Akarasa – Sugeng rawuh
kadang kinasih. Saya masih inget betul hari itu. Sembilan hari persis setelah
tanggal lahir saya, atau lebih tepatnya 31 Oktober 2010 akhirnya Merapi di
rembang petang meletus juga. Sebagai orang yang lahir dan besar di pesisir
utara Jawa, menyaksikan gunung meletus dan hampir sepanjang hari sebelumnya di
goyang gempa adalah kejadian yang tak terlupakan. Sore itu, adalah letusan
pertama sebelum letusan utama 4 hari kemudian.
Namun, pada kesempatan
kali ini saya tidak hendak membincang lebih jauh tentang letusan yang
menewasakan Mbah Maridjan dan beberapa warga lainnya tersebut, meski ada
hubungannya. Sebagai seorang bikers, melakukan perjalanan darat (memange pilot)
adalah bagain dari urat darah. Setahun lalu saat masih ada si Jangkrik (KLX)
seringkali ke Kinahrejo dengan teman sesama komunitas. Jujur, Kinahrejo memiliki
tempat istimewa dalam hati saya. mengulang kenangan 2010 silam, saat menjadi
bagian kecil dari relawan kala itu.
Dulunya, Kinahrejo yang
kita bincang ini adalah basecamp pendakian ke Merapi melalui Yogya. kalau malam
minggu rame banget kisanak, baik pecinta alam maupun orang yang sekedar
menghabiskan waktu di tempat ini. menikmati hawa dingin yang menusuk tulang
sembari membuat berdiang (perapian) untuk menghangatkan badan.
Kalau dari rumah saya,
tak begitu jauh, sekitar 18 km, atau kalau dari titik nol sekitar 25 saja. Kisanak
bisa langsung dari Jakal (jalan Kaliurang) langsung lurus naik atau juga
melalui Kalasan dan Prambanan. Jalannya cukup bagus, sepanang perjalanan
sampeyan akan disuguhi lahan pertanian dan rumah-rumah penduduk. Hampir setiap
keluarga memiliki kambing atau sapi yang dalam perekonomian setempat sebagai
tabungan.
Namun savana dan padang
hijau setelah Merapi terkena erupsi sudah berubah wajah. Akibat semburan awan
panas pada 2010 silam punggung-punggung bukit pohon pinus yang hijau
menyejukkan mata telah berubah menjadi lautan pasir dan batu. Begitu juga
dengan Kali Opak yang membelahnya.
Romantika masa lalu
terkikis sedikit demi sedikit, hilangnya suara burung, gemericik air mengalir,
wangi hutan cemara. Sejauh mata memandang terhampar gurun pasir. Bencana alam
pada 2010 tersebut banyak memakan korban, baik jiwa maupun harta benda. Wedhus
gembel telah menyapu habis bagian barat daya gunung Merapi. Salah satu korban
adalah Mbah Maridjan, sosok yang merawat dan mencintai Merapi. Beliau mendapat
mandat dari Kraton Ngayogyakarta sebagai juru kunci Merapi sejak 1980an.
Jejak tilas ganasnya
wedhus gembel ini masih bisa sampeyan saksikan dari beberapa rumah yang memang
sengaja dibiarkan apa adanya, sebagai musemum saksi bisu keganasan Merapi. Terbayang
betapa mencekamnya suasana saat itu di
gelap malam tanpa penerangan, awan panas bersuhu 800 derajat Celsius menerjang
apa pun. Tanaman, ternak, botol kaca, motor, mobil, dan lain-lain.
Oleh masyarakat
setempat yang menjadi korban selamat keganasan wedhus gembel. Wedhus gembel ini
selayaknya manusia, lari ke kanan atau ke kiri diikuti terus. Ada juga bungker
untuk menyelamatkan diri bila terjadi amukan merapi, sayangnya di tempat ini
ada 2 korban yang terperangkap saat kejadian tersebut. Tenggelam dalam timbunan
pasir dan material lain yang dimuntahkan Merapi.
Sebelum Merapi meletus
2010, seingat saya tak jauh dari bungker ini adalah pendopo, tempat
berkumpulnya para pendaki gunung, namun situasi sudah berubah. Dimana-mana
hanyalah hamparan pasir dan batu-batu.
Di Kali Boyong, tak
jauh dari bungker juga. Ada satu kejadian yang menurut kami janggal. Saya ingat
kala itu, adzan maghrib baru saja berlalu. Bukan sengaja untuk mencari hal
mistis, sama sekali bukan. Semua karena salah satu motor macet. Nah, ditengah
kami sibuk-sibuknya memasang busi yang baru saja dibersihkan, lamat-lamat
terdengar gending (suara gamelan).
Acuh saja, tidak ada
istimewa. Apalagi kami sedang fokus pada bagaimana motor bisa nyala dan pulang.
Sesaat berlalu, motor mau nyala. Syukurlah.
Motor yang barusan nyala,
tiba-tiba mati lagi. Selepas derungan motor yang mati tersebutlah suara gemelan
meyeruak jelas. Kadang jauh kadang deket. Pun berpindah-pindah, kadang di utara
kadang di selatan. Kami tersadar. Bulu kuduk saya meremang. Bagaimana bisa
terdengar suara gamelan mengalun sementara dataran luas ini tidak berpenghuni. Sejauh
mata memandang hanyalah hamparan pasir.
Untunglah, tidak ada
penampakan apapun, hanya suara gamelan saja yang ditingkahi angin yang menderu
menyapu pasir. Lha konyolnya lagi, ternyata motor mati mendadak tadi bukan
karena kerusakan teknis. Karena bensinya habis. Dengan ngetap bensin dari dua
motor akhirnya kami bisa pulang, meski beberapa kali mblasak. Suka duka pemotor
kisanak. Hobi yang paling dicemburui oleh istri.
Ya, Merapi ini adalah
pegunungan dengan nuansa magis, agung namun bersahaja. Kita harus menjaga
perilaku dan tutur kata agar tidak terkena tulah. Meremehkan adalah salah satu
hal yang tidak patut dilakukan disini. Setiap tempat pasti memiliki aura dan
kearifan lokal masing-masing daerah yang harus dihormati.
Ketika kami mengisi
bensin, iseng saya menayakan perihal suara gamelan tersebut pada penjualnya
yang masih tak jauh dari Kinahrejo. Entah bercanda atau bukan, si ibu penjual
bensin tersebut bilang biasanya akan mendapat rejeki kalai dengar suara
gamelan. Hayaaah, namun doa yang baik. Tentu saja kami aminkan. Dan benar saja
memang, entah kebetulan atau bukan, tapi ini kejadian.
Dua hari setelahnya,
saya dapat kabar kalau motor Yamaha R25 yang saya inden datang dan dikirim ke
rumah. Padahal katanya indennya sebulan ketika itu. sedangkan dari inden hingga
dikirim ke rumah selang seminggu. Owalah ini toh rejekine.
Sebenarnya masih banyak sekali cerita cerita misteri
yang ada dan beredar di masyarakat terkait di Kinahrejo ini, saya pikir
ini adalah cerita cerita kearifan lokal
yang memang sudah turun temurun ada, dan
tentu saja itu semua mempunyai makna
tersendiri. Seperti kejadian yang kami alami tersebut salah satunya.
Saya mungkin salah satu
oran yang selalu suka melogikakan kejadian di Merapi dengan logika logika barat
yang canggih dan modern itu. Bukan karena keberuntungan yang saya alami. Karena
saya yakin bahwa kejadian diatas bisa saja terjadi dengan atau tanpa makna yang kita buat. Tidak
ada salahnya mempercayai kerarifan lokal
dan tidak ada salahnya mempercayai teknologi
modern, namun semuanya harus kita maknai dengan seimbang.
Percaya saja bahwa alam
akan memberikan pertanda pertanda kepada manusia kalau akan terjadi sesuatu,
tinggal bagaimana rasa si manusianya bisa menangkap gelombang sinyal penanda
dari semesta. Demikian dulu kisanak. Sampai
jumpa pada tulisan selanjutnya. Nuwun.
0 on: "Misteri Kali Boyong : Gamelan Tak Kasat Mata dan Keberuntungan"