Akarasa – Kentongan di
balai desa terdengar dua belas kali, pertanda malam mencapai titik puncaknya. Sementara
Pak Pasi masih termenung di emper rumahnya. Lelaki paruh baya ini adalah
kamituwo (kepala dusun), belum bisa memejamkan mata karena pusing karena banyak
warganya yang nunggak pajak.
“Aneh malam ini,
githokku (tengkuk) kok rasane prindang-prinding dari tadi. Ono opo yo. Halah! Rasah
mikir macem-macem aah, hambok sewu (seribu) genderuwo khusus malam ini aku
hadapi!” gumamnya dalam hati.
Hanya kepulan asap
rokok klobot malam itu yang menemaninya. Sementara bulu kuduknya semakin
meremang. Sementara semilir angin dingin di dusun yang berbatasan dengan hutan
jati ini semakin menusuk tulang, hingga kemudian lelaki yang bercambang lebat
ini memutuskan untuk masuk rumah.
Baru saja dia hendak
merebahkan badan di amben ruang tamunya, dia dikejutkan oleh suara ketukan
pintu. Sejenak dia terdiam, sekedar untuk memastikan apakah memang benar-benar
orang atau hanya kucing yang biasa memainkan pintu rumahnya. Ketukan semakin
keras, bahkan dibarengi dengan panggilan yang penuh ketakutan.
“Wooo! Tolong, Nak!”.
Sontak dia melompat
dari ambennya. Pintu yang berengsel lawas pun berderit. Dibuka. Tampak seorang
perempuan tua, rambutnya telah memutih semua. wajah keriput tersebut nampak
sangat pias, terlihat ketakutan dan terkesan menghiba.
“Lho, Mbah Jemirah,
wonten nopo Mbah?”
“Aku ini dari rumah anakku,
Wo.Takut nyebrang kali, tolong ya Wo, Mbah dianter”. Pinta Mbah Jemirah sambil
gemeteran.
“Memange mantu sampeyan
di mana Mbah. Kok tega ndak nganter sampeyan”. Selidik kamituwo.
“Ndak ada di rumah Wo,
kerja di kota”.
Meski sebenarnya
sedikit canggung, namun sebagai kamituwo ia tak tega juga. “Nggih pun, Mbah. Monggo Mbah, saya anter pulang!”
Tidak lebih dari sejam,
sampailah mereka ditujuannya. Memang, rumah Mbah Jemirah ini agak ndelik,
lumayan kedalam. Berada diujung dusun. Pun harus melewati kali meski airnya
tidak deras. Tak jauh dari rumahnya Mbah Jemirah ini terdapat pohon ringin yang
dikeramatkan. Orang sana menyebutnya punden. Bahkan tiap tahun, sedekah bumi
diadakan dibawah pohon rindang ini.
Sebenarnya rumah Mbah
Jemirah yang diujung dusun ini bukanlah rumah utama. Hanya sebuah gubug di
persil (tegalan) yang memang hanya untuk tempat kandang sapi. Dulu, semasa
suaminya masih hidup, gubug ini ditempati berdua. Tentu bersama sapi-sapinya
juga.
Gubug ini memang
terkesan tidak ada yang merawat. Dindingnya sebagian dari gedeg (anyaman bambu)
dan dari kulit kayu jati yang ditata sedemikian rupa. Atapnya dari ijuk yang
ditambal sana-sini dengan daun jati.
”Apa ini Mbah?”
”Ini, untukmu Wo”.
” Wah, rasah
repot-repot, Mbah”.
”Hambok dilihat dulu, sampeyan
pasti suka”.
Kamituwo Pasi menerima
butalan kain lusuh tersebut. Kemudian langsung dibukanya. Isinya botol, jelas
terlihat isinya madu asli. Memang dulunya, suaminya Mbah Jemirah ini semasa
hidupnya terkenal pemburu madu liar di hutan. Namun, yang lebih terpana adalah
buntalan kecil satunya. Ternyata didalamnya adalah beberapa keping koin-koin
emas.
“Ini nggak keliru Mbah”.
Tukas kawituwo meyakinkan.
“Ora, Wo! Iku tinggalannya
almarhum. Mbah hanya disuruh menyampaikannya padamu”.
“Matur nuwun sanget
(banget), Mbah!”. Kata kamituwo sambil membungkukkan badan.
“Oh iyo, Wo. Mbah ada
gethuk, dibawa sekalian ya. Eman-eman (sayang) nggak ada yang makan”. Kata Mbah
Jemirah sambil memberikan sebuah buntalan dari daun jati.
Sambil menerima
buntalan tersebut, kemudian kamituwo pun berpamitan pulang. Meski tidak dengan
bersiul, karena bungah mendapat rejeki yang tidak disangka-sangka ia bergegas
pulang tanpa menengok. Ingin segera sampai rumah dan mengabarkan ini pada
istrinya.
Namun sayang, sekian
lama berjalan ia hanya muter-muter yang ujungnya di pohon beringin punden
tersebut. Tak ayal, kejadian ini membuatnya kalut. Sejenak ia harus melepaskan
sangar wajahnya yang brewokan tersebut. Sementara di ujung sana. Tak jauh dari
cungkup yang biasa dipakai untuk meletakkan sajen (sesaji) berdiri mematung
Mbah Jemirah.
Namun kali ini wajah
Mbah Jemirah tampak berbeda. Wajah keriputnya lebih kelabu. Bahkan memutih
seperti kain kafan yang lusuh. Tubuh rentanya telanjang bulat dengan payudara
menjuntai hingga sedengkul.
Dengan suara khasnya ia
menyapa, “ Wo, delengno (lihatlah). Opo ilatku (lidahku) iki abang (merah). Opo
penthilku ini dowo (panjang)? Hiiiiih.. iiihh.. iiih….iiiii..”. Juluran
lidahnya semerah darah. Kontras dengan wajahnya yang putih tersebut. Sementara payudaranya
semakin memanjang hingga hampir menyentuh kaki. Bersamaan dengan itu kepalanya
memutar 360 derajat seiring dengan kekeh suara tawanya memecah kesunyian.
“Weee…”, tak sampai
menyelesaikan sebutan sebuah nama, kamituwo semaput.
Paginya, ada warga yang
melihat sepasang sandal dan senter tergeletak dibawah pohon beringin. Karena penasaran,
ketika mendongak ke atas terlihat seseorang tertelungkup disalah satu cabang
pohon besar pohon tersebut. Ternyata kamituwo yang tertidur.
Sontak kejadian pagi
itu membuat heboh warga sedusun, karena dipanggil-pangil tidak menyahut dan
hanya bengong. Kemudian warga ramai-ramai berisiatif menurunkan kamituwo secara
paksa. Kamituwo mengalami shock hebat, hingga beberapa saat kemudian baru pulih
kesadarannya.
Karena semenjak dari
atas pohon hingga diturunkan, kamituwo mendekap erat sebuah buntalan, hal ini
membuat warga penasaran dan kemudian membukanya. Ternyata isinya hanya, kreweng
(pecahan genteng), tlethong (tahi sapi), dan sebonggol ranting kering. Nuwun.
NB : Tulisan ini adalah
adaptasi kejadian nyata di sebuah dusun di daerah Bangilan, Tuban.
0 on: "Kisah Seram : Mengantarkan Wewe ke Rumahnya"