Akarasa – Selamat
datang kerabat akarasa. Jogja Istimewa, tidak berlebihan memang slogan untuk
kota pelajar dan budaya ini. Beruntung saya hidup ditengah-tengah warga Jogja
yang majemuk, namun masih mengakar akan budayanya. Jujur, saya bersyukur untuk
hal ini.
Pada judul di atas,
jika kisanak orang Jawa khususnya tentu tidak asing toh. Iya bener, salah satu
tokoh dalam jagad perkeliran wayang kulit. Nah, inilah salah satu istimewa-nya
Jogja yang tidak akan kisanak temui didaerah lainnya. Di tanah lahir saya,
tontonan wayang kulit ini hanya bisa ditemui dalam helatan hajatan atau hari
jadi kabupaten saja. Di sini, pagelaran wayang kulit adalah agenda rutin setiap
dua minggu sekali, tepatnya di gedung Dwi Abad, utaranya Alkid (alun-alun
kidul).
Saya pribadi tidak
begitu tahu dengan tokoh-tokoh yang ada dalam pertunjukkan wayang kulit, hanya
beberapa saja. Taruhlah dalam hal ini saya masih belajar untuk menikmati cerita
dalam lakon pewayangan. Jujur harus saya katakan, sejauh ini saya baru bisa
menikmati pertunjukkan wayang dalam adegan goro-goro.
Maksudnya, puno kawan
akan keluar setelah adanya ‘goro-goro’ yang disebut oleh ki dalang sebagai
zamannya gonjang ganjing dan seterusnya. Sesudah hilangnya zaman goro-goro
tersebut maka muncullah sang punokawan.
Bagi saya adegan goro-goro
sangat menarik karena banyak sekali pesan moral yang disampaikan oleh sang
dalang lewat tokoh punokawan. Punokawan ini dikisahkan sebagai pengasuh
sekaligus penasihat para kesatria dalam pementasan kisah-kisah Mahabharata dan
Ramayana.
Karena merupakan tokoh
asli ciptaan pujangga Jawa, maka tentu saja kita tidak akan menemukan nama
punokawan dalam naskah asli Mahabharata ataupun Ramayana yang berbahasa
Sansekerta. Tokoh punakawan adalah merupakan bapak dan anak-anaknya, dalam hal
ini Semar adlah bapak dari Gareng, Petruk, dan Bagong. Menurut salah satu
literatur disebutkan bahwa sesungguhnya Gareng, Petruk dan Bagong bukanlah anak
kandung Semar. Gareng sebenarnya adalah putra seorang pendeta yang dikutuk dan
Semarlah yang telah berhasil membebaskan kutukan tersebut.
Petruk sendiri
sebenarnya adalah putra seorang raja bangsa Gandharwa. Sedangkan Bagong
tercipta dari bayangan Semar berkat sabda sakti Resi Manumanasa, leluhur para
Pandawa. Namun demikian hanya tokoh Semar saja yang selalu hadir di setiap
lakon apapun. Baik itu dalam pewayangan Jawa Tengah, pewayangan Sunda, ataupun
pewayangan Jawa Timuran.
Lantas, apa hubungannya
dengan judul di atas, Seksualitas dalam Falsafah Tokoh Punokawan?
Menjawab pertanyaan ini
tentu harus mateg aji-aji ngelmu kirotoboso, yaitu satu ngelmu
otak-atik-gathuk-nya wong Jowo. Nah, dari nama-nama punokawan inilah nanti kita
akan ketemu dengan faksafah seksologi atau dalam khasanah Jawa disebut ajimak
saresmi. Penasaran? Mari kira otak-atik kata punokawan ini. Namun pastikan
dulu, kisanak adalah 18+.
Petruk kalau dikirotoboso-kan
berarti ngempit….ruk. Maksudnya perempuan menutupi atau menjunjung tinggi mahkota
kewanitaannya. Mahkota tersebut tidak akan ia berikan kepada siapapun selain kepada
suaminya. Apalagi kepada bajing loncat, tidak akan diberi. Wong barang wadi
(rahasia) namun edi peni (berharga) ya di kempit, dijaga. Makanya dalam bahasa
Jawa istri dipanggil dengan sebutan garwo bukan hanya bermakna sigar tur dowo
(terbelah dan memanjang) namun lebih berarti sigaraning nyowo yang artinya
bagian dari nyawa suami.
Nah kalau sudah
bersuami maka kemudian melakukan ritual ajimak saresmi,atau dalam bahasa
kekinian adalah ML, making love alias bersetubuh. Karena kenikmatan bersetubuh
itu kemudian timbul ‘erangan’…reng…reng…jadilah disimbolkan tokoh Gareng.
Ketika terjadi ritual reng…reng…
ajimak-saresmi atau ber-ml-ria itu terjadi namanya ngobahake bokong jadilah
nama Bagong. Ngobahake bokong itu artinya menggoyang pinggul supaya timbul
kenikmatan.
Ketika suami istri
sudah sampai pada puncaknya dalam mengarungi bahtera permainan cinta itu kemudian
keduanya merasa puas atau marem dan mesem (tersenyum puas) dari sini kemudian
timbullah perlambang Semar.
Itu adalah sebagian
dari penafsiran tokoh punokawan jika dipandang dari sudut kirotoboso nama-namanya.
Tentu masih ada penguraian lain lagi dari sisi perilaku watak masing-masing.
Juga penafsiran berdasarkan ‘falsafah kejawen dalam pengertian-pengertian yang
lain lagi. Namun demikian, kita bahas tentang hal tersebut di lain kesempatan
saja. Sementara sekian dulu. Nuwun.
0 on: "Seksualitas dalam Makna Simbolik Punokawan"