Akarasa – Selamat datang
kerabat akarasa. Beberapa pekan yang lalu, Bengawan Solo memiliki ritus yang
membuat repot, yakni meluap hingga menggenangi hunian sepanjang alirannya. Sebenarnya
ini bukanlah hal yang baru, sudah ratusan tahun silam ritus meluapnya Bengawan
Solo ini selalu terjadi.
Di masa lalu ritus
meluapnya Bengawan Solo tak bisa dilepaskan dari sebuah perahu yang diberi nama
Kyai Rajamala. Perahu ini selalu digunakan Paku Buwono X untuk memeriksa banjir
diberbagai daerah. Tak hanya sebagai kendaraan diatas begawan, perahu yang
memiliki hiasan berupa kepala Rajamala di bagian ujungnya itu juga dipercaya
sebagai penolak bala sekaligus pengusir penyakit.
Kabarnya, setiap daerah
yang dilalui perahu Kyai Rajamala, tak pernah terjangkiti penyakit yang
biasanya muncul di daerah-daerah banjir – seperti penyakit kulit dan muntaber. Keangkeran
atau lebih tepatnya kekeramatan Kyai Rajamala ini ternyata masih terpelihara
hingga kini, setiap tahunnya, pada bulan Suro – Kyai Rajamala pada waktu-waktu
tertentu mengeluarkan bau anyir darah, dan akan hilang setelah dilakukan
jamasan terhadapnya.
Kyai Rajamala ini termasuk
salah satu pusaka utama Kasunanan Surakarta dan masih bisa kita saksikan hingga
kini, tepatnya di Museum Radya Pustaka. Pusaka yang berbentuk patung kepala
raksasa yang dulunya sebagai hiasan perahu pada jaman Paku Buwono IV di
semayamkan. Saking keramatnya, bahkan ada larangan untuk pengunjung untuk
sekedar menyentuhnya.
Riwayat keberadaan Kyai
Rajamala ini cukup menarik, tak hanya berurusan dengan Bengawan Solo, cerita
tentang keberadaannya juga sarat dengan cerita kekisruhan yang melingkupi
Kasunanan Surakarta di masa lalu.
Keberadaan pusaka Kyai
Rajamala tak lepas dari kisah soal rasa hormat Sunan Pakubuwono V kepada ibu
tirinya, GKR Kenconowungu. Juga diceritakan bagaimana piawainya sang raja saat
masih menjadi putra mahkota yang harus mengurai keruwetan rumah tangga sang
ayah, Sunan Pakubuwono IV.
Kisah ini saya sarikan
bebas dan selektif dari buku ‘Pakubuwono V’ karangan Soemosapoetro yang terbit
pada tahun 1956 silam. Sebenarnya, buku ini aslinya berbahasa Jawa krama
inggil, salah satu tingkatan tertinggi penggunaan Bahasa Jawa yang lazim
dijumpai dalam uraian karya sastra Jawa, terutama yang ditulis oleh pujangga
keraton.
Diceritakan, Pangeran
Adipati Anom begitu berduka. Putra mahkota Sunan Pakubuwono III itu seakan tak
kuat menanggung nestapa karena isterinya yang tercinta, Bandoro Raden Ayu
(BR.Ay.) Adipati Anom (yang saat muda bernama Raden Ajeng Handoyo), putri
pertama dari Adipati Cakraningrat di Madura,
meninggal dunia. Bukan karena ditinggal tambatan hati, namun juga sang
pangeran amat sedih mengingat mereka sebenarnya sedang menempuh kebahagiaan
karena sudah dikarunia seorang putra laki-laki yang diberi nama Gusti Raden Mas
(GRM) Sugandi dan sudah berusia 1,5 tahun.
Seakan tidak ingin
berpisah terlalu jauh dengan almarhumah isteri yang dicintainya, ia meminta
supaya jenazah isterinya dikebumikan di Laweyan, di serambi masjid milik
Kasunanan Surakarta. Permintaan itu jelas menetang tradisi, mengingat sebagai
keluarga inti keturunan raja-raja Mataram mestinya dimakamkan di pemakaman
Pajimatan di Imogiri yang dulu sengaja dibuat oleh Sultan Agung Hanyakrakusuma,
raja Mataram yang terkenal heroik karena pernah memerintahkan penyerangan ke
Batavia tahun 1626 dan 1628 tersebut. Dengan dimakamkan di Laweyan, sang putra
mahkota berharap akan dapat sewaktu-waktu berziarah kepada isterinya tersebut.
Baca juga : Ciri dan Mitos Wanita Bahu Laweyan dan Kampung Batik Laweyan : Saksi Diam Intrik, Suksesi dan Pengkhianatan Kekuasaan
Baca juga : Ciri dan Mitos Wanita Bahu Laweyan dan Kampung Batik Laweyan : Saksi Diam Intrik, Suksesi dan Pengkhianatan Kekuasaan
Di tengah kedukaan
tersebut, pada tanggal 26 September 1788 ayahnya, Sunan Pakubuwono III meninggal
dunia. Pangeran Adipati Anom tak dapat mengelak dari kewajiban. Mengingat
kedudukannya sebagai putra mahkota yang harus segera memikul tanggung jawab
besar karena harus menggantikan kedudukan ayahnya. Maka dipupuslah segala
kedukaan karena meninggalnya sang isteri dan 3 hari sesudah wafatnya sang ayah,
ia diwisuda menjadi Sunan Pakubowono IV, tepatnya pada tanggal 29 September
1788.
Suatu beban yang luar
biasa, mengingat saat itu usianya masih sangat muda, sekitar 20 tahun lebih 7
bulan. Kelak Sunan Pakubuwono IV ini termasuk salah satu raja yang mumpuni dan
melahirkan banyak tulisan sastra (serat), dan satu diantaranya yang terkenal
adalah Serat Wulangreh.
Hampir 3 tahun setelah
menjadi raja, demi menjaga wibawa dan kedudukannya, Sunan Pakubuwono IV memutuskan untuk menikah kembali. Uniknya,
perempuan yang dipilih adalah Raden Ajeng Sakaptinah, yang juga putri Adipati
Cakraningrat di Sumenep, Madura. Dalam istilah Jawa, perkawinan di mana
laki-laki menikahi saudara isterinya yang sudah meninggal dunia, dikenal dengan
perkawinan “ngrangulu.” Pernikahan itu diresmikan pada 17 Agustus 1791. Isteri
barunya itu diberi kedudukan sebagai permaisuri dengan gelar Gusti Kanjeng Ratu
(GKR) Kenconowungu.
Putra Sunan Pakubuwono
IV, GRM Sugandi yang sejak kecil tak pernah merasakan belaian kasih sayang ibu,
menyambut baik pernikahan ayahnya itu, dan bahkan menghormati permaisuri yang
sekaligus bibinya itu tak kurang laksana kepada ibunya sendiri. Dari pernikahan
itu, Sunan Pakubuwono IV memperoleh 2 anak, yaitu Pangeran Purboyo dan GKR
Pembayun. Sepuluh tahun kemudian, pada 13 Agustus 1792 GRM Sugandi diangkat
ayahnya menjadi putra mahkota dan kemudian bergelar Pangeran Adipati Anom. Saat
itu usia GRM Sugandi sudah menginjak 7 tahun 8 bulan.
Kedudukan itu
dikukuhkan lagi pada 11 Juli 1796, Sesudah memperoleh kedudukan sebagai calon
raja itulah, Pangeran Adipati Anom kemudian belajar banyak hal mengenai ilmu
keprajuritan, tata pemerintahan, dan tak ketinggalan bahasa dan sastra Jawa.
Untuk yang terakhir ini, sang pangeran tiada memperoleh kesulitan mengingat
sang ayah adalah raja tetapi berjiwa pujangga dengan banyak menyajikan karya
sastra yang tinggi pengaruhnya terhadap peradaban kerajaan.
Kelak sang pangeran ini
akan mampu melahirkan karya sastra yang dewasa ini termasyur sebagi
ensiklopedia ilmu pengetahuan dan diberi nama “Serat Centhini.” Bahkan tidak
segan-segan sang ayah sendiri yang memberikan pengajaran soal keutamaan dan
keluhuran peran sebagai seorang raja. Sang ayah juga yang kemudian mencarikan
isteri bagi putera mahkota tersebut yaitu seorang putri dari Raden Mas Haryo
Joyodiningrat, kerabat Kasunanan Surakarta.
Akibat semangat dalam
menerima ajaran-ajaran keluruhan ilmu pengetahuan dan kesusasteraan itu,
Pangeran Adipati Anom kemudian tumbuh menjadi sosok yang cerdas dan kaya
inisiatif. Bahkan, dalam suatu kesempatan tersendiri, sang pangeran secara
terampil mampu membuat sebuah keris. Dan keris itu sedemikian indahnya dan
terbuat dari serpihan logam meriam Kyai Guntur Geni, pusaka di masa Sunan
Pakubuwana II saat masih bertahta di Keraton Kartosura.
Konon meriam itu
memiliki kesaktian yang luar biasa dan saat pemberontakan Raden Mas Garendi
(kelak bergelar Sunan Kuning), pusaka itu dijadikan senjata andalan, tetapi
rusak. Ketika Sunan Pakubuwono IV tahu hasil keterampilan putranya tersebut, ia
meminta keris itu dijadikan pusaka kerajaan dan diberi nama Kanjeng Kyai Kaget.
Nama ini berasal dari suara hati sang raja yang kagum dengan keterampilan sang
putra mahkota dalam menghasilkan pusaka dengan keindahan yang luar biasa.
Namun, sang pangeran
tahu, apresiasi ayahnya itu tidak lantas membuatnya bahagia. Bagaimanapun ia
tahu, sang ayah sedang tidak bertegur sapa dengan ibu tirinya, permaisuri raja,
GKR Kenconowungu. Pangeran Adipati Anom sama sekali tidak tahu apa musabnya dan
secara tata karma tentu tidak berani untuk bertanya kepada ayahnya. Bahkan,
lama-lama ia mendengar sang ayah akan menceraikan permaisurinya itu dan akan
dipulangkan ke Madura.
Walaupun ibu tiri,
tetapi sang pangeran tidak kurang cintanya kepada GKR Kenconowungu mengingat
sejak usia 1,5 tahun dia tidak lagi memperoleh curahan kasih sayang dari
ibunya. Dia bertekad andaikata benar Sunan Pakubuwono akan menceraikan GKR
Kenconowungu, maka ia sendiri akan mengantar sang ibu ke Madura. Dia sendiri
bertekad tidak akan pernah kembali ke Kasunanan Surakarta dan memilih hidup
bersama sang kakek, Adipati Cakraningrat di Madura.
Dia juga memerintahkan
para abdi dalem Kadipaten (kediaman resmi putra mahkota) untuk selalu siaga dan
berpakaian seragam prajurit. Ia juga membuat sendiri sebuah perahu besar yang
kelak akan digunakannya menyusuri sungai Bengawan Sala menuju Madura andai
perceraian raja dan permaisuri terjadi. Perahu itu besar, indah, dan berwibawa,
dan bahkan di ujungnya ada hiasan berupa kepala raksasa (Gupala). Perahu itu
diberi nama Kyai Rajamala dan sampai sekarang masih tersimpan di Museum Radya
Pustaka, Surakarta.
Sunan Pakubuwono
kemudian memanggil sang putra mahkota. Pangeran Adipati Anom tak kuasa lagi
menahan perasaannya. Dengan takzim ia mengatakan bahwa jika sampai ayahnya
menceraikan permaisuri dia akan mengantar ibunya ke Madura dan tidak akan
bersedia kembali lagi ke kerajaan.
Alangkah terkejutnya sang raja mendengar
curahan hati Pangeran Adipati Anom. Lebih terkejut lagi saat ia dengan mata
kepala sendiri sebuah perahu besar dan
sekian banyak prajurit yang akan mengantar putranya ke Madura. Suatu masalah
besar jika niat itu terlaksana. Ia tidak akan mempunyai putra mahkota yang
sudah sekian lama ia cita-citakan menjadi penguasa Surakarta.
Seketika terharulah
hati sang raja dan segeralah ia merangkul dengan perasaan sayang kepada
Pangeran Adipati Anom. Dia juga berjanji bahwa dia tidak akan pernah
menceraikan GKR Kenconowungu, apalagi mengembalikan isterinya itu Madura.
Legalah Pangeran Adipati Anom mendengar janji ayahnya itu. Dan ia pun bersedia
memangku jabatan putera mahkota dan akan selalu mendampingi ayahnya dalam
menjalankan roda pemerintahan.
Bahkan selanjutnya,
sang raja dan permaisuri berkenan untuk menggunakan perahu Kyai Rajamala itu
untuk bersukaria dan menghibur diri bersama-sama dengan para kerabat keraton
mengarungi sungai Bengawan Solo.
Untuk mengenang dan
mengabadikan rasa cinta kepada GKR Kenconowungu, Pangeran Adipati Anom
menggubah Gending Ludira Madu untuk mengiringi tari Serimpi. Tarian ini adalah
tarian untuk hiburan raja yang dilakukan oleh 4 orang perempuan. Iringan gending diberi nama Ludira Madu,
artinya darah Madura, suatu persembahan untuk ibunya, GKR Kenconowungu.
Di samping itu, ia juga
menggubah Gending Loro-Loro, untuk mengiringi tari Penthul, sosok yang
digambarkan sebagai abdi kerajaan dengan menggunakan topeng yang lucu. Diberi
nama Loro-Loro, artinya dua-dua, karena menurut sang pangeran hidup di dunia
selalu 2 dimensi, senang dan sedih; benar dan salah; dan seterusnya.
Pada tanggal 2 Oktober
1820, hampir 33 tahun setelah menjadi raja, Sunan Pakubuwono IV meninggal dunia
dalam usia 53 tahun. Kemudia 8 hari sesudah itu, tepatnya pada 10 Oktober 1820,
Pangeran Adipati Anom dinobatkan atau jumeneng menjadi raja Surakarta dan
bergelar Sunan Pakubuwono V, sedangkan isterinya kemudian diangkat menjadi
permaisuri bergelar GKR Mas Ageng.
Saat itu usianya 36
tahun. Untuk menghormati ibu kandunganya yang dimakamkan di Laweyan dan sudah
meninggal saat ia berusia 1,5 tahun, raja baru itu juga mengganti nama ibunya
dan menjadi bergelar GKR Pakubuwono. Tak
lama kemudian pada tanggal 21 Januari 1821, GKR Kencowonowungu meninggal dunia.
Dan malang bagi sang raja baru itu, 3 bulan setelah kematian ibunya,
permaisurinya GKR Mas Ageng meninggal dunia pula.
Jasad sang isteri
dimakamkan berdampingan dengan ibunya GKR Kenconowungu di Imogiri, Yogyakarta.
Tak terkirakan kesedihan Sunan Pakubuwono V. Dalam jangka waktu hampir
berturut-turut sudah ditinggal oleh ayah, ibu, dan isterinya sendiri.
Akibatnya, ia tidak berkonsentrasi penuh dalam memikirkan roda pemerintahan
kerajaan. Namun tak lama kemudian Sunan Pakubuwono V menikah kembali dengan
putri Tumenggung Kusumodiningrat dan diangkat sebagai permaisuri dengan gelar
GKR Kencono.
Sesudah 100 hari pasca
kematian ibunya GKR Kencowonowungu, Sunan Pakubuwono yang telah kembali
menjalankan roda pemerintahan, menyempatkan diri untuk memperhitungkan harta
warisan ibunya tersebut. Bagaimanapun, perkawinan mendiang dengan ayahnya
menghasilkan 2 putera sebagai adik tirinya yaitu Pangeran Purboyo dan GKR
Pembayun. Dia berniat untuk menyerahkan sepenuhnya harta peninggalan ibunya
kepada kedua saudara tirinya tersebut.
Namun, atas saran
Pangeran Angabei, saudara laki-laki tiri lain ibu (hasil pernikahan Sunan
Pakubuwono IV dengan selir Mas Ayu Rantansari), dimohonkan agar niat itu
dipertimbangkan kembali. Bagaimanapun, ibu raja, GKR Pakubuwono masih saudara
dengan GKR Kenconowungu, ibu tirinya. Dengan posisi itu, maka Sunan Pakubuwono
V merupakan salah satu ahli waris juga. Dengan demikian, harta peninggalan GKR
Kenconowungu tidak dapat segera dibagi.
Pembagiannya, atas
kehendak Sunan Pakubuwono V, harus berdasarkan seluruh putra putri Sunan
Pakubuwono IV dan semua persetujuan mengenai hal itu harus dituangkan dalam
sebuah surat pernyataan tertulis. Meskipun demikian, persetujuan itu segera
tercapai, termasuk Pangeran Purboyo dan GKR Pembayun yang menyerahkan
sepenuhnya pembagian harta peninggalan ibu mereka kepada Sunan Pakubuwono V.
Tibalah hari dan saat
Sunan Pakubuwono V mengambil keputusan. Dalam suatu persidangan kerajaan 1 Mei
1821, Sunan Pakubuwono V menjelaskan aspek-aspek persoalan yang terkait dengan
pembagian harta peninggalan mendiang GKR Kenconowungu. Sunan berketetapan untuk
melaksanakan pembagian harta peninggalan itu menurut ketentuan hukum Islam.
Semua yang hadir menanti dengan penuh kecemasan dan perasaan tak menentu
mengingat semenjak awal mereka semua tahu bahwa sebagai raja, Sunan telah
berkehendak untuk mengambilalih semua persoalan waris itu.
Keputusan Sunan
Pakubuwono V sungguh di luar dugaan dan mengejutkan semua yang hadir, termasuk
Pangeran Purboyo dan GKR Pembayun. Sunan Pakubuwono V berketetapan bahwa semua
harta peninggalan GKR Kenconowungu yang bersifat sebagai barang “kaputren”
diserahkan sepenuhnya kepada GKR Pembayun, termasuk gaji sebagai permaisuri.
Sementara untuk Pangeran Purboyo adalah semua harta peninggalan yang bersifat
aksesoris untuk pria, termasuk hasil bumi tanah kedudukan. Sementara itu
peninggalan yang berupa perhiasan dan kitab-kitab dibagi secara adil untuk mereka
berdua.
Sementara itu, Sunan
Pakubuwono V bersedia untuk mengambil alih semua beban keuangan GKR
Kenconowungu semasa hidupnya. Raja juga bertitah agar siapapun kerabat yang
merasa mempunyai hutang atau berurusan dengan almarhumah ibu tirinya itu, untuk
segera mengatakan kepadanya dan sang raja sendiri yang akan melunasi. Keputusan
Sunan Pakubuwono V itu mengakhiri semua spekulasi yang berkembang saat itu,
terutama keinginan Sunan untuk menjadi pihak ahli waris.
Tak urung keputusan
yang demikian sekalipun mengejutkan, tetapi akhirnya menenteramkan semua pihak,
termasuk kedua saudara tiri Sunan Pakubuwono V. Demikian murah hati kepribadian
Sunan, sehingga yang bersangkutan akhirnya memperoleh julukan “Sunan Sugih”,
raja yang kaya raya. Keputusan itu juga menunjukkan kearifan dan kesabaran
Sunan Pakubuwono V sekaligus berbakti kepada GKR Kenconowungu, sekalipun semua
pihak tahu, bahwa mendiang adalah ibu tiri dari sang raja tersebut. Nuwun.
Sumber utama : Buku
Pakoeboewono V, Soemosapoetro, 1956.
0 on: "Kyai Rajamala Pusaka Unik dari Kraton Surakarta"