Akarasa – Selamat
datang kerabat akarasa. Anak bajang? Ada yang tau ndak kira-kira. Tapi
setidaknya, bagi kita orang Jawa khususnya dan yang sudah punya anak, biasanya
tak asing dengan istilah tersebut. Pasalnya, si bocah bajang ini seringkali
menjadi terdakwa ketika anak kita rewel. Terutama menjelang maghrib.
Tetangga saya, hanya
terpaut dua rumah, beberapa waktu yang lalu mengalami hal serupa. Anaknya rewel
menjelang maghrib hingga selepas isya’. Wajar memang anak bayi rewel. Tapi
kalau nangisnya lama, terus piye jal? Umumnya, sebagai orang tua tentu panik. Nah,
dalam kaitan anak tetangga saya ini, lagi-lagi terdakwanya adalah si anak
bajang tersebut. Bukan tanpa sebab, simbahnya bayi tersebut pas cucunya lagi
puncak rewel-rewelnya sempat melihat penampakan anak kecil di dapur. Meski
sekilas, digambarkan penampakan tersebut seusia anak baru jalan pada umumnya
namun kulitnya agak kemerahan.
Terlepas dari benar
tidaknya mitos dan kejadian di atas, perihal anak atau bocah bajang ini cukup
menarik untuk kita perbincangkan. Bagaimana, setuju?
Baik, kita mulai dulu
membincang tentang anak bajang ini dalam dunia pewayangan. Dalam jagad wayang,
anak bajang ini dipersonifikasi sebagai anak cacat. Secara fisik kerdil, tetapi
dibalik ketidaksempurnaannya tersebut memiliki kemauan yang kuat, keras dan
luar biasa.
Bagi sampeyan yang suka
nonton wayang tentu ingat ketika babak goro-goro akan dimulai, di mana ada
salah satu jineman atau tetembangan yang menggambarkan semangat bocah bajang
ini. Baitnya seperti ini, “bocah bajang
nggiring angin, anewu banyu segoro, ngon ingone kebo dhungkul, sa sisih sapi
gumarang”, yang kemudian disusul munculnya punokawan semar.
Sederhana memang bait
tetembangan di atas, namun sejatinya cukup filosofis. Ya, dalam
ketidaksempurnaannya, si anak bajang mempunyai cita-cita yang kuat untuk
menguras samudara seperti pada bait anewu banyu segara. Ada kebodohan dalam
diri si anak bajang yang sekaligus juga mempunyai kepintaran dan keberanian,
hal ini digambarkan dalam bait jineman ngon
ingone kebo dhungkul, sa sisih sapi gumarang. Kebo dhungkul itu artinya
kerbau yang bodoh. Sedangkan pasangannya, sapi pintar yang bertanduk panjang
dan cukup mempunyai keberanian.
Nah, sekarang kita
kembali ke dunia nyata. Terlepas kita percaya atau tidak percaya, karena
tulisan ini tidak hendak membahas tentang perdebatan, anak bajang ternyata
bukan hanya ada dalam jagad pewayangan sepeti di atas. Di kehidupan nyata, anak
bajang pun ada. Hanya saja, tidak sembarang orang bisa melihatnya secara kasat
mata. Karena yang jelas dunia anak bajang berada di dunia alam gaib.
Dalam kepercayaaan
tradisional masyarakat Jawa, anak bajang ini adalah berasal dari janin yang
luruh akibat keguguran atau sengaja digugurkan dengan aborsi. Eksistensi janin
yang gugur atau digugurkan inilah yang kemudian sering menimbulkan gangguan
terhadap orang tuanya atau orang yang dianggapnya bisa mewakili sebagai orang
tuanya.
Kepercayaan tradisional
masyarakat Jawa meyakini, janin yang gugur atau sengaja digugurkan itu, sebenarnya
tidak mati. Mereka memiliki kehidupannya sendiri, setelah terlahir di dunia
dalam keadaan tidak bernyawa. Bahkan, mereka ini akan terus tumbuh dan
berkembang sebagai bagian dari entitas gaib yang spesifik. Kalaupun toh
kemudian si anak bajang ini suka mengganggu, bisa jadi adalah bentuk protes
terhadap orang tua yang telah tega dan menyia-nyiakannya. Biarpun tidak nampak,
mereka tetap hidup selayaknya hidup di dunia nyata, setidaknya demikianlah
kepercayaan orang Jawa jaman dulu. Selanjutnya semua tergantung pada kita untuk
menyikapinya. Nuwun.
0 on: " Anak Bajang : Antara Mitos dan Kenyataan"