Akarasa – Selamat datang
kerabat akarasa. Lakon Dewa Ruci ini adalah lakon carangan atau sempalan dari
Mahabharata yang boleh dibilang penting dan abot (berat). Seperti lakon lainnya
yang kelas berat, seperti; Lahirnya Kurawa, Pandhawa Moksa, Kumbakarna Gugur,
lakon ini jarang dipentaskan. Sepertinya tidak semua dalang mau dan mampu mementaskannya,
karena lakon satu ini bukan sembarangan.
Lakon ini menjadi
berat, karena cerita di dalamnya mengandung jalan kontemplasi tentang asal dan
tujuan hidup manusia (sangkan paraning dumadi), menyingkap kerinduan akan Tuhan
dan perjalanan rohani untuk mencapaiNya (manunggaling kawula Gusti). Karena
terbilang favorit sekaligus abot, lakon ini banyak sekali variasinya,
tergantung siapa yang menuturkannya dan siapa dalang yang memainkannya.
Dari literasi yang saya
dapatkan, paling tidak ada 40 naskah lakon yang juga disebut sebagai Bima Suci
ini. 19 naskah diantaranya tersimpan di Perpustakaan Universitas Leiden,
Belanda. Sedangkan yang paling terkenal, adalah gubahan pujangga keraton
Surakarta Yosodipuro berjudul "Serat Kidung Dewa Ruci", yang
disampaikan dalam bentuk tembang macapat, dengan bahasa Kawi-Sansekerta dan
Jawa Kuno. Nah, berikut ini saya coba tuturkan buat kisanak pembaca setia
akarasa. Monggo.
Cerita ini terjadi saat
Pandhawa bersama saudara-saudara sepupunya, Kurawa sedang bersama menimba ilmu
pada guru yang sama, yakni Resi Durna atau Kumbayana. Kurawa yang amat
menyadari bahwa tahta kerajaan Astina yang saat itu diduduki ayah mereka,
Destrarastra, adalah sekadar titipan dari ayah Pandhawa, Pandu Dewanata yang
mati muda. Kalaulah nanti Pandhawa telah dewasa, tahta itu harus dikembalikan
kepada mereka. Dan para saudara Kurawa yang berjumlah seratus itu, bakal
lontang-lantung jadi preman.
Karena itu, sejak awal,
Kurawa dengan berbagai jalan berusaha keras untuk melenyapkan Pandawa, halus
ataupun kasar. Sebenarnya juga para Kurawa yang muda, berangasan dan pendek akal itu tidak mampu merancang
tindakan yang kebanyakan jenius itu, tanpa bantuan sang pemikir, Harya
Sangkuni, atau Arya Suman, adik ibunya Gendari, yang diangkat jadi Patih
kerajaan Astina. Wajar saja, sang Paman juga sangat berkepentingan akan
kelangsungan kekuasaan keponakannya kan? Kalau saja Pandhawa dapat menguasai
kerajaan, apa iya dia gak jadi kere?
Dengan akal bulusnya,
Patih Sangkuni berhasil membujuk Resi Durna untuk membantu program Kurawa itu.
Melenyapkan Pandhawa!
Sasaran utamanya adalah
Panhawa si nomer 2, Raden Wrekudara alias Arya Bimasena dan si nomer 3 Raden
Janaka alias Harjuna, 2 orang Pandawa yang kesaktiannya menyundul langit itu. Kalau
2 orang itu sudah ‘gem oper’, yang lain cemen saja. Untuk saat ini, skala
prioritasnya adalah Sang Bimasena, yang punya posisi strategis di Pandawa,
sebagai palang pintu, seperti posisi legenda hidup Bejo Sugiantoro di
Persebaya. Si Bejo, eh salah........ sang Bima yang memang sudah menyelesaikan
sesi latihan ragawinya kemudian diutus sang Guru Resi Durna untuk mencari
"Tirta Prawitasari", air kehidupan, guna menyucikan bathinnya demi
kesempurnaan hidupnya. Benda itu, harus dicari di hutan Tibaksara di gunung
Reksamuka.
Ketika menghadap ibunya,
Dewi Kunti, saudara-saudaranya yang lain mengingatkan bahwa mungkin ini hanya
jebakan Sangkuni. Karena hutan itu sudah terkenal sebagai "alas gung liwang liwung, sato mara,
sato mati" (hutan raya tak tertembus, mahluk yang mencoba masuk 99,99%
modaar). Tapi Bima ngotot dan pede abis, perintah Guru tidak mungkin ditolaknya
meskipun karena itu dia harus menyerahkan jiwanya. Melihat keteguhan hati
anaknya, sang Ibu akhirnya merestuinya.
Sang Bima pun akhirnya
berangkat menjalankan tugas gurunya. Seluruh hutan sudah dijelajahinya, tapi
yang dicari tak ada, malah membangunkan 2 raksasa penunggu hutan Rukmuka dan
Rukmakala yang lagi enak-enak tidur. Perkelahian segera terjadi dan 2 raksasa
itu terbunuh oleh Sang Bima. Menyadari bahwa yang dicarinya tidak ada, Sang
Bima kembali menghadap gurunya. Gurunya yang semula kaget, kok bisa-bisanya ada
mahluk yang keluar hidup-hidup dari hutan Tibaksara itu, lalu menyuruh untuk
melakukan yang lebih sulit.
Tirta Prawitasari itu
harus dicari di kedalaman lautan! Tanpa banyak bertanya apalagi meragukan
perintah sang Guru, Sang Bimasena pun langsung berangkat. Seisi lautan
diaduknya, seekor Naga yang menghalangi jalannya disingkirkannya, tapi yang
dicarinya tidak juga ketemu. Ditengah kebingungannya, dia menemukan mahluk serupa
dirinya dalam ukuran yang lebih kecil, yang meniti ombak lautan, mendekati
dirinya. Mahluk itu memperkenalkan dirinya sebagai Sang Dewa Ruci, sang suksma sejatinya, dirinya yang
sebenarnya.
Pembicaraan antara 2
mahluk inilah yang menjadi inti cerita ini, sayang sekali saya tidak mampu
menguraikannya secara tepat karena ilmu saya yang terbatas. Akhirnya Sang
Bimasena masuk ke dalam wadag Sang Dewa Ruci melalui kuping kirinya, dan
mendapat penjelasan tentang hidup sejatinya. Cerita selesai sampai disini.
Kalaupun ada lanjutannya, paling itu bunganya saja, yakni para Kurawa yang tunggang langgang
dihajar dan tarian kemenangan Sang Bima Sena.
Untuk mendapatkan
"inti pengetahuan sejati" (Tirta Prawitasari) Sang Bima harus
menempuh ujian fisik dan mental sangat berat, (Hutan Tibaksara "tajamnya
cipta"; Gunung Reksamuka, "pemahaman mendalam"). Sang Bimasena
tidak akan mampu menuntaskannya tanpa membunuh raksasa Rukmaka "kamukten,
kekayaan" dan Rukmakala "kemuliaan". Tanpa mengendalikan nafsu
dunianya dalam batas maksimum. Perjalanannya menyelam ke dasar laut diartikan
dengan "samodra pangaksami" pengampunan.
Membunuh Naga yang
mengganggu jalannya simbol dari melenyapkan kejahatan dan keburukan diri.
Pertemuannya dengan Sang Dewa Ruci melambangkan bertemunya Sang Wadag dengan
Sang Suksma Sejati. Masuknya wadag Bima kedalam Dewa Ruci dan menerima Wahyu
Sejati bisa diartikan dengan "Manunggaling Kawula-Gusti", bersatunya
jati diri manusia yang terdalam dengan Penciptanya. Kemanunggalan ini mampu
menjadikan manusia untuk melihat hidupnya yang sejati. Dalam istilah Kejawen
"mati sajroning urip, urip sajroning mati". (mati di dalam hidup, dan
hidup di dalam mati). Ini adalah esensi dari Kawruh Kejawen. Perjalanan tasawuf
untuk menukik ke dalam dirinya sendiri. Nuwun.
Disarikan dari sumber terpilih
0 on: "Tasawuf Jawa dari Lakon Dewa Ruci"