Sunrise Ranu Kumbolo
Akarasa – Manusia tak
kan pernah bisa hidup sendiri. Layaknya Adam dan Hawa, Langit dan Bumi, Bulan
dan Bintang, kamu dan aku, kita dan mereka. Manusia juga tak bisa lepas dari
ketergantungan akan lingkungan sekitarnya. Misalnya, air, udara, sinar
matahari, dan lain lain.
Bagi masyarakat Hindu
Gunung adalah adalah tempat yang dianggap sebagai tempat bersemayamnya
dewa-dewa. Salah satunya adalah gunung Semeru ini. Gunung Semeru diyakini
dimana Dewa Shiwa bersemayam. Gunung Semeru pun dianggap sebagai tempat penghubung
antara khayangan dan Bumi. Bahkan di waktu tertentu, banyak masyarakat Bali
datang ke Lumajang, tepatnya ke Pura Mandara Giri Semeru Agung yang terletak di
kecamatan Senduro.
Tepatnya ke Pura
Mandara Giri Semeru Agung yang terletak di kecamatan Senduro. Biasanya, selain
beribadah di Pura yang berada di lereng Semeru tersebut, mereka juga pergi ke
Watu Klosot dimana terdapat air suci yang keluar dari celah batu yang kemudian
di alirkan melalui bambu.
Pukul 06. 20 wib,
itulah angka yang tertera di arloji saya. Hanya saya yang telat bangun karena
gagal tidur semalam. Tak ada rezeki penampakan sunrise bagi yang telat bangun. Oh
ya, ini tulisan lanjutan dari tulisan sebelumnya Catatan
Jelajah Semeru : Ranu Kumbolo Eksotisme Berbalut Misteri [2].
Pagi ini kami tidak
menyiapkan sarapan yang berat, kami cukup membuat teh dan kopi hangat, disertai
camilan ringan untuk mengisi energi kami. Setelah packing bergantian dan
merapikan tenda, kami pun bersiap diri.
Waktu sudah menunjukkan
pukul 09 pagi lewat sekian ketika kami berkumpul untuk briefing dan berdoa
bersama demi keselamatan kami. Karena selaku paling sepuh, tak lupa saya
mengingatkan, berangkat bareng, pulang bareng, dan jika harus hilang pun
bareng. Sekedar mengingatkan nasehat pak Hambali kemarin di Pondok Pendaki. Bisamillah.
Kami pun budal (berangkat). Saatnya pendakian dilanjutkan. Tujuan berikutnya
adalah Pos Kalimati. Dan untuk menuju ke tempat ini, perkiraan waktu tempuh
adalah 2,5 jam.
Tak sampai 50 meter
berjalan, kami sudah menapaki Tanjakan Cinta yang terkenal itu. Tanjakan cinta
merupakan jalur menanjak yang terlampau tinggi menuju sebuah puncak bukit.
Konon, siapa saja yang berhasil mendaki tanjakan ini tanpa berhenti dan menoleh
ke belakang, maka segala permohonannya mengenai percintaan akan terpenuhi.
Tanjakan Cinta
Sekalipun terlihat tak
terlampau jauh dan tinggi, namun mendaki Tanjakan Cinta tanpa berhenti rasanya
teramat sukar. Langkah kaki pastinya akan memberat karena kelelahan, nafaspun
pasti memburu. Lagi pula leher rasanya juga selalu ingin menoleh ke belakang,
menyaksikan Ranu Kumbolo yang begitu indah. Pendek kata, tanjakan ini begitu
menguras tenaga, ditambah kami membawa tas carrier dengan beban di atas 12 kg,
matahari pagi yang sudah cukup terik.
Tiba di Tanjakan Cinta,
terlihat di hadapan sebuah pemandangan yang lagi-lagi membuat hati semakin
berdesir. Ya, sebuah padang savana luas yang dikelilingi perbukitan, dinamakan
Oro-Oro Ombo. Padang rumput mirip sebuah mangkok berisikan hamparan rumput
berwarna kekuning-kuningan. Namun pada musim-musim tertentu, rumput-rumput ini
seringkali terbakar.
Oro-Oro Ombo
Mumpung masih di
Oro-oro ombo, saya cerita sedikit mitos yang ada di tempat ini anak muda. Perihal Semeru ini, bagi yang percaya
diyakini sebagai sentral kekuatan gaib di tanah Jawa. Hampir seluruh kerajaan
gaib yang berada di kawasan ini pusatnya terletak di gunung Semeru. Tak heran,
jika mulai kaki hingga puncaknya, gunung ini dikenal angker. Gunung ini juga
kerap meminta tumbal. Tak sedikit para pendaki yang hilang misterius saat
hendak menaklukkan puncaknya.
Beberapa pesawat
terbang juga ikut raib saat melintas di atasnya. Dan, hingga kini tidak pernah
ada kabar beritanya. Nah, salah satu kawasan yang dikenal angker di gunung
Semeru adalah Oro-Oro Ombo. Padang rumput mirip sebuah mangkok berisikan
hamparan rumput ini dikenal penduduk Desa Ranupani memiliki aura mistik sangat
tinggi, bahkan angker. Tak salah jika penduduk setempat sangat mengkeramatkan
padang rumput ini.
Sebagai kawasan yang
terbilang angker, padang rumput ini menyimpan beragam kisah mistis yang membuat
bulu kuduk merinding. Salah satunya adalah pagelaran gending gaib mirip gamelan
pagelaran wayang kulit. Suara gamelan mirip pagelaran wayang kulit itu selalu
terdengar terutama pada waktu-waktu tertentu. Diantaranya pada bulan Suro, atau
saat menjelang diadakannya pemilihan kepala daerah di dua kabupaten.
Bunyi gending pagelaran
wayang kulit itu dapat didengar oleh telinga biasa, sehingga bagi penduduk Desa
Ranupani, sebagai wilayah paling dekat dengan kawasan Gunung Semeru,
bunyi-bunyian yang tidak ada bentuknya itu sudah merupakan kejadian biasa. Ya,
masyarakat setempat memang sudah tidak
aneh lagi. Kalau tiba-tiba misalnya dari kawasan gunung Semeru terdengar suara
gamelan mirip pagelaran wayang, itu memang sedang ada pegelaran, tapi yang main
bukan manusia melainkan mahkluk gaib. Tentunya masih banyak lagi tentang mitos
yang lainnya.
Oro-oro Ombo begitu
indah, ilalang berwarna ungu menyejukkan, dan berdiri nyaris setinggi badan.
Dari ujung Tanjakan Cinta menuju turunan ke Oro-oro Ombo terlihat Gunung Semeru
yang bersembunyi di balik Gunung Kepolo. Setengah jam berselang, langkah kaki
mulai memasuki Cemoro Kandang, sebuah hutan cemara setelah Oro-Oro Ombo.
Wilayah Cemoro Kandang juga memiliki jalur lumayan landai, sesekali sedikit
menanjak dan menurun.
Kami istirahat sejenak
di pos ini, dan dari tempat kami beristirahat di atas pohon tumbang, jalur
cukup jelas. Bekas kebakaran juga terlihat jelas di kawasan Cemoro Kandang ini.
Selanjutnya, jalur pendakian relatif landai dan berkelak-kelok. Sesekali
menanjak namun tidaklah terlalu curam, sesekali pula melangkahi pohon cemara
yang telah tumbang.
Satu jam berselang,
kami telah sampai di pos Jambangan dengan ketinggian 2.600 mdpl. Pos ini
merupakan padang rumput yang banyak ditumbuhi Edelweiss, tumbuhan mentigi dan
cemara. Jika cuaca cerah di pagi hari, tempat ini merupakan salah satu spot
terbaik untuk melihat Mahameru yang menjulang gagah. Dari sini pula
guratan-guratan pasir khas Gunung Semeru mulai terlihat jelas, membuat kami
merinding melihatnya, begitu anggun dan agung ciptaan Allah ini.
Tidak lama kami di
Jambangan, kami melanjutkan perjalanan menuju basecamp terakhir sebelum puncak,
yaitu Kalimati. Sekitar 30 menit berjalan, sampailah kami di pos Kalimati,
dengan ketinggian 2.700 mdpl. Di sini cukup banyak para pendaki, baik yang
sudah turun dari puncak maupun yang baru tiba. Sekitar 500 meter dari tempat ini
terdapat mata air bernama Sumber Mani. Terdapat juga pondok yang bisa
melindungi pandaki dari sapuan angin.
Kami bersyukur dan kami
sepakat mulai berjalan menuju puncak menjelang tengah malam nanti. Agenda
berikutnya jelas: mendirikan tenda, persiapan logistik untuk makan malam dan
mengambil air di Sumber Mani.
Jalur menuju Sumber Mani
Keberadaan Sumber Mani
ini cukup menarik kisanak. Dalam kepercayaan saudara kita yang beragama Hindu,
ada urutan mitologi mengenai sumber-sumber mata air yang di anggap suci di Semeru
ini. Di mulai dari kisah patung Arcapada, dimana patung ini adalah patung
sepasang laki-laki dan perempuan.
Arcapada bisa diartikan
sebagai adam dan hawa (dalam agama Islam maupun Kristen) dan sebagai Kamajaya
dan Kamaratih (dalam kepercayaan Hindu). Di bawah Arcapada terdapat sumber air
yang mirip dengan yang terdapat di Watu Klosot yang dinamai Sumber Mani yang
sedang kita bicarakan ini. Bukan tanpa dasar mengapa sumber air ini dinamai
Sumber Mani.
Adam dan Hawa atau
Kamajaya dan Kamaratih memulai kehidupan dari Sumber Mani untuk melanjutkan
kehidupan generasi selanjutnya. Sesuai dengan namanya, Sumber Mani. Mani adalah
Sperma dimana dia lah awal mula adanya kehidupan. Oleh karena itu Sumber Mani
adalah sumber air suci pertama yang letaknya paling tinggi, yang kemudian turun
menjadi Ranu Kumbolo, Ranu Pani, Ranu Regulo, Watu Klosot dan terakhir di
Selokambang. Biasanya para pendaki memanfaatkannya sebagai sumber air minum. Termasuk
kami tentunya.
Terlepas dari mitologi
Hindu yang dipercaya masyarakat Suku Tengger, mata air Sumber Mani memanglah
sumber kehidupan karena air merupakan salah satu kebutuhan yang harus dipenuhi
dalam keseharian. Para pendaki tidaklah perlu khawatir kehabisan persediaan air
karena Sumber Mani senantiasa mengalir meskipun di musim kemarau. Kejernihannya
tidak perlu disanksikan lagi, para pendaki biasa meminumnya tanpa dimasak
terlebih dahulu.
Meskipun jaraknya
terbilang jauh sekitar satu jam perjalanan pergi-pulang dari Pos Pendakian Kali
Mati yang kerap menjadi tempat terakhir bagi para pendaki untuk berkemah dan
beristirahat sebelum melanjutkan pendakian ke puncak Mahameru, ditambahi dengan
lintasan jalur berbatu yang terbilang cukup menguras keringat namun mengunjungi
Sumber Mani merupakan suatu kewajiban yang harus dilakukan demi memenuhi
kantung-kantung persediaan air. Ada pepatah mengatakan, “Manusia bisa bertahan
hidup tanpa makanan, tapi tidaklah bisa hidup tanpa air”, jadi pergunakanlah
air dengan sebaik-baiknya jika sedang berada di Kali Mati.
Dengan membawa sebuah
tumbler dan tiga botol air mineral 1500 ml, saya dan sepupu berjalan menuju
Sumber Mani bersama dengan seorang kawan
pendaki lain dari Banten. Menuju ke tempat Sumber Mani harus jeli kisanak. Banyak
percabangan di sini. Untungnya ada yang berbaik hati dengan menandai jalurnya
dengan ikatan rafia di ujung ranting dan kita tinggal mengikutinya. Setidaknya kita
membutuhkan sejam pulang pergi ke tempat ini.
Sumber air ini
persisnya berada diapit tebing, merupakan bekas aliran lahar dari kawah Semeru.
Tidak seperti air dari kran yang mengucur deras, sumber air ini menetes cukup
perlahan. Kita harus sabar untuk mendapatkan sebotol air.
Dan satu lagi kisanak,
kalau hendak menuju atau mengambil air di Sumber Mani ini sangat tidak
disarankan pada petang hari. Apalagi malam. Wes jangan pokok’e. Katanya, di
sumber air ini masih sering dijumpai sekawanan macan tutul dan macan kumbang
yang minum di sumber ini.
Sepulangnya dari Sumber
Mani, karena ingin lekas bisa istirahat, kami memutuskan untuk langsung masak. Kami
juga membuat kesepakatan dengan beberapa pendaki lain untuk melanjutkan
perjalanan tengah malam nanti. Selepas itu semua. Saatnya mapan turu!
Pukul 9 malam kami
semua sudah bangun. Sepertinya kami tidak bisa begitu lelap tertidur. Ya, kami
membayangkan inilah saatnya pendakian yang sesungguhnya, summit attack menuju
Puncak Mahameru.
Di seberang sana, tenda
kawan-kawan pendaki lain yang bersepakat dengan kami sedang menyalakan api
unggun, mereka membakar kayu-kayu kering yang didapat dari hutan. Terasa sangat
hangat dan bersahabat. Memang benar apa yang selama dikatakan orang bahwa di
gunung kita bisa merasakan hal-hal yang tidak akan kita rasakan di tempat
terbiasa, terkadang sangat sentimentil, tak jarang juga muncul aroma-aroma
mistis.
Jalur awal dari Ranu
Pani sampai ke Kalimati memang penuh bonus dan trek landai yang begitu panjang,
kami anggap sebagai media menguji kesabaran kami, karena pendakian sesungguhnya
justru baru dimulai malam ini. Saya kebagian tugas menyiapkan teh hangat untuk
bekal sebelum berangkat, sedangkan yang lain menyiapkan berlembar-lembar roti
dan biskuit sebagai bekal sarapan di puncak paginya.
Setelah semuanya siap,
cek ulang peralatan perang, dan pintu tenda kami digembok, takut ada musang
masuk ke dalam tenda, mengobrak-abrik seisinya. Pukul 23.00, kami berempat dan
rombongan dari berkumpul untuk berdoa bersama, semoga keselamatan menyertai
kami selama perjalanan menuju puncak.
Kesempatan yang kini
hanya menyisakan kenangan, baik suka maupun duka. Saya masing ingat sekali
suasana perasaan saya malam itu. ya, malam itu adalah malam yang sangat
bersejarah bagiku yang untuk pertama kalinya akan merasakan secara lagsung
bekunya Arcapada, mistiknya kawasan Cemara Tunggal, juga terjalnya jalur
berpasir menuju Mahameru. Setelah sebelumnya hanya sampai Ranu kumbolo.
Semoga yang kami
lakukan ini bukanlah hal sia-sia yang hanya menghabiskan waktu, melainkan bisa
menjadi sebuah momentum perubahan bagi kami semua untuk menjadi pribadi yang
lebih baik lagi. Sedikit sentimentil memang, menurut saya hidup adalah untaian
cerita penuh makna yang abstrak. Membias dalam keseharian di atas kanvas tanpa
warna dasar.
Saat bahagia, betapa
kanvas itu selalu ingin diwarnai dengan tinta warna-warni pelangi. Namun ketika
bersedih, kanvas itu seolah-olah basah akan genangan air dan sulit diwarnai
kecuali dengan cipratan sentimentil. Merangkak, duduk, berjalan lalu berlari
(baca : kiasan tahap-tahap kehidupan) adalah salah satu fase dalam setiap
bentuk kehidupan. Tak ada satupun manusia yang bisa melompati fase tersebut.
Alur kehidupan tak
pernah berganti meski zaman telah merubah hari dan usang tergantikan pesatnya
arus teknologi. Terus bergulir tak berhenti sejenak waktupun saat menggilas
kehidupan yang tengah berjalan. Menangis atau tertawa, hitam atau putih, baik
atau buruk, bising atau sunyi, menjerit atau bungkam hanyalah bagian kecil dari
setiap sisi kehidupan. Semua pasti terbagi pada dua sisi, seperti yang telah
Tuhan gariskan bahwa segala sesuatu di dunia ini diciptakan berpasang-pasangan.
Maha Besar Kuasa-Nya yang telah menciptakan segala sesuatunya secara sempurna
dan berimbang.
Tengah malam yang
gigil, kami mulai berjalan, dengan formasi awal saya berada di depan meskipun
saya juga belum tahu medan. Patokan saya hanyalah jalan setapak dan patok
semen, serta beberapa petunjuk jalur yang tersedia. Kami berjalan ke arah timur
dari pos Kalimati, jalanan awal datar lalu menurun, kemudian berbelok kanan
sesuai petunjuk arah yang tersedia. Tak jauh dari papan petunjuk tadi, kami
mulai masuk kawasan hutan yang terkesan gelap dan angker.
Tak henti-hentinya saya
selalu mengingatkan anak-anak muda yang masih seumuran anak kuliahan ini untuk
selalu berdoa menurut keyakinannya masing-masing. Di perjalanan ini kami
menemui beberapa kejadian misteri kisanak. Cukup mendebarkan, meski bukan
kejadian hal baru dalam kehidupan saya, tentu tidak bagi yang lain. Namun,
sementara sampai di sini dulu tulisan ini dan akan saya sambung lagi pada
tulisan selanjutnya.
Bersambung…
0 on: "Catatan Perjalanan Semeru : Gending Misterius di Oro-Oro Ombo [3]"