Akarasa - Serupa blencong,
matahari yang tengah memamerkan sosoknya dari balik bentangan bukit timur
kembali membuka kisah baru tentang kehidupan. Kisah baru yang sesungguhnya
hanya pengulangan-pengulangan kisah lama. Berputar layaknya yin-yang. Lingkaran
hitam-putih yang mengelabu hingga tak terlacak dengan pandangan mata wadhag
dimana batas keduanya. Kejahatan dan kebajikan yang selalu dibenarkan menurut
dasar kepentingan.
Matahari telah
melampaui puncak pepohonan. Tanpa sepengetahuan Korawa, Sengkuni menerima
kehadiran beberapa petinggi Astina – Durna, Bisma, dan Salya – di rumahnya yang
semegah istana di bilangan Plasajenar. Sesudah kembul bujana, mereka dibawa
Sengkuni memasuki salah satu ruangan di rumah itu. Mereka menduduki setiap
kursi yang mengelilingi meja bundar.
“Terima kasih aku
ucapkan atas kehadiran Om Bisma, Bang Salya, dan Bang Durna.” Sengkuni membuka
pembicaraan.
“Satu hal terpenting
yang ingin aku sampaikan adalah perlunya membahas ulang tentang rencana Kurawa
untuk menyerahkan bumi Astina pada Pandawa.”
“Sengkuni!” Bisma yang
selalu membalut tubuhnya dengan jubah putih itu berkata lantang.
“Rencana Kurawa untuk
menyerahkan bumi Astina pada Pandawa telah disepakati dalam pertemuan agung.
Kesepakatan itu tak hanya datang dari Angger Drestarata dan Cucunda Duryudana,
namun juga dari kita. Kenapa kita masih ingin membahasnya lagi sih?”
“Kalau bumi Astina
diserahkan Kurawa pada Pandawa, lantas bagaimana dengan kedudukan kita?”
“Pertanyaanmu salah, Dik
Sengkuni!” Salya angkat bicara.
“Bukankah kau tengah
mengkhawatirkan atas kedudukanmu sebagai patih yang dipastikan terguling, bila
Kurawa menyerahkan bumi Astina pada Pandawa?”
“Ehm…. Bener, bang
Salya!”
“So….” Durna
terperangah.
“Dik Sengkuni mengundang
kami ini hanya untuk mendukungmu agar tetap langgeng sebagai patih di Astina,
begitu?”
“Absolutely, Bang
Durna.”
“Kalau itu yang menjadi
tujuan Dik Sengkuni, aku ndak ndukung wes.”
“Ana juga nggak,” kata
Salya.
“Apa lagi saya gaes,”
lanjut Bisma.
“Ok!” Sengkuni menghela
napas.
“Kalau Paklek Bisma, Bang
Salya, dan Bang Durna tidak mendukungku; terpaksa aku membongkar kejahatan
kalian di hadapan Bang Drestarata, Ananda Duryudana, dan Kurawa.”
“Tunjukkan dimana letak
kejahatanku pada Astina?” tanya Bisma, Salya, dan Durna dengan serempak.
“Semut tampak di
kejauhan, gajah tak tampak di pelupuk mata.” Sengkuni tersenyum dingin.
“Kalian telah menerima
uang dengar sepuluh M dariku atas pembangunan Balai Sigalagala. Masihkan kalian
ingat atas kejahatan kalian itu?” Wajah Bisma, Salya, dan Durna sontak sepasi
matahari tersaput awan tipis. Lantaran tak ada pilihan lain, mereka terpaksa
mendukung tujuan Sengkuni. Sekalipun mereka harus menjilat ludah sendiri.
Mencabut kesepakatan mereka atas penyerahan bumi Astina dari pihak Kurawa pada
pihak Pandawa.
Menjelang kehadiran duta
agung Pandawa – Sri Kresna, Duryudana beserta seluruh petinggi melaksanakan
pertemuan di balairung kerajaan. Lantaran bujuk-rayu Sengkuni yang didukung
Bisma, Salya, dan Durna; Duryudana mencabut kesepakatan untuk menyerahkan bumi
Astina pada Pandawa. Karenanya pada Sri Kresna yang baru hadir, Duryudana
berucap lantang,
“Bumi Astina akan aku
serahkan pada Pandawa, bila Kurawa telah menjadi tumbal Kurusetra!”
Halilintar meledak
bersama hujan darah yang tumpah dari langit. Bersama Sri Kresna yang meninggalkan
balairung tanpa pamit pada Duryudana dan seluruh petinggi Astina. Pulang ke
Amarta untuk mengabarkan pada Pandawa, “Baratayuda akan segera digelar di
Kurusetra!”
Hari pertama Baratayuda,
Korawa unggul di Kurusetra seusai gugurnya Seta di tangan Bisma. Hari ke dua,
Bisma gugur di tangan Srikandi. Hari ke tiga, Bogadenta gugur di tangan Bima.
Hari ke empat, Sarjakusuma gugur di tangan Abimanyu. Hari ke lima, Dursasana
gugur di tangan Bima. Hari ke enam, separoh Korawa gugur tertimpa mayat
Gatotkaca yang jatuh dari langit. Hari ke tujuh, Karna gugur di tangan Arjuna.
Hari ke delapan; Durna gugur di tangan Trustajumena, dan Salya gugur di tangan
Puntadewa.
Hari ke sembilan,
Sengkuni menghadap Doryudana. Berwajah muram, namun hatinya berbunga-bunga.
Karena penghalang yang dihadapinya untuk menjadi raja Astina tinggal Doryudana,
Pandawa, Kresna, Setyaki, Udawa, Trustajumena, dan Srikandi.
“Ampun, Ananda Prabu!”
Sengkuni menghaturkan sembah bakti.
“Perkenankan hamba
melaporkan kenyataan buruk di Kurusetra! Seluruh senopati dan Kurawa telah
binasa di tangan Pandawa. Bang Krepa, Aswatama, dan Kartamarma meninggalkan
palagan sebagai pecundang.”
“Bukankah Om Sengkuni
juga seorang pecundang? Lebih baik mati di palagan dari pada menghadapku hanya
untuk menyampaikan kabar buruk!”
“Ampun, Paduka! Hamba
menghadap Ananda Prabu bukan lantaran takut mati, namun untuk menyampaikan
pernyataan Bima. Ia mau bertarung dengan hamba, sesudah dapat mencabik-cabik
tubuh Ananda Prabu.”
Serupa hutan kerontang
di musim kemarau panjang, jiwa Duryudana terbakar dengan kata-kata yang keluar
dari mulut busuk Sengkuni. Tanpa melontarkan sepatah kata, Duryudana
meninggalkan perkemahan Bulupitu. Dengan memanggul Kyai Gada Inten di pundak
kirinya, ia menuju Kurusetra. Dari puncak bukit, Sengkuni menyaksikan pertarungan
hidup-mati antara Duryudana dan Bima.
Dalam hati berharap,
keduanya gugur bersama di medan laga. Namun saat menyaksikan kepala Duryudana
hancur dihantam Bima dengan Kyai Gada Rujakpala, Sengkuni memasuki hutan untuk
mengatur siasat. Sekian lama tinggal di hutan; Sengkuni bertemu dengan Krepa,
Kartamarma, dan Aswatama. Kepada mereka, Sengkuni yang memastikan kalau Pandawa
telah singgah di Astina kemudian bersekutu. Berencana menghabisi keluarga
Pandawa di waktu malam.
Bertepatan gerhana
bulan; Sengkuni, Krepa, Kartamarma, dan Aswatama menuju Ibukota Astina. Seusai
mengerahkan aji Begananda, mereka memasuki kedhaton. Menghabisi keluarga
Pandawa yang tengah terbuai dengan mimpi indah atas kemenangan Baratayuda.
Mereka membasuh
tubuhnya yang telanjang dengan darah Puntadewa, Bima, Arjuna, Nakula, Sadewa,
Sri Kresna, Setyaki, Udawa, Trustajumena, dan Srikandi sebelum memperkosa
Drupadi, Arimbi, dan Larasati. Seusai kematian Drupadi, Arimbi, dan Larasati
yang gantung diri di tamansari, Sengkuni naik takhta sebagai raja Astina. Krepa
menjabat sebagai penasihat raja. Kartamarma dinobatkan sebagai patih. Aswatama
diangkat sebagai panglima.
Kabar tentang penobatan
Sengkuni sebagai raja Astina disampaikan Gareng, Petruk, dan Bagong pada Semar
yang menyelamatkan seluruh cucu Pandawa di hutan Tikbrasara. Bersama cucu-cucu
Pandawa Semar menuju Ibukota Astina. Memberontak pada pemerintahan Sengkuni
yang telah membawa kesengsaraan pada seluruh rakyat Astina.
Pada siang yang terik,
terjadilah pertempuran sengit antara pasukan Astina dan cucu-cucu Pandawa.
Lantaran mereka tak kuasa menaklukkan Aswatama, Kartamarma, Krepa, dan
Sengkuni; Semar mengerahkan kesaktian kuncung putihnya. Mengutuk Aswatama
berubah menjadi burung kolik. Kartamarma berubah menjadi bence. Krepa berubah
menjadi gagak. Sengkuni berubah menjadi siluman yang singgah di sela-sela ruang
dan waktu. Roh jahat yang bakal merasuk ke dalam jiwa setiap pendamba kedudukan
dengan membenarkan segala cara. Akhirnya, saatnya kelir ditutup. Sesuk dilanjut
maneh…
0 on: "Ketika Sengkuni Berbagi Uang Korupsi"