Akarasa – Adzan ashar
beberapa saat yang lalu berkumandang di mushola kecil di petilasan Mbah Jabbar.
Petang mulai merayapi hari itu, menyisakan pendar merah bata di ufuk barat
sana. Pemandangan ini sangat berbeda dengan beberapa hari ini, dimana jingga
seringkali tidak menampakkan keelokannya.
“Hufft. Sepertinya
tangkapanku hari ini kosong lagi.” Keluh Parjan pada diri sendiri.
Laki-laki yang belum
genap empat puluh tahun itu merengut sambil memandangi kail pancingnya yang tak
bergerak sama sekali. Sedari siang, belum satupun ikan menggondol umpannya. Wajah
kusutnya mendongak ke cakrawala yang perlahan mulai gelap. Matanya yang sayu
seolah mengajak bicara dengan langit petang itu.
“Oh Gusti, mengapa matahari
berlalu secepat ini. Seakan Kau tak membiarkanku untuk menang melawan
petang-Mu. Mengapa selalu begitu, Gusti, mengapa? Sedangkan nasibku selalu
begini-begini saja. Mandeg. Dimana kuasa-Mu, Gusti? Dimana?” gerutunya.
Matahari tak peduli
ocehannya. Ia tetap perlahan merayap turun.
***
Hampir sepekan ini,
ikan yang nggondol umpan di pancingnya cuma sedikit. Hanya beberapa ekor yang
nyasar di kailnya. Hari ini lima ekor yang di dapat Parjan. Lebih banyak dari
kemarin yang hanya tiga ekor, itupun kecil-kecil. Ya, hampir sepekan ini Parjan
belum sekalipun mengumpulkan ikan di kepisnya lebih dari tujuh ekor. Dengan
wajah lesu, Parjan beranjak dari tempat duduknya untuk membereskan peralatan
pancingnya.
“Ya wislah. Lebih baik
aku pulang saja. Masih untung dapat lima hari ini, dari pada tidak dapat sama
sekali. Aku sudah siap mendengar ocehannya Warsi nanti.” Gerutu Parjan dalam
hati. Matanya nanar memandang kedung air terjun yang airnya bergemuruh itu.
“Kok kecil-kecil lagi
dapatnya. Jangan-jangan Pakne njagong (nongkrong). Mancing hanya alasan saja
agar bisa main domino sama konco-koncomu di gubunge Lek Giman itu!” Parjan
membayangkan wajah Warsi, istrinya sedang ngedumel setibanya nanti ia sampai
rumah.
Kemarin, Warsi marah besar. Hanya masalah sepele. Ikan. Dan seperti
biasa, marah itu selalu berakhir dengan perginya Parjan ke tritis (teras) depan
rumahnya. Pergi menjauh dari omelan wanita yang telah melahirkan dua anaknya
yang sedang beranjak remaja.
Angin berdesir membesut
wajah kusutnya. Membuyarkan lamunannya tentang istrinya, Warsi. Parjan mendadak
teringat pesan istrinya siang tadi sebelum berangkat. Bahwa ia harus sudah
berada dirumah sebelum maghrib tiba. Dan harus mendapat ikan yang banyak.
“Aku harus segera
pulang atau Warsi akan marah-marah lagi.” gumam Parjan. Iapun bergegas membereskan
peralatannya. Namun ketika ia berusaha menarik senar pancingnya, senar itu
tidak bisa ditarik. Seperti ada sesuatu yang menahannya dari dalam air.
“Aseeeem. Doso opo
meneh iki” gerutu Parjan mengumpat nasibnya yang selalu sial berkepanjangan. Seperti
senar pancingnya yang panjang dan tak mudah putus oleh sentakan ikan.
“Sudah tidak dapat
ikan, sekarang malah pancing tersangkut lagi. Benar-benar hari yang sial buatku!”
omelnya.
Dua tiga kali
ditariknya senar itu. Namun hasilnya tetap sama. Meski menggunakan kedua
tangannya dengan tarikan yang kuat. Senar itu tetap diam tak bergerak dari
posisinya.
“Dasar pancing kampret!”
umpatnya.
Tiba – tiba….
“Bau apa ini?” ucap
Parjan sambil menyempitkan kedua lubang hidungnya. Ia berhenti bernapas, berusaha
menahannya agar sebisa mungkin bau itu tidak nyelonong begitu saja ke indera
penciumannya. Bahkan, ia berhenti bernapas sejenak menahan bau, karena kedua
tangannya masih sibuk melepaskan tali senar yang tersangkut sesuatu dari dalam
kolam.
Dengan emosi, Parjan
meletakkan pancingnya. Meraih tali senar di ujung pancingnya. Menariknya kuat-kuat
sambil terus mengumpat bau yang menusuk-nusuk hidungnya. Makin lama bau itu
makin menjadi.
“Amis benget, bangkai
opo toh ini!” ucapnya sambil terus berusaha menarik senar pancingnya. Entah
sudah berapa menit berlalu, satu persatu orang yang memancing di kedung itu
pergi meninggalkannya. Kini hanya tinggal Parjan. Seorang diri. Tarikan Parjan menghasilkan
sesuatu yang sia-sia. Tak ada hasil selama hampir sepuluh menit.
“Sial benar aku.
Daripada begini terus-menerus lebih baik aku potong saja senar ini.” Parjan
beranjak dari tempatnya, menuju batu kecil yang tak jauh dari tempatnya semula.
Meraih kepisnya dan merogoh isinya untuk mengambil sesuatu.
“Dapat!” gumamnya dalam
hati. Setelah ia mendapatkan barang itu, iapun kembali ke tenpat pancingnya.
Meraih senar dan hendak memotongnya. Sayangnya ketika Parjan hendak memotong
senar pancingnya, tiba-tiba senar itu melilit tangan kirinya. Kuat sekali.
Belum sempat Parjan memotongnya, ia terjungkal kedalam kolam.
“Aaargh………” teriaknya.
Byuuuur… dalam hitungan
menit, air kolam langsung tenang kembali. Tak satupun orang yang mengetahui
kejadian ini. Haripun mulai gelap.
***
“Kang. Bangun, Kang.”
Suara seorang wanita terdengar sayup-sayup.
“Di… Dimana aku ?” ucap
Parjan terbata-bata.
“Sampeyan aman disini,
Kang!”
“War… Warsi…” ucap Parjan
masih terbata-bata dan sedikit ketakutan.
“Tenang, Kang. Aku
bukan Warsi istrimu,” jawab wanita itu.
“Siii… sii.. siapa
kamu? Dimana aku?” tanya Parjan ketakutan sambil memandangi sekelilingnya
dengan tatapan kebingungan.
Parjan jelas merasa
bingung bercampur takut. Bukan tanpa sebab, kebingungan yang Parjan rasakan
saat ini adalah karena kini ia sedang berada di sebuah tempat yang terasa asing
baginya. Sebuah tempat yang belum pernah ia kunjungi seumur hidupnya. Sejauh
matanya memandang, yang ia temukan hanyalah dinding kecoklatan yang terbuat
dari batu kali yang cukup keras. Tak ada jendela ataupun sesuatu yang bisa
membuat cahaya bisa masuk ke dalamnya.
“Bau apa ini? sepertinya
aku mengenal bau ini? Dimana aku sekarang ? Dimana akuuuuuu….!” teriak Parjan
dengan teriakan yang keras dan semakin menjadi.
“Tenang, Kang. Ini aku
Arum. Sampeyan sekarang berada di istanaku.” ucap wanita yang mengaku bernama Arum
dengan lembut sambil mengusap-usap rambut Parjan agar ia tenang.
“Istanamu? Mengapa
disini sangat amis?” tanya Parjan keheranan dengan mata tak berhenti bergerak-gerak
sedikitpun.
“Iya, Kang. Sampeyan sekarang
berada di istanaku. Istana Pedahnyangan Nglirip. Ikan yang sering sampeyan
tangkap tiap sore itu adalah abdi-abdiku.” Ucap Arum.
“Jadi, kau adalah….”
“Benar, aku adalah Putri
Nglirip. Aku dan pengikutku mendiami kedung air terjun ini sudah ratusan tahun.
Tinggal dan beranak-pinak disini. Di Nglirip. Bahkan sebelum zaman Majapahit,
nenek moyang kami telah mendiami kedung ini. Kedung air terjun Nglirip ini.”
“Apa katamu.? Sejak
zaman Majapahit? Berarti kau telah berumur ratusan tahun.” ucap Parjan.
“Benar, Kang. Bahkan
kita sudah saling kenal satu sama lain.”
“Kenal? Maksudmu apa?”
“Kau ingat dua puluh
lima tahun lalu? Saat itu sampeyan masih belia. Umurmu masih belasan tahun.
Waktu itu siang hari. Kau dan beberapa temanmu memancing di Kedung ini seperti
biasanya. Ketika hendak pulang, aku sempat memberikan pertanda kepadamu. Aku
sempat melompat-lompat ke permukaan air dalam bentuk seekor ikan gabus hitam.
Kau pun sempat melihatku, namun karena teriakan teman-temanmu, kau pergi begitu
saja tak memperdulikan aku.” cerita Arum panjang lebar.
Ingatan Parjan pun
melayang ke masa itu, ia berusaha mengingat-ingat apa yang telah diceritakanArum
kepadanya. Beberapa saat kemudian…
“Ya, aku ingat kejadian
itu. aku pikir itu adalah ikan biasa, jadi aku pergi saja.” ucap Parjan datar.
“Sampeyan keterlaluan,
Kang!” balas Arum.
“Kenapa? Apa salahku?”
“Seharusnya sampeyan mengenali
aku. Aku ini istrimu, Kang?”
“Apaa. Istri katamu?”
gumamnya lirih.
“Benar, Kang. Setelah
ratusan tahun aku menunggumu. Belasan reinkarnasi aku lalui. Akhirnya sampeyan datang
lagi dalam kehidupan ini. Bereinkarnasi dalam diri seorang Parjan. Tanda di
pelipismu itulah sebagai bukti bahwa dirimu adalah suamiku.” jawab Arum sambil
memeluk Parjan yang terbaring di ranjang.
Seketika itu juga Parjan
baru menyadari bahwa dirinya sekarang telah berpindah alam. yakni alam ia
sendiri tidak tahu namanya. Karena ia sadar betul bahwa istrinya adalah seorang
wanita yang gemuk, tidak cantik, dan jelasnya cerewet. Dan itu tidak ia temukan
dalam diri Arum. Dalam pikirannya hanya terbayang istrinya Warsi. Belum genap
kebingungannya, Parjan merasa heran bahwa dirinya bisa bernapas dalam air. Dalam
ruangan itu ia melihat ikan-ikan berenang melintas didepannya. Sesekali ikan
itu menatapnya. Menatap mata Parjan
dalam-dalam. Tanpa rasa takut sedikitpun.
“Ikan yang aneh.” gumam
Parjan dalam hati. Parjan menyadari bahwa sesuatu yang tidak beres telah
terjadi padanya saat ini.
***
Tujuh ratus tahun yang
lalu, Nawangsari sedang bungah hatinya. Hari yang sangat berarti bagi putri semata
wayangnya. Hari di mana ia melangsungkan hajat pernikahan Sekararum putri
satu-satunya. Para tamu undangan dari berbagai pedahnyangan datang membawa
bingkisan dan mengucapkan selamat.
“Selamat ya,
Nawangsari. Akhirnya kau akan memiliki penerus tahtamu.” ucap Ki Krenthil,
dahnyang Kerawak.
“Matur nuwun, Kang,
semoga kelak mereka berdua lekas mendapatkan keturunan untukku.”
“Tentu saja, bukannya
itu yang kamu harapkan.?” jawab Ki Krenthil sambil tersenyum bahagia untuk
Nawangsari, penguasa Kedung Nglirip yang sekaligus tetangga dekatnya itu.
Dan pesta pun digelar.
Pesta bersatunya dua kerajaan ikan. Pesta bersatunya Sekararum dan Joko Lelono,
putra penguasa mata air Prataan.
“Arum. Kemarilah, Nduk!”
ucap ibunya.
“Iya, Kanjeng Ibu.”
“Sini, Ibu pakaikan
sesuatu untukmu!” ucap ibunya sambil meraih sanggul Sekararum. Kemudian ia
menyelipkan sesuatu kedalam sanggul tersebut.
“Apa ini, Bu?” tanya
Sekararum sambil meraba benda yang barusan diselipkan ibunya tersebut.
“Itu adalah susuk konde
moyak kita, Nduk. Diwariskan dari dari generasi ke generasi. Dulu sewaktu ibu
menikah dengan ayahmu, nenekmu memberikan susuk konde itu kepada ibu. Sebelum
ayahmu mangkat, sempat berpesan pada ibu untuk memberikan susuk konde itu
setelah kamu menikah. Saatnya telah tiba hari ini. Jaga baik-baik ya, Nduk. Susuk
konde itu adalah pusaka pedahnyangan kita. Pusaka Pedahnyangan kita. Sumber
kekuatanmu dan kekuatan kerajaan yang kelak akan kau pimpin.” jawab ibunya.
“Terimakasih kanjeng
Ibu. Aku akan menjaganya baik-baik.” jawab Sekararum sambil tersenyum memeluk
ibunya.
“Iya, Nduk.” Jawab
ibunya sembari mengusap kepala anaknya dengan penuh kasih sayang.
Tahun berganti tahun,
kehidupan di Pedahnyangan Nglirip menjadi ramai. Penuh sukacita menunggu
kelahiran seorang calon penerus kerajaan.
“Kau hamil, Nyimas.”
ucap Joko Lelono bahagia.
“Iya benar Kangmas, aku
hamil. Akhirnya kita bisa memiliki calon penerus pedahnyangan ini.” balas Sekararum
tak kalah bahagianya.
Sayangnya, kebahagiaan
itu tak berlangsung lama. Tepat delapan bulan setelah berita kehamilan Sekararum,
Joko Lelono sakit keras. Pedahnyangan Nglirip geger, joko Lelono akhirnya
sekarat tanpa sebab yang pasti. Dukun pedahnyangan Nglirip semua menyerah.
Bahkan dukun kesohor dari semua pedahnyangan tetangga pun dipanggil untuk
membantu kesembuhannya. Hingga akhirnya nyawanya tak tertolong. Joko Lelono
pergi meninggalkan Arum sendiri. Pergi untuk menjalani reinkarnasi berikutnya
di kehidupan mendatang.
“Kang Mas, Joko Lelono…
“ isak Sekararum meratapi nasibnya disamping jasad suaminya. Mata Sekararum
merah. Senyumnya tak lagi indah. Pahit dan hambar, seolah tak menerima atas
takdir yang terjadi kepadanya.
“Tunggu arum, Kang Mas,
aku akan mencarimu!”
***
“Iya Kang. Ini aku,
Sekararum, istrimu. Tak ingatkah sampeyan padaku, Kang? ucap Sekararum dengan
wajah sumringah disamping Parjan yang terbaring lemah.
“Maaf, aku tak ingat
sedikitpun…” balas Parjan datar sambil memalingkan wajahnya dari Sekararum.
“Tidak mengapa, Kang.
Nanti waktu yang akan mengembalikan kenanganmu tentangku. Sekarang yang lebih
penting adalah kesembuhanmu dulu. Aku akan memulihkan kondisimu seperti semula.
Aku ingin kita bisa bersama seperti dulu lagi” ucap Sekararum dengan wajah
berseri-seri. Kemudian ia pamit agar Parjan bisa beristirahat dikamarnya.
“Aku pergi dulu, Kang.
Istirahatlah agar keadaanmu pulih kembali.”
Parjan sendirian di
kamarnya. Kamar yang terasa sangat asing baginya. Asing dan sangat dingin.
Pikirannya melayang tak karuan. Beribu pertanyaan memenuhi kepalanya.
“Istriku….?” gumam Parjan
dalam hati dengan tatapan mata kosong. Entah apa yang ada didalam otaknya saat
ini. Arum sebenarnya tidaklah jelek. Sangat menarik untuk seorang pria seperti Parjan.
Tutur katanya sopan, ucapannya lembut. Wajahnya manis sekali.
Yang membedakan Arum
dengan wanita yang sering Parjan lihat di “alam” nya adalah caranya berpakaian
dan bersolek. Arum lebih mirip seorang putri keraton. Dengan sehelai kebaya
melilit kemben dibadannya berpadu dengan selendang hijau panjang menutupi
dadanya. Rambutnya selalu tersanggul indah. Menghiasi kepalanya dengan puluhan
manik-manik berkilau keemasan. Dan sebuah mahkota. Tubuhnyapun penuh dengan
perhiasan. Menambah keanggunan dirinya.
Parjan bukannya tidak
suka dengan keberadaan Arum disampingnya, ia tak juga takut kepada istrinya
jika suatu saat ia dituduh selingkuh dengan wanita lain yang lebih cantik
darinya. Namun yang membuat Parjan berpikir seribu kali adalah “alam” Arum. Dia
bukanlah wanita biasa. Namun seorang widodari. Dalam kepercayaan Jawa, seperti
kepercayaan yang dianut nenek moyang Parjan, widodari adalah makhluk ghaib.
Makhluk yang jelas sekali berbeda alam dengan alam manusia.
“Aku seharusnya tidak
berada disini…” gumam Parjan dalam hati.
***
Setelah sekian lama
terbaring diranjang, Parjan sepertinya mendapatkan kekuatan untuk pergi
meninggalkan tempatnya saat ini. Pergi meninggalkan Pedahnyangan Nglirip. Pulang
ke rumahnya sendiri, kembali pada istrinya, Warsi yang cerewet itu yang dari
kemarin ditinggalkannya.
Tak ingin berlama-lama
di alam yang asing baginya, Parjan menyusun siasat untuk sesegera mungkin
keluar dari tempat ini. Sementara di paseban agung, nampak para pembesar
Pedahnyangan Nglirip sedang berkumpul sambil menikmati gending-gending Jawa
mengalun merdu.
“Bagaimana perasaanmu
sekarang, Nduk.?” tanya Sekarsari kepada putrinya, Sekararum.
“Bungah (bahagia)
Kanjeng Ibu. Akhirnya dalem (saya) bertemu kembali dengan Kang Mas Joko Lelono
setelah ratusan tahun dalem menunggunya. Akhirnya, Kang mas Joko Lelono bereinkarnasi
kembali di kehidupan ini.” ucap Sekararum haru. Haru bercampur bahagia tak
terkira.
“Selamat anakku,
keluargamu akhirnya berkumpul kembali,” ucap Sekarsari - sang ibunda.
“Sembah nuwun, Kanjeng
Ibu. Semua ini restu Kanjeng Ibu juga.” Ucap Sekararum sambil tersenyum seraya
mencium kaki ibundanya.
“Aruuuuum…” Mendadak
suasana haru biru itu berubah seketika.
“Kakaaaaaang…..” teriak
Arum histeris dan langsung menghambur ke sumber suara yang ternyata Parjan yang
terjerembab ke lantai dengan dada berlumuran darah.
“Kakang. Apa yang
terjadi padamu, Kang? teriak Arum ketakutan. Pikiran Sekararum seakan kosong.
Ia tak lagi memperdulikan sekelilingnya. Yang ada di pikirannya sekarang
hanyalah pria yang ada didepannya. Parjan. Dengan sigap Arum membopong tubuh Parjan
yang lunglai menuju kamarnya.
“Kalian semua tetaplah
tenang disini, biar aku yang mengatasi semuanya” ucap Sekararum di ruangan itu.
Pelan-pelan mereka
berdua berjalan menuju kamarnya. Saat mereka mulai menjauh dari ruangan utama
paseban agung, Parjan segera memanfaatkan keadaan. Ia mengeluarkan susuk konde
kecil yang ia temukan tak sengaja di kamar Sekararum. Ia menghunuskannya ke
leher Sekararum.
“Katakan, dimana pintu
keluarnya. Kembalikan aku ke duniaku.” bentak Parjan.
Seketika Sekararum
tidak kuasa, ia tak bisa menggunakan kekuatan gaibnya untuk melawan Parjan.
Karena sumber kekuatannya ada di genggaman Parjan, suaminya. Cengkeraman Parjan
begitu kuat memegang tangannya. Ia akhirnya pasrah menuruti kehendak Parjan.
Mengantarnya menuju gerbang istana Pedahnyangan Nglirip.
“Baiklah, Kang. Aku
akan antar sampeyan.” jawab Sekararum ketakutan. Mereka berdua akhirnya pergi
keluar istana, tanpa seorangpun tahu. Pembesar istana dan pengawal istana tak
ada yang tahu satupun. Bahkan Sekarsari. Penguasa Pedahnyangan Nglirip.
“Lewat sini Kang. Ini
adalah jalan rahasia. Hanya aku dan ibuku yang tahu. Aku sengaja membawamu
kesini karena aku tak ingin kau ditangkap oleh pengawal pedahnyangan atas
perbuatanmu ini. Karena aku masih sangat mencintaimu, Kang Mas Joko Lelono.” ucap
Sekararum berurai airmata.
Sekararum tak menyangka
bahwa penantiannya selama ratusan tahun akan berakhir seperti ini. Cintanya
dibalas dengan sebuah pengkhianatan. Pengkhianatan dari orang yang selama ini
ia nantikan kedatangannya.
“Ini gerbangnya, Kang
Mas” ucap Sekararum lirih. Kesedihan nampak jelas di raut wajahnya yang manis.
“Bagus, sekarang
saatnya aku pergi. Maafkan aku. Aku bukanlah Joko Lelono suamimu. Aku adalah
Parjan. Aku masih punya istri disana. Lupakanlah aku.” jawab Parjan dingin.
Saat Parjan berenang
menuju cahaya putih yang ada diatas permukaan air, mendadak Sekararum memanggilnya.
“Kang Mas, tungguuuuu!” Parjan
memalingkan wajahnya.
“Meski kita ditakdirkan
untuk tidak pernah bersatu. Aku bahagia bisa berjumpa dengan sampeyan walau
sesaat. Itu sangat berarti bagiku. Setidaknya Sang Pencipta masih mendengarkan
do’a-do’aku. Do’a yang tulus dari orang yang sangat mencintaimu. Ingatlah satu
hal, Kang Mas. Setelah sampeyan sampai di alammu, ingatanmu tentangku dan
perihal istana ini akan hilang. Semua kenangan kita akan terhapus. Sebelum itu
semua terjadi, aku ingin kau tahu satu hal. Aku ingin kau tahu bahwa aku sangat
mencintaimu.” jawab Sekararum sambil melambaikan tangan perpisahan. Lambaian
tangan itu dibalas dengan senyuman oleh Parjan.
Saat hampir mencapai
permukaan, Parjan menoleh kepada Sekararum dan melemparkan susuk konde yang ia
bawa kearah Sekararum
***
“Horeee… Akhirnya aku
dapat ikan juga!” teriak seorang anak kecil kegirangan.
“Mana… Mana…” temannya
mendekat.
“Ini ikannya, awaaassss
ikannya melompat….!” teriak anak kecil itu.
Melihat ikan mereka
menggelepar-gelepar diatas rumput, mereka berdua tidak berani mengambil ikan
itu.
“Kenapa? Kau mau
ikanmu?” jawab sesosok suara lelaki yang terdengar parau dan sangat berat.
Tanpa sepatah kata pun terucap. Mereka berlari menjauh. Parjan merasa keheranan
dengan sikap mereka.
“Apa ada yang salah
denganku?” gumamnya kebingungan.
Satu hal yang ia ingat
adalah ia terjatuh pingsan di darat setelah muncul dari dalam Kedung Nglirip.
Selebihnya ia tak ingat apapun. Parjan pun bangun dari tidurnya. Duduk di
tepian kedung. Memandangi sekelilingnya dengan tatapan kosong bercampur
bingung. Iapun memandang air kedung didepannya. Airnya sangat jernih dan
tenang. Dalam pantulan air itu ia melihat sesosok wajah tua nan keriput penuh
cambang dengan rambut ikal tak beraturan…. (Urd2210)
Memoar Air Terjun
Nglirip, Tuban, medio 2009
0 on: "Cerita Misteri : Tersesat di Istana Pedahnyangan Air Terjun Nglirip"