Akarasa – Malam sudah
beranjak tua. Jelas terlihat dari jam dinding yang tergantung di pos satpam
sudah menunjukkan pukul 11 malam lewat. Keriuhan buyaran karyawan pabrik yang
mendapat giliran shift 2 sudah berlalu sekian menit yang lalu. Sementara buruh
pabrik yang mendapat giliran shif 3 sudah beraktivitas menggantikan shift
sebelumnya.
Namun tidak bagi Santoso,
sendirian di pos satpam menunggu jemputan saudara misannya sambil membaca koran
yang tergeletak di meja saptam. Tak ada seorang pun satpam ditempat tersebut,
sedang keliling barangkali. Beberapa kali Santoso keluar gerbang menegok ke
kanan dan kekiri menunggu adik misannya yang belum kunjung datang menjemputnya.
Sekedar untuk
menghilangkan penat, Santoso lalu masuk ke pos satpam. Ia merebahkan diri di
bangku panjang untuk menghilangkan rasa ngilu dipunggungnya karena kerjanya
banyak berdiri untuk mengoperasikan mesin. Bebera menit berlalu, ia sudah
tertidur pulas.
Namun, belum lama
tertidur, ia dikejutkan oleh deru mesin motor yang sepertinya berhenti di depan
gerbang pabrik. Mendengar itu, Santoso langsung bangkit dari tidurnya, dia
mengira yang datang adalah adik sepupunya, Triman. Belum sempat dia keluar pos
satpam dan keluar gerbang, ujug-ujug muncul wanita cantik masuk pos satpam. Dalam
sekejap, ruangan tak lebih dari 3 meter persegi itu dipenuhi bau wangi yang
semerbak. Santoso langsung terpukau dengan adanya wanita cantik yang
menyunggingkan senyum di bibirnya tersebut.
Sesaat Santoso
mengusap-usap matanya untuk memasyikan bahwa wanita cantik yang ada
dihadapannya itu bukan mimpi, namun benar adanya. Setelah benar-benar yakin
bahwa dia tidak sedang bermimpi, maka dia lalu memberanikan diri bertanya
kepada wanita itu.
“Mau mencari siapa,
Mbak?”
“Maaf, apa benar Mas
yang bernama Santoso?” wanita cantik itu ganti bertanya seraya mengulurkan
tangannya mengajak salaman.
“Ya benar, saya yang
bernama Santoso. Lalu Mbak ini siapa ya?” Santoso menerima uluran tangan wanita
itu. pandangan matanya menatap tajam ke arah wajah cantik yang berdiri di
hadapannya.
“Saya Retnosari, mantan
teman sekelas Mas Emen?”
“Emen. Emen siapa ya?”
“Oh, maksud saya Mas
Triman. Adik misannya Mas Santoso saat masih sama-sama di SLTA dulu”.
Mendapat jawaban
tersebut Santoso heran. Setahu Santoso, selama ini adik sepupunya tak pernah
mempunyai teman yang bernama Retnosari. Lagipula selama ini adik sepupu yang
sangat akrab dengannya ini tak sekalipun menyebut-nyebut temannya itu.
“Lalu Mbak datang ke
sini ada perlu apa ya? Lagi pula kok Mbak berani sih datang ke sini sendirian?”
tanya Santoso heran.
“Saya kesini atas
suruhan Mas Emen. Eeh maaf. Mas Triman, disuruh menjemput Mas, sebab saat ini
ia sedang nggak enak badan!”
Karena tujuannya jelas,
maka tanpa komentar Santoso hanya mengikuti wanita cantik yang berjalan gemulai
di depannya menuju gerbang. Motornya hanya diparkir begitu saja di depan
gerbang pabrik yang relatif sepi di kawasan Sendangadi tersebut. Selanjutnya Santoso
pulang dengan di bonceng wanita yang bernama Retnosari tersebut.
Malam itu, dengan
tenangnya Retnosari mengendalikan motornya dengan membonceng Santoso menyusuri
jalan Ring Road utara. Sampai perempatan Demangan, Retnosari lalu membelokkan
motornya menyusuri Jalan Adi Sucipto. Selama membonceng wanita itu, Santoso
merasa ada sesuatu yang lain, seperti ia tak sedang menginjakkan di jalanan beraspal
yang dilaluinya.
Tak hanya itu, saat
melewatu gundukan yang biasa disebut polisi tidur pun, motor yang mereka
tumpangi lancar-lancar saja. Sedang asik-asiknya membayangkan yang macam-macam
terhadap wanita yang ada di depannya, motor itu berhenti mendadak karena ada
seekor kucing yang melintas dengan tiba-tiba sekali.
Tentu saja tubuh
Santoso merangsek ke depan sehingga tak sengaja dadanya menubruk punggung
Retnowati agak keras. Spontan darah muda Santoso langsung berdesir. Dadanya berdebar
dan nafasnya terengah.
Keringat membasahi
kening dan sebagian tubuh lainnya. Tetapi anehnya, dada Santoso yang menempel
sejenak di punggung Retnosari terasa dingin seperti menempel di balok es. Belum
sempat memikirkan sesuatu yang aneh itu, tiba-tiba dia mencium bau wangi yang
semerbak, seperti bau kemenyan yang dicampur dengan minyak wangi yang digunakan
untuk orang meninggal agar tidak berbau. Seketika bulu kuduk Santoso meremang. Seolah
dia merasa ada yang meniup kuduknya dari belakang.
Perlahan-lahan Santoso
agak menyurutkan duduknya agak kebelakang, menjauhi punggung Retnosari.
“Kok cara memboncengnya
malah menjauh, Mas. Mbok nyabuk, Mas. Biar kalau ada jalan yang ngrronjal tidak
sampai jatuh!”
Santoso tidak menjawab.
Tubuhnya terasa lelah dan matanya mengantuk sekali. Sampai SMP 4 Depok, Sleman,
di Kelurahan Babarsari, Retnosari masih melajukkan motornya hingga sampai
kemudian membelokkan motornya di perum Yadara Babarsari. Tiba di depan rumah Santoso,
wanita itu lalu menghentikan motornya. Santoso lalu turun dari boncengan. Namun,
belum sempat dia mengucapkan terima kasihnya dan sedianya mngajaknya mampir,
wanita cantik yang bernama Retnosari itu pergi begitu saja.
Santoso hanya bisa
menggelengkan kepala lalu masuk ke dalam rumah dengan perasaan aneh dan tak
menentu. Namun beberapa menit kemudian sebelum membaringkan tubuhnya ke tempat
tidur, dari masjid tak jauh dari rumahnya terdengar adzan subuh. Dia lalu
melihat jam yang ada di HP-nya dan ternyata sudah waktunya subuh.
Santoso melewatkan
sholat subuh pagi itu. Ia tertidur begitu saja setelah melihat jam di HP-nya. Agak
siangan, Santoso dibangunkan Triman. Adik sepupunya.
“Mas, sorry ya, karena
ndak bisa njemput. Semalam aku nonton bola. Ee bablas ketiduran. Sorry bener
yo, Mas!”
“Ah.., nggak papa Tri. Tapi
kamu kan sudah minta tolong orang lain untuk njemput”.
“Opo, Mas? Loh, aku
nggak nyuruh siapapun je untuk njemput sampeyan. Bener, Mas. Ndak ada!” Triman
merasa bingung sebab semalam dia merasa tidak meminta tolong kepada siapapun
untuk menjemput kakak sepupunya.
“Tetapi wanita yang
mbonceng aku semalem jare atas permintaanmu untuk menjemputku. Dan katanya dia
itu temenmu pas SMA dulu. Ojo guyon, Tri”
Triman dia sejenak. Sepertinya
ada sesuatu yang diingat-ingatnya. Santoso pun ikut terdiam.
“Ngakunya, siapa
namanya, Mas?” tanya Triman memecah keheningan sesaat tersebut.
“Retnosari!”. Jawab Santoso.
“Gusti Allah ta’ala. Sampeyan
yang bener, Mas!” sahut Triman kaget.
“Loh iya, kenapa
memang?”
“Mas, ketahuilah memang
aku dulu pernah mempunyai temen wanita yang cantik dan bernama Retnosari. Tapi ketahuilah,
Mas bahwa dia sebenarnya telah lama meninggal karena kecelakaan di pertigaan
Sendangadi deket pasar itu, pas dia dari Muntilan!” jelas Triman.
Mendengar itu, tiba-tiba
Santoso merasa ada sesuatu yang bergetar pada tubuhnya. Bulu kuduknya merinding
dan mengeluarkan keringat dingin. Membayangkan kronologis semalam. Malamnya,
dalam mimpinya, Santoso kembali bertemu dengan gadis yang bernama Retnosari. Ia
terenyum mesra pada pemuda itu dan berjanji tak akan mengganggunya lagi. Sekian.
0 on: "Di Jemput Arwah Korban Kecelakaan"