Akarasa – Selamat datang
kerabat akarasa. Sebagai situs sejarah, bisa dikatakan runtuhan istana
Surosowan ini terbilang sepi pengunjung. Istana Surosowan merupakan istana kesultanan
Banten yang dibangun pada tahun 1526 pada masa kepemimpinan Maulana Hasanudin
dan Pangeran Fatahillah.
Istana berbentuk segi
empat dengan luas sekitar 3 hektar ini hampir rata dengan tanah karena dihancurkan
oleh Belanda dibawah pimpinan Daendles pada November 1808. Penghancuran istana
ini diakibatkan oleh penolakan sultan Banten untuk mengirimkan rakyatnya dalam
pembangunan jalan Anyer-Panarukan.
Akhir abad ke-8, walau
pun kompeni dapat menguasai hampir seluruh kepulauan Nusantara, namun kompeni
pun mengalami kemunduran dalam perdagangannya. Hal ini disebabkan karena
situasi moneter dunia dan masalah di dalam tubuh VOC sendiri yang kurang sehat,
mengakibatkan hutang kompeni (VOC) bertumpuk.
Di antara sebab penting
lain dalam masalah ini adalah :
Persaingan dagang yang
semakin ketat dari bangsa Perancis dan Ingris.
Miskinnya penduduk
nusantara, terutama pulau Jawa karena monopoli, sehingga rakyat tidak mampu
membeli barang dagangan yang dibawa VOC.
Turunnya harga
rempah-rempah di pasaran dunia, karena di samping seringnya penduduk pribumi
yang melanggar monopoli kompeni, Inggris pun sudah berhasil menanamnya di
India.
Banyak pegawai VOC
melakukan korupsi.
Banyak biaya yang harus
dikeluarkan VOC terutama untuk membayar tentara dan pegawainya yang sangat
besar. Demikian juga untuk menguasai daerah-daerah yang baru, terutama di Jawa
dan Madura.
Karena sebab-sebab
itulah akhirnya pada tanggal 1 Maret 1796, VOC dibubarkan. Semua kekayaan dan
utang piutangnya ditangani pemerintah kerajaan Belanda, dan sejak saat itulah
kepulauan Nusantara dijajah Belanda.
Pada tahun 1789 terjadi
Revolusi Perancis di bawah pimpinan Napoleon Bonaparte, yang mengguncangkan
Eropa. Sebagian besar Eropa dikuasai Perancis, kecuali Inggris; Belanda pun
dapat dapat dikuasainya tahun 1807 sehingga otomatis daerah jajahan Belanda,
termasuk kepulauan Nusantara berada di tangan Perancis. Louis Napoleon, adik
Kaisar Napoleon, yang diberi kuasa di Belanda, mengangkat Herman William
Daendels sebagai Gubernur Jendral di kepulauan Nusantara.
Ia datang di Batavia
pada tahun 1808 dengan tugas utama mempertahankan pulau Jawa dari serangan
tentara Inggris yang berpangkalan di India. Untuk tugas tersebut Daendels
membangun sarana-sarana pertahanan: jalan-jalan pos, personil, barak militer,
benteng, pelabuhan, rumah sakit tentara dan pabrik mesiu.
Semua itu harus segera
diselesaikan dengan dana serendah mungkin, karena memang dana dari negeri
Belanda tidak bisa diharapkan. Untuk itulah dilakukan rodi atau kerja paksa,
yaitu para pekerja tanpa upah.
Pekerjaan pertama
adalah membuat pangkalan angkatan laut di Ujung Kulon. Untuk itu Deandels
memerintahkan kepada Sultan Banten mengirimkan pekerja rodi sebanyak-banyaknya.
Tapi karena daerahnya berawa-rawa maka banyak pekerja yang mati, terkena hawa
beracun atau penyakit malaria, atau melarikan diri.
Keadaan ini membuat
Daendels marah besar dan menuduh Mangkubumi Wargadiraja sebagai biang keladi
larinya pekerja-pekerja itu. Melalui utusan Sultan yang dipanggil datang ke
Batavia, Daendels memerintahkan supaya:
Sultan harus
mengirimkan 1000 orang rakyat setiap hari untuk dipekerjakan di Ujung Kulon.
Menyerahkan Patih
Mangkubumi Wargadiraja ke Batavia.
Sultan supaya segera
memindahkan keratonnya ke daerah Anyer, karena Surosowan akan dijadikan benteng
Belanda.
Sudah tentu tuntutan
ini ditolak oleh Sultan Aliudin. Mengetahui sikap Sultan yang demikian, dengan
segera (dan sembunyi-sembunyi) dikirimnya pasukan dalam jumlah besar yang
dipimpin Daendels sendiri ke Banten, yang dua hari kemudian pasukan ini sampai
di perbatasan kota.
Kemudian diutuslah
Komondeur Philip Pieter du Puy dengan beberapa orang pengawalnya ke istana
Surosowan untuk menanyakan kembali kesanggupan Sultan, tanpa memberitahukan
bahwa pasukan Belanda sudah disiapkan di luar kota.
Namun karena kebencian
yang sudah memuncak kepada Belanda, Du Puy dan seluruh pengawalnya dibunuh oleh
pasukan pengawal kraton di depan pintu gerbang benteng Surosowan. Mengetahui keadaan
utusannya itu Daendels segera memerintahkan pasukannya untuk menyerang istana
Surosowan pada hari itu juga, yakni tanggal 21 Nopember 1808. Serangan yang
tiba-tiba ini sangat mengejutkan dan memang di luar dugaan, sehingga Sultan
tidak sempat lagi menyiapkan pasukannya.
Prajurit-prajurit
Banten dengan keberanian yang mengagumkan memper-tahankan setiap jengkal tanah
airnya. Tapi akhirnya Deandels dapat menumpas semua itu. Surosowan dapat
direbutnya, Sultan ditangkap dan diasingkan ke Ambon. Sedangkan Patih
Mangkubumi dihukum pancung dan mayatnya dilemparkan ke laut. Selanjutnya Banten
dan Lampung dinyatakan sebagai daerah jajahan Belanda. Tangerang, Jasinga, dan
Sadang dimasukkan ke dalam teritorial Batavia.
Dan sebagai Sultan
Banten diangkatlah Putra Mahkota dengan gelar Sultan Wakil Pangeran
Suramanggala (1808-1809). Walaupun masih bergelar Sultan, namun kekuasaannya
tidak lebih dari seorang pegawai Belanda. Sultan tidak mempunyai kuasa apa-apa,
dengan gaji 15.000 real setahun dari Belanda.
Tindakan kejam Deandels
ini menimbulkan kebencian rakyat kepada Belanda semakin memuncak. Perampokan
kapal-kapal Belanda sering terjadi, demikian juga pengacauan-pengacauan di
darat yang digerakkan oleh para ulama. Mereka bermarkas di daerah Cibungur,
pantai Teluk Marica.
Serangan pasukan
Belanda ke daerah ini tidak berhasil, bahkan serangan yang dipimpin Daendels
sendiri pun dapat dipukul mundur. Daendels mencurigai Sultan sebagai dalang
kerusuhan tersebut, untuk itu bersama pasukannya ia datang ke Banten. Sultan
ditangkap dan dipenjarakan di Batavia, sedangkan benteng dan istana Surosowan
dihancurkan dan dibakar (1808).
Untuk melemahkan
perlawanan rakyat, Daendels membagi daerah Banten dalam tiga daerah yang
statusnya sama dengan kabupaten: Banten Hulu, Caringin dan Anyer. Ketiga daerah
tersebut di bawah pengawasan landros (semacam residen) yang berkedudukan di
Serang. Daerah Tangerang dan Jasinga digabungkan dengan Batavia.
Untuk daerah Banten
Hulu diangkat Sultan Muhammad Syafi’uddin (1809 – 1813), putra Sultan Muhyiddin
Zainul Shalikhin, karena Keraton Surosowan telah hancur maka pusat pemerintahan
dialihkan ke keraton Kaibon. Demikianlah, semenjak
kejadian itu kesultanan Banten lenyap dan dilupakan orang. Perlawanan rakyat
yang tanpa hentinya pun dihancurkan dengan kejam.
Tentang pembuatan
pelabuhan militer di Ujung Kulon, karena banyaknya pekerja yang mati dan
daerahnya yang berawa-rawa, maka pembangunannya dihentikan, dan dipindahkan ke
Anyer. Pada tahun 1809 itu pulalah mulai dikerjakan pembuatan “jalan pos” dari
Anyer sampai Panarukan (±1000 Km) yang akan digunakan untuk kepentingan
militer; sedangkan pelaksanaan pembangunannya menjadi tanggung jawab bupati di
daerah yang dilewati jalan tersebut.
Dengan cara kerja paksa
(rodi) begini, pembangunan jalan ini selesai dikerjakan hanya dalam tempo satu
tahun dengan mengorbankan beribu-ribu rakyat Banten. Melihat tindakan
Daendels yang dianggap sangat keras, maka Kaisar Napoleon pada tahun 1810
memanggil Daendels untuk pulang ke negerinya. Sebagai penggantinya, Napoleon
menugaskan Jansens menjadi Gubernur Jendral di Hindia Belanda.
Sekitar bulan Agustus
1811 pasukan Inggris dari India, dengan menggunakan 100 buah kapal, mendarat di
Banten. Dengan mudah tentara Inggris yang dipimpin oleh Thomas Stamford Raffles
dengan bantuan beberapa raja yang sangat membenci Belanda dapat mengalahkan
tentara Belanda.
Jansen dengan beberapa
sisa tentaranya melarikan diri ke Semarang, dan akhirnya menyerah tanpa syarat.
Belanda menandatangani perjanjian menyerah pada tanggal 17 September 1811 di
Salatiga; dengan demikian seluruh daerah jajahan Perancis ini beralih tangan di
bawah kuasa Inggris.
Pada masa pemerintahan
Inggris ini, untuk memudahkan administrasi dan pengawasannya, Raffles membagi
Pulau Jawa dalam 16 daerah karesidenan. Di samping itu Raffles pun mengadakan
perubahan dalam bidang peradilan, yang disesuaikan dengan sistem peradilan di
Inggris.
Kerja rodi dan
perbudakan, karena dianggap tidak sesuai dengan “prinsip kemanusiaan” dilarang.
Untuk menambah pemasukan keuangan negara, Raffles menerapkan monopoli garam dan
menjual beberapa daerah kepada partikelir, seperti juga Daendels.
Di Banten, Sultan
Muhamad Syafiuddin, pada tahun 1813, dipaksa turun tahta oleh Raffles dan
menyerahkan jabatan pemerintahan Banten kepada pemerintah Inggris; kesultanan
Banten dihapuskan. Seluruh daerah Kesultanan Banten telah dikuasai Pemerintah
Inggris dan dijadikan sebuah karesidenan.
Dengan demikian,
berakhirlah keberadaan Kesultanan Banten. Gelar “sultan” boleh dipakai terus
dan kepada Sultan diberi 10.000 ringgit Spanyol setahun. Sultan Muhyiddin
meninggal pada tahun 1816 dan digantikan anaknya, Sultan Muhammad Rafi’uddin,
yang pada tahun 1832 diasingkan ke Surabaya karena dituduh berkomplot dengan
bajak laut.
Pada tahun 1813 itu
juga, Raflles membagi wilayah Banten dari tiga daerah menjadi empat kabupaten
yang masing-masing diperintah oleh seorang bupati:
Kabupaten Banten Lor
(Banten Utara) dengan ibukota Serang, diperintah oleh Pangeran Suramenggala.
Kabupetan Banten Kulon
(Banten Barat) dengan ibukota Caringin, diperintah oleh Tubagus Hayudin.
Kabupaten Banten Tengah
dengan ibukota Pandeglang, diperintah oleh Tubagus Ramlan.
Kabupaten Banten Kidul
(Banten Selatan) dengan ibukota Lebak, diperintah oleh Tumenggung Suradilaga.
Setelah Kaisar Napoleon
Bonaparte dikalahkan dalam pertempuran di Leipzig dan kemudian ditangkap,
Pemerintah Inggris pada tahun 1814 memutuskan dalam Convention of London untuk
menyerahkan kembali daerah bekas jajahan Belanda kepada pemerintah Kerajaan
Belanda.
Raffles, yang tidak
setuju dengan keputusan itu meletakkan jabatannya, dan digantikan oleh Letnan
Gubernur John Fendall. Pada tahun 1816 Fendall menyerahkan kepulauan Nusantara
kepada pemerintah Belanda. Demikianlah kilasan sejarah hancurnya istana
Surosowan.
Meski kini sudah hancur
dan rata dengan tanah, namun setidaknya dari runtuhan tersebut masih dapat kita
membayangkan kemegahannya. Ada beberapa pintu gerbang untuk masuk kedalam
Istana namun semuanya ditutup oleh gerbang tralis dan dapat masuk hanya lewat
pintu gerbang paling depan yang pintu tralisnya sudah jebol. Masuk ke situs ini
gratis, tahun 2014 silam, tidak tahu kalau sekarang.
Sejauh mata memandang
hampir terlihat hanya sebidang tanah yang ditumbuhi rumput dan ilalang dengan
dikelilingi Benteng. Disisi benteng
terdapat beberapa pintu untuk masuk kedalam benteng yang sangat gelap dan
terdengar suara angin berhembus dari dalam.
Menelusuri ke tengah
Istana terlihat bagian istana yang masih paling utuh setelah benteng yaitu
kolam pemandian Rara Denok. Kolam Rara
Denok berbentuk persegi empat dengan panjang sekitar 30 meter dan lebar 14
meter. Sementara kedalamannya mencapai 4,5 meter. Di tengah pemandian terdapat
kolam yang ukurannya lebih kecil, tempat istirahat bernama Bale Kambang.
Konon, air yang berada
dalam pemandian ini berasal dari danau Tasik Ardi dimana sebelum dialirkan ke
kolam Roro Denok mengalami proses penjernihan tiga tingkat terlebih dahulu
dengan cara dialirkan ke bangunan pengindelan (penjernihan) Merah, Putih dan
Emas. Terlihat sekali bahwa pada masa tersebut sudah mampu menguasai teknologi
pengolahan air keruh menjadi air layak pakai. Kini, kolam Rara Denok hanya
berisi air yang berwarna hijau dan ditinggali oleh ikan.
Pada sisi timur Istana
dekat benteng terdapat kolam lainnya.
Pada kolam ini terlihat jelas sumber air berasal dialiri dari luar benteng dan
terdapat celah jalur keluar/masuk air yang menembus benteng hingga bagian luar.
Pada kolam ini terdapat tangga yang menjadi jalan kedasar kolam.
Beralih kebagian lain
dari istana hanya terlihat susunan batu bata merah yang tingginya kurang lebih
50 cm sehingga sangat sulit sekali mengimajinasikan bagaimana bentuk dan
megahnya istana ini. Berjalan terus kebagian belakang Istana dan berpindah ke
sudut timur belakang istana terdapat sumur yang tak lagi dalam namun masih terisi
oleh air jernih. Dekat kolam terdapat celah pada Benteng yang tak diketahui apa
fungsinya.
Walaupun hanya dapat
melihat sedikit sisa dari Istana ini namun tetap berkesan. Dari sini kita dapat
melihat bahwa begitu gigihnya perjuangan masyarakat Banten menghadapi penjajah.
Namun, apa yang dibalas dari kegigihan mereka? Tahu sendiri kan apa yang saya
maksud…
Iya,miris sekali melihat reruntuhan kompleks banten lama skrg ini. Saksi bisu Perjuangan yg mengorbankan jiwa dan raga, skrg ini spt tidak dihargai sama sekali. Pdhal ini warisan sejarah yg sangat tak ternilai harganya
BalasHapus