Akarasa – Di naungan
kubah langit malam yang berselimutkan awan yang pekat, angin bersiutan. Mengguncang-guncangkan
hingga menyerupai tarian sekawanan raksasa. Bersama ledakan guntur yang
sebelumnya diawali kilatan rudrapati menggetarkan dinding rumah. Gerimis merinai.
Membasahi genting dan dedauan.
Di kamar tidur, Mardi
tidur tengkurap seakan tak menghiraukan murkanya rudradapti yang masih tak
henti-hentinya menjilati pekatnya malam. Sepertinya, Mardi sangat kelelahan
karena seharian memeras keringatnya membantu merenovasi rumah yang baru di beli
Mbak Yu-nya di pinggiran kota gudeg ini.
Malam itu adalah malam
kedua bagi Mardi tidur di rumah tua ini sekaligus menjaga materialnya. Ya,
rumah yang baru dibeli ini adalah rumah tua yang bergaya indiche yang beberapa
perabotnya disertakan dalam kesepakatan. Meski ada beberapa yang tidak layak
pakai.
Ting Tong.. Ting Tong! Suara
jam dinding klasik itu meyeruak ditengah suara guntur yang sesekali masih
terdengar. Justru suara jam dinding yang sejatinya tidak terlalu keras inilah
yang membangunkan Mardi.
“Ah, baru pukul 01.00
rupanya”. gumamnya, begitu Mardi keluar kamar dan melihat jam bandul yang berada
di ruang tengah tersebut. Dengan sedikit malas ia beranjak menuju belakang. Dinginnya
malam itu cukup membuatnya menggigil. Terlihat dia bersedekap, seakan tak
membiarkan hawa dingin masuk ke sumsum tulangnya tanpa permisi. Tapi, tuntutan
hajat memang tidak mengenal itu.
Dengan mata setengah
ngantuk ia berjalan menuju kamar mandi untuk menyelesaikan tuntutan alamiahnya.
Namun rupanya malam itu lain dari biasanya. Malam itu, lebih dingin dari
biasanya. Bahkan aura malam itu sedikit berbeda. Mungkin, karena hujan yang
rintik-rintik itulah penyebabnya. Saat Mardi masih ditengah proses penuntasan
hajatnya itu, diluar terdengar seorang wanita melantunkan kidung-kidung Jawa. Suaranya
sangat merdu. Khas seorang pesinden.
“Yen ing tawang ono
lintang, cah bagus. Aku ngenteni sliramu…” dendangnya.
“Siapa juga,
malam-malam gini nembang itu. Kayak nggak ada kerjaan wae?” tanyanya pada diri
sendiri.
Meski penasaran sudah
menyergapnya, tidak mungkin Mardi memutus perjalanan hajatnya. Tanggung. Setelah
penuntasan hajatnya tersebut, barulah Mardi keluar kamar Mandi. Penasarannya belum
terjawab. Dengan memberanikan diri, dia mengintip dari balik gorden jendela
dapur. Ia mengedarkan pandangan sekeliling. Tumpukan perabot yang tak layak
pakai, kantong-kantong semen yang berserakan, pohon kamboja, hingga sumur tua. Semua
tak lepas dari pengamatannya.
“Nggak ada siapapun. Mungkin
dari siaran radio tetangga sebelah”. Gumamnya.
Lalu ia tutup kembali
gorden tersebut. Dia menuju meja ruang tamu, menghampiri kopinya yang semalam
belum sempat dia habiskan karena keburu ngantuk. Rokok pun kemudian memainkan
perannya, sambil ia masih bertanya-tanya siapa yang nembang barusan. Belum habis
sebatang rokok, mendadak Mardi mendengar suara orang nembang itu lagi. Kali ini
jelas sumber suaranya. Dibelakang rumah tua ini.
Sembari membaca doa
sebisanya, Mardi menuju halaman belakang. Kali ini ia benar-benar keluar dari
dapur. Tidak mengintip lagi. Tak hentinya-hentinya mulutnya komat-kamit sambil
terus berjalan menyusuri tiap sudut halaman belakang rumah, termasuk beberapa
ruangan yang sepertinya oleh pemiliknya terdahulu sebagai kamar pembantu dan
gudang. Saat itu jam belum beranjak dari pukul 02.00 dini hari.
“Ndak ada yang aneh
disini, semua nampak seperti biasanya”. Gumamnya.
Namun, saat ia baru
keluar dari kamar pembantu dan melewati sumur tua, mendadak ia dikejutkan oleh
seorang wanita berbusana Jawa. Berdiri mematung, kuyup kehujanan.Bersanggul layaknya
pesinden di wayang-wayang itu.
“Lah. Siapa kamu?”
tanyanya memberanikan diri.
“Bagiku nama tidaklah
penting!” jawab wanita tersebut. Lembut namun dingin.
“Apa yang sampeyan
lakukan disini. Ditengah malam dan hujan begini!” tanya Mardi penasaran.
“Aku ndak memiliki
fisik, tapi aku ada. Aku ndak memiliki raga, tapi aku bisa meniru raga siapapun
yang aku mau”. Balasnya ramah. Tapi tak bisa menyembunyikan pias dan dinginnya.
“Maksdunya?” tanya
Mardi semakin penasaran.
“Aku sengaja menemuimu!”
balasnya datar.
“kok aku. Untuk apa?”
tanya Mardi.
“Karena sampeyan adalah
orang yang pas!” balasnya.
Mendengar jawaban wanita
itu, Mardi melangkah ke belakang. Berusaha sedikit menjauh darinya.
“Mengapa sampeyan menjauh,
aku hanya ingin menemuimu saja. Menemuimu untuk yang terakhir kali. Setelah
sekian lama aku menunggu. Hanya sampeyan yang bisa menyempurnakan aku!” ucapnya
dengan ekspresi menunduk dan mengiba.
“Tidak, aku tidak
mngerti ucapanmu. Sebenarnya apa maumu!” balas Mardi.
“Kebaikan hatimu,
kebaikan budimu, ketaatan ibadahmu dan kebesaran hatimulah yang bisa
menyempurnakan aku. Kemarilah mendekat kepadaku!”
Bagai cahaya, tubuh
wanita itu langsung berdiri tepat di depan Mardi. Menatapnya lekat, menggenggam
tangannya dan menariknya kedalam pelukannya….
“Kowe wis nggawe isin
aku (kamu membuatku malu). Kowe wadine keluarga (kamu adalah aib keluarga)!”
bentak Lasmo kepada adiknya, Juminah.
“Demi Allah, Kang. Aku tidak
melakukan itu semua. Aku tidak seperti yang sampeyan kira, Kang!”
“Halah! Persetan denga
alasanmu, sekali wanita penghibur tetap penghibur. Semua wanita penghibur podo
wae. Uang dan syahwat tujuannya!” bentak Lasmo.
Tanpa berpikir panjang.
Demi menutupi malu atas aib yang menimpa keluarganya, Lasmo menarik paksa
Juminah menuju halaman belakang. Jeritan Juminah yang keras malam itu tak bisa
keluar. Tangan kekar Lasmo telah menyumpal mulutnya. Menggenggam lengannya dan
menyeret tubuhnya. Juminah tak kuasa melawan. Hanya pasrah merasakan siksaan
dari kakaknya.
“Wengi iki kowe kudu
tak sucekne (malan ini kamu harus saya sucikan). Jiwamu harus aku bersihkan. Wes
meneng, rasah njerit wae! (sudah diam, jangan menjerit terus)” ancam Lasmo
sambil menyeret tubuh adiknya kemudian menyiramnya berkali-kali.
“Ampun, Kang!…
ampuuuuuunnnn” iba Juminah kepada kakaknya.
“Tidak perlu kamu minta
ampun padaku. Malulah kamu marang Sing Kuoso atas perbuatanmu yang hina ini!
bentak Lasmo.
Lasmo kalap. Akal
sehatnya sudah tertutupi amarahnya. Lasmo terus mengguyurkan air sumur ke tubuh
Juminah, menjambak rambutnya, mengguyurkan air, menjambaknya lagi dan
seterusnya. Rintihan kesakitan adiknya tak dia hiraukan. Sudah hampir 2 jam
Sudiro menyirami tubuh adiknya dengan air sumur yang dingin. Selama itu pula Juminah
harus merasakan siksaan dari kakaknya.
Tepat pukul dua dini
hari mendadak sesak napas Juminah kambuh. Udara malam dan dinginnya air sumur
serasa mencekik leher pesinden yang sedang naik daun ini. Dalam hembusan ketiga,
tercerabut sudah roh Juminah. Keluar dari tubuhnya dengan cara paksa. Direnggut
oleh kakaknya sendiri. Tepat pukul dua dini hari dalam hembusan napas yang
ketiga.
“Apa yang terjadi
padaku?” tanya Mardi sambil memegangi kepalanya.
“Kami menemukanmu
terduduk di pojokan halaman belakang. Kemudian kami membawa sampeyan masuk
kedalam rumah”.jawab seorang tukang.
“Memange semalem ada ee
Mas?” tanya seorang tukang satunya lagi.
“Embuh, aku nggak
begitu ingat Paklik!’ jawab Mardi yang mulai kesadarannya pulih.
Sore harinya, ketika
semua para pekerja sudah pulang ke rumahnya masing-masing. Mardi menuju sumur
tua tersebut. Memeriksa sekeliling sumur. Sepertinya dia masih penasaran dan
berusaha mendapatkan jawaban atas kejadian yang menimpanya semalam.
Benar saja, saat Mardi
mengamati sudut sumur, tepatnya di sebelah utara dibawah pohon kamboja. Bersinar
sebuah benda. Awalnya ia mengira sebuah sendok atau semacamnya. Tapi setelah ia
dekati, ternyata itu adalah konde untuk sanggul rambut. Berwarna kuning
keemasan berukirkan bunga kamboja. Sontak ia teringat wanita semalam.
“Berarti bener kejadian
semalam”. Gumamnya lirih. Selesai.
NB : Cerita ini hanya
fiksi semata, tempat dan kronologis adalah rekaaan.
0 on: "Misteri Seorang Pesinden"