Akarasa – Selamat datang
kerabat akarasa. Memang, dalam urusan sungai yang mengalir di Jawa, Serayu
memang masih kalah panjang dengan saudara tuanya, Bengawan Solo. Namun, untuk
urusan mitos dan legenda boleh jadi sungai Serayu lebih mengesankan dibanding
kakaknya, Bengawan Solo yang beberapa waktu yang lalu unjuk rasa di berbagai
daerah yang dilintasinya.
Sungai ini mengalir
dari pegunungan Dieng, hingga bermuara di laut selatan yang berdekatan dengan
Gunung Srandil. Sebuah gunung sakral yang berada di wilayah Adipala, Cilacap,
Jawa Tengah. Sungai yang melintasi lima wilayah kabupaten Banjarnegara,
Wonosobo, Purbalingga, Banyumas (Purwakerta), dan Cilacap ini tak ubahnya urat
nadinya.
Ada banyak hal yang
menarik yang berkaitan dengan legenda Sungai Serayu ini yang berkaitan dengan
proses terjadinya serta penamaannya. Bahkan dari sumber utama alirannya.
Jika sampeyan kebetulan
ke Dieng dari arah Wonosobo, persis di sebelah kanan gapura selamat datang
itulah sumber utamanya. Masyarakat setempatnya menyebutnya Tuk Bima Lukar.
Menurut cerita atau legenda masyarakat sekitar, dipercaya bisa membuat orang
awet muda dengan membasuh muka atau mandi dengan air di tuk tersebut.
Terlepas dari mitos
tersebut, ada satu cerita legenda yang lebih menarik lagi tentang asal mula
dari sumber utama sungai Serayu tersebut. Dikisahkan, pada suatu ketika sang
pandawa sedang pergi ke Dieng untuk membangun Candi sebagai tempat pemujaan, di
tengah perjalanan salah satu orang Pandawa yaitu Bima merasa ingin buang air
kecil (kencing), lalu dia berhenti untuk kencing. Dan anehnya air kencng itu
kemudian menjadi sebuah sumber mata air yang berupa sendang.
Bima merupakan putra
Pandu Dewanata yang lahir dari rahim Dewi Kunthi Nalibrata. Bima yang pula
merupakan salah seorang saudara Bayu tersebut adalah panenggak Pendawa. Sang
senopati agung dari Negeri Amarta saat terjadi perang suci Bharatayuda di medan
laga Kurukasetra.
Sebagai ksatria yang
berjiwa sentosa, jujur, dan keras kepala; Bima tidak mudah untuk ditundukkan
setiap hasratnya. Karenanya sewaktu Bima ingin mendapatkan tirta perwitasari di
dasar samudera; tak seorang pun dari keluarga Pandhawa, Anoman (kadang Bayu),
dan bahkan ibunya sendiri tak mampu mengurungkan hasratnya itu.
Dengan sepenuh
keyakinan, Bima yang telah mendapatkan petunjuk dari Resi Kumbayana (Druna)
berangkat ke laut selatan untuk mendapatkan tirta perwitasari. Sewaktu
melangkah menuju laut selatan itu, langkah Bima meninggalkan jejak-jejak
berlubang yang kemudian menjadi sungai yang panjang, lebar, dan dalam. Sungai
itulah yang kemudian dikenal oleh masyarakat sebagai Sungai Serayu.
Menurut penuturan dari
sebagian masyarakat, bahwa nama Serayu berasal dari dua kata bahasa Jawa, yakni
sira (Anda) atau sirah (kepala) dan ayu (cantik). Dengan demikian nama Serayu
memiliki makna ‘Anda yang berparas cantik’ atau ‘kepala dengan wajah yang
cantik’. Perihal kisah yang melatar-belakangi penamaan Sungai Serayu adalah
sebagai berikut:
Pada masa pemerintahan Demak
Bintoro, hiduplah seorang sunan yang sakti mandraguna dan sekaligus menguasai
ilmu agama. Sunan yang merupakan anggota Walisongo itu bernama Sunan Kalijaga.
Beliau adalah putra Tumenggung Wilwatikta dari Kadipaten Tuban yang pula
dikenal dengan nama Raden Said.
Sebagai seorang sunan
yang memiliki tanggung jawab untuk menyebarkan ajaran agama Islam di Tanah
Jawa, Kalijaga sering menghabiskan waktunya untuk melakukan pengembaraan, dan
tinggal dari tempat satu ke tempat lainnya. Manakala perjalanannya terbentur
pada tepian sungai yang lebar dan dalam, Sunan Kalijaga (Sunan Undik)
menyaksikan kepala perempuan berwajah cantik yang muncul tiba-tiba di tengah
permukaan sungai. Dari peristiwa yang dialaminya, Sunan Kalijaga kemudian
menamakan sungai itu sebagai Sungai Serayu.
Di pegunungan Dieng
yang merupakan hulu Sungai Serayu tersebut, terdapat sejumlah candi yang
menggunakan nama tokoh wayang, di antaranya: Candi Yudhistira, Candi Bima,
Candi Arjuna, Candi Nakula, Candi Sadewa, Candi Gathutkaca, Candi Bisma, dll.
Selain candi-candi di
atas, Pegunungan Dieng yang merupakan hulu Sungai Serayu tersebut pula memiliki
Candi Semar. Sementara di Gunung Srandil sendiri yang berdekatan dengan hilir
Sungai Serayu tersebut terdapat patung Semar. Di mana patung tersebut telah
dijadikan sebagai penandaan tempat turunnya Semar (Sang Hyang Bathara Ismaya)
dari kahyangan Jong Giri Saloka ke Mercapada (Tanah Jawa) yang berada di titik
puncak Gunung Srandil tersebut.
Bila menilik dari situs
yang ada yakni Candi Semar di Pegunungan Dieng dan patung Semar di Gunung
Srandil, maka keberadaan Sungai Serayu tidak dapat dilepaskan dengan eksistensi
dewa kang apawak manungsa (dewa berwujud manusia) tersebut. Dewa yang menyamar
sebagai kawula berwatak sederhana, jujur, sabar, rendah hati, berbelas kasih,
mencintai pada sesama, dekat dengan keutamaan dan jauh dari keangkaramurkaan,
serta tidak terlalu susah bila mendapatkan cobaan dan tidak terlalu gembira
bila mendapatkan keberuntungan.
Dari sini dapat
diasumsikan kemudian kalau Sungai Serayu merupakan sungai suci yang bukan
sekadar memberikan penghidupan bagi manusia secara tulus, namun memiliki makna
simbolik yang sangat dalam. Dimana sungai tersebut dapat dimaknai sebagai cinta
kasih kudus yang mengalir terus-menerus dari sang bapa atau lingga (Pegunungan
Dieng) pada sang biyung atau Yoni (Laut Selatan).
Karenanya tak heran,
bila masyarakat yang hidup di kiri-kanan sepanjang Sungai Serayu selalu
melakukan upacara tradisi Sedekah Bumi. Upacara ini ditujukan untuk mengungkapkan
rasa syukur atas cinta kasih berwujud air kehidupan yang diberikan oleh Tuhan
melalui sungai tersebut. Selanjutnya air kehidupan tersebut tidak hanya berguna
bagi petani untuk menumbuh-kembangkan tanaman di ladang atau sawahnya, namun
pula untuk menjaga kelangsungan hidup manusia.
Berangkat dari mitos
kejadian dan penamaan, serta situs Semar yang berada di hulu dan hilir Sungai
Serayu dapat dipetik berbagai kesimpulan, antara lain:
Bila ditilik dari mitos
kejadian, maka Sungai Serayu dapat dimaknai sebagai mozaik laku transendental
Bima (manusia) yang ingin memahami ilmu sangkan-paraning dumadi (asal dan
tujuan hidup). Ilmu yang merupakan kunci di dalam mendapatkan pemahaman ilmu
manunggaling kawula-Gusti yang merukan gerbang menuju paripurnaning dumadi.
Kemudian, bila ditilik
dari mitos penamaan, Serayu merupakan sungai yang berkarakter wanita (beraliran
lembut, jernih, dan bening). Karena berkarakter wanita, Serayu tidak seperti
sungai-sungai berhulu dari kaki gunung berapi yang berkarakter garang dan
menimbulkan bencana banjir lahar dingin yang dapat membinasakan kelangsungan
hidup manusia dan menghancurkan lingkungan sekitarnya.
Selanjutnya, jika ditilik
dari situs Candi Semar di Pegunungan Dieng (hulu sungai) dan patung Semar di
Gunung Srandil (hilir sungai), maka keberadaan Sungai Serayu senantiasa
mendapatkan perlindungan dari Semar (Sang Hyang Bathara Ismaya). Sosok dewa apawak manungsa yang selalu menjaga
keselarasan hubungan kosmis, yakni: mikro-kosmis (orang-orang di kiri-kanan
sepanjang tepian sungai) dan makrokosmis (sungai yang merupakan bagian dari
alam raya tersebut). Sekian.
0 on: "Legenda Sungai Serayu : Mitos dan Laku Paripurnaning Dumadi"