Akarasa – Selamat
datang kerabat akarasa. Beberapa bulan belakangan ini ada satu pemberitaan yang
yang membuat saya miris. Boleh toh saya miris. Lha memange miris tentang opo,
begitu kan pertanyaannya?
Sebenarnya saya tidak
tertarik dengan tulisan berbau politik, paragraf pembuka ini hanya pengantar
tulisan saja. Kita tidak bisa pungkiri, belakangan ini isu sentimen etnis
begitu mengemuka, terutama pada etnis Tionghoa. Bahkan, isu ini menjadi senjata
ampuh untuk menyerang salah satu pasangan kandidat yang kebeneran berdarah
Tionghoa. Saya tidak harus sebutkan di sini, saya yakin sampeyan tahu siapa
yang saya maksud dalam tulisan ini.
Tentu ini bukan tanpa
alasan, yang jelas ada latar belakang sebagai pemicu sentimen ini muncul. Namun,
sebelum kita mengurai lebih jauh sentimen tersebut ada baiknya kita menyusur
kembali sejarah pelayaran laksamana Cheng Ho, seorang jenderal muslim dari
Tiongkok yang berlayar keliling dunia dan tiba di Nusantara ini sekitar abad
XV. Kisah ini kita ketahui karena laksamana Ceng Ho dalam pelayarannya membawa
seorang penulis dan penerjemah yang bernama Mahuan dan tercatat dalam bukunya
berjudul Yingyai Senglan.
Dalam laporan buku itu
disebutkan bahwa masyarakat etnis Tionghoa telah tinggal di daerah pesisir Jawa
dalam jumlah yang sangat banyak,bahkan mereka datang ke daerah Jawa ini sudah
sejak nenek moyang mereka sekitar abad V masehi. Bahkan bukan di Jawa saja mereka
juga sudah menyebar di Sriwijaya, hal ini dapat di lihat dari catatan para
pendeta Tiongkok yang mengembara dari Tiongkok menuju India melewati Jawa dan
Sumatera seperti catatan pendeta Fahien tahun 399, pendeta Hiun Tsang tahun
629, Pendeta I-tsing pada tahun 671 Masehi.
Sebagai bangsa pedagang
yang berbakat, orang-orang Tionghoa ini sudah menguasai perdagangan di pulau
Jawa dan Sumatera sejak masa kerajaan Sriwijaya dan kerajaan Jawa. Bahkan
mereka jugalah yang berpengaruh sejak Majapahit menjadi kerajaan besar di
Nusantara. Bahkan dalam buku Prof. Slamet Mulyana disebutkan bahwa masuknya
Islam ke pulau Jawa juga tidak luput dari peranan etnis Tionghoa yang beragama
Islam pada abad ke XIV.
Kembali pada topik
sejarah sentimen terhadap etnis Tionghoa. Kalau kita telisik dari sejarah
semenjak abad V hingga abad XV dalam rentang waktu 1000 tahun itu, Nusantara
(indonesia) ini tidak pernah terjadi
sentimen terhadap etnis Tionghoa. Bahkan, kalau mau jujur, justru etnis
Tionghoa lah yang banyak memberi sumbangsih memajukan perdagangan di Nusantara
ini. sentimen etnis Tionghoa ini terjadi setelah masuknya kumpeni Belanda
(VOC).
Kedatangan orang
Tionghoa di Indonesia pada umumnya datang sendiri sendiri, terkhusus di Jawa.
Karena mereka datang secara individu atau kelompok kecil, maka mereka
beadaptasi dengan budaya setempat, menikah dengan gadis gadis pribumi, sehingga
masuk generasi ketiga, orang Tionghoa sudah sangat membaur dengan budaya lokal,
entah bahasa, makanan, maupun pakaian.
Sangat berbeda dengan
kedatangan orang Tionghoa di Sumatra dan Kalimantan yang sifatnya seperti bedol
desa pada masa Belanda. Karena yang dibawa adalah satu komunitas besar, maka di
tempat yang baru, mereka masih sangat mempertahankan tradisi leluhur. Khusus di
Jawa, akibat sistem kawin campur maka muncul istilah peranakan dan totok atau
singkeh. Peranakan merujuk pada orang Tionghoa yang sudah turun temurun lahir
di Indonesia, sementara singkeh adalah orang yang baru datang dari Tiongkok.
Orang Tionghoa baru
membawa wanita dari Tiongkok setelah akhir abad 19 akibat ditemukannya kapal
uap. Istilah peranakan sendiri awalnya ditujukan kepada orang Tionghoa yang
beragama Muslim. Menjadi Muslim karena mereka menikah dengan wanita pribumi
yang Muslim. Sebelum tahun 1740, orang
Tionghoa bebas kemanapun, namun setelah peristiwa geger pecinan yang terjadi di
Batavia, maka dilakukan sistem wijkenstelsel dan passenstelsel.
Sistem ini merupakan sistem
pemukiman dimana orang orang Tionghoa harus tinggal dalam suatu kamung khusus
orang Tionghoa, dan mereka tidak sembarangan keluar dari kampung itu.
Seandaianya bisa keluar dari kampung itu, mereka harus menggunakan surat pass
jalan agar bisa leluasa keluar masuk kampung komunitas lain. Selain itu, untuk
bisa membedakan orang Tionghoa dan pribumi, mereka dilarang menggunakan pakaian
pribumi, mereka harus menggunakan pakaian yang bisa menjadi penanda mereka orang
Tionghoa.
Pada jaman kumpeni
Belanda, tahun 1680, para pedagang Tionghoa memegang peranan penting dalam
perekonomian di Batavia. Bahkan usaha penjajah untuk memonopoli pun terhambat
dan mereka terpaksa berbisnis dengan para pedagang Tionghoa tersebut.
Akibatnya, penjajah merasa terancam karena keberadaan orang Tionghoa secara
tidak langsung menyokong kehidupan pribumi di Indonesia, dan jika orang
Tionghoa dan pribumi bersatu untuk melawan, para penjajah akan kewalahan.
Karena itulah, para penjajah berusaha mengadu domba pribumi dan orang Tionghoa,
dan mereka berhasil.
Pada tahun 1740, karena
krisis ekonomi yang disebabkan oleh turunnya harga gula di pasar global,
Belanda hendak mengikis upah gaji para pekerja dengan cara memindahkan para
kuli yang sebagian besar adalah pribumi, ke Afrika. Padahal maksud sebenarnya
adalah mereka bermaksud membuang para kuli itu ke laut lepas diam-diam. Entah
bagaimana caranya, isu tersebut tersebar dan para pedagang Tionghoa di Batavia,
menggalang kekuatan untuk menyerbu kapal-kapal Belanda tersebut. Pertumpahan
darah pun tidak dapat dielakkan.
Akibat perlawanan
tersebut, Belanda mengeluarkan perintah untuk memeriksa dan melucuti para
pedagang Tionghoa, namun yang terjadi sebenarnya adalah pembantaian besar-besaran
di mana dalam 3 hari, 50.000-60.000 orang Tionghoa dibunuh. Belanda juga
mengeluarkan dekrit bahwa orang Tionghoalah yg berencana membunuh para kuli
pribumi dan mereka seolah-olah bertindak sebagai penyelamat bagi orang-orang
pribumi. Kemudian Belanda juga menjanjikan imbalan bagi setiap kepala orang
Tionghoa yang berhasil dibunuh.
Inilah awalnya
perselisihan antara Tionghoa dan pribumi. Konon, nama Kali Angke yang ada di
daerah Jakarta Utara berasal dari kata Sungai Merah yang menggambarkan kejadian
pembantaian saat itu di mana sungai-sungai menjadi warna merah oleh darah
Tionghoa.
Saat terjadi
pembantaian orang Tionghoa di Batavia, pejabat tinggi Belanda sebenarnya sangat
khawatir dengan reaksi Tiongkok. Namun dalam paham Kong hu chu, orang Tiongkok
yang meninggalkan kampung leluhurnya untuk ekonomi dianggap sebagai penghianat.
Mereka yang kembali ke Tiongkok untuk mengunjungi keluarganya akan ditangkap
dan bisa dibunuh oleh tentara kerajaan. Dari sini bisa diambil keputusan bahwa
kaisar Tiongkok saat itu tidak peduli dengan pembantaian puluhan ribu orang
Tionghoa di Batavia.
Dinasti Mancu atau
Ching baru menaruh perhatian pada orang Tionghoa perantauan kala mereka memang
membutuhkan dana besar untuk pembangunan di negerinya, sehingga meminta bantuan
pada orang Tionghoa perantauan dan itu baru terjadi pada awal abad 20, sementara
kasus geger pecinan masih abad 18.
Jika ditanya siapa
leluhur orang Tionghoa di Indonesia, maka yang dimaksud generasi pertama orang
Tionghoa peranakan adalah orang yang pertama datang ke Nusantara, bukan leluhur
yang langsung dari Tiongkok. Hal ini secara tidak langsung memutushubungan
dengan Tiongkok. Karena leluhur yang besar dan tinggal di Tiongkok tidak
dianggap sebagai generasi pertama orang Tionghoa peranakan.
Umumnya generasi
pertama peranakan di Indonesia adalah pada abad 17 hingga 18, saat orang orang
Tiongkok berduyun duyun mendatangi Batavia yang sangat membutuhkan tenaga kerja
dalam jumlah besar. Orang Tionghoa sangat dibutuhkan oleh orang Belanda karena
kedudukannya sebagai pedagang perantara, terutama di pedalaman. Selain itu
orang Tionghoa menjadi penyewa hak (pacht system) seperti hak monopoli candu,
pajak gerbang tol dan juga rumah pegadaian.
Hubungan antara orang
Tionghoa dan pejabat menjadi sangat erat. Hal ini mengakibatkan orang Tionghoa
peranakan banyak melakukan perkawinan politik dengan anak anak bupati agar bisa
mendukung perekonomian mereka. Namun hubungan ini berakhir saat system pacht
ditinggalkan oleh pemerintah Hindia Belanda. Akibat politik etis, maka orang
Tionghoa menuntut untuk bisa leluasa keluar dari kampung kampungnya.
Demikianlah jika kita
membongkar sejarah sentimen terhadap etnis Tionghoa, ternyata adalah akibat adu
domba kolonial Belanda yang kalah bersaing dengan etnis Tionghoa yang berdagang
sejak lama di Nusantara. Bahkan karena tahu orang lokal yang disebut Pribumi
oleh Belanda yang akan diangkut dan dibuang ke laut lepas Afrika, justru etnis
Tionghoa menyerbu kapal-kapal Belanda untuk menyelamatkan para kuli yang disebut
sebagai pribumi. Jadi istilah pribumi itu adalah istilah Belanda yang kasar
terhadap kaum kuli pekerja kasar yang disebut sebagai Inlander (Pribumi )
orang-orang rendahan. Nuwun.
Tabiiiik!
0 on: "Mengurai Sejarah Sentimen Antar Etnis Warisan Belanda"