Akarasa – Selamat
datang kerabat akarasa. Ponorogo. Apa yang terlintas dalam benak sampeyan
begitu mendengar nama kota ini? Pasti reyog jawabannya. Tidak salah, karena
memang nama kota ini memang identik dengan kesenian tradisonal yang sudah
mendunia ini. Tapi tidak banyak yang tahu, selain reyog ada keunikan lain yang
tersembunyi dibalik kotanya para warok ini, yakni Dusun Sodong. Lantas, apa
istimewanya? Terus ikuti tulisan ini hingga akhir.
Sodong yang kita
bicarakan ini adalah sebuah dusun yang secara geografis berada di daerah
perbatasan Jawa Tengah dan Jawa Timur, tepatnya di daerah perbatasan antara
Kabupaten Ponorogo dan Kabupaten Wonogiri, berada di tengah empat pegunungan,
dihuni sekitar 200 KK yang 40 % persennya adalah pemeluk Buddha. Walaupun demikian,
kehidupan masyarakat Sodong jauh dari isu-isu sentimentil yang mengatasnamkan
agama. Mereka hidup harmonis dalam keberagaman.
Dusun Sodong ini
terbilang tak begitu subur-subur amat, bahkan bisa dibilang tandus yang diapit
hutan jati milik Perhutani. Masyarakat setempat banyak mengandalkan mata
pencaharian dari bertani, dan yang dihasilkan dari hanya bertanam singkong.
Tidak aneh, bahwa dilihat dari kondisi pemukiman, daerah ini merupakan daerah
miskin. Sebagian lainnya, bekerja sebagai
buruh di daerah-daerah sekitarnya.
Selain sisi menarik
harmonisnya Sodong dalam berkehidupan beragama yang harmonis, sisi yang lain adalah
pemeluk Buddha di sini memiliki satu tradisi religi yang terbilang unik, yakni
sebentuk kidungan (mirip dengan pembacaan syi’ir dalam tradisi Islam) yang
seringkali dilaksanakan pada bulan purnama. Di dusun terpencil ini, komunitas
Buddha senantiasa berusaha menjaga dan menghidupi agama Budha yang disahkan
oleh pemerintah daerah sejak 1965.
Salah satu tokoh kunci
dalam komunitas tersebut, adalah laki-laki bernama Mbah Saimin. Dalam
komunitasnya, ia merupakan pendeta Budha dari aliran Terawedha. Dalam menjaga dan
menghidupi komunitasnya itu, Mbah Min --pangilan akrab yang diberikan warga
setempat kepadanya-- menggunakan pendekatan budaya dan tidak memanfaatkan
doktrin-doktrin agama. Warga komunitasnya diberi hak sepenuhnya untuk memeluk
agama apa pun. Karena itu, komunitasnya bisa hidup berdampingan dengan
komunitas budaya dari agama lain, seperti Islam.
Konsistensi dan
intensitas kehidupan budaya yang selaras itulah, yang kemudian membuat Dusun
Sodong jadi menarik. Dalam kondisi sosial,
budaya, dan fisik semacam itu, Mbah Min dan keluarganya merefleksikan sikap
tata kehidupan budaya yang selaras melalui aksi --atau laku-- jalan kehidupan
dengan memanifestasikan bahwa manusia layaknya seperti sandal. Maknanya, sandal
adalah alat (alas kaki) yang ada --diadakan, dibuat-- untuk dibutuhkan. Jika
kebutuhan selesai, maka sandal itu akan digeletakkan, dibiarkan begitu saja.
Artinya, manusia itu ada, hidup untuk berperan memenuhi kebutuhan orang lain.
Pandangan itu, bersumber pada filosofi sak dermo titah.
Mbah Min sebagai
sesepuh dusun komunitasnya berperan besar menjaga pola tata nilai budaya
kehidupan tani yang guyub (bersatu) dan rukun (damai). Dalam memberikan
pitutur, wejangan tentang hal agama Budha, Mbah Min mengerjakannya melalui
tetembangan (nyanyian) yang menggunakan tembung (syair) yang indah agar pola
hidup mempunyai unggah-ungguh atau etika.
Metode itu digunakan
agar tujuan pitutur tidak langsung menyinggung perasaan orang yang dinasihati,
namun menjadi pepeling (pengingat-ingat) sebagai refleksi, sehingga pitutur
atau piwulang (pembelajaran) lebih bersifat sanepan atau menggunakan bahasa
metafora. Pandangan atau pengetahuan lokal, serta pemaknaan kehidupan atau
kearifan lokal, didapatkan Mbah Min melalui intensitasitasnya dan rajinnya dia
membuka setiap malam kitab-kitab Wedha, Santhi, Badra Santhi, Darmogandhul, Jongko
Joyoboyo, dan Jati Kusumo.
Kitab-kitab itu,
dibacanya dengan uro-uro gending (berdendang) yang memunculkan laras (nada dan
irama), agar orang yang mendengar memaknai hidup menjadi selaras.
Tembang-tembang itu, dilantunkan Mbah Min tiap malam semasa hidupnya.
Sebagai tokoh komunitas
Sodong, Mbah Saimin berusaha memberikan penjelasan berkait dengan agama.
Menurutnya agama adalah ageman (pakaian) dan “pakaian berfungsi penutup badan
(lahiriyah) semata, adapun nama dan jenis pakaian dapat saja bermacam–macam,
akan tetapi fungsinya sama yakni sebagai penutup aurat (badan), demikian juga
halnya dengan agama”, namun demi kepentingan administratif kependudukan
(seperti KTP, perkawinan) menganut agama secara formal kemudian dilakukan.
Dari literasi yang saya
dapatkan, kapan kepercayaan yang dianut Mbah Saimin kemudian diklaim identik
dengan agama Budhha ini belum jelas, meski sebagai simbol dari agama tersebut
telah didirikan tempat peribadatan berupa Vihara.
Perihal pembangunan
Vihara di Sodong ini berkait erat hubungannya dengan beberapa pengusaha China
dan dukungan Pak Bolo, seorang guru Budha dan
Maryadi, seorang ABRI, keduanya dari Madiun. Proses Budhanisasi ini di
lakukan oleh salah satu sekte Budha, yakni Budha Theravada. Sampai kini,
ritualitas agama Budha terwujud dalam setiap kali peringatan Waisak, yang
banyak di hadiri oleh mereka dari luar daerah, termasuk dari Surabaya dan
tempat yang lain. Ritual persembahyangan juga diselenggarakan pada malam Jum’at
Pahing.
Dalam Vihara Budha,
simbol-simbol agama Budha nampak jelas, dan di dalamnya terdapat patung
Sidharta Gautama, padahal dalam beberapa kali kesempatan bertemu dengan anggota
masyarakat yang lain, selalu menegaskan berkali-kali pula, bahwa secara formal
sebagian dari mereka memang beragama Buddha dan sebagian lagi Islam, satu hal
yang oleh mereka dianggap tidak penting, karena menurut mereka soal agama hanya
semata-mata soal pakaian, soal administratif semata.
Mbah Min sebagai
seorang sesepuh masyarakat setempat, bukan tokoh satu komunitas agama saja. Saat
ada hajatan selamatan kelahiran, Mbah Min juga masih diundang untuk membacakan
‘kidungannya’ di rumah warga setempat, baik mereka yang ‘beragama Budhha’ maupun
‘beragama Islam’. Perbedaan dan pembedaan agama mereka rupanya tidak cukup
mampu membatasi interaksi budaya mereka, Mbah Min tetap saja menjadi seorang
dalang kidung di banyak tempat di daerah itu.
Cukup menarik untuk
menelusuri sejarah keberagaman Sodong ini. Dalam sejarahnya, Sodong merupakan
titik penting dalam sejarah Ponorogo terutama kaitannya dengan pergulatan
politis kekuasaan masa lalu antara kekuatan rezim legendaris Surakarta dalam
sejarah Ponorogo, yakni Bathoro Katong. Bathoro Kathong sendiri dalam keyakinan
masyarakat Budha Sodong diyakini adalah putra dari raja Majapahit, Brawijaya V.
Pergulatan pengaruh
penguasa Ponorogo masa lalu ini terhadap Kasunanan Surakarta diwujudkan dengan
upaya agresi Bathoro Katong dengan menancapkan pengaruh kuat di daerah
perbatasan, dan Gelang Kulon (Sodong) adalah salah satu titik yang menjadi
daerah perebutan pengaruh ini. Gelagat ini dicium oleh penguasa Surakarta
dengan mengirimkan dua orang utusan punggawa bersama prajuritnya untuk
menghadang agresi, yakni Den Bagus Plompong dan Den Bagus Karang.
Kedatangan kedua orang
punggawa beserta prajuritnya ini telah dicium oleh Bathoro Katong. Singkat
cerita, Bathoro Katong pun mengerahkan prajuritnya untuk menghadang kedua
punggawa Surakarta tersebut, namun gelagat dari Bathoro Katong mengirimkan
pasukan ini telah diketahui oleh Den Bagus Plompong dan Den Bagus Karang.
Mereka lalu membuat semacam pesanggrahan untuk menjaga daerah kekuasaannya. Tempat
ini sekarang di sebut Selo Bale, dan telah menjadi tempat sakral yang diziarahi
(danyangan) bagi masyarakat setempat, terutama pada malam pergantian tahun Jawa,
tanggal 1 Suro. Selanjutnya sesama prajurit Bathoro Katong saling berkelahi
tanpa diketahui secara pasti apa penyebabnya, yang jelas karena hal inilah,
Bathoro Katong gagal menancapkan pengaruh kekuasaan di daerah ini.
Dalam masyarakat
Ponorogo, Bathoro Katong adalah tokoh dan penguasa pertama yang paling
legendaris. Nama Bathoro Katong diabadikan sebagai nama stadion, nama jalan
utama Ponorogo dan setiap tahun diperingati dalam bentuk kirab pusaka milik
Bathoro Katong dari makamnya ke pendopo Kabupaten. Bathoro Katong, bukan
sekedar figur sejarah semata, namun telah berubah menjadi ikon kekuasaan
politik Ponorogo sampai sekarang.
Tidak ada penguasa
Ponorogo, yang bisa melepaskan dari figur sejarah legendaris ini, namun Mbah Min
punya pandangan yang agak berbeda dalam memandang Bathoro Katong dari versi
yang lebih dulu terkenal. Dari titik ini dapat ditelusuri bagaimana Mbah Min
dan komunitas kebudayaan Sodong berhadapan dengan rezim kekuasaan dengan sebuah perlawanan simbolik terhadap
pusat kekuasaan.
Bathoro Kathong dalam
versi komunitas Sodong juga merupakan putra Prabu Brawijaya V, tepatnya adik
Raden Fatah pendiri Demak Bintoro. Sejak awal dia ingin meruntuhkan dominasi
Majapahit -yang kebetulan memiliki kepercayaan Hindu-Budha- dengan kekuasaan
baru Demak Bintoro yang berlandaskan Keislaman. Brawijaya V pada masa hidupnya
berusaha diIslamkan oleh para wali, Mbah Min menyebutnya dengan Sunan Wolu. Dalam
versi ini, para Wali Islam tersebut membujuk Prabu Brawijaya V untuk dikawinkan
dengan seorang Putri Campa yang beragama Islam, bernama Dewi Mursiyah. Para
wali sendiri dipandang sebagai pembujuk, dan penghasut Prabu Brawijaya V.
Brawijaya V sendiri
gagal untuk di Islamkan, tetapi perkawinannya dengan putri Campa itu justru mengakibatkan
meruncingnya konflik politik di Majapahit, yang secara langsung berhubungan
dengan dinamika perebutan pengaruh di daerah-daerah kekuasaanya termasuk
Wengker (Ponorogo). Perkawinan Prabu Barwijaya V dengan Dewi Mursiyah
memunculkan reaksi ‘protes’ dari elit istana yang lain. Seorang punggawa Prabu
Brawijaya bernama Raden Ketut Suryongalam, kemudian memutuskan untuk keluar
dari Majapahit, dan membangun ‘daerah’ tersendiri di tenggara Gunung Lawu
tepatnya di Kutu (tenggara kota Ponorogo).
Ki Ageng Ketut
Suryangalam ini kemudian di kenal sebagai Ki Ageng Kutu atau Demang Kutu. Pada
akhirnya, upaya Ki Ageng Kutu untuk memperkuat basis di Ponorogo inilah yang
pada masa selanjutnya di anggap sebagai ancaman oleh penguasa Majapahit, yang
selanjutnya pandangan ini dimiliki juga dengan kasultanan Demak sebagai penerus
‘kejayaan’ Majapahit dengan warna Islam-nya.
Pada saat itulah
penguasa Demak mengirimkan seorang ‘putra terbaiknya’ yakni Bathoro Katong
dengan salah seorang santrinya bernama Selo Aji. Singkat cerita terjadilah
pertarungan antara Bathoro Katong dengan Ki Ageng Kutu. Ditengah kondisi yang
sama sama kuat, Bathoro Katong kehabisan akal untuk menundukkan Ki Ageng Kutu.
Kemudian dengan ‘akal cerdasnya’ Bathoro Katong berusaha mendekati putri Ki
Ageng Kutu yang bernama Niken Sulastri, dengan di ‘iming-imingi’ akan di
jadikan istri.
Niken Sulastri inilah
yang dimanfaatkan Bathoro Katong untuk mengambil pusaka pamungkas Ki Ageng Kutu,
yakni Koro Welang. Pusaka pamungkas Ki
Ageng Kutu ini sampai sekarang masih ada dan diarak setiap tahun dalam acara
Hari Jadi Ponorogo dari makam Batho Katong menuju Pendopo Agung Kabupaten
Ponorogo. Pertempuran berlanjut dan Ki Ageng Kutu menghilang, pada hari Jumat
Wage di daerah Wringin Anom ,Sambit, Ponorogo. Dalam kaitan ini diyakini oleh konunitas Sodong bahwa Ki Ageng
Kutu tidak mati sampai sekarang.
Pandangan ‘berbeda’
Mbah Min terhadap figur Bathoro Katong memang dapat diketegorikan langka.
Apalagi ini muncul dari seorang tokoh masyarakat yang memimpin sebuah komunitas
yang beragama minoritas atau secara formal beragama Buddha, di tengah masyarakat
santri yang memandang formalisme keberagamaan sebagai suatu ukuran beradabnya
masyarakat. Pandangan formalisme kebergamaan ini sangat terlihat -misalnya-
dari reaksi atas pendirian Vihara pada tahun 1982, yang mengakibatkan guru-guru
Agama Islam serta tokoh-tokoh agama setempat bahu-membahu dalam mendirikan
masjid sebagai penghadang budhanisasi.
Pandangan negatif
terhadap figur Bathoro Katong dan pemujaan terhadap figur Ki Ageng Kutu, tidak
lain adalah sebuah ‘perlawanan simbolik’ terhadap sejarah dominan yang
berkembang di tengah masyarakat Ponorogo. Terlebih lagi kini, figur Bathoro
Katong, bukan hanya figur sejarah semata, namun telah menjadi simbol kekuasaan
di Ponorogo. Bathoro Katong lebih dilihat sebagai seorang penjajah yang begitu
licik mengalahkan kekuatan lokal dalam hal ini diwakili oleh Ki Ageng Kutu.
Perbedaan pandangan ini juga menyiratkan sebuah ‘siasat’ terhadap sebuah
dominasi nilai tertentu, dan juga masyarakat setempat, secara simbolik masih
merawat keberadaan Selo Bale, yang tidak lain adalah monumen kekalahan pasukan
Bathoro Katong, sebagai salah satu tempat suci.
Bentuk resistensi
secara simbolik terhadap kekuasaan lokal diperlihatkan secara cerdas oleh Mbah Min
sesepuh masyarakat Sodong. Perlawanannya terhadap narasi dominan sebenarnya
mereka ingin mengatakan bahwa kami memang berbeda, hanya saja dengan cara yang
cukup santun.
Di luar penilaian atas
simbol kekuasaan di atas, mulai tahun 1982 masyarakat Sodong, harus berurusan
dengan persoalan administratif saat perkawinan. Beberapa tahun terakhir, banyak
pasangan suami istri (rata-rata sudah tua) yang diputihkan kembali
pernikahannya dengan perkawinan secara keagamaan, karena sebelumnya mereka
masih menikah secara adat, yang tidak diakui oleh negara. Sejak secara perlahan
mereka diharuskan menganut agama formal yakni Islam dan Buddha, mereka harus
melakukan pernikahan kembali secara agama.
Sebagian yang beragama
Budhha mendaftarkan perkawinan mereka ke Catatan Sipil. Sebagaimana bagi mereka
yang beragama Islam, harus ke KUA. Inilah yang menjadi alasan, mengapa Mbah Min
dan sebagian masyarakat setempat kemudian mengalah untuk secara formal dicatat
beragama Buddha, sebagaimana yang lain kemudian memilih ‘ageman’ Islam,
meskipun sampai kini mereka tetap memegang keyakinan dan kedirian mereka, dan
terus meneruskan kepercayaan yang
diwariskan nenek moyang mereka, walau pun “peng-agama-an” itu ternyata telah
memotong proses reproduksi ajaran kepada anak cucu orang Sodong, yang tak lagi
mengenal kediriannya dan sejarah masyarakatnya.
Sodong, memang hanyalah
satu titik dalam peta Ponorogo, namun daerah ini menjadi simbol pergulatan dan
upaya dominasi dari berbagai kebudayaan dan kepercayaan. Bukankah kebudayaan
memang merupakan proses pergulatan komunitas manusia dengan kehidupan di
sekitarnya? Nuwun.
BalasHapusArtikel ini menarik, melihat ternyata di Ponorogo ada Vihara pula. Bila boleh saya mengoreksi, ada beberapa penulisan yang ditulis "Budha", karena seharusnya ditulis "Buddha". "Budha" berbeda dengan "Budha" karena Budha sendiri adalah dewa penjaga para pedagang dalam kepercayaan Hindu.
Kemudian untuk "Terawedha" yang benar adalah "Theravada". Mohon maaf bila lancang, saya hanya ingin meluruskan, agar tidak terjadi kesalahan informasi.
Terimakasih atas koreksi dan kunjungannya Kang. Insya Allah saya edit ulang. Nuwun
Hapus