Perhatian, Jangan baca
sendirian!!!
Akarasa – Malam itu
bukan malam Jum’at Kliwon, yang konon penuh dengan keseraman. Tapi justru malam
minggu. Sementara Hesti justru terkantur-kantuk menunggu telepon dari pacarnya.
Namun hingga pukul 11 malam, Badri nggak juga menelpon. Padahal biasanya,
sejak magrib sampai jam segini Badri bisa 2-3 kali menelpon. Sempat ada
keinginan untuk menelpon laki-laki yang bekerja sebagai sopir travel itu. Namun
Hesti mengurungkan niatnya. Ada tembok penyekat yang menghalangi niatnya itu.
Akhirnya telepon
genggam Hesti berdering. Saat itu jam di HP menunjukkan pukul 12 kurang dikit.
Di layar HP tertulis nama Babe (panggilan sayang Hesti pada Badri). Hesti pun
mengangkat HP dan….
“Selamat malem sayang…”
Hesti terlonjak. Itu
bukan suara Badri. Ia hafal benar suara pacarnya.
“Si..siapa ini?” tanya Hesti
terbata-bata.
“Lihatlah layar Hp
kamu…”
Reflek Hesti melihat
layar Hp dan spontan memekik histeris. Di layar Hpnya muncul gambar mirip Badri
namun dahinya mengeluarkan darah kental, biji matanya keluar, sementara
hidungnya hilang, tinggal lubang menganga yang terus mengeluarkan nanah.
Padahal jika sedang berdua, Hesti paling suka memencet-mencet hidung itu.
Hesti akhirnya pingsan.
Namun tidak ada satupun orang yang mengetahuinya. Maklum, Hesti tinggal di mes
pabrik dan malam itu kawan-kawannya sedang kerja shift malam. Hesti baru siuman
ketika hari sudah siang dan pintu kamarnya ada yang menggedor-gedor. Terlebih
ketika ada yang menyiram air dari kaca jendela.
“Katanya semalam kamu teriak-teriak
sendiri. Tukang nasi goreng yang
kebetulan lewat mendengar ada suara orang teriak-teriak tapi tidak berani
mendekat. Tadi pun pintunya sudah kami gedor-gedor puluhan kali tetapi kamu
tetap tidak bangun, makanya kami siram air,” ujar Tutik memberi alasan mengapa
sahabatnya itu sampai disiram air.
Hesti langsung ingat
kejadian semalam. Ia kemudian mencari Hpnya dan menemukannya di lantai, agak
jauh dari tempat tidur. Rupanya semalam ia sempat melemparkan Hp itu. Dengan
bulu kuduk merinding, Hesti membalik Hp itu dan melihat layarnya. Aneh, gambar
seram semalam sudah tidak ada. Kini di layar HP hanya ada gambar dirinya yang
tengah memeluk Badri.
“Ada apa, Hes?”
Hesti menggeleng. Namun
setelah didesak, Hesti akhirnya menceritakan kejadian semalam.
“Coba sekarang kamu
telepon Badri…” saran Wati.
“Aku tidak berani,”
jawab Hesti lemah.
“Kenapa? Ada apa
sebenarnya? Kamu selalu menyembunyikan soal hubunganmu dengan Badri. Ada apa
sebenarnya?”
“Badri sudah punya
istri…”
Bola mata Tutik dan Wati
hampir terlempar dari sarangnya saking terkejutnya. Namun ketika hendak
mendesak Hesti, mereka tidak enak hati. Kondisi Hesti sangat memprihatinkan.
Tubuhnya sangat lemah dan wajahnya pucat-pasi.
“Ya, sudah kamu
istirahat saja. Ngga usah kerja dulu. Biar nanti saya ijinkan sama
supervisormu,” kata Tutik.
Hingga malam Tutik tak
juga habis mengerti bagaimana Hesti bisa berhubungan dengan laki-laki yang
sudah beristri. Ketika jam istirahat, sekitar pukul 12.10 malam Tutik pulang ke
mes. Di samping mau mengambil pembalut karena tiba-tiba datang bulan, Tutik
juga ingin menengok sahabatnya. Kamar mes Tutik dan Hesti memang bersebelahan.
Satu kamar mes diisi dua orang, Tutik tinggal bareng Wati, sementara Hesti berdua
dengan Kokom. Namun saat ini Kokom tengah cuti sehingga Hesti praktis tinggal
sendirian.
Sebagai sesama
perantau, hubungan Tutik, Wati dan Hesti sangat dekat. Bagaimanapun mereka jauh
dari keluarga sehingga sahabatlah yang menjadi tempat bergantung dan
berkeluh-kesah ketika ada masalah. Sebenarnya Titik tadi mau ijin tidak masuk
kerja untuk menemani Hesti, yang masih shock. Namun Tutik melarangnya karena
tidak ingin temannya berkorban terlalu banyak.
Tutik merasa suasana
mes malam ini sangat sepi. Para penghuninya yang kebetulan shift siang sudah
pada tidur karena besok harus bangun pagi untuk bekerja. Sementara mereka yang
masuk malam, pasti enggan pulang karena jarak mes dengan pabrik cukup jauh.
Kalau tidak ada kebutuhan yang benar-benar mendesak, jam istirahat kerja pasti
dimanfaatkan untuk tidur di kantin atau sekedar ngobrol dengan teman-temannya,
daripada pulang ke mes.
Mes ini mampu menampung
sekitar seribu pekerja. Namun bangunan kayu lantai II itu cukup seram karena
minimnya penerangan. Mes ini terbagi dalam beberapa bangunan yang mempunyai
tipe sama. Pembedanya hanya pada penamaan seperti Blok A, B, C dan seterusnya.
Tutik sempat merinding ketika melewati mes A. Tahun kemarin di blok ini ada
karyawan perempuan yang tewas gantung diri usai diperkosa oleh lima orang yang
tengah mabok. Akibat rasa malu yang tak terkira, gadis manis itu memilih jalan
pinta lewat seutas tali. Tutik pernah mendengar, pada malam-malam tertentu
sering terdengar suara perempuan yang meminta tolong diselingi tawa yang
menyeramkan.
Tutik sedikit
mempercepat langkahnya. Tiba di ujung Blok A, ia merasa ada yang mengikutinya.
Namun ia tidak berani menoleh. Ia hampir melompat ketika tiba-tiba handphonenya
berdering. Setelah menghela nafas
panjang, Tutik mengambil Hpnya dari saku baju di bagian dada. Sialan, umpat
Tutik ketika melihat nama Wati. Ngaget-ngagetin orang saja!
“Ada ap…aa….” Tutik tidak
jadi melanjutkan kalimatnya. Di ujung telepon genggamnya ia mendengar suara
rintihan. Tapi bukan suara Wati.
“Ngga usah meledek,”
bentak Tutik setelah berhasil mengatur nafas. Bulu kuduknya berdiri.
“Hihihi…coba kamu lihat
ke belakang. Saya yang menelpon kamu,” kata suara di seberang HPnya.
Perlahan Tutik
menggerakkan kepalanya untuk menoleh ke belakang. Namun ia tidak sempat
benar-benar menoleh ke belakang karena ketika kepalanya tengah berputar,
jidatnya hampir menyentuh kepala perempuan dengan wajah pucat pasi. Bahkan hidung
Tutik pun bersentuhan dengan hidung perempuan itu.
“Wuaaaaaaaaaaaaah……tolooooooooooooong…!!!”
jerit Tutik sekuatnya.
Tutik berusaha untuk
lari menjauhi sosok itu, namun tidak berhasil. Sosok itu menempel di bahu
kirinya. Tutik semakin ketakutan karena sosok itu tenyata hanya kepala berambut
panjang, tanpa badan, tangan dan kaki. Darah yang terus menetes dari ujung
bibir perempuan itu pun membasahi baju kerja Tutik.
Dengan sisa-sisa
tenaganya, Tutik berusaha melawan rasa takut.
Ditepisnya kepala wanita tanpa anggota badan lainnya itu. Namun usahanya
sia-sia. Semakin kuat ia menepis, semakin kuat pula kepala itu menempel di
pundaknya. Tutik kini merasa sendi lututnya copot sehingga ia tidak kuat lagi
berlari.
“Tolooooong….tolooooong….”
pekiknya dengan suara tercekat.
Tutik berusaha
mengumpulkan tenaga agar dirinya tidak jatuh. Kepala perempuan itu kini mulai
mengeluarkan suara rintihan seperti orang menahan sakit. Hantu itu menangis!
Namun yang keluar dari kedua matanya bukan air, melainkan darah segar!
“Tolonglah aku…. Aku
sudah tidak kuat hidup dengan kepala saja….” kepala perempuan itu bersuara.
“Aku pengin bikin nasi goreng tapi tidak bisa karena tidak punya tangan….”
Tutik memekik
sekuatnya. Ia heran mengapa satpam mes yang biasa keluyuran di sini sekarang
sama sekali tidak terlihat batang hidungnya. Padahal sudah bukan rahasia lagi
jika setiap malam satpam-satpam itu rajin menyambangi mes Blok A, B dan C- mes
khusus karyawan perempuan, sambil mengintip. Beberapa karyawan pernah memergoki
satpam-satpam itu tengah asyik mengintip karyawan perempuan yang sedang tidur. Ketika
ditegur, satpam-satpam beralasan sedang menjalankan tugas.
“Kok pake ngintip ke
kamar segala?”
“Siapa tahu ada maling
atau ada yang masukin cowok ke kamar…” jawab satpam itu dengan enteng.
Sementara Wati mulai
gelisah. Saat itu sudah mendekati jam 1 malam namun Tutik belum juga kembali ke
tempat kerja. Padahal sebentar lagi alarm tanda kembali masuk kerja berbunyi.
Meski tidak lagi menggunakan absensi elektronik seperti saat masuk dan pulang
kerja, namun tetap saja para karyawan tidak boleh terlambat. Supervisor
tiap-tiap bagian dipastikan sudah berdiri di depan gerbang tempat kerja
masing-masing dan siap memberikan skorsing, atau bahkan pemotongan jam kerja,
jika ada karyawan yang terlambat masuk.
Istirahat malam cuma
satu jam, dari pukul 12 hingga pukul 1. Sebenarnya tadi Wati sudah melarang
Tutik pulang ke mes. Beli pembalut di kantin saja, saran Wati. Tapi Tutik
ngotot mau pulang dulu ke mes untuk mengambil pembalut sekaligus menengok
Hesti. Wati pun tidak bisa mencegahnya lagi.
Dan akibatnya sekarang Tutik terlambat masuk kerja, keluh Wati.
Wati sudah bersiap
hendak masuk ke tempat kerja ketika telepon genggamnya berdering. Ia menghela
nafas lega ketika membaca nama Tutik tertera di layar Hp-nya. Wati memencet
tombol hijau, dan…
“Ke sini sebentar,”
seru Tutik di ujung telepon.
“Kamu di mana?” Wati
balik bertanya. Dua kawan di belakangnya yang sama-sama mau masuk ke tempat
kerja mengomel karena Wati berhenti tepat di depan pintu sehingga menghalangi
mereka. Buru-buru Wati bergeser untuk memberi jalan kawan-kawannya.
“Di WC, kamu ke sini
sebentar….”
“Ke kamar mandi?
Ngapain? Kamu ke sini saja, sudah mau masuk nih,” tolak Wati.
“Penting banget, cepet
ke sini. Aku mau minta tolong,” rengek Tutik.
Dengan perasaan kesal,
Wati setengah berlari menuju WC pabrik yang berada di dekat tumpukan
barang-barang elektronik afkiran. Sebelum dibuang ke tempat sampah,
barang-barang afikaran itu disortir lagi karena sering dijadikan tempat untuk
menimbun barang curian oleh karyawan yang nakal. Seringkali ada karyawan
menyembunyikan tembaga di balik rongsokan barang-barang elektronik tersebut.
Deretan WC umum itu
sangat lengang. Tidak ada satu orang pun di situ. Wati celingukan ke sana
kemari. “Tut….!” Teriaknya.
Lama tak ada sahutan.
Wati mengulang lagi panggilan. Tetap sunyi. Namun ketika Wati hendak berbalik
ia melihat Tutik sudah berdiri di depannya.
“Ngapain kammmmmuu….”
Wati tidak meneruskan kalimatnya. Wajah Tutik begitu pucat. Perlahan Wati
mendekat dan berusaha menyentuh pundaknya. Namun sebelum tangan Wati sampai di
sasaran, kepala Tutik jatuh ke lantai. Darah menyebur dari lubang leher tanpa
kepala itu.
“Wuaaaaaaoohhhhhhh….”
Wati memekik sekuatnya.
“Tolong aku, pasang
lagi kepalaku….” kata Tutik. Ternyata kepala itu masih hidup!
Wati pun bimbang; mau
lari atau menolong sahabatnya itu.
Melihat Wati bimbang,
Wati mulai melakukan serangan.
“Tolonglah aku, Wat!”
kata kepala Tutik.
“Tidak, kamu bukan
Tutik…” jawab Wati dengan nada bergetar.
“Kamu tidak percaya
sama aku? Bener, Wat. Ini aku, Tutik. Teman kamu!”
“Kenapa kepalamu copot
seperti itu?”
“qiqiqiqiqi……” kepala
itu tertawa, riang. “Aku senang aja…
Biar tampil beda gitu!”
Wati hampir muntah
mendengarnya. Ingin tampil beda sampai mencopot kepala? Hihhh…
“Kenapa kamu masih
tidak percaya sih kalau aku ini, Tutik. teman kamu?”
“Bukan, kamu bukan
Tutik. Jangan mendekat!” teriak Wati ketika melihat tubuh dan kepala Tutik
mulai mendekatinya. Wati mundur beberapa langkah. Namun kepala dan badan yang
masih mengucurkan darah segar itu terus memburunya. Semakin cepat Tutik mendekat, semakin cepat
juga Wati menjauh.
“Pliss. Jangan
mendekat!”
“Kenapa, Wat? Kamu
tidak mau lagi berteman denganku?” kali ini suara Tutik terdengar sedih dan memelas.
“Kamu bukan Tutik”. Wati
mulai menangis. Perasaannya bercampur aduk tidak karuan.
“Tega benar kamu, Wat.
Coba kamu perhatikan baik-baik tubuh dan kepala saya? Tutik kan?”
“Iya, tapi kamu hantu,”
jawab tangis Wati sambil menangis.
“Kapan saya mati? Saya
bukan hantu. Aku memanggilmu karena ingin memelukmu. Aku kangen sama kamu. Aku
mau minta tolong beliin bakso Pak Min. Malam-malam begini, enaknya makan bakso
kan?”
Wati berteriak
sekerasnya. Air matanya semakin deras mengalir. Tubuhnya mulai menggigil. Kini
ia tidak mungkin mundur lagi karena sudah tersudut di pojok kamar mandi.
Wati memejamkan mata
menunggu hantu telepon menerkam dirinya. Tubuhnya bergidik membayangkan tubuh
dan kepala mirip Tutik yang penuh darah itu memeluk dirinya. Keringat dingin
membasahi seluruh tubuhnya. Namun ia heran mengapa kini mulutnya seperti
tersumbat. Teriakannya terhenti di kerongkongan.
Wati terlonjak ketika
ia merasa ada tangan menyentuh pundaknya. Pasti tangan Tutik. hihhh...
"Tolong, Tut. Jangan
ganggu aku." pinta Wati setengah menangis.
Tangan itu semakin
keras menepuk pundak Wati. Bahkan kini mulai mengguncang-guncang tubuhnya. Wati
pun memekik ketakutan.
"Sudahlah, Tut. Saya
minta maaf kalau ada salah sama kamu."
"Wat..Wati...kamu
kenapa?"
Bukan suara Tutik?
Perlahan Wati membuka matanya. Samar-samar dia melihat seorang perempuan
berpakaian security.
"Kenapa kamu teriak-teriak
di sini? Pura-pura ya? Bilang saja kalau tidak mau kerja," cerosos
security itu.
"Ada han...tu.
Han...hantu Tutik," jawab Wati dengan suara gagap.
"Sudah, jangan
menggigau. Cepat kembali ke tempat kerja!" perintah security itu sambil
berlalu. Tubuhnya hilang di balik tembok pembatas. Hanya suara sepatunya yang
kini terdengar semakin menjauh.
Tinggallah Wati sendiri. Ia sempat celingungkan sebentar. Heran, tubuh dan
kepala berdarah itu sudah tidak ada. Kemana perginya? Namun Wati tidak mau
menduga-duga. Ia memilih kabur meninggalkan tempat itu sebelum hantu mirip
Tutik itu datang lagi.
Ketika hendak mencapai
tempat kerjanya, sebuah gudang packing, Hpnya berdering. Wati terlonjak saking
kagetnya. Lebih kaget lagi ketika membaca nama pemanggilnya: Hesti!
Apalagi ini? keluh
Wati. Ia teringat cerita Hesti soal gambar hantu di layar Hpnya. Ini benar-benar
teror! Wati buru-buru mematikan Hpnya dan langsung masuk ke tempat kerja.
"Dari mana kamu?
Tahu jam berapa ini?!" sentak Pak Yudi, supervisor di bagian packing.
"Maaf,
ketiduran..." jawab Wati sekenanya. Kalaupun dia cerita yang sebenarnya,
siapa yang mau percaya? Nanti dikira menggigau lagi.
"Kalau sudah tidak
mau kerja, bikin surat pengunduran diri! Masih ribuan orang yang antri ingin
kerja di sini..."
Bodo ah! Gerutu Wati
dalam hati. Sejak awal, bandot tua itu memang selalu mencari-cari kesalahan Wati.
Bukannya Wati tidak tahu jika selama ini Pak Yudi berusaha mendekatinya.
Biasanya Pak Yudi dengan gampang bisa mendekati karyawati di sini untuk diajak
kencan. Kalau pun tidak bisa diajak sampai ke hotel, minimal disuruh menemani
dia karaoke. Hesti salah satu korbannya, meski Hesti tidak pernah mengakuinya.
Namun tidak bagi Wati.
Ajakan laki-laki tua yang keganjenan itu tidak pernah ditanggapi. Konsekuensinya,
Wati tidak boleh membuat kesalahan. Sebab jika ia sampai membuat kesalahan di
tempat kerja, sekecil apapun, maka Pak Yudi dengan senang hati akan memarahinya
sepanjang jam kerja. Bahkan sampai beberapa hari ke depan kesalahan itu masih
terus disindir-sindirinya. Benar-benar menyebalkan, keluh Wati.
"Karena kamu
terlambat masuk kerja, malam ini kami kerja di bagian mesin pres!" teriak
Pak Yudi ketika melihat Wati berjalan menuju bagian quality control (QC) yang
memang menjadi bagian tugasnya selama ini. Sebelum dimasukkan ke dalam peti,
barang-barang itu harus melewati bagian QC. Sementara bagian pres bertugas
mengikat peti berisi barang-barang yang sudah dipak, menggunakan tali nilon
yang lumayan besar. Sebulan bekerja di bagian ini, bisa dipastikan telapak
tangan akan melepuh karena harus mengoperasikan alat pres yang berat dan sudah
berkarat. Umumnya yang kerja di bagian itu karyawan laki-laki.
Tanpa banyak protes
Wati menuju ke bagian pres. Lebih baik tanganku kapalan daripada meladeni
bandot tua, umpat Wati dalam hati. Namun begitu sampai di bagian pres, Riyadi
kepala regu bagian pres, menyuruhnya kembali ke bagian QC.
“Kamu kembali ke bagian
QC saja.”
“Tidak apa-apa. Saya
bosan dengar ocehan Pak Yudi,” tolak Wati.
“Pak Yudi sudah pergi,”
desak Riyadi. Diam-diam Riyadi sebenarnya menaruh hati pada gadis dengan rambut
sebahu itu. Namun ia tidak berani mengungkapkan. Di mata Riyadi, Wati begitu
cantik dengan bentuk tubuh proporsional. Bahkan Riyadi kalah tinggi. Itu juga
yang menjadi penyebab mengapa dia merasa minder untuk mendekati gadis berkulit
kuning langsat itu.
“Memang kemana Pak
Yudi-nya?” tanya Wati.
“Seperti tidak tahu
kelakuannya saja. Dia tadi SMS saya. Katanya mau keluar sebentar. Saya disuruh
menggantikan tugasnya,” jelas Riyadi.
Wati mengangkat bahu
dan segera kembali ke bagian QC. Kepalanya masih terasa pusing. Ia ingin pulang
tapi tidak berani. Di mes tidak ada siapa-siapa. Tutik pasti sudah kembali ke
tempat kerjanya di bagian produksi. Atau malah sudah benar-benar menjadi hantu!
Membayangkan hal itu, bulu kuduk Wati kembali berdiri.
Hati Pak Yudi tengah
riang gembira. Pertama, dia berhasil memarahi Wati. Cewek sok itu harus tahu
kalau nasibnya ada di tanganku, kata Pak Yudi dalam hati. Namun yang lebih mengembirakan
lagi, telepon dari Hesti. Tadi Hesti menyuruhnya datang ke mes. Pucuk dicinta
kencanpun tiba! Sambil berdendang lagu Iwak Peyek yang musiknya dijiplak Trio
Macan dari lagu klub sepakbola West Ham United Inggris dan Galatasaray Turki,
laki-laki yang sudah berumur 50-an tahun itu bergegas menuju ke mes putri.
Sebenarnya, laki-laki dilarang masuk ke mes A dan B, mes khusus putri. Tapi Pak
Yudi sudah mengenal semua satpam di sana dan tahu bagaimana caranya agar bisa
masuk. Dua bungkus rokok sudah cukup untuk satpam-satpam itu agar mau
membukakan pintu gerbang mes putri.
Telepon genggam Pak
Yudi kembali berdering ketika ia tiba di mes A. Pak Yudi tersenyum. Dulu
pura-pura menolak sekarang gantian ngejar-ngejar. Padahal baru dua kali mereka
berkencan. Dasar perempuan, kata Pak Yudi dalam hati. Kini ia bertambah riang.
Senyumnya semakin lebar ketika ia memencet tombol ‘yes’ di Hpnya.
“Halo sayang….Abang
sudah dekat mes kamu. Sabar dikit ya?” katanya.
Tidak ada jawaban dari
ujung telepon.
“Waduh, kok tidak
dijawab? Jangan marah dong sayang…Abang tadi sibuk. Banyak karyawan yang bandel,
suka curi-curi jam kerja….”
Belum juga ada sahutan.
Suasana di ujung telepon begitu sepi. Tidak ada suara sama sekali. Pak Yudi memeriksa
sinyal Hpnya; penuh.
“Halo…halo….!”
Pak Yudi memutuskan
hubungan. Namun belum sempat ia menghubungi nomor Hp Hesti, Hpnya kembali
berdering.
“Halo sayang, kenapa
tidak ada suaranya?”
Layar Hp Pak Yudi mulai
berkedip-kedip. Tidak lama kemudian muncul foto Hesti yang cantik sambil
tersenyum. Namun perlahan wajah Hesti berubah. Pertama hidungnya patah ke
bawah, seperti patah. Darah mengucur deras dari lubang hidungnya. Setelah itu
dahinya terbelah. Ribuan ulat bercampur nanah keluar dari lubang dahinya.
Terakhir kedua bola mata Hesti copot, meninggalkan lubang kelam seperti tanpa
dasar.
Pak Yudi terkejut
melihat perubahan wajah Hesti. Namun ia berpikir itu hanya lelucon. “Ayo
sayang, jangan nakut-nakutin begitu. Abang tidak mungkin takut,” kata Pak Yudi.
“Hihihihi…sekarang kamu
lihat aslinya,” jawab hantu mirip Hesti itu. Ketika berbicara, mulutnya
mengeluarkan cacing yang sangat banyak sehingga suaranya tidak jelas.
“Ma..na..na…” Pak Yudi
mulai tergagap. Gambar di layar Hpnya kini sudah tidak lagi mirip Hesti lagi.
“Lihat di belakangmu…!”
Perlahan Pak Yudi memutar
kepalanya. Di belakangnya berdiri sosok yang tidak asing lagi, Hesti. Pak Yudi
sudah hampir mendekat ketika mendadak wajah Hesti berubah seperti pada layar Hp
tadi. Bahkan kini anggota tubuhnya mulai lepas satu persatu. Dimulai dari
kepalanya, kemudian kedua tangannya dan diakhiri dengan kedua kakinya.
Masing-masing anggota tubuhnya kini bergerak sendiri-sendiri.
Pak Yudi mundur
beberapa langkah. Nyalinya mulai menciut. Selama ini dia tidak percaya ada
hantu. Ketika ada yang cerita soal hantu, Pak Yudi selalu menganggapnya sebagai
lelucon yang tidak lucu. Tidak ada orang yang sudah mati lantas hidup lagi
hanya untuk menakut-nakuti, bantah Pak Yudi setiap kali berdebat soal hantu
dengan teman-temannya.
Namun sekarang Pak Yudi
berhadapan sendiri dengan sosok yang sangat menyeramkan. Tubuh Pak Yudi pun
menggigil. Kakinya terasa lemas.
“Ha..ha..han…tuuu! Ada han…tu!,” teriaknya.
Namun teriakan itu hilang ditelan lorong-lorong mes yang lengang.
Dalam satu gerakan
kilat, anggota tubuh hantu itu kembali menempel di tempatnya. Tidak ada bekas
yang tertinggal kecuali darah yang masih menetes dari lehernya; membasahi baju
putih yang dikenakan hantu itu.
“Tolong..tolong, jangan
ganggu saya,” ujar Pak Yudi memelas.
“Kamu harus diberi
hukuman atas kelakuanmu selama ini,” sentak hantu telepon itu. Kali ini
suaranya jelas dan tegas meski mulutnya masih mengeluarkan cacing.
“Apa salah saya?”
Hantu itu tertawa.
“Qiqiqiqi… Kamu masih juga berani bertanya salah apa! Berapa perempuan yang
sudah kamu tipu dengan rayuan kadalmu? Kamu gunakan kuasa dan uangmu untuk menodai perempuan-perempuan itu!”
“Tapi…tapi mereka mau…”
Plak! Tamparan yang
sangat keras di pipinya memaksa Pak Yudi untuk tidak meneruskan bicaranya.
“Mereka tidak mungkin
mau kalau tidak kamu iming-imingi duit. Sebagian dari mereka juga terpaksa mau
kamu ajak kencan karena tidak ingin kehilangan pekerjaan!”
Pak Yudi tidak bisa
menjawab lagi sebab apa yang dikatakan hantu telepon itu benar semuanya. Ia
mulai berpikir untuk kabur. Namun persendian kakinya terasa lepas sehingga
tidak mungkin diajak berlari.
“Sekarang lepas
pakaianmu!” perintah hantu itu.
“Lepas? Untuk aaa..pa?”
Plak! Kembali tamparan
yang sangat keras mendarat di pipinya. Tamparan itu bahkan lebih keras dari
tamparan yang pertama.
“Kalau saya perintah,
jangan banyak tanya. Lakukan saja atau kamu akan saya bunuh secara perlahan?!”
gertak hantu itu.
Terpaksa Pak Yudi
menuruti perintah hantu telepon dan mulai mencopot bajunya.
“Celananya..!” perintah
hantu itu ketika melihat Pak Yudi hanya membuka bajunya. “Jangan sisakan
sehelai kainpun di tubuhmu!”
Telanjang bulat di
tengah malam yang dingin tentu bukan pilihan terbaik. Namun Pak Yudi tidak
punya pilihan lain. Perlahan dia mulai melepas seluruh pakaian yang melekat di
badannya. Udara dingin langsung menerobos ke tulang sumsumnya. Meski Pak Yudi
yakin tidak ada orang yang melihat dirinya telanjang seperti ini, namun tetap
saja ada perasaan malu. Hanya saja perasaan malu itu kalah oleh rasa takut pada
hantu di depannya.
“Mau kamu apakan saya?”
tanya Pak Yudi dengan suara menggigil.
“Qiqiqiqi….” hantu
telepon tertawa. Suaranya renyah. Namun lama-kelamaan tawa itu berubah menjadi
lenguhan seperti perempuan sedang bercinta.
Esoknya kawasan pabrik
itu gempar. Mayat Pak Yudi ditemukan dalam keadaan telanjang di parit depan mes
A. Sementara Tutik ditemukan sekarat di kolong mes B. Setelah mendapat
perawatan intensif, kondisi Tutik berangsur pulih. Hanya saja sesekali dia
terus menggigau soal hantu telepon yang mengejar-ngejarnya. Kondisi Tutik baru
benar-benar pulih setelah diobati oleh orang pintar yang didatangkan dari luar
kawasan pabrik.
“Sebenarnya gambar perempuan
di Hp-ku waktu itu mirip Kokom,” kata Hesti setelah selesai Wati bercerita soal
hantu telepon mirip Tutik. Saat itu mereka berkumpul di resto di tengah kota.
Jaraknya lumayan jauh dari kawasan pabrik. Mereka sepakat bolos kerja untuk
membahas soal hantu telepon itu di luar kawasan pabrik. Mereka takut jika
membicarakan soal itu di dalam kawasan pabrik, hantu telepon itu akan mendengar
dan akan kembali mengganggu.
“Kok mirip aku sih?”
tanya Kokom. Tentu saja ia terkejut karena disangkut-pautkan dengan cerita
hantu. Ia memang tidak tahu apa-apa
karena baru pulang dari kampung dan hanya mendengar cerita sepotong-sepotong
soal hantu telepon itu.
“Ngga tahu mengapa
hantu itu mirip sama kita-kita. Hantu yang ada di teleponku juga awalnya
berasal dari panggilan Wati…”
“Malam itu aku tidak
menelponmu,” potong Wati. Ia sudah tiga kali mendengar cerita Tutik dan itu
membuatnya tidak nyaman. Ada kesan Tutik menyalahkan dirinya.
“Sudah jangan berdebat
lagi. Sekarang kita harus mencari tahu mengapa hantu itu mengganggu kita
melalui telepon?” ujar Hesti menengahi.
“Kata Riyadi, malam itu
Pak Yudi mendapat telepon dari kamu sehingga dia datang ke mes putri untuk
menemuimu,” serang Wati karena dia merasa Hesti selalu membela Tutik.
“Saya sudah dengar!
Jadi kenapa kamu bahas lagi?” balas Hesti. Setiap kali disinggung soal itu, Hesti
pasti marah sebab orang satu pabrik kini jadi tahu jika selama ini diam-diam
dia menjalin hubungan asmara dengan Pak Yudi. Padahal mereka juga tahu kalau
Hesti masih menjalin hubungan dengan Badri.
“Kalau begitu sekarang
kita sepakati dulu kalau hantu itu sengaja meneror kita semua. Jangan hanya
menyalahkan saya saja…”
“Siapa yang menyalahkan
kamu?” potong Hesti.
“Sudah..sudah. Kalau
mau pada ribut, mendingan aku pulang saja,” kata Kokom.
Keempat perempuan muda
itu terdiam. Cukup lama mereka asyik dengan minuman masing-masing tanpa
mengeluarkan sepatah katapun.
“Saya mau berhenti
kerja saja,” kata Tutik akhirnya. Suaranya lirih seolah ditujukan kepada
dirinya sendiri.
“Jangan bodoh,” sahut
Hesti. “Jaman sekarang sulit cari kerjaan. Memang kamu mau cari kerja kemana
lagi?”
“Saya mau pulang
kampung. Saya tidak tahan tiap malam ketakutan…”
“Justru sekarang
saatnya kita hadapi hantu telepon itu dan kita cari tahu alasannya mengapa dia
meneror kita…”
“Mungkin karena kelakuan
kita yang nggak benar sehingga dia menghukum kita,” kata Wati.
“Alaaaaah…jangan
berandai-andai. Omonganmu itu sepertinya hanya ditujukan padaku!” sahut Hesti
kembali sewot. “Asal kamu tahu saja ya, dari ribuan karyawan di pabrik itu,
lebih dari setengahnya punya kelakuan lebih gila dari kita. Tetapi mengapa
hanya kita yang diteror?”
“Mungkin besok giliran
mereka,” kata Kokom ragu. Meski demikian, kalimat itu cukup untuk memaksa
ketiga temannya diam.
Sampai sore, mereka
tidak lagi berdebat soal hantu telepon itu. Namun ketika hendak pulang ke mes,
mereka sepakat untuk tidak menerima telepon pada malam hari meski siapapun yang
menelpon.
“Jadi kalau tengah
malam ada telepon dari siapapun, termasuk dari kita, jangan diangkat,” tegas
Wati. Sebenarnya kalimat penegasan itu ditujukan kepada Hesti karena dia yang
marah-marah ketika malam itu menelpon Wati namun tidak diangkat. Meski tahu disindir,
Hesti pura-pura tidak mendengar. Ia takut Wati kembali mengungkit hubungannya
dengan almarhum Pak Yudi.
Setelah kematian Pak Yudi
dan ditemukannya Tutik di kolong mes, kabar adanya hantu yang melakukan teror
melalui telepon menyebar ke seantero pabrik. Bahkan orang-orang di luar kawasan
pabrik pun sudah mendengar sehingga ketakutan menjalar kemana-mana. Kini banyak
yang tidak berani mengangkat panggilan telepon malam-malam. Kalau pun terpaksa
hendak diangkat karena telepon dari keluarga atau teman dekatnya, maka mereka
minta ditemani oleh orang lain seperti yang dilakukan Juariyah.
Malam itu, usai
berjualan minuman dan makanan kecil di depan pintu masuk pabrik, Juariyah bermaksud
pulang ke rumah kontrakannya dengan berjalan kaki. Jaraknya tidak terlalu jauh
dari tempatnya berjualan. Namun karena sudah hampir jam 01.00 pagi, jalannya
cukup lengang. Hanya sesekali saja lewat kendaraan bermotor dengan kecepatan
tinggi. Warung jamu Pak Diman di ujung jalan juga terlihat sepi. Mungkin karena
tanggung bulan sehingga jarang orang yang keluar malam.
Baru saja berjalan
sekitar 50 meter, telepon genggamnya yang dipegang di tangan kiri bergetar. Juariyah
sengaja menggunakan modus silent sehingga tidak ada nada dering. Sinar dari
Hpnya berkedip-kedip menandakan ada panggilan masuk. Juariyah melihat layar Hp
dan melihat nama suaminya tertera di situ. Juariyah mengernyitkan kening. Bulu
kuduknya berdiri. Reflek tangan kanannya mengelus perutnya yang berisi janin
berusia tiga bulan.
Tidak biasanya Mas Nono,
suaminya, telepon malam-malam begini, pikir Juariyah. Suaminya baru berangkat
kemarin bekerja di luar daerah. Sebagai orang proyek, kerja Mas Nono seringkali
berpindah-pindah. Mereka berkenalan ketika Mas Nono bekerja membangun perluasan
pabrik ini, setahun lalu. Enam bulan
pacaran, mereka lantas menikah. Namun baru beberapa hari bermulan madu, Mas
Nono mendapat panggilan kerja ke luar daerah. Kebetulan saat itu pekerjaan
membangun pabrik ini sudah selesai. Mas Nono pun pulang sebulan sekali. Itu
sebabnya Juariyah agak terlambat hamil.
Juariyah mempercepat
langkahnya. Ia tidak berani mengangkat panggilan telepon itu. Ia semakin yakin
itu panggilan dari hantu telepon, bukan Mas Nono. Sebab jika telepon biasa akan
mati dalam tujuh getaran. Ini sudah hampir lima menit, panggilan teleponnya
tidak juga berhenti!
“Pak Diman, numpang
duduk sebentar ya?” kata Juariyah begitu sampai di kios jamu laki-laki asal Ngawi
itu.
“Silahkan, duduk saja
selama kamu mau,” sahut Pak Diman tanpa melepas tatapannya pada layar televisi.
Meski membelakangi Juariyah, namun Pak Diman sudah hafal dengan suara perempuan
muda yang sedang mekar-mekarnya itu. Meski sudah berusia di atas 50 tahun,
namun gairah Pak Diman masih meledak-ledak setiap kali melihat perempuan muda
seperti Juariyah. Maklum, ia hidup sendirian setelah ditinggal mati istrinya
sejak lima tahun lalu.
“Saya mau numpang
menerima telepon dari suami saya,” kata Juariyah lagi. Suaranya sangat pelan
sehingga Pak Diman tidak mendengarnya.
Ragu-ragu Juariyah
melihat layar Hpnya yang masih berkedip-kedip. Tidak ada gambar siapapun di
layar Hp itu. Perlahan Juariyah menekan tombol ‘yes’ dan menempelkan Hpnya di
telinga.
“Halo...” kata Juariyah.
Suaranya bergetar.
“Halo.. Kenapa lama
sekali tidak kamu angkat?” terdengar suara Mas Nono sedikit emosi.
“Eh, maaf, ini Mas Nono
ya?” sahut Juariyah cepat. Ada kelegaan pada suaranya.
“Lho..memang namaku di
Hp sudah kamu hapus?”
“Bukan begitu. Tadi
masih ramai pembeli jadi aku langsung angkat telepon tanpa melihat siapa yang
memanggil,” sergah Juariyah cepat.
“Jangan bohong kamu...!”
Glek! Juariyah terkejut
karena suara Mas Nono tiba-tiba berubah. Dia sudah siap andai suaminya marah.
Tetapi suara ini bukan suara Mas Nono yang sedang marah, melainkan suara...Pak Diman!
Bagaimana..kira-kira
disambung tidak?
0 on: "Perhatian, Jangan baca sendirian! Teror Panggilan Tengah Malam"