Akarasa – Selamat datang
kerabat akarasa. Entah berapa tahun saya tidak pernah menjamah sepeda onthel,
apalagi menggendarainya. Lagi pula saya tidak punya onthel. Sekali-kalinya saya
pernah membeli sepeda onthel tahun 2000 an, itu pun sepeda jengki merek
Phoenix. Bukan sepeda gunung yang modis itu.
Tadi malam, dan
kebetulan sepedanya Mbak Sur ditinggal di rumah, karena sungkan sama tetangga
terpaksa saya ngonthel untuk keperluan membeli sesuatu di Indomaret. Namanya ngonthel,
tentu dalam perjalanan kita lebih jelas melihat sekeliling. Termasuk melihat
bayangan kita ngonthel karena ditimpa lampu jalan.
Ya, setiap melewati
lampu pinggir jalan, bayang-bayang sontehl yang saya kendarai datang. Lalu
dengan cepat bayang-bayang itu akan berjalan ke belakang, ketika onthel maju ke
depan. Hingga kalau diperhatikan seksama, bayang-bayang itu selalu berjalan
menuju belakang, sekalipun ketika dia datang dari arah depan.
Ketika lampu jalan ada
di depan, bayangan itu belum nampak. Begitu masuk area nyala lampu, bayangan
pun muncul. Dan saat sepeda melewatinya, bayangan akan bergerak ke belakang.
Tentu tepatnya seolah bergerak ke belakang. Karena yang sebenarnya terjadi
adalah onthel-lah yang tengah maju ke depan.
Hingga saya menuliskan
ini kok saya jadi mikir, bahwa mungkin sebaik-sebaik kita adalah jangan pernah
mau jadi bayang-bayang. Karena ketika si obyek itu berhenti, bayangan memang
akan sama dengan obyeknya. Persis, tiada beda. Tapi ketika si obyek mulai
bergerak, bayangan justru akan berubah langkah menuju ke belakang. Dan ketika
obyek maju, bayangan akan bergerak mundur. Begitu seterusnya, nasib kita kalau
mau hanya sekadar menjadi bayang-bayang.
Saya jadi teringat
beberapa hari lalu, ketika terjadi pemadaman listrik. Ketika listrik mati, maka
gelaplah seisi rumah. Sebagai penerang, unda menyalakan sebatang lilin. Lilin diletakkan
di tengah ruangan. Saya, unda, dan si ragil duduk mengelilinginya. Mengitari
lilin yang meliuk-liuk nyalanya dihembus angin dari jendela.
Anak saya ketawa ketika
melihat ke dinding kamarnya. Di belakang saya, ada bayangan yang besar sekali.
“Ayah. Bayangan hantu!”
kata anak saya.
Saya pun menoleh ke
belakang. Benar, ada bayangan yang besar sekali, dengan punggung melengkung
menyentuh ujung plafon. Dan kepalanya memenuhi seluruh plafon ruangan. Saya pun
tertawa. Melihat bayangan ‘hantu’ itu. Karena itulah bayangan tubuh saya
sendiri.
Saya pun kemudian
mengulurkan telapak tangan ke dekat nyala lilin. Dan anak saya kusuruh untuk
melihat ke dinding. Dengan genggaman tangan yang dibentuk sedemikian rupa,
bayangan di dinding berubah membentuk kepala bebek, kepala ular, kepala
harimau, bahkan gurita. Anak dan undanya tertawa-tawa. Melihat bermacam
binatang bergerak-gerak di dinding kamarnya.
Dengan dibantu undanya,
anak saya mencobanya sendiri. Tangannya diulurkan ke dekat nyala lilin. Dan di
dinding ia membentuk tangan raksasa, yang gerakannya seperti mau mencengkeram kepalaku.
Kakinya pun kemudian diangkat. Di dinding pun tergambar kaki raksasa yang
hendak menginjak kepalaku. Besar luar biasa, ujung-ujung jarinya yang luar
biasa besar, bergerak-gerak bagai mendesak ke ujung atap.
Dan semua itu hanya
bayang-bayang. Sesuatu yang seolah menakutkan, namun bukanlah sesuatu yang
sesungguhnya. Bukan yang sebenarnya. Bukan yang senyatanya. Semua menjadi ada,
karena bayangan itu ada dalam pikiran kita.
Ketakutan kita,
kecemasan kita, kegelisahan kita, kadang seperti bayang-bayang. Sesuatu yang
lebih menakutkan dan mengerikan, dari hal yang sebenarnya. Yang ada di dinding
bukanlah ular, harimau, atau bahkan gurita. Tapi hanya bayang-bayang telapak
tanganku saja. Yang tergambar di dinding bukanlah tangan atau kaki raksasa yang
siap mencengkeram kepala. Tapi hanya sekadar tangan dan kaki anak saya.
Maka mestinya kita bisa
melihat dengan jernih. Agar ketakutan tak selalu menghantu. Seperti
bayang-bayang, bukan sesuatu yang sesungguhnya menakutkan. Seringkali,
ketakutan itu kita bikin sendiri. Dari bayangan-bayangan kita sendiri. Semoga!
0 on: "Bayangan dan Ketakutan Kita"