Akarasa – Membincang
salah satu keunikan kota tujuan wisata kedua setelah Bali, Yogyakarta ini
disamping menyimpan bangunan bersejarah ada satu keunikan lain yang tak akan
bisa ditemui di daerah manapun, yakni tata kotanya yang membujur dengan arah
utara-selatan, dengan jalan-jalan yang mengarah ke penjuru mata angin serta
berpotongan tegak lurus.
Pola inilah yang
kemudian melahirkan poros imajiner sebentuk bujuran jalan dari arah utara
menuju selatan dengan keraton sebagai titik tengahnya. Sangat unik. Poros
tersebut diwujudkan dalam bentuk bangunan, yaitu tugu (pal putih) di utara ke
selatan berupa Jalan Mangkubumi yang bersambung Jalan Malioboro, keraton, Jalan
D.I. Panjaitan . dan berakhir di Panggung Krapyak.
Nah, jika titik awal
(Tugu) ini diteruskan ke utara akan tepat menuju Merapi. Sedangkan jika titik
akhir (Panggung Krapyak) diteruskan ke selatan akan sampai ke laut selatan. Secara
filosofis, tata kota yang unik ini adalah seentuk perlambang konsep Jawa, ‘sangkan
paraning dumadi dan manunggaling kawula-Gusti’.
Secara kultural poros
Siti Hinggil-Tugu berfungsi arah berkonsentrasi apabila beliau sedang lenggah
siniwoko di Siti Hinggil. Jalan poros Siti Hinggil (keraton) sampai dengan Tugu
secara historis merupakan simbol keberadaan raja dalam menjalani proses
kehidupannya, yang dilandasi manembah manekung kepada Tuhan Yang Maha Kuasa,
dengan disertai satu tekad menuju kesejahteraan bersama rakyat (golong gilig).
Golong-gilig ini
diwujudkan dalam bentuk tugu yang dahulu bagian bawahnya berbentuk silindris
(gilig), dan puncaknya berbentuk bulatan (golong). Tugu dalam bentuk tersebut
runtuh akibat gempa bumi besar yang melanda Yogyakarta. Bentuk tugu seperti
sekarang ini adalah hasil renovasi pada masa HB VII pada bulan Sapar 1819 J (3
Oktober 1889).
Adapun titik selatan
“poros imajiner” tersebut adalah Panggung Krapyak, yaitu sebuah bangunan
berlantai dua yang sekarang berdiri di tengah perempatan di ujung Jalan D.I.
Panjaitan. Untuk ke lokasi ini, dari alkid (alun-alun kidul) terus ke selatan
melewati plengkung gading, sekitar 3 kilometer sampeyan akan melihat bangunan
persegi empat setinggi kurang lebih 10 meter itulah yang disebut Panggung
Krapyak.
Bangunan ini terbilang
tua, sama tuanya dengan usia Kota Yogyakarta itu sendiri, seperempat milenium
lebih. Meski terbilang tua, 250 tahun lebih lho, tapi masih nampak kokoh walau
beberapa waktu yang lalu sebelum direstorasi ada bagian bagunan mengalami
kerusakan akibat goncangan gempa 2006 silam.
Selain filosofi poros
imajiner pada narasi di atas, yang tak kalah menarik adalah sejarah panjang
bangunan ini. bisa dikatakan, Panggung Krapyak ini adalah saksi diam akan
pergolakan suksesi peralihan kekuasaan yang berdarah-darah.
Dalam riwayatnya,
wilayah Krapyak yang kini berada di selatan Kraton Yogyakarta dahulunya adalah
hutan lebat. Berbagai jenis hewan liar terdapat di sini, salah satu diantaranya
adalah rusa yang dalam bahasa Jawa disebut menjangan. Maka tak heran, kemudian
tempat ini menjadi tempat berburu oleh raja-raja Mataram dan kerabatnya. Satu diantaranya
raja Mataram yang gemar berburu disini adalah Raden Mas Jolang yang kemudian
bergelar Kanjeng Sunan Hadi Hanyokrowati (1601-1613). Ia adalah raja yang menggantikan
kedudukan ayahnya, Panembahan Senopati.
Dari sinilah kisah
berdarah-darah itu dimulai.sebenarnya, kedudukan Raden Mas Jolang yang
menggantikan kedudukan ayahnya ini menuai kontroversi, karena Mas Jolang adalah
anak yang terlahir dari permaisuri Kanjeng Ratu Pati, putri Ki Penjawi. Dalam sejarahnya,
adik sang permaisuri ini pernah memberontak kepada kakak iparnya sendiri.
mungkin, bagi Panembahan Senopati menunjuk Mas Jolang sebagai penggantinya
untuk merajut kembali tali silaturahmi ayahnya, Ki Ageng Pemanahan dan Ki Ageng
Penjawi yang sama-sama murid dari Ki Ageng Selo dan juga pernah sama-sama
mengabdi di Pajang.
Padahal, saat itu
sebenarnya Panembahan Senopati terikat janji dengan permaisuri yang lain,
Kanjeng Ratu Retno Dumilah. Panembahan Senopati menikahi Retno Dumilah setelah
berhasil menaklukkan ayahnya, Panembahan Mas (dulu merupakan salah satu putra
Sultan Trenggana yang diberi kekuasaan di Madiun). Saat itu, Retno Dumilah
bersedia diperistri asal jika ia mempunyai anak laki-laki harus menjadi raja di
Mataram. Namun keyataannya, sekalipun berputra dua laki-laki, Pangeran Juminah
dan Pangeran Lempuyang, janji itu tidak pernah terlaksana. Selengkapnya kisah
penaklukan Madiun oleh Panembahan Senopati bisa sampeyan baca Wanita
Sebagai Alat Politik Paha dalam Sejarah Ekspansi Mataram ke Brang Wetan.
Suatu hari Sunan Hadi
berburu ke Krapyak. Seperti biasa, lokasi itu disterilkan dan tanggung jawab
keselamatan sang raja ada di bawah komando penguasa setempat, Demang Minggir,
bukan Mangir Wonoboyo. Tragisnyaa saat
sedang asyik berburu tiba-tiba Sunan Hadi ditikam dengan sebuah keris oleh
seorang laki-laki hingga tewas di tempat. Sayang pembunuhnya tidak dapat
ditangkap. Selain duka yang mendalam, pembunuhan sang raja di Krapyak itu
menyisakan intrik mengenai siapa dalang pembunuhan itu.
Demang Minggir kemudian
ditahan atas tuduhan lalai menjaga keselamatan raja dan mempunyai pamrih atas
kematian sang raja. Konon salah satu puteri Demang Minggir, hendak dilamar oleh
Raden Mas Rangsang, salah satu putera Sunan Hadi, yang kelak naik tahta dan
bergelar Sultan Agung. Jika raja meninggal maka sang demang akan memperoleh
kedudukan yang tinggi di istana. Orang lain yang menjadi tersangka adalah
Pangeran Juminah, adik raja, putra Panembahan Senapati dengan Retno Dumilah.
Motifnya adalah yang bersangkutan tidak suka dengan bertahtanya sang raja
karena melanggar perjanjian kedua orang tuanya. Namun semua tuduhan itu tidak
terbukti.
Putra Demang Minggir,
yang bernama Mantrijero, yang pada awalnya membela ayahnya dari tuduhan sebagai
dalang pembunuhan, akhirnya ditunjuk menjadi penyelidik independen kerajaan.
Saat pembunuhan terjadi ia berada di lokasi dan sempat mencengkeram sang
pembunuh raja tetapi tidak bisa menangkap, hanya sobekan baju sang pembunuh
saja yang sempat terkoyak dan sobek karena cekeramannya.
Mantrijero sempat
curiga juga dalang pembunuhan itu Pangeran Juminah, karena sobekan kain
pembunuh itu sama dengan pakaian yang lazim dipakai abdi dalem kediaman resmi
di Juminahan. Namun Pangeran Juminah membantah. Ia mengakui tahu ada perjanjian
politik antara ayah dan ibunya namun itu sudah sejarah masa lalu dan dia tidak
akan menuntut hak.
Konon pula Sunan Hadi
semasa hidupnya amat menyanyanginya juga. Mantrijero lalu mengkonfirmasi apakah
sobekan kain yang dia peroleh adalah kain pegawai kediaman resminya. Di itu
teruungkap bahwa pembunuh Sunan Hadi adalah abdi dalem Juminahan tetap itu
inisiatif pribadi. Abdi itu bernama Mijen. Akhirya Mijen tertangkap dan
mengakui perbuatannya membunuh Sunan Hadi di Krapyak.
Untuk mengenang
kejadian itu Sunan Hadi diberi gelar baru sebagai Panembahan Seda Krapyak.
Mantrijero yang berjasa mengungkap kemelut itu kemudian diangkat menjadi
prajurit kerajaan dan diberi tempat khusus di lingkungan istana yang diberi
nama Mantrijeron. Nama ini sekarang diabadikan sebagai salah satu nama dari 10
divisi prajurit Kraton Yogyakarta. Demikianlah sekilas intrik yang sarat akan
konspirasi dibalik keberadaan Panggung Krapyak.
Raja lain yang gemar
berburu di hutan Krapyak adalah Pangeran Mangkubumi (Sultan Hamengku Buwono I).
Sultan pertama Kasultanan Yogyakarta inilah yang mendirikan Panggung Krapyak lebih
dari 140 tahun setelah wafatnya Prabu Hanyokrowati di hutan ini. Panggung
Krapyak merupakan petunjuk sejarah bahwa wilayah Krapyak pernah dijadikan
sebagai area berburu.
Arsitektur bangunan
panggung ini cukup unik. Setiap sisi bangunan memiliki sebuah pintu dan dua
buah jendela. Pintu dan jendela itu hanya berupa sebuah lubang, tanpa penutup.
Bagian bawah pintu dan jendela berbentuk persegi tetapi bagian atasnya
melengkung, seperti rancangan pintu dan jendela di masjid-masijd. Bangunan
panggung terbagi menjadi dua lantai. Lantai pertama memiliki 4 ruang dan lorong
pendek yang menghubungkan pintu dari setiap sisi.
Kalau matahari bersinar
terang, cahayanya akan menembus ke dalam lantai pertama bangunan lewat pintu
dan jendela. Adanya sinar matahari membuat nuansa tua yang tercipta dari
kondisi bangunan serta udara yang lebih lembab dan dingin akan langsung
menyergap. Jika menuju salah satu ruang di bagian tenggara dan barat daya
bangunan dan menatap ke atas, sampeyan bisa melihat sebuah lubang yang cukup
lebar.
Dari lubang itulah
raja-raja yang hendak berburu menuju ke lantai dua (berguna sebagai tempat
berburu) dengan dibantu sebuah tangga kayu yang kini sudah tidak dapat dijumpai
lagi. Dengan menatap ke atas pula, sampeyan bisa mengetahui bahwa terdapat
sebuah atap untuk menaungi lubang yang kini telah ambruk, mungkin berguna untuk
mencegah air masuk.
Sekilas, bangunan ini
menggambarkan kenyamanan yang diperoleh raja, bahkan saat berburu sekalipun.
Ketinggian bangunan membuat raja berburu dengan rasa nyaman dan aman, leluasa
mengintai tanpa perlu khawatir diserang oleh hewan buas ketika berburu. Lantai
dua tempat ini pun cukup nyaman, berupa ruangan terbuka yang cukup luas dan
dibatasi oleh pagar berlubang dengan ketinggian sedang. Ketinggian bangunan ini
menyebabkan beberapa orang menduga bahwa Panggung Krapyak juga digunakan
sebagai pos pertahanan.
Konon, dari tempat ini
gerakan musuh dari arah selatan bisa dipantau sehingga bisa memberikan
peringatan dini kepada Kraton Yogyakarta bila terjadi serangan. Para prajurit
secara bergantian ditugaskan untuk berjaga di tempat ini, sekaligus berlatih
berburu dan olah kanuragan. Selanjutnya, jika kebeneran sampeyan ke Jogja,
hambok mampir. Eman lo? Nuwun.
0 on: "Panggung Krapyak Antara Mitos Bujur Imajiner dan Misteri Terbunuhnya Hanyokrowati"