Akarasa – Selamat datang
kerabat akarasa. Apa yang ada dibenak sampeyan ketika saya menyebut nama satu
ini, Bosscha?
Saya tidak mengatakan
semuanya, tapi lebih banyak yang akan mengatakan tempat peneropongan bintang di
Lembang. Di mesin pencari internet pun sama. Silahkan coba saja untuk sekedar
membuktikan, ketik saja ‘bosscha’ maka yang tersaji dihalaman pertama adalah
artikel yang berhubungan dengan observatorium tertua di Indonesia tersebut. Kalau
pun toh kemudian sampeyan menemukan artikel ini, sama halnya bersusah payah,
dan saya sangat mengapresiasi kunjungan sampeyan. Sebelumnya saya ucapkan
terimakasih dan semoga selalu mengunjungi akarasa ini.
Harus kita akui,
penulisan artikel tentang tokoh yang lahir di kota Den Haag, Belanda, 14 Mei
1865 ini sangat minim. Kalah dengan hasil dan peninggalannya yang membawa
manfaat baik bagi warga sekitar maupun dunia perbintangan negeri ini. Padahal, untuk
mengenal meneer Belanda yang benama lengkap Karel Albert Rudolf Bosscha ini
mesti datang ke perkebunan teh Malabar, Pengalengan, sekitar 40 kilometer arah
ke selatan dari pusat kota Bandung. Di perkebunan Malabar ini, tempat yang
paling dicintainya, adalah perpustakaan hidup yang menyimpan banyak cerita yang
belum tercatat dalam lembar sejarah yang ada kini.
Pengalengan, terutama
daerah perkebunan teh Malabar bukan tempat yang asing bagi saya. beberapa kali
saya mampir ke tempat ini, terhitung semenjak diluluhlantakkan gempa beberapa
tahun yang lalu saya mengunjungi pertama kali. Boleh dikata, Malabar menyimpan
banyak cerita bagi saya secara pribadi, salah satu diantaranya saya dalam
tulisan dengan judul Satu
Malam di Kampung Gaib Malabar.
Adalah Asep, atau warga
sekitar memanggilnya doktor (bukan dokter, ini hanya panggilan belaka) anak
juru rawat makam Bosscha suatu kali pernah cerita sama saya tentang mitos makam
Bosscha ini. Ini hanya mitos lho ya kisanak, sampeyan berhak untuk percaya dan
tidak percaya, tapi warga sekitar meyakini bahwa konon meneer Bosscha ini masih
sering menampakkan diri. Terutama pada pagi hari dan saat kabut tebal
menyelimuti perkebunan yang dirintisnya tersebut, meneer Bosscha ini seringkali
menampakkan diri sedang duduk di kursi yang ada di komplek makamnya sambil
membaca koran. Konon aktifitas penampakan ini adalah rutinitas meneer Bosscha
semasa hidupnya sebelum kemudian berkeliling mengawasi pekerjanya.
Meneer Bosscha, dalam
sejarahnya tercatat meninggal pada 16 November 1928 karena terserang tetanus. Namun,
bagaimana penyakit itu bisa menjangkitinya, tak ada yang tahu. Namun kata Asep,
cerita yang ia dapatkan dari Akinya (kakek) yang semasa hidupnya juga bertugas
sebagai penjaga makam sang juragan Bosscha yang kemudian diteruskan bapaknya
Asep (sekarang saya tidak tahu apakah masih hidup atau sudah meninggal), konon
tragedi tersebut berawal dari terjerembabnya kuda tunggangannya di Kebun
Cikolotok saat berjalan menuju Bukit Nini untuk mengawasi pekerjanya. Dari
situlah penyakit mematikan itu masuk ke tubuh sang juragan.
Menariknya, cerita
kematian meneer Bosscha ini ada bumbu romantismenya. Dikisahkah, meneer Bosscha
meninggal dunia di pangkuan Suminta, seorang buruh perkebunan. Hal ini seolah
menjadi simpul sejarah hidupnya di perkebunan yang memang terkenal dekat dan
baik hati terhadap para pekerja. Sesuai dengan permintaannya sendiri, Bosscha
dimakamkan di hutan kecil yang kini dijadikan Cagar Alam Malabar. Telegram ke
Belanda mengabarkan permintaan terakhir ini dikirim dari Gunung Puntang.
Memang, dalam sejarah
yang tercacat, meneer ini mbujang atau melajang sepanjang hidupnya. Tapi tidak
dalam cerita tutur masyarakat sekitar perkebunan Malabar, tidak
tanggung-tanggung, meneer Bosscha ini mempunyai selir atau nyai delapan orang
sekaligus. Nah, dari salah satu selirnya tersebut, sang meneer mempunyai 3
anak, 2 laki-laki dan 1 perempuan. Dua yang laki-laki sudah meninggal,
sedangkan yang perempuan masih hidup dan sekarang tinggal di Sukabumi. Anak perempuan
Bosscha inilah yang seringkali momentum natal sering berziarah ke makam
ayahnya. Masyarakat setempat sering memanggilnya Noni Bosscha.
Meneer Bosscha
terbilang masih muda ketika datang ke Hindia-Belada, Indonesi kini. Ketika itu
tahun 1887 atau ketika ia datang baru berusia 22 tahun. Awalnya, ia datang
karena membantu mengelola perkebunan milik pamannya, Edward Julius Kerkhoven,
di Sukabumi. Pada bulan Agustus 1896, Bosscha mendirikan Perkebunan Teh Malabar
dan menjabat sebagai Administratur selama 32 tahun. Selama itu, ia mendirikan
dua pabrik teh dan menjadikan perkebunannya sebagai perkebunan yang maju.
Bosscha menjelma menjadi “Raja Teh Priangan”.
Seiring dengan
keberhasilannya, Bosscha tetap mempertahankan sikap kedermawanannya. Sekolah ia
bangun untuk para buruhnya agar melek huruf. Perumahan bedeng juga ia siapkan
secara layak menggunakan bahan-bahan kualitas nomor wahid. Di luar itu, selain
tempat peneropongan di Lembang, ia juga berandil besar dalam pembangunan
Technische Hogeschool Bandung yang kelak menjadi ITB. Donasi juga ia berikan
kepada Lembaga Bisu Tuli, Lembaga Buta, Bala Keselamatan, dan beberapa rumah
sakit di Bandung.
Perkebunan Malabar
seluas 2.022 hektare yang sekarang terwariskan ke tangan anak-anak negeri,
setiap hari dapat mengolah 60.000 kilogram pucuk teh. Pemasarannya sembilan
puluh persen ke luar negeri. Tenaga kerja yang terlibat mencapai 1.860 orang.
Pola perkebunan yang
dikenalkan pemerintahan kolonial di Priangan terbukti telah meningkatkan taraf
kesejahteraan rakyat yang semula menggantungkan hidup kepada pola tanam
tradisional. Dibandingkan dengan petani di Jawa Tengah dan Jawa Timur, petani
Priangan memiliki tingkat kesejahteraan yang lebih baik. Pasalnya, hasil kebun
seperti kopi, kina, dan teh, menjadi primadona pasar dunia.
Petani Priangan pun
mendapat keistimewaan. Selain tidak menerapkan tanam paksa, pemerintah kolonial
juga mencukupi kebutuhan beras petani. Salah satu indikasi kemakmuran adalah
tidak adanya perlawanan rakyat selama abad ke 19 di Priangan. Sayangnya, potensi
yang begitu besar tak bisa tergarap dengan optimal. Jika pada abad ke 19
Hindia-Belanda menjadi pengekspor terbesar kopi dan kina dunia, kini kemunduran
terus terjadi.
Sebagai seorang
pekebun, meneer Bosscha pernah menduduki jabatan ketua biro ahli bidang teh,
ketua kebun percobaan, serta jabatan lain dibidang tanaman teh. Didalam istilah
ukuran, Bosscha mempelopori penggantian istilah pal dengan kilometer dan bahu
(Sunda=bau) dengan hektar.
Perannya sebagai
pencinta iptek dan sebagai sosiawan nampak pada peninggalannya, antara lain
peneropong bintang (Bosscha Sterrenwacht) Lembang, Technische Hoge School (ITB)
dengan laboratorium fisika, serta menjadi dewan kurator sampai meninggalnya,
lembaga tuli bisu (Doofstommen Institute), Nederland Indische Jaarbeurs
(sekarang gedung Kologdam), pendiri yayasan kanker, lembaga lepra Plantungan,
perusahaan telpon untuk Bandung dan Priangan (Telefon Maatschappij Voor Bandung
and Preanger), perusahaan listrik Bandung (de Bandungsche Electriciteists
Maatschappi), pabrik alat-alat dari karet, perusahaan impor mobil serta sederet
jabatan dan penasihat dalam berbagai bidang.
Selama 32 tahun masa
pengabdiannya di perkebunan teh Malabar, Bosscha telah berhasil mendirikan dua
pabrik teh, yaitu Pabrik Teh Malabar yang saat ini dikenal dengan nama Gedung
Olahraga Gelora Dinamika dan juga Pabrik Teh Tanara yang saat ini dikenal
dengan nama Pabrik Teh Malabar.
Pada tahun 1901 Bosscha
mendirikan sekolah dasar yang diberi nama Vervoloog Malabar. Sekolah ini
didirikan untuk memberi kesempatan belajar secara gratis bagi kaum pribumi,
khususnya anak-anak karyawan dan buruh di perkebunan teh Malabar agar mampu
belajar setingkat sekolah dasar selama empat tahun. Pada masa kemerdekaan, nama
sekolah ini berubah menjadi Sekolah Rendah, kemudian berubah lagi menjadi Sekolah
Rakyat, sampai pada akhirnya diganti lagi menjadi Sekolah Dasar Negeri Malabar
II hingga saat ini.
Pada tahun 1923,
Bosscha menjadi perintis dan penyandang dana pembangunan Observatorium Bosscha
yang telah lama diharapkan oleh Nederlands-Indische Sterrenkundige Vereeniging
(NISV). Bersama dengan Dr. J. Voute, Bosscha pergi ke Jerman untuk membeli
Teleskop Refraktor Ganda Zeiss dan Teleskop Refraktor Bamberg. Pembangunan
Observatorium Bosscha selesai dilaksanakan pada tahun 1928. Namun ia sendiri
tidak sempat menyaksikan bintang melalui observatorium yang didirikannya karena
pada tanggal 26 November 1926 ia meninggal beberapa saat setelah dianugerahi
penghargaan sebagai Warga Utama kota Bandung dalam upacara kebesaran yang
dilakukan Gemente di Kota Bandung.
Diolah dari berbagai
sumber
0 on: "Melacak Jejak Meneer Bosscha di Perkebunan Teh Malabar"