Akarasa - Bagai
lempengan tembaga terbakar, langit timur memuntahkan matahari dari rahim malam.
Manakala beburung menyanyikan cinta pada semesta. Sungai di tepian rimba Tegasara
masih mengalirkan kasih bumi dari hulu hingga hilir. Muara, di mana
persetubuhan gunung dan samudera belum usai dituliskan dalam kitab sejarah
alam.
Tanpa termangu, Arjuna
yang diikuti punakawan memasuki rimba Tegasara. Tiada terpandang, selain
bayang-bayangnya sendiri. Tiada terdengar, selain suara hatinya sendiri. Tiada
tercium, selain aroma kasturi yang ditebarkan angin. Tiada terlafalkan, selain
doa-doa yang mengalir bersama darah dan napas. Tiada terasakan, selain udara
yang melonggarkan rongga dada.
Setiba di tepian
Sendang Pancawarna, Arjuna menghentikan langkah. Duduk di sebongkah batu di
bawah beringin putih yang berdampingan dengan pohon belimbing. Hatinya merasa
terhibur, ketika Semar melantunkan tembang Ilir-Ilir. Tembang yang pernah
dilantunkan Sunan Kali ketika bersua di tepian tempuran sungai Prayaga dan
Erawati.
“Ilir-ilir, Ilir-ilir,
tandure wus sumilir. Tak ijo royo-royo, tak sengguh temanten anyar. Cah angon,
cah angon, penekna blimbing kuwi. Lunyu-lunyu penekna kanggo masuh dodotira.
Dodotira, dodotira kumitir bedhah ing pingggir. Donmana, jlumatana, kanggo seba
mengko sore. Mumpung gedhe rembulane, mumpung jembar kalangane. Ya suraka,
surak hiya.”
“Tembang
itu mengingatkanku pada Kanjeng Sunan Kali. Tapi, aku belum paham makna yang
tersirat di dalamnya. Apakah Kakang Semar mau membabarkan maknanya padaku?”
“Bleg
gek dhuweg ugeg-ugeg sadulita. Hemel, hemel….”
“Jangan
ucapkan kata-kata jorok itu, Pak.” Bagong menyela dengan
suara lantang.
“Itu
bukan ucapan jorok, Gong.” Gareng memberi penjelasan seperti
guru kepada siswanya.
“Ucapan
itu sudah menjadi latah Bapak Semar.”
“Mengucapkan
kata-kata harus tahu maknanya. Jangan sampai orang tua mengucapkan kata-kata
seperti anak-anak jalanan. Bangga menyanyikan lagu dari tanah sabrang, namun
tak tahu maknanya. Memalukan!”
“Makna
apa yang kamu tangkap dari ucapan itu, Gong?” Petruk
melibatkan diri dalam pembicaraan.
“Kalau
kamu merupakan bayangan Bapak Semar, pasti bisa menjelaskan maknanya.”
“Ketahuilah
Truk. Kalau bleg itu suara orang yang menjatuhkan tubuhnya di atas amben. Geg
artinya duduk terdiam. Ugeg-ugek….”
“Sudah!
Sudah!” Semar membentak.
“Jangan
kamu dengarkan ocehan Bagong! Dasar pikirannya hanya sarang kemesuman.”
“Bagaimana
Kakang Semar? Apakah Kakang dapat menjelaskan makna di balik tembang
Ilir-Ilir?”
“Ketahuliah,
Gus. Tembang Ilir-ilir memiliki makna luhur pada manusia. Tembang itu
mengingatkan pada manusia untuk selalu berjuang. Mengingat harapan akan selalu
tampak di depan mata. Namun bila cita-cita telah tercapai, hendaklah manusia
tidak melupakan Allah dengan menunaikan rukun Islam, sholat lima waktu, dan tak
henti memperbaiki diri. Hanya cara demikian, manusia niscaya mendapatkan kunci
surga di langit lapis sembilan.” Mendengar sabda Semar,
Arjuna menundukkan kepala yang tepat di bawah matahari. Terdiam dalam
keheningan.
Namun sewaktu akan
melangkah ke tepian sendang Pancawarna untuk berwudlu, seekor harimau putih
melompat secepat kilat. Menyambar dan membawanya ke dalam sendang. Menyaksikan
tubuh Arjuna lenyap di dalam sendang, punakawan berteriak-teriak meminta
pertolongan. Tak hanya Gareng, namun juga Petruk dan Bagong.
“Bagaimana
nasib Ndara Arjuna, Pak? Lebih baik aku pamit mati. Masuk ke dalam sendang.
Ketimbang dihukum pancung di alun-alun Amarta.”
“Jangan,
Reng! Istrimu tengah hamil.”
“Lantas
bagaimana, Truk.”
“Biar
Bagong saja yang menyelam ke dalam sendang.”
“Kalau
aku mati, kamu pasti senang ya? Karena hutangmu denganku langsung lunas.”
“Sudah!
Sudah!” Semar melerai pertikaian ketiga anaknya.
“Kalian
semua tak perlu menyelam ke dalam sendang!”
“Lantas
bagaimana dengan nasib Ndara Arjuna? Nasib kita, Pak?”
“Kita
serahkan pada Tuhan. Bila Ndara Arjuna tak timbul dari Sendang selama tigapuluh
hari tiga puluh malam, kita pulang ke Amarta. Apapun nasib yang akan menimpa,
kita harus terima.” Gareng, Petruk, dan Bagong sontak
terdiam.
Dengan tubuh terasa tak
bertulang, mereka duduk bersandar pada pohon beringin putih. Sementara Semar
masih berdiri di tepian sendang. Sesudah menyaksikan air sendang tidak sepenuh
merah, wajahnya secerah matahari yang oleng ke barat. Merangkak perlahan menuju
sandyakala.
Di dasar sendang
Pancawarna bagai sebuah ruang kosong. Tak berpenghuni, selain makhluk-makhluk
aneh yang mengepung Arjuna. Raksasa hitam, naga merah, putri bertaring gading,
dan harimau putih. Dengan mata api, mereka menatap Arjuna. Lidah mereka
menjulur-julur ingin memangsanya.
“Siapakah
kalian ini?” Arjuna bertanya dengan nada rendah.
“Aku
belum mengenal kalian.”
“Kami
saudaramu sendiri.”
“Apakah
kalian Supiah, Mutmainah, Amarah, dan Aluamah?”
“Benar.”
“Mengapa
kalian murka?”
“Sejak
fajar menyingsing di ufuk timur, kamu telah menyia-nyiakan hidup kami. Tubuh
kami terbakar api puasamu. Kami lapar. Butuh makan.”
“Bila
kalian ingin makan, tunggu sandyakala tiba!”
“Permintaan
kami tidak dapat ditawar-tawar.”
“Aku
tak dapat memenuhinya.”
“Bila
tidak, kami akan membunuhmu.”
“Bunuhlah
bila kalian mampu!”
Raksasa hitam, naga
merah, putri bertaring gading, dan harimau putih itu semakin murka. Dengan
mulut menganga dan kuku-kuku seruncing ujung belati, mereka segera menerkam
Arjuna. Namun sebelum menjamahnya, mereka lenyap. Merasuk ke dalam raga sang
pekik yang sontak berubah menjadi ikan nila. Tak ada yang disantap saat berbuka
dan saur, selain lumut dan sari tirta.
Tigapuluh hari
tigapuluh malam; Semar, Gareng, Petruk, dan Bagong menunggu di bawah beringin
putih tepian sendang Pancawarna. Bersama rembulan tanggal pertama, Arjuna
muncul dari pusar sendang. Berbinar-binar wajahnya, sebagaimana wajah punakawan
itu. Bersama tembang Ilir-Ilir yang dikidungkan seluruh punakawan, Arjuna
merasa bertakhta di puncak Gunung Thursina. Namun ada yang tak dimengerti
sebelum pulang ke Amarta. Sendang Pancawarna memekarkan teratai biru bermahkota
cahaya emas-keperakan. Nuwun.
Adaptasi dari Kedaulatan Rakjat
0 on: "Arjuna Ketemu Saudara Tua"