ini, masih tak jauh dari cerita
legenda yang kesohor tersebut, namun saya akan ulik dari sisi hikmah yang dapat
kita jadikan bahan ajar dalam kehidupan.
Saya yakin, semua kita
tahu dan tidak menyangsikan kemegahan arsitektur purbakala yang berada di
persinggungan Jawa Tengah dan Yogyakarta ini. Ya, candi Prambanan. Seperti yang
sudah saya narasikan di awal tulisan ini, di balik kemegahan Prambanan yang
sarat misteri ini sejatinya menyimpan kronik sejarah yang dapat kita jadikan
bahan ajar yang masih relevan, meski jaman sudah sedigital ini.
Jika kita tilik dari
cerita legenda yang melatarinya, Prambanan adalah simbol perjuangan melawan
kesewenangan kekuasaan yang didorong keserakahan nafsu dan ambisi manusia. Pun mengenai
peliknya perjuangan cinta yang disertai deraian air mata dalam balutan kisah
berdarah-darah yang berakhir dengan pengkhianatan. Lha terus, apa yang dapat
kita jadikan ajar dalam cerita legenda tersebut?
Karena sejarah yang
lebih dekat dengan legenda ini berada di tanah Jawa, ya barang tentu tak jauh
dari kentalnya feodalisme manusia Jawa.
Sejarah? Memang selalu
demikian, mengenai sejarah manusia Jawa yang secara khusus mengenai sosial
politik kerajaan Jawa. Misalnya, ketika kita menyatakan, kerajaan feodalnya Jawa, justru memberikan kesan negatif. Pun sebelum
kita membicarakan lebih jauh. Tentu saja, kesan negatif untuk manusia Jawa dan
feodalisme itu sendiri.
Untuk itulah, dalam
kesempatan ini saya ajak kisanak untuk berpikir subyektif dan tanpa menghakimi,
dengan berusaha melihatmanusia dan feodalisme sebagai suatu kesatuan. Keberadaan
manusia dan feodalisme sebenarnya memiliki nilai positif, meskipun orang-orang
Bolshevik terus bersikukuh kalau kehidupan manusia tanpa feodalisme adalah
kehidupan yang lebih baik. Suatu impian, bahwa negara digerakkan oleh kekuatan
dan kekuasaan rakyat. Toh, dalam struktur pemerintahannya pun, akan tetap menghasilkan
feodalisme. Kita tidak bisa pungkiri hal ini.
Inti dari sistem feodal
tidak hanya mengacu pada tuan tanah, maupun penggolongan manusia borjouis dan
proletar. Lebih jauh dari itu semua, feodalisme memiliki hakekat mengenai
kepemimpinan di dalam kehidupan bermasyarakat. Dalam negara demokrasi, kapital
sampai dengan komunis, sistem feodal masyarakat akan terus ada. Pandangan ini
karena meninjau dari segi esensi mengenai feodalisme itu sendiri yang berupa:
nilai kepemimpinan.
Manusia yang hidup
berkelompok, harus ada, salah seorang dari anggota manusia yang maju sebagai
pemimpin. Perlu dijadikan bahan perbincangan kali ini adalah bersangkutan
dengan nilai kepemimpinan; kepemimpinan yang seperti apa? Mestikah seorang
agamawan muncul sebagai pemimpin?
Menurut saya, percuma
juga ada kepemimpinan jikalau berbagai penindasan – yang secara langsung maupun
tidak langsung, dan ketidak-adilan terus ada untuk menyiksa manusia yang ada di
dalam kelompok masyarakat tersebut.
Pasti, orang yang
memimpin adalah orang yang memiliki kekuasaan, sebab salah satu pendorong
terlaksananya suatu kepemimpinan adalah aspek kekuasaan. Manusia yang memiliki
jiwa kepemimpinan yang baik, jika tidak memiliki kekuasaan tidak bisa
menjalankan kepemimpinan yang dimiliki.
Hakikat pemimpin adalah
yang bisa memimpin dengan memberikan contoh, menjadi teladan dengan memimpin
dirinya sendiri. Inilah idealnya, dan terkadang tidak menjadi alternatif dalam
dunia perpolitikan suatu negara yang membutuhkan adanya kekuasaan dan
pengakuan. Kepemimpinan sebagai kekuasaan, yang mana memiliki sifat melindungi,
menjadi pengayom manusia yang dipimpin, melindungi kehormatannya sendiri
sebagai pemimpin, menegakkan keadilan, dan serta mewujudkan kehidupan yang
selamat.
Prabu Damar Maya
sebagai simbolisme kepemimpinan dan kekuasaan kerajaan Pengging. Ketika
kerajaan mendapati suatu ancaman dari Prabu Baka yang ambisius akan kekuasaan,
Prabu Damar Maya bertindak. Damar Maya dengan sekuat tenaga melindungi wilayah
kerajaannya, yang secara tidak langsung sebagai proses perlindungan terhadap
seluruh rakyat yang ada di wilayah itu.
Perlu kita ingat, kalau
kerajaan Pengging adalah kerajaan ideal, yang mana kehidupan rakyatnya
dijalankan dengan penuh keadilan, makmur, tentram dan sentosa. Wilayah Pengging
sendiri adalah wilayah yang subur, kekayaan berlimpah ruah yang akhirnya
menjelma sebagai godaan yang terus merayu Prabu Boko untuk menguasai.
Hal yang sungguh
lumrah, sikap yang dimunculkan oleh Prabu Boko. Karena, meskipun Prabu berwujud
Raksasa tetap memiliki sifat alamiah manusia, tidak pernah puas walau sudah
memiliki satu kerajaan. Dalam kisah ini, Prabu Boko hadir sebagai simbol dari
kejahatan, pemerintahan yang korup dan sewenang-wenang, tidak mampu menjalankan
sistem kekuasaan untuk melindungi rakyat Boko. Karena kepemimpinan yang lemah
dari kekuasaan Boko, rakyat pun tidak terlindungi bahkan dari diri Prabu itu
sendiri.
Sederhananya, pemimpin
seperti Prabu Boko itu orang lemah. Sikapnya itu tidak mencerminkan kekuasaan
yang dimiliki. Karena esensi dari kekuasaan adalah melindungi yang dikuasai.
Melindungi dari berbagai ancaman yang dapat membuat rakyat – atau yang
dikuasai, itu menderita. Melindungi sekuat tenaga dan upaya, bahkan melindungi
dari diri sendiri. Berani untuk mengorbankan kepentingannya sendiri demi
keberlangsungan kebahagiaan orang-orang yang dikuasai. Itu, baru namanya
kekuasaan.
Dalam konteks ini, hakekat
dari kekuasaan adalah perlindungan dan kepemimpinan. Memimpin yang juga berarti
melindungi, sebab nasib seluruh manusia yang ada di bawah kekuasaannya
bergantung dari bagaimana pemimpin itu menjalankan fungsinya. Jikalau ada
pemimpin yang tidak melindungi, sama halnya kita dipaksa untuk masuk ke dalam
api. Kepemimpinan yang tidak melindungi sama halnya dengan pembinasahan,
pembantaian dan itu bukan esensi dari kepemimpinan dan kekuasaan.
Manusia yang tidak
mampu melawan dirinya sendiri dapat dipandang sebagai sebagai manusia lemah,
sebab tidak mampu menguasai (memimpin) dirinya sendiri. Lantas, bagaimana bisa
diandalkan untuk memimpin orang banyak?
Prabu Damar Maya
beraktivitas dalam rangka menjalankan sistem kepemimpinannya, bertindak
menghalau invansi Prabu Baka. Bersebab itu, Prabu Damar Maya mengutus anaknya
sendiri, Bandung Bondowoso untuk berperang. Maju dan mempertaruhkan nyawa demi
keselamatan rakyat Pengging dari kekuasaan Prabu Boko yang merusak. Sebab,
dalam cerita ini digambarkan mengenai hasil dari kekuasaan yang merusak yang
disimbolkan melalui kerajaan Boko. Diceritakan, rakyat Boko mengalami
kesengsaraan karena dipaksa mengikuti nafsu rajanya ketika berambisi
menaklukkan Pengging.
Dari fenomena ini dapat
kita lihat bagaimana peran Prabu Boko yang tidak mampu menjadi pemimpin, toh
walau memiliki kekuasaan. Dan ketika ada seorang pemimpin yang hidup enak,
berlimpah, bahagia, bahkan menjadi tambah gemuk, namun kondisi rakyatnya
kembang kempis, sehari makan lalu sehari tidak makan, maka pemimpin seperti ini
bukanlah seorang pemimpin. Dia adalah Prabu Boko yang menitis dalam diri
pemimpin.
Meskipun Tuhan Semesta
Alam telah menunjuk seseorang itu menjadi pemimpin, tidak lantas seorang Prabu
berhak untuk menjalankan pemerintahan dengan sewenang-wenang. Membiarkan rakyat
yang dititipkan Tuhan Semesta Alam untuk jatuh di dalam penderitaan sama halnya
dengan menghina kemudian menantang pemilik rakyat itu, yang juga pemilik
kekuasaan yang sebenarnya: Tuhan.
Perlu kita memahami,
bahwa kepemimpinan yang dititipkan Tuhan Semesta Alam adalah kepemimpinan yang
berhati nurani, bukan bernafsu naluri. Ibaratnya, meskipun seorang Prabu harus
mati, hal yang terpenting adalah keselamatan rakyatnya.
Bandung Bondowoso
memang sudah memenangkan peperangan, pun akhirnya dengan sendirinya mendapatkan
kekuasaan. Kekuasaan atas wilayah dan kerjaan Boko yang sudah berada di bawah
kakinya. Sampai akhirnya, Bandung Bondowoso menemukan perempuan cantik, langsing
dan cantik bernama Roro Jonggrang. Melalui pertemuan ini, Bandung Bondowoso
merasa mendapatkan giliran untuk menguasai kekuasaan, yang secara tidak langsung
menempati posisi Prabu Boko yang sudah dikalahkan.
Lagi-lagi, manusia yang
berkuasa berusaha memanfaatkan kekuasaan itu untuk memenuhi hasrat diri yang
termanifestasikan ke dalam simbol, yaitu Roro Jonggrang itu sendiri. Saya
membaca bahwa keberadaan Roro Jonggrang merupakan pengejawantahan dari hasrat
manusia. Yang mana selalu menginginkan hal yang indah, menyenangkan, dan tentu
saja nikmat. Aspek ini merujuk pada keinginan akan kesenangan duniawi, yang
mana kecantikan Jonggrang memancar dari tubuh (duniawi) yang ditangkap oleh
pandangan (baca: ranjau hawa nafsu) Bandung Bondowoso.
Bandung Bondowoso
berhadapan dengan keinginannya sendiri, untuk menikahi (baca juga: menikmati)
kecantikan Jonggrang yang menggiurkan dan menggairahkan. Untuk mencapai hasrat
itu, Bandung Bondowoso dihadapkan pada dua syarat yang harus terpenuhi dalam
rangka mendapatkan kenikmatan duniawi.
Pertama, mengenai
pembuatan Sumur Jolotunda yang mana dapat dipahami sebagai lubang gelap dari
keinginan (nafsu) manusia yang menjebak. Seperti ketika Bondowoso memasuki sumur
Jolotundo, langsung dikubur oleh Patih Gupolo atas perintah Jonggrong.
Bondowoso sadar bahwa dirinya telah dipermainkan namun masih saja terbujuk hawa
nafsu untuk membuat seribu candi, sebagai persyaratan yang kedua. Seribu candi
yang diinginkan Jonggrang dapat kita maknai sebagai seribu keinginan manusia.
Pertanyaannya, kenapa
Jonggrang harus curang yang jutru membuat seribu candi tidak selesai?
Inilah, penghianatan
dari bujuk rayu keinginan (nafsu) manusia. Bondowoso hanya bisa menyelesaikan
999 buah candi, karena keinginan manusia tidak pernah selesai sehingga
Jonggrang menyiasati agar tidak genap seribu. Kalau misalkan saja sudah genap
seribu candi, berarti keinginan manusia telah selesai, paripurna, namun sifat
dari keinginan manusia itu sendiri tidak pernah selesai sampai mati, sehingga
sikap Jonggrang dapat kita pahami.
Nah, keadaan ini nampaknya
disadari Bandung Bondowoso yang menyelesaikan keinginannya dengan merubah Roro
Jonggrang menjadi candi yang keseribu. Artinya kesenangan (hawa nafsu) harus
dibunuh untuk mencapai kekuasaan yang sebenarnya, karena sebelum keinginan
manusia itu mati, tidak akan mencapai kekuasaan yang sebenarnya, bersebab diri
manusia itu sendiri masih dibawah kekuasaan hawa nafsu (keinginan).
Nah, itulah yang
dipesankan Nabi, bahwa memerangi hawa-nafsu, diri manusia sendiri adalah perang
terbesar setiap manusia. Sekian dulu kisanak, sampai jumpa pada tulisan
selanjutnya. Nuwun.
0 on: "Prambanan : Ambisi Kuasa, Pengkhianatan dan Feodalisme Jawa"