Akarasa – Selamat datang
kerabat akarasa. Begini kisanak, sampeyan pasti ndak nyangka hanya karena
sebuah jalan hingga kemudian terjadi pembunuhan besar-besaran. Lho bener ini
dan kabar buruknya, itu terjadi di negeri kita. Tapi kejadian tersebut sudah
lama banget anak muda, lebih dari dua abad yang lalu.
Kejadian pilu ini
terjadi pada akhir abad ke 18, pada saat yang sama terjadi gonjang-ganjing yang
mengakibatkan perubahan besar di benua biru, Eropa. Peristiwa tersebut yang
dalam lembar sejarah dikenal dengan revolusi Prancis dan diangkatnya Napoleon
Bonaparte sebagai Kaisar Prancis. Sebagai pemimpin Prancis, Napoleon mulai
melakukan agresi ke seluruh penjuru Eropa, termasuk ke negeri Belanda. Belanda
takluk setelah diserang Prancis pada tahun 1794-1795.
Januari 1795, secara
resmi, Belanda jatuh ke tangan Prancis dan dengan segera didirikanlah
pemerintahan boneka di sana. VOC sebagai pemegang kekuasaan di Hindia Belanda
mengalami serangkaian penyelidikan yang dilakukan pemerintah Belanda sendiri
terkait dengan kebangkrutan yang dialaminya. Hal itu berujung pada
dibubarkannya VOC pada tahun 1800. Sehingga dengan demikian, secara resmi
tampuk kekuasaan beralih dari VOC ke tangan pemerintah Belanda. Pemerintahan baru
ini disebut republik Bataaf.
Tahun 1806, Napoleon
mengangkat Louis Napoleon sebagai penguasa di negeri Belanda. Louis Napoleon
sebagai penguasa baru di negeri Belanda mengirimkan Herman Willem Daendels ke
Jawa. pasnya lagi di Anyer, sebuah pelabuhan yang ramai waktu itu. Ia membawa
amanah raja Belanda, Louis Napoleon untuk memimpin Hindia-Belanda menggantikan
gubernur jenderal yang lama, sekaligus mengamankan Jawa dari gempuran Inggris.
Konon wilayah jajahan Belanda yang lain telah jatuh ke kekuasaan Inggris.
Segera setelah sampai
di Jawa, dia mulai bekerja dengan melakukan serangkaian program
kebijakan-kebijakan baru, seperti merombak total sistem administrasi,
memperbarui sistem peradilan, dan kebijakan-kebijakan lainnya yang secara
langsung atau tidak langsung, membawa perubahan besar di Hindia Belanda.
Dari Anyer Daendels
naik kereta kuda menuju Batavia (Jakarta sekarang). Jalanan rusak, hingga harus
ditempuh 4 hari 4 malam. Ini tak masuk akal baginya. Ia ingin ini bisa
diperpendek sehingga tembus sehari semalam saja, apalagi ini penting untuk
pergerakan militer; pertahanan bersenjata. Tak pelak lagi, pembangunan jalan
ini menjadi prioritas baginya ketika menjabat sebagai gubernur jenderal.
Pada tahun 1808-1809
Daendles mulai pembuatan jalan dengan rute Anyer-Batavia sebagai pilot projeck,
pada saat itu rakyat masih mau menghimpun kekuatan untuk melaksanakan perintah
paksa Daendles, namun setelah terjangitnya penyakit malaria dan banyak yang
tewas, maka rakyat menghentikan bantuannya. Banyak diantaranya yang meningal
tampa dikuburkan secara layak. Walaupun demikian Daendels semakin keras
menghadapi rakyat, ia tidak segan-segan memerintahkan tentaranya menembak mati
rakyat yang lalai atau tidak mau bekerja dalam pembuatan jalan apapun
alasannya.
Setelah jalan dari
Anyer tembus Batavia pekerjaan masih terus berlanjut, awalnya hanya memperlebar
jalan, namun kemudian membuka juga jalan baru hingga tembus sampai ke
Panurukan, jauh melewati Batavia. Jalan itu, Anyer-Panurukan 1000 KM jaraknya.
Jalan ini kemudian dikenal sebagai jalan pos, melewati Rembang, Lasem, Anyer,
Cilegon, Banten, Serang, Tanggerang, Batavia (Jakarta), Jatinegara, Depok,
Bogor, Priangan, Cianjur, Bandung, … dan berakhir di Panurukan.
Sumber Inggris mencatat
12.000 korban jiwa meninggal dalam pembangunan ini. ada yang menyebutkan hingga
mencapai 15.000 korabn jiwa, terutama sejarawan Indonesia. Mereka kelelahan.
Kekurangan makanan. Diserang penyakit, terutama malaria. Tapi itu tak menjadi
apa-apa bagi Daendels, walau tak sempat bertemu Stalin, agaknya Daendels memang
sepakat denganya kalau: “Kematian seorang adalah tragedi, tapi ribuan orang
hanyalah statistik”.
Menarik untuk dilihat
mengenai kiprah Daendels di Hindia Belanda ini dengan menampilkan sisi lain
dari seorang Daendels sebagai sosok kejam.
Keadaan di Jawa Menjelang Dibubarkannya VOC
Pada periode tahun
1790-an, hubungan antara Jawa dengan Belanda dapat dikatakan stabil. Nyaris
tidak ada konflik di antara keduanya. Dalam bidang pemerintahan, dapat dilihat
bahwa pihak Belanda berkuasa langsung atas daerah pesisir utara, tetapi dalam
kenyataannya, para penguasa lokal (bupati) yang bertindak sebagai wakil
Belanda.
Pada wilayah pedalaman,
hubungan antara pihak Belanda dengan kerajaan-kerajaan di Jawa hanya berbentuk
persekutuan belaka. Para residen Belanda di istana-istana Kerajaan Jawa hanya
bertugas sebagai duta saja, bukan sebagai penguasa atau penjajah. VOC yang
bertugas sebagai wakil Belanda di Jawa sudah hampir bangkrut. Hal itu
menyebabkan pemerintah Belanda melakukan serangkaian penyelidikan terhadap VOC.
Sehingga, pada tanggal 1 Januari 1800, VOC sebagai penguasa di Nusantara secara
resmi dibubarkan setelah pemerintah Belanda berhasil mengungkap kebangkrutan,
korupsi, dan skandal yang dilakukan oleh VOC.
Wilayah-wilayah yang
awalnya menjadi daerah kekuasaan VOC diserahkan kepada pemerintah Belanda.
Dengan dibubarkannya VOC, Hindia Belanda diwariskan kepada pemerintah di Negeri
Belanda yang saat itu disebut Bataafsche Republik. Penguasa yang dipercaya
untuk mengurus Tanah Jajahan di Asia termasuk Hindia Belanda (dengan pulau Jawa
sebagai pusatnya) adalah Raad van Asiatische Besittingen en Establisement yang
bertanggung jawab kepada Dewan Eksekutif Rebublik.
Pengangkatan Daendels
Sebagai Gubernur Jenderal Belanda jatuh ke tangan Prancis setelah serangan
bertubi-tubi yang dilakukan Prancis dalam kurun waktu Desember 1794 hingga
Januari 1795. Segera setelah Belanda jatuh, Prancis membuat pemerintahan boneka
di sana dengan membubarkan pemerintahan Heeren XVII dan menggantinya dengan
sebuah komite baru.
Tahun 1806, Napoleon
mengangkat Louis Napoleon sebagai penguasa di negeri Belanda. Louis Napoleon
sebagai penguasa baru di negeri Belanda mengirimkan Herman Willem Daendels ke
Hindia Belanda guna mengamankan daerah itu dari serangan Inggris. Seperti yang
telah kita ketahui bersama bahwa Inggris merupakan musuh besar Prancis. Belanda
yang telah jatuh ke tangan Prancis secara tidak langsung menyebabkan negeri itu
menjadi musuh Inggris.
Louis Napoleon butuh
figur untuk dapat mengamankan pulau Jawa yang merupakan sentral kekuasaan
Belanda di kawasan samudera Hindia dan Asia Tenggara. Daendels adalah seorang
pemuja prinsip–prinsip pemerintahan yang revolusioner. Dia membawa suatu
gagasan pembaruan dengan berusaha untuk memberantas ketidakefisienan,
penyelewengan, dan korupsi yang terjadi terutama di Jawa yang menjadi pulau
sentral kekuasaan Belanda.
Pada tanggal 1 Januari
1808, Daendels tiba di pelabuhan kecil dekat Banten. Setelah sampai di Batavia,
dia kemudian memutuskan untuk meninggalkan kota yang menurutnya tidak sehat itu
dan pindah ke Buitenzorg (Bogor). Daendels kemudian mulai bekerja memangkas
korupsi, menata administrasi, dan menata jalan serta benteng.
Program Kerja Daendels
Bidang Pertahanan
Bidang pertahanan
merupakan persoalan utama yang dihadapi Daendels. Daendels dihadapkan pada
lemahnya angkatan bersenjata dan pertahanan Jawa terhadap serangan Inggris. Karenanya
Daendels membuat dua kebijakan mendesak untuk memperkuat pertahanan
Hindia-Belanda. Kebijakan pertama yang dilakukan Daendels dalam bidang
pertahanan adalah melakukan rekruitmen terhadap kaum pribumi untuk dilatih
menjadi militer (milisi).
Kebanyakan serdadu
Bumiputera tersebut berasal dari Manado, Jawa, dan Madura. Dengan demikian ia
berhasil menambah jumlah angkatan bersenjatanya mencapai 18.000 hingga 20.000
serdadu. Hampir semua bidang dijamah oleh rencana Daendels untuk mendukung
kelengkapan dalam bidang militer tersebut. Misalnya saja, untuk menyediakan
perlengkapan seragam militer, para petani dipaksa memintal benang dan menenun
kain. Para pembuat gamelan di Semarang diubah menjadi pekerja pabrik mesiu
untuk keperluan senjata. Sentra pengrajin peralatan dapur tembaga di Gresik
diubah menjadi pabrik senjata.
Koningsplein (Lapangan
Merdeka) dijadikan tempat pelatihan militer, dan sebuah pangkalan angkatan laut
dibangun di Surabaya. Sementara itu, kebijakan kedua yang dilakukan Daendels
dalam bidang pertahanan adalah pembangunan Grote Postweg (Jalan Raya Pos) Anyer
sampai Panarukan. Jalan yang panjangnya kurang lebih 1000 km ini dibangun untuk
mendukung mobilitas militer, terutama menjaga pos-pos pertahanan penting di sepanjang
pantai utara Jawa.
Daendels juga
memberlakukan kerja rodi untuk pembangunan proyek raksasa tersebut. Waktu yang
mendesak serta banyaknya tenaga yang dibutuhkan untuk pembangunan jalan
tersebut menyebabkan kerja rodi menjadi pilihan bagi Daendels. Keberadaan Jalan
Raya Pos tersebut (sekarang dikenal dengan Jalur Pantura) tidak hanya
memberikan keuntungan di bidang militer saja, tetapi membawa arti penting bagi
mobilitas ekonomi, sosial, bahkan politik.
Dalam bidang ekonomi
misalnya, semakin banyakhasil produk kopi dari pedalaman Priangan yang diangkut
ke pelabuhan Cirebon dan Indramayu (sebelumnya tidak pernah terjadi dan produk
itu membusuk di gudang-gudang kopi Sumedang, Limbangan, Cisarua dan Sukabumi).
Dalam bidang perhubungan misalnya, transportasi menjadi semakin mudah dan
lancar. Jarak antara Surabaya-Batavia yang sebelumnya ditempuh 40 hari bisa
dipersingkat menjadi 7 hari. Hal ini sangat bermanfaat bagi pengiriman surat
yang dikelola oleh dinas pos. Mulai sejak saat itulah, nama jalan raya proyek
Daendels ini dikenal dengan nama “jalan raya pos”.
Bidang Politik
Kebijakan pertama yang
dilakukan Daendels dalam bidang politik adalah reformasi administrasi secara
total. Daendels mengangkat semua bupati Jawa menjadi pejabat pemerintah Belanda
untuk melindungi mereka dari pemerasan yang dilakukan oleh pejabat Belanda. Dewan
Hindia yang memegang posisi penting dalam struktur pemerintahan kolonial
Belanda tidak boleh lagi ikut berkuasa. Badan ini hanya menjadi embel-embel
kekuasaan gubernur. Daendels berusaha keras melaksanakan pemusatan kekuasaan.
Menurut Daendels, kekuasaan pejabat yang diwariskan VOC terlalu besar sehingga
mudah untuk memperkaya diri dengan cara melakukan korupsi.
Daendels melaksanakan
maksudnya dengan menghapus Gubernemen Pantai Jawa Timur Laut. Selain itu,
Residen Kerajaan Jawa yang berada di bawah Gubernur diambil alih oleh
pemerintah pusat Batavia. Daerah Jawa di luar kerajaan Surakarta dan Yogyakarta
dibagi menjadi sembilan daerah administratif yang disebut dengan Prefektorat,
yang kelak pada masa pemerintahan Raffles diubah dengan nama Gewest
(Karesidenan).
Pemberantasan Sistem Feodal
Daendels menjalankan
pemerintahannya dengan memberantas sistem feodal yang pada awalnya sangat
diperkuat oleh VOC. Hak-hak Bupati mulai dibatasi untuk mencegah penyalahgunaan
kekuasaan, terutama yang menyangkut penguasaan tanah dan pemakaian tenaga
rakyat. Status Raja yang selama masa VOC dianggap sebagai sekutu, diturunkan
menjadi pegawai biasa. Penurunan status ini menyebabkan terhapusnya tanda
kehormatan para Raja, seperti payung dan kereta kebesaran.
Pada masa pemerintahan
Gubernur-gubernur sebelum Daendels, para Residen Belanda diperlakukan sama
seperti para penguasa daerah yang menghadap raja-raja Jawa, yaitu dengan duduk
di lantai dan mempersembahkan sirih sebagai tanda hormat kepada Raja Jawa.
Menurut Daendels, Residen tidak layak lagi diperlakukan seperti itu. Daendels
yang berpikiran rasional menganggap sikap terlalu menghormati Raja adalah
sesuatu yang berlebihan.
Daendels kemudian
membuat beberapa peraturan untuk menjelaskan kepada rakyat bahwa kekuasaan
tertinggi berada di Batavia, bukan di tangan Raja-raja. Residen (pada masa
pemerintahan Daendels disebut menteri) berhak duduk sejajar dengan Raja,
memakai payung seperti Raja, tidak perlu membuka topi atau mempersembahkan
sirih kepada raja, dan harus disambut oleh raja dengan berdiri dari tahtanya
ketika Residen datang ke keraton. Pada saat Residen bertemu di tengah jalan
dengan Raja, Residen tidak perlu turun dari kereta, tetapi cukup membuka
jendela kereta dan boleh berpapasan dengan kereta Raja.
Sekulerisasi Pemerintahan
Daendels adalah seorang
sekuler. Hal ini dapat dilihat pada keputusannya memisahkan kekuasaan negara
dan kekuasaan agama. Meskipun demikian, lembaga-lembaga agama tetap disubsidi,
dengan demikian, Agama Katolik juga kembali diperbolehkan berkembang di
Nusantara.
Perombakan Sistem Peradilan
Daendels merombak
organisasi dan praktik pengadilan Batavia dengan melakukan pemisahan kelompok
penduduk yang berbeda dalam urusan peradilan. Pengadilan berada mulai dari
tingkat kabupaten hingga Prefektorat yang anggotanya terdiri dari Bumiputera
dan dua orang Belanda. Pengadilan-pengadilan ini akan menghakimi setiap kasus
yang melibatkan orang Jawa berdasarkan hukum adat dan istiadat Jawa. Sementara
itu, semua kasus yang melibatkan orang asing (orang Eropa, Cina, Arab,
Bumiputera non Jawa) akan ditangani oleh Dewan Peradilan berdasarkan
undang-undang Hindia Belanda. Pengadilan ini didirikan di Batavia, Semarang,
dan Surabaya.
Pengisian Kas Negara untuk Pembiayaan Negara
Semua langkah Daendels
dalam bidang pertahanan, administrasi negara, dan sisitem peradilan tentu saja
membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Apalagi komoditas perdagangan dari dalam
negeri tidak bisa dijual dan menumpuk di gudang pelabuhan akibat blokade laut
yang dilakukan Inggris. Daendels kemudian mencari cara lain, salah satunya
adalah dengan menghidupkan kebiasaan lama VOC, yaitu menjual tanah kepada pihak
swasta dan memberikan hak kepemilikan.
Daendels sebenarnya
banyak menjual tanah luas di wilayah barat dan timur Batavia, akan tetapi,
transaksi terbesarnya adalah penjualan seluruh wilayah yang kini bernama
kabupaten Probolinggo di Jawa Timur kepada orang Cina, Han Ti Ko sebesar tiga
setengah juta gulden.
Reaksi Terhadap Kebijakan Daendels dan Berakhirnya Pemerintahan Daendels
Reaksi terhadap
beberapa kebijakan Daendels yang memberatkan penguasa lokal terjadi di beberapa
daerah, dan yang paling keras terjadi di Banten. Pekerja rodi yang menolak
membangun pelabuhan Merak melarikan diri ke hutan. Residen Banten yang datang
menuntut pertanggungjawaban Sultan, dibunuh sehingga menyebabkan Daendels marah
besar. Istana Sultan Banten dihancurkan dan hartanya dijarah. Sultan ditangkap
dan dibuang ke Ambon.
Daendels kemudian
menunjuk keponakan Sultan sebagai penggantinya. Hal yang sama juga terjadi di
Yogyakarta, ketika Sultan Hamengkubuwono menolak diangkatnya Danurejo II
sebagai Patih. Sultan Hamengkubuwono malah mengangkat Pangeran Natakusumah yang
menyebabkan Daendels menggempur Yogyakarta pada tanggal Desember 1810.
Sultan Hamengkubuwono
II diganti oleh putranya (Hamengkubuwono III) dan Belanda mendapatkan ganti rugi
biaya perang sebanyak 500.000 gulden. Pengaruh kebijakan yang diterapkan oleh
Daendels dalam bidang politik sangat berbekas, terutama mengenai kebijakan
penghapusan upacara kehormatan Raja-raja di Jawa yang menimbulkan kebencian
mendalam, baik dari kalangan penguasa daerah, rakyat, maupun orang-orang
Belanda sendiri.
Keputusan Daendels yang
menghapus penghapusan penghormatan kepada Raja-raja di Jawa dianggap sebagai
perendahan martabat. Daendels seperti meruntuhkan teori kekuasaan masyarakat Jawa
yang menitikberatkan pada simbolisme raja sebagai sentral kekuasaan. Kebencian
rakyat terhadap Daendels disebabkan penyerahan paksa tanaman kopi dan kerja
rodi tanpa upah untuk pembangunan jalan raya pos yang menimbulkan kerugian
materi serta korban jiwa.
Sementara itu, para
pembesar Belanda yang juga membenci Daendels antara lain seperti gubernur
pesisir timur laut Jawa (wilayahnya mencakup Cirebon sampai ujung timur Jawa),
Nicolaas Engelhardt yang jabatannya dihapus Daendels, panglima angkatan laut Arnold
Adriaan Buykens dan Letkol Johannes van den Bosch yang dipecat hanya gara-gara
Daendels jengkel kepada keduanya.
Pada tahun 1810, Kaisar
Napoleon mengeluarkan dekrit yang menyatakan bahwa negeri Belanda masuk ke
dalam Imperium Prancis. Berita itu sampai ke Hindia Belanda dan disambut dengan
senang hati oleh Daendels. Meskipun demikian, akibat tindakannya yang terlalu
otoriter, maka Napoleon memutuskan untuk memanggil pulang Daendels pada tahun
1811 dan menggantikannya dengan orang yang lebih moderat, yaitu Jan Willem
Janssens. Daendels meninggalkan Jawa ketika sistem pertahanan yang dirintisnya
belum kuat, sehingga pada tanggal 18 September 1811, Janssens menyerah akibat
serangan dari Inggris.
Peta kekuasaan pun
akhirnya berpindah tangan dari Belanda ke Inggris, sehingga dengan demikian,
Hindia Belanda praktis menjadi milik Inggris. Pada saat pemerintahan Inggris
inilah, muncul suatu periode baru dalam sejarah Hindia Belanda, yaitu periode
Liberal.
Sumber literasi
Prakitri, S. 2006.
Menjadi Indonesia. Jakarta: Kompas.
Ricklefs, M.C. 2005.
Sejarah Indonesia Modern (1200-2004). Terjemahan Satrio Wahono dkk. 2005.
Jakarta: Serambi Ilmu Semesta. Vlekke, B. 1961.
Nusantara: Sejarah
Indonesia. Terjemahan Samsudin Berlian. 2008. Jakarta: Kepustakaan Populer
Gramedia.
0 on: "Sejarah Mega Proyek Jalan Anyer-Panarukan dan Tuan Besar Daendles"