Akarasa – Selamat datang
kerabat akarasa. Suksesi dalam kekuasaan adalah keniscayaan. Dan begitulah
galibnya. Seperti halnya akhir-akhir ini, hampir semua linimasa sosial media
dibanjiri topik tentang suksesi dalam kepemimpinan, pilkada. Benar demikian? Begitulah
faktanya!
Saling menjatuhkan
antar paslon itu hal yang biasa. Bahkan, aroma konspirasi rebut kuasa terlihat
vulgar di permukaan. Orang awam pun paham. Hingga kadang kita sebagai pemilih
jadi mikir, apa mereka (para paslon) itu lupa hakikatnya seorang pemimpin yang
sejatinya adalah ‘jongos’ kita (pemilih/warga) yang memilihnya. Tidak berprasangka
buruk, jangan-jangan ada agenda tersembunyi. Halah wes aaaah intronya.
Membincang tentang
suksesi kekuasaan yang yang lekat dengan intrik seperti sekarang ini sejatinya
adalah ‘lumrah'. Kok lumrah? Ya, jika kita menilik kebelakang, sejatinya perikalu
semacam ini adalah salah satu warisan bangsa.
Jika kita melihat
sejarah bangsa ini, dimana pada masa sistem kerajaan, banyak di suatu kerajaan
yang saling merebut kekuasaan di kerajaan itu, salah satunya yaitu di kerajaan
Singosari terjadi perebutan kekuasaan sampai tujuh keturunan saling membalas
dendam berebut kekuasaan hingga terjadinya beberapa kali peralihan kekuasaan di
Nusantara telah mewarnai panggung sejarah bangsa ini.
Perilaku dari Singosari
ini pun diwarisi oleh dinasti yang berkuasa selanjutnya dalam sejarah kudeta
(pemberontakan) besar terjadi pada era Majapahit, Demak, dan Banten. Bahkan,
kehancuran kerajaan-kerajaan besar (Sriwijaya, Majapahit dan Mataram) adalah
lebih disebabkan karena perilaku korup dari sebagian besar para bangsawannya.
Sriwijaya diketahui berakhir karena tidak adanya penerus kerajaan sepeninggal
Balaputra Dewa.
Majapahit hancur karena
adanya perang saudara (perang paregreg) sepeninggal mahapatih Gajah Mada.
Sedangkan Mataram lemah karena dipecah belah dan dipreteli giginya oleh
Belanda. Nah, pada kesempatan kali ini saya akan ajak kisanak semua untuk
melihat fragmen sejarah intrik dari Majapahit yang terwariskan hingga hari ini
tersebut.
Seperti yang kita tahu dalam
lembar sejarah, setelah dua abad lebih berdiri kokoh sebagai imperium yang
mempersatukan nusatara dalam satu panji, akhirnya Majapahit runtuh juga. Babad Tanah
Jawi mencatat titi mangsa dalam suryasengkala ‘sirna ilang kertaning bumi’
(hilang amblas ditelan bumi). Artinya, Majapahit runtuh sekitar 1478 Masehi. Tentu
saja dalam hal ini keruntuhan tersebut bukan tanpa sebab. Beberapa literasi
menyebutkan karena perebutan kekuasaan, hingga menyebabkan terjadinya perang
paregreg.
Sebelum terjadinya perang
paregreg, aroma perebutan kekuasaan memang sudah tercium sepeninggal raja Hayam
Wuruk pada 1389 Masehi. Perseteruan
terjadi antara Wikramawardana (menantu Hayam Wuruk) dan Wirabumi (putra
Hayam Wuruk dari selir). Beberapa kelompok saling menggalang kekuatan demi
merebut posisi strategis di kerajaan. Kondisi ini semakin menyulut permusuhan
dalam lingkup keluarga Hayam Wuruk. Hingga akhirnya, kerajaan terpecah menjadi
Kedaton Wetan dan Kedaton Kulon.
Bisa ditebak kemudian,
pucak ketengangan dua kubu yang berkepentingan tersebut akhirnya menyulut
terjadinya perang paregreg pada 1401 -1406. Semenjak saat itu, Majapahit
semakin melemah. Pejabat kerajaan tak peduli lagi nasib negerinya. Korupsi
terjadi dimana-mana, persis seperti yang terjadi di negeri kita saat ini.
Gunung Penanggungan menjadi saksi bisu semua kekacauan ini. Gunung yang berada di utara gunung Welirang ini dulunya dijadikan tempat persembunyian Erlangga dan Mpu Sindok dari serangan pemberontak Worawari. Di gunung ini pula, keduanya mengatur strategi untuk melawan para pemberontak.
Gunung Penanggungan menjadi saksi bisu semua kekacauan ini. Gunung yang berada di utara gunung Welirang ini dulunya dijadikan tempat persembunyian Erlangga dan Mpu Sindok dari serangan pemberontak Worawari. Di gunung ini pula, keduanya mengatur strategi untuk melawan para pemberontak.
Sementara, ditengah
carut-marut dan krisis multidimensi yang melanda, Majapahit diterpa rentetan
bencana yang menyebabkan banyak kemunduran. Salah satu yang disebutkan dalam
kitab Pararaton adalah 'Pagunung Anyar' yang maksudnya adalah, erupsi gunung
lumpur ala semburan Lusi. Bencana yang terjadi di Jombang, Mojokerto dan
Bangsal ini menyebabkan mundurnya fungsi Delta Brantas. Anehnya, semua bencana
ini terjadi saat negeri dalam kondisi kacau sepeninggal Hayam Wuruk.
Bertelekan dengan semua
kondisi diatas, apakah yang terjadi pada 7 (tujuh) abad silam ini persis seperti
yang terjadi Indonesia saat ini? Monggo dijawab masing-masing!
Masih ingat dengan
Sumpah Palapa Gajah Mada yang legendaris itu kan. Ya, Gajah Mada berdiri tegap
di tengah-tengah rakyat Majapahit dan dengan lantang mengucapkan sumpahnya. "Jika
aku telah mengalahkan Nusantara, aku (baru akan) melepaskan puasa. Jika aku
telah mengalahkan Gurun, Seram, Tanjung Pura, Haru, Pahang, Dompo, Bali, Sunda,
Palembang, Tumasik, demikianlah aku (baru akan) melepaskan puasa." Dalam
bahasa lain, Gajah Mada selama belum menyatukan dan mengalahkan
kerajaan-kerajaan lain di dunia, maka ia tidak akan berhenti berperang.
Kemudian dengan lantang
pula ia mengingatkan, ”Aku Gajah Mada, memerintahkan kepada seluruh keluarga
besar kerajaan dan rakyat Majapahit, tolong dengarkan baik-baik dan camkan!
Sampaikan kepada keluarga dan anak-anak cucu kalian bahwa Majapahit besar bukan
karena Gajah Madanya, Majapahit besar bukan karena raja dan kekuatannya, tapi
Majapahit juga besar karena pasukan Gajahnya.” Suara Gajah Mada lantang,
membumi, memekik setelah memproklamasikan Sumpah Palapa.
Pernyataan dan Sumpah
Palapa tersebut dikumandangkan setelah memenangkan perang terhadap Kerajaan
Siam, yang sekarang bernama Thailand. Kemenangan Majapahit membawa perubahan
besar terhadap kemajuan kerajaan Majapahit. Beberapa bidang berkembang dengan
pesat. Diantaranya, kian majunya bidang perdagangan, bidang pertahanan dan strategi
perang, serta yang tak kalah pentingnya adalah bidang kesenian dan kebudayaan.
Oleh-oleh kemenangan
atas Siam, pasukan Majapahit membawa banyak pampasan perang antara lain 300
ekor Gajah Putih, beberapa ilmuan (ahli) perang gerilya, beberapa ahli bidang
ilmu seni dan budaya, dan seperangkat gamelan. Kekalahan Siam tanpa banyak
korban jiwa. Beberapa hari pertempuran telah membuat raja Siam menyerah dan
tunduk di bawah kekuasaan kerajaan Majapahit.
Raja dan permaisuri
Siam serta beberapa keluarga dan pejabat tinggi kerajaan selamat. Kemenangan
kerajaan Majapahit atas Siam diabadikan dalam prasasti bernama “P̣hāy tı̂
r̀āngkāy læa cit wiỵỵāṇ” (dalam bahasa Wannayuk, Thai) yang artinya tunduk jiwa
dan raga demi kejayaan Majapahit.
Gajah Putih hasil
rampasan perang dari Siam merupakan aset yang sangat berharga bagi Majapahit.
Gajah Mada dengan pasukan Bhayangkaranya telah mengantarkannya menjadi
mahapatih kerajaan Majapahit yang paling ditakuti oleh kerajaan mana pun.
Ke-300 gajah putih tersebut menjadi bagian penting dari pasukan Bhayangkara.
Pasukan gajah putih selalu dalam posisi terdepan dalam pasukan. Selalu menjadi
penghancur utama kekuatan musuh.
“Seandainya Gajah Mada
tidak berinisiatif untuk membawa kawanan gajah putih itu, tak mungkin kita
mempunyai gajah di masa depan!” tutur Tribuwana Tunggadewi kepada para keluarga
istana. Kemudian ia melanjutkan, “Gajah di masa mendatang akan menjadi simbol
kekuatan, kebesaran, kejayaan, dan tangguhnya peperangan. Suatu hari nanti akan
kuciptakan sebuah alat permainan strategi perang yang di dalamnya ada unsur
raja, permaisuri, mahapatih, menteri, kuda, benteng, dan prajurit pada sebuah
papan permainan.”
“Apakah nama alat
permainan itu, prabu?” salah seorang kerabat istana bertanya.
“Entah akan kita beri
nama apa permainan itu nanti, yang jelas siapa pun yang ahli dalam permainan
itu akan menjadi menteri atau mahapatih yang ulung dan cerdas dalam strategi
peperangan.”
Hebatnya keistimewaan
gajah tersebut memberikan kekuatan besar pada kerajaan Majapahit memperbesar wilayah kekuasaannya.
Seperempat bagian bumi tunduk patuh di bawah kekuasaan Majapahit.
Kejayaan Majapahit
kemudian, beralih kepada raja berikutnya yakni Hayam Wuruk. Pada masa Hayam
Wuruk perihal gajah ini lebih berkembang lagi keistimewaannya. Gajah pada masa
itu kemudian menjadi menjadi simbol kerajaan, arca, dan stempel bahkan bendera
peleton pasukan kerajaan.
Gajah juga menjadi nama
para menteri, para patih, menjadi lima patok kerajaan Majapahit yang tersebar
di lima wilayah yaitu patok Sadeng, patok Ujung Galuh (sekarang Surabaya),
patok Singasari, Tumapel, Doho (Kediri), dan kelima yang merupakan pancernya
adalah di Trowulan, pusat kerajaan Majapahit.
Kelima patok tersebut
merupakan tiang besar tempat menyancang gajah. Kelimanya merupakan simbol keistimewaan
angka 5. Patok-patok tersebut juga sebagai tetenger atau tanda bahwa kerajaan
Majapahit tidak akan pernah tergeser oleh kekuatan apa pun. Sosok gajah juga
kemudian dijadikan lambang pada prasasti-prasasti yang diterbitkan oleh
kerajaan Majapahit secara resmi. Demikianlah tutur yang disampaikan Hayam
Wuruk.
Nama besar Gajah Mada
dengan pasukan gajah dan Bhayangkaranya lebih lantang terdengar dan terkenal
dibanding dengan raja Majapahit. Gajah Mada dan Hayam Wuruk menjadi awal
sejarah perseteruan dari kalangan internal kerajaan Majapahit. Dimulailah
peperangan antar saudara yang merubuhkan lima patok cancangan gajah. Banyak
pemberontakan terjadi dipicu dari dalam istana. Pemberontakan Ronggolawe,
pemberontakan Ra Kuti, dan pemberontakan Lembu Sora.
Pemberontakan oleh
Lembu Sora inilah yang akhirnya menenggelamkan keistimewaan gajah yang melekat
pada nama Gajah Mada dan gajah yang menjadi patok kekuatan kerajaan Majapahit
di lima wilayah. Walaupun perang adu kekuatan tetap dimenangkan Gajah Mada selaku
mahapatih kerajaan Majapahit, tapi perang secara spiritual telah dimenangkan
oleh Lembu Sora.
Saat mahapatih Gajah
Mada menancapkan sebilah keris tepat di dada Lembu Sora, maka saat itulah Lembu
Sora mengutuk Majapahit dan Gajah Mada dengan kutukan.
“Seksenono yo, poro
danyang sing mbaurekso gunung Kelud iki yen Kelud njeblug Blitar bakale dadi
latar, Tulungagung bakale dadi kedung, Kediri bakale dadi kalim Sidokare
(sekarang bernama Sidoarjo) bakale dadi rowo, lan Ujung Galuh (Surabaya) mbalik
nyang asale.”
Artinya: “Saksikan ya,
para lelembut yang menguasai gunung Kelud. Kelak ketika gunung Kelud meletus,
Blitar akan menjadi pelataran; Tulungagung akan menjadi danau; Kediri menjadi
kali; Sidokare menjadi rawa. Ujung Galuh kembali ke asalnya.”
Pada masa itu, hanya
ada dua kerajaan besar yang ditakuti dunia, yakni kerajaan Majapahit dan
Tiongkok, Cina. Namun, sejak kutukan Lembu Sora, lima patok cancangan gajah,
seperti yang disebutkan Lembu Sora, runtuh. Kejayaan Majapahit yang ratusan
tahun, runtuh dalam lima tahun dalam perang paregreg. Majapahit yang besar itu,
akhirnya jatuh lumpuh dengan berdirinya kerajaan Demak. Sementara sekian dulu
kisanak, lain waktu kita lanjutkan lagi. Nuwun.
0 on: "Warisan Intrik Suksesi Kekuasaan dari Sejarah Runtuhnya Majapahit"