Akarasa – Selamat datang
kerabat akarasa. Letusan Krakatau pada tahun 1883 memang belum sedasyat letusan
dari gunung Tambora dan gunung Toba. Tetapi dampak dari letusan Krakatau ini
sangat mempengaruhi dunia kala itu.
Gunung Krakatau atau
orang Barat biasa menyebutnya sebagai Krakatoa. Merupakan salah satu gunung
berapi di Indonesia yang terletak di Selat Sunda di antara Pulau Jawa dan Pulau
Sumatera. Gunung Krakatau memiliki kisah yang begitu terkenal dan mendunia
karena kedahsyatan letusannya.
Para ahli dari Eropa
pada abad 18 ketika jaman kolonial Hindia Belanda menduga bahwa Gunung Krakatau
(813 m) pada saat itu merupakan sisa dari letusan besar sebuah gunung yang
akhirnya menyisakan keadaan alam menjadi seperti saat itu. Dugaan ini diperkuat
dengan naskah kuno yang diperkirakan berasal dari tahun 416 Masehi dengan judul
“Pustaka Raja Parwa”. Naskah tersebut mengisahkan meletusnya Gunung Batuwara
yang begitu dahsyat hingga memisahkan Pulau Jawa dan menciptakan Pulau
Sumatera.
Diduga dari letusan
Gunung Batuwara yang disebutkan pada naskah itu akhirnya menyisakan Pulau
Rakata, Pulau Panjang (Rakata Kecil) dan Pulau Sertung yang terdapat pada tahun
1800-an. Lantas gunung yang ada di Pulau Rakata ini yang akhirnya dinamakan
sebagai Gunung Krakatau.
Selain Gunung Krakatau,
Pulau Rakata juga memiliki gunung lain yang lebih pendek yaitu Gunung Danan dan
Gunung Perboewatan. Pada tahun 1680 diketahui bahwa Gunung Krakatau memiliki
peningkatan aktivitas dengan mengalami letusan yang kecil. Gunung Perboewatan
lantas aktif pada tahun 1880 dengan indikasi terdapatnya pengeluaran lava.
Setelah 200 tahun
istirahat, diawali letusan kecil Gunung Krakatau pada 20 Mei 1883. Aktivitas
letusan terus berlanjut hingga mencapai puncaknya dengan letusan Krakatau pada
tanggal 26-27 Agustus 1883. Letusan tersebut menghasilkan ledakan yang
menggelegar dahsyat dan membuat wilayah Selat Sunda menjadi sangat mencekam.
Letusan Krakatau ini
telah melemparkan batuan apung dan abu dengan peristiwa vulkanik yang bagaikan
tanpa habis ketika itu. Letusan ini juga melenyapkan Gunung Danan dan Gunung
Perboewatan dan menyisakan cekungan pada pulau Rakata. Akibat peristiwa ini
setengah kerucut dari Gunung Krakatau juga ikut hancur.
Menurut dokumentasi
yang ada peristiwa ini mengakibatkan kerusakkan yang luar biasa. Aktivitas
vulkanik mampu melemparkan batuan hingga menuju ke Sri Lanka, Pakistan, India,
Australia dan Selandia Baru. Suara letusannya terdengar sampai ke Australia dan
kepulauan dekat Afrika dengan jarak sekitar 4600 km. Gelombang Tsunami yang
ditimbulkan hingga ke Hawaii, Amerika Tengah dan Semenanjung Arab dengan daya
jangkau berjarak tujuh ribu kilometer.
Jumlah korban tewas
hingga sekitar 36 ribu jiwa lebih dan lebih parahnya lagi di wilayah sekitar
Jakarta dan Lampung mendapati langit gelap tertutup abu hingga beberapa hari.
Hamburan debu dikonfirmasi juga menyebar hingga ke Norwegia dan New York.
Peristiwa yang terjadi bukan hanya sekedar letusan gunung saja tetapi juga
mengakibatkan longsoran bawah laut hingga terjadi Gelombang Tsunami. Dikabarkan
pada saat itu sinar matahari terasa redup selama setahun. Suksesi alam yang
sempurna.
Mengutip dari blognya
D. Naufal Halwany pernah ditemukan sebuah kerangka manusia di pantai Anyer –
Banten. Kerangka manusia yang didapatkan ialah kerangka seseorang yang diduga
kuat korban musibah pada tahun 1888, ketika itu terjadi Gunung Krakatau meletus
dan yang menemukan kerangka manusia tesebut adalah Halwany Michrob seorang
antropolog sejarah.
Ia melakukan penggalian
disekitar Anyer Lor dengan tim yang diberi tema Ekskavasi Penyelamatan, semula
penggalian tersebut untuk menyingkap peninggalan prasejarah. Akan tetapi kerja
yang dimulai pada 1 Agustus 1996 itu hasilnya lain. Di depan Kantor Kecamatan
Anyer, hanya beberapa puluh meter dari garis pantai kerangka manusia itu
ditemukan dalam posisi tengkurap pada kedalaman 1,2 m. Tangan kanannya tampak
menangkup kepalanya yang terletak di antara dua karang seperti terjepit.
Sedangkan tangan kirinya memegangi perut.
Lebih lanjut, penemuan
tersebut jelas bukan sistem penguburan Islam yang biasanya kedua tangan
bersedekap. Dugaan ini pun diperkuat dengan lapisan tanah tidak menunjukkan
bekas lubang penguburan. Penduduk setempat memang bercerita bahwa banyak orang
yang menjumpai kerangka manusia ataupun hewan ketika hendak membangun rumah.
Semua itu mengingatkan akan
peristiwa lebih dari seabad silam, ketika gelombang raksasa atau kini sering
kita menyebutnya gelombang tsunami setinggi sekitar 40 meter mengempas Pantai
Carita maupun Anyer. Karang seberat ratusan ton pun terlempar ke darat. Bahkan Kota Kabupaten Caringin pun lenyap ditelan
ombak. Namun temuan di Anyer bukan saja kerangka manusia tapi diperoleh juga
manik-manik, mata uang Belanda tahun 1880 dan juga ditemukan bekas dapur yang
isinya, antara lain, pecahan keramik Cina akhir abad ke-18.
Gunung yang terletak di
selat sunda ini pernah meletus dahsyat pada 27 agustus 1883, dengan suara
letusannya yang terdengar sampai dengan kepulauan Rodriguez yang berjarak 4653
km dari gunung ini dan terdengar oleh kira kira 1/13 planet bumi ini. Abunya
sampai juga ke Singapura yang terletak 840 km sebelah utara Krakatau. Debu yang
dilontarkan ke angkasa menutup sinar matahari dan mendinginkan bumi.
Majalah National Geographic
dari Amerika Serikat mencatat penurunan suhu bumi sampai dengan 1,2 derajat
celcius satu tahun setelah letusan dan suhu kembali normal 5 tahun kemudian
(1888). Letusan Krakatau yang menyemburkan ejekta yaitu debu dan batu apung ke
angkasa sebesar 18 meter kubik merupakan nomor tiga di dunia dalam jumlah
ejekta yang disemburkan ke atmosfer. Yang pertama adalah letusan Gunung
Tambora, juga gunung api Indonesia yang pada 1815 melontarkan 80 km kubik
ejekta. Letusan gunung Tambora menyebabkan pendinginan bumi yang sangat jelas
sehingga pada tahun 1816 disebut “a year without summer” di Amerika Serikat.
Nomor dua adalah
letusan gunung Mazama di Jepang pada tahun 4600 sebelum Masehi yang memuntahkan
42 km kubik ejekta. Letusan ini juga menimbulkan gelombang tsunami setinggi
kurang lebih 40m. Bangkai-bangkai manusia, kuda, sapi, ayam, dan anjing
tersangkut padanya. Walaupun sudah lemah, gelombang tsunami letusan Krakatau
terasa sampai di pantai barat Amerika Selatan.
Memang, suksesi alam
Ledakan Krakatau ini sebenarnya masih kalah dibandingkan dengan letusan Gunung
Toba dan Gunung Tambora, namun gunung-gunung tersebut meletus jauh di masa
populasi manusia masih sangat sedikit. Sementara ketika Gunung Krakatau
meletus, populasi manusia sudah cukup padat, sains dan teknologi telah
berkembang, telegraf sudah ditemukan, dan kabel bawah laut sudah dipasang.
Sederhananya dapat
dikatakan bahwa saat itu teknologi informasi sedang tumbuh dan berkembang pesat
disaat Gunung Krakatau itu meletus. Tercatat bahwa letusan Gunung Krakatau
adalah bencana besar pertama di dunia setelah penemuan telegraf bawah laut.
Kemajuan tersebut, sayangnya belum diimbangi dengan kemajuan di bidang geologi.
Para ahli geologi saat itu bahkan belum mampu memberikan penjelasan mengenai
letusan tersebut.
Munculnya Gunung
Krakatau
Pada hari Senin, 27
Agustus 1883, tepat jam 10.20, meledaklah gunung itu. Menurut Simon Winchester,
ahli geologi lulusan Universitas Oxford Inggris yang juga penulis National
Geographic mengatakan bahwa ledakan itu adalah yang paling besar, suara paling
keras dan peristiwa vulkanik yang paling meluluhlantakkan dalam sejarah manusia
modern. Suara letusannya terdengar sampai 4.600 km dari pusat letusan dan
bahkan dapat didengar oleh 1/8 penduduk bumi saat itu.
Menurut para peneliti
di University of North Dakota, ledakan Krakatau bersama ledakan Gunung Tambora
(1815) mencatatkan nilai Volcanic Explosivity Indek (VEI) terbesar dalam
sejarah modern. Ledakan Krakatau telah melemparkan batu-batu apung dan abu
vulkanik dengan volume 18 kilometer kubik. Semburan debu vulkanisnya mencavai
80 km. Benda-benda keras yang berhamburan ke udara itu jatuh di dataran pulau
Jawa dan Sumatera bahkan sampai ke Sri Langka, India, Pakistan, Australia dan
Selendia Baru.
Gelombang laut saat
terjadinya meletus naik setinggi 40 meter menghancurkan desa-desa dan apa saja
yang berada di pesisir pantai. Seperti terjadi Tsunami di Aceh, ini timbul
bukan hanya karena letusan tetapi juga longsoran bawah laut. Tercatat jumlah
korban yang tewas mencapai 36.417 orang berasal dari 295 kampung kawasan pantai
mulai dari Merak (Serang) hingga Cilamaya di Karawang, pantai barat Banten
hingga Tanjung Layar di Pulau Panaitan (Ujung Kulon) serta Sumatera Bagian
selatan. Di Ujung Kulon, air bah masuk sampai 15 km ke arah barat. Keesokan
harinya sampai beberapa hari kemudian, penduduk Jakarta dan Lampung pedalaman
tidak lagi melihat matahari.
Anak Krakatau
Mulai pada tahun 1927
atau kurang lebih 40 tahun setelah meletusnya Gunung Krakatau, muncul gunung
api yang dikenal sebagai Anak Krakatau dari kawasan kaldera purba tersebut yang
masih aktif dan tetap bertambah tingginya. Kecepatan pertumbuhan tingginya
sekitar 20 inci per bulan. Setiap tahun ia menjadi lebih tinggi sekitar 20 kaki
dan lebih lebar 40 kaki.
Catatan lain
menyebutkan penambahan tinggi sekitar 4 cm per tahun dan jika dihitung, maka
dalam waktu 25 tahun penambahan tinggi anak Rakata mencapai 7.500 inci atau 500
kaki lebih tinggi dari 25 tahun sebelumnya. Penyebab tingginya gunung itu
disebabkan oleh material yang keluar dari perut gunung baru itu. Saat ini
ketinggian Anak Krakatau mencapai sekitar 240 meter di atas permukaan laut,
sementara Gunung Krakatau sebelumnya memiliki tinggi 813 meter dari permukaan
laut.
Menurut Simon
Winchester, sekalipun apa yang terjadi dalam kehidupan Krakatau yang dulu
sangat menakutkan, realita-realita geologi, seismik serta tektonik di Jawa dan
Sumatera yang aneh akan memastikan bahwa apa yang dulu terjadi pada suatu ketika
akan terjadi kembali. Tak ada yang tahu pasti kapan Anak Krakatau akan meletus.
Beberapa ahli geologi memprediksi letusan in bakal terjadi antara 2015-2083.
Namun pengaruh dari gempa di dasar Samudera Hindia pada 26 Desember 2004 juga
tidak bisa diabaikan.
Menurut Profesor Uenda
Nakayama salah seorang ahli gunung api berkebangsaan Jepang, Anak Krakatau
masih relatif aman meski aktif dan sering ada letusan kecil, hanya ada
saat-saat tertentu para turis dilarang mendekati kawasan ini karena bahaya lava
pijar yang dimuntahkan gunung api ini. Para pakar lain menyatakan tidak ada
teori yang masuk akal tentang Anak Krakatau yang akan kembali meletus. Kalaupun
ada minimal 3 abad lagi atau sesudah 2325 M. Namun yang jelas, angka korban
yang ditimbulkan lebih dahsyat dari letusan sebelumnya.
Untuk menggambarkan
suasana mencekam saat terjadinya dentuman dahsyat pada hari Minggu, 27 Agustus
1883 pada pukul 10.02 wib tersebut, berikut ini saya cuplikkan dari majalah Intisari
yang terbit Agustus 1982.
Sebenarnya, aktivitas
Krakatau sudah dimulai dengan letusan pada tanggal 20 Mei 1883, waktu kawah
Perboeatan memuntahkan abu gunung api dan uap air sampai ketinggian 11 km ke
udara. Letusan ini walaupun terdengar sampai lebih dari 350 km (sampai
Palembang), tidak sampai menimbulkan korban jiwa.
Nah, puncaknya pada
letusan tanggal 27 Agustus itulah bebatuan disemburkan setinggi 55.000 m dan
gelombang pasang (Tsunami) yang ditimbulkan menyapu bersih 163 desa. Abunya
mencapai jarak 5.330 km sepuluh hari kemudian. Kekuatan ledakan Krakatau ini
diperkirakan 26 kali lebih besar dari ledakan bom hidrogen terkuat dalam
percobaan.
Seorang pengamat di
rumahnya di Bogor, pada tanggal 26 Agustus pukul satu siang mendengar suara
gemuruh yang tadinya dikira suara guntur di tempat jauh. Lewat pukul setengah
tiga siang mulai terdengar letupan pendek, sehingga ia mulai yakin bahwa
kegaduhan itu berasal dari kegiatan Krakatau, lebih-lebih sebab suara berasal
dari arah barat laut-barat. Di Batavia gemuruh itu juga dapat didengar,
demikian pula di Anyer. Di serang dan Bandung suara-suara itu mulai terdengar
pukul tiga.
Seorang bintara Belanda
yang ditempatkan di Batavia mengisahkan pengalaman pribadinya. Seperti banyak
orang lainnya ia mengira bahwa dunia akan kiamat saat itu.
“Tanggal 26 Agustus itu
bertepatan dengan hari Minggu. Sebagai sersan pada batalyon ke-IX di
Weltevreden (Jakarta Pusat) hari itu saya diperintahkan bertugas di penjagaan
utama di Lapangan Singa. Cuaca terasa sangat menekan. Langit pekat berawan
mendung. Waktu hujan mulai menghambur, saya terheran-heran bahwa di samping air
juga jatuh butiran-butiran es. Sekitar pukul dua siang terdengar suara gemuruh
dari arah barat. Tampaknya seperti ada badai hujan, tetapi diselingi dengan
letupan-letupan, sehingga orangpun tahu bahwa itu bukan badai halilintar
biasa.”
“Di meja redaksi koran
Java Bode orang segera ingat pada gunung Krakatau yang sudah sejak beberapa
bulan menunjukkan kegiatan setelah beristirahat selama dua abad. Mereka
mengirim kawat kepada koresponden di Anyer, sebuah pelabuhan kecil di tepi
Selat Sunda, tempat orang bisa menatap sosok Krakatau dengan jelas pada cuaca
cerah. Jawabnya tiba dengan cepat: ‘Di sini begitu gelap, sampai tak bisa
melihat tangan sendiri.’ Inilah berita terakhir yang dikirimkan dari Anyer…”
“Pukul lima sore
gemuruh itu makin menghebat, tapi tidak terlihat kilat. Letusan susul-menyusul
lebih kerap, seperti tembakan meriam berat. Dari Lapangan Raja (Merdeka) dan
Lapangan Singa (Banteng) terlihat kilatan-kilatan seperti halilintar di ufuk
barat, bukan dari atas ke bawah, tetapi dari bawah ke atas. Waktu hari
berangsur gelap, di kaki langit sebelah barat masih terlihat pijaran cahaya.”
“Sudah menjadi
kebiasaan bahwa tiap hari pukul delapan tepat di benteng (Frederik Hendrik,
sekarang Mesjid Istiqlal) ditembakkan meriam sebagai isyarat upacara, disusul
dengan bunyi terompet yang mewajibkan semua prajurit masuk tangsi. Para penabuh
genderang dan peniup terompet batalyon itu sudah siap pada pukul delapan kurang
seperempat. Mereka masih merokok santai sebelum mereka berbaris untuk
memberikan isyarat itu. Tiba-tiba terdengar tembakan meriam menggelegar, jauh
lebih dini daripada biasanya. Mereka segera berkumpul membentuk barisan dan
setelah terompet dibunyikan, mereka berbaris sambil membunyikan genderang dan
meniup terompet. Baru saja mereka mencapai asrama ketika meriam yang sebenarnya
menggelegar dari dalam benteng. Gunung Krakatau ternyata mengecoh mereka!”
Batavia Jadi Dingin
“Sementara itu
‘penembakan’ berlangsung terus. Kadang-kadang bunyinya seperti tembakan salvo
beruntun, kilatan-kilatan menyambar-nyambar ke langit. Semua orang tercekam
ketakutan. Tiada seorangpun percaya bahwa ada badai mengamuk jauh di sana.
Hampir tidak ada orang yang berani tidur malam itu. Banyak yang berkumpul di
halaman rumah mereka sambil mengarahkan pandangan mereka ke arah barat dan
memperbincangkan kemungkinan-kemungkinan yang menyebabkan gejala alam yang aneh
itu. Hanya anak negeri yang tak ragu-ragu: ‘Ada gunung pecah,’ kata mereka.”
“Menjelang tengah malam
tiba perwira piket, Letnan Koehler. Ia mengatakan kepada saya bahwa seluruh
kota sedang dalam keadaan panik. Penduduk asli berkumpul di masijid-masjid
untuk bersembahyang. Penduduk Belanda tetap terjaga di rumah masing-masing atau
pergi ke rumah bola Concordia atau Harmonie untuk saling mencari dukungan dari
sesamanya.”
“Menjelang pukul dua
pagi rentetan letusan bak tembakan cepat artileri itu mencapai puncaknya.
Rumah-rumah batu bergetar dan jendela-jendela bergemerincing. Gelas lampu
penerangan jalan jatuh dan bertebaran di tanah, kaca etalase toko pecah,
penerangan gas di banyak rumah padam. Sesudah itu ledakan-ledakan mereda, namun
dari arah barat masih terdengar suara gemuruh.”
“Kemudian saya
merasakan bahwa udara makin menjadi dingin. Dalam beberapa jam saja suhu udara
telah menurun sedemikian rupa, sampai saya gemetar kedinginan di pos jaga.
Belum pernah di Batavia udara sedingin itu. Waktu saya melihat keluar ternyata
seluruh kota diliputi oleh kabut tebal. Penerangan jalan di seberang Lapangan
Singa tak dapat saya lihat lagi,meskipun saya mendengar dari rekan lain bahwa
lampu-lampu masih menyala. Tak lama kemudian ternyata kabut itu bukan kabut
biasa, melainkan hujan abu, yang jatuh tak lama setelah lewat tengah malam, mula-mula
jarang-jarang, tetapi makin lama makin deras, sehingga segalanya terselimuti
oleh kabut abu yang tebal.”
“Pada pukul enam pagi,
sesuai peraturan, semua lampu harus dipadamkan, tetapi matahari tidak terbit!
Baru sekitar pukul tujuh nampaknya fajar seperti akan menyingsing, tetapi hari
itu tak akan menjadi terang. Hawa makin menjadi dingin, sehingga saya
memerintahkan anak buah saya untuk mengenakan jas hujan mereka. Sementara itu
abu turun dengan tiada putus-putusnya. Abu itu ke mana-mana, bangsal jaga juga
dilapisi oleh serbuk halus yang berwarna kelabu keputih-putihan. Prajurit jaga
yang saya lihat dari jendela sedang mondar-mandir, nampak seperti boneka salju
kelabu yang bergerak secara mekanis.”
“Sekitar pukul sembilan
pagi ledakan-ledakan dan guruh makin bertambah. Pada pukul sepuluh hari gelap
seperti malam. Lampu-lampu gas dinyalakan kembali. Lapisan abu setebal 15 mm
menutupi segala yang ada. Jalan-jalan sunyi senyap, tak ada yang berani
menampakkan diri. Saya merasa seorang diri di dunia, di dunia yang tak lama
lagi bakal runtuh!”
“Pada pukul 10.40
akhirnya tiba telegram dari Serang, yang isinya memuat sedikit keterangan
mengenai penyebab gejala-gejala alam yang mengerikan itu. Kawat itu berbunyi:
‘Kemarin petang Krakatau bekerja. Bisa didengarkan di sini. Semalam suntuk
cahayanya terlihat jelas. Sejak pukul sebelas ledakan-ledakan makin hebat dan
tak terputus-putus. Setelah hujan abu deras pagi ini matahari tak tampak,
gelapnya seperti pukul setengah tujuh malam. Merak dimusnahkan gelombang
pasang. Sekarang di sini sedang hujan kerikil. Tanpa payung kuat tak ada yang
berani keluar.’”
“Lewat pukul duabelas,
ketika di Batavia masih gelap gulita dan sangat dingin, tersiar berita kawat
dari pelabuhan Pasar Ikan dan Tanjung Priok. Sebuah gelombang pasang telah
membanjiri kota bagian bawah. Permukaan air dua meter di atas garis garis
normal. Kapal uap Prinses Wilhelmina dicampakkan ke pangkalan, seperti juga
kapal Tjiliwoeng yang cerobong asapnya merusak atap kantor pabean. Sejumlah
kapal motor dan perahu terdampar acak-acakan di Pelabuhan Pasar Ikan,
berlumuran lumpur dan abu tebal. Pengungsi mulai mengalir sepanjang jalan raya
dengan membawa harta benda yang bisa dijinjing ke arah Weltevreden yang lebih
tinggi letaknya. Pada pukul dua dan empat sore datang lagi gelombang pasang,
tetapi kali ini kurang tinggi dibandingkan yang pertama.”
“Di sebelah barat kini
menjadi tenang dan kelam makin berkurang, sehingga matahari mulai nampak
sebagai bercak merah kotor pada langit yang kelabu.”
“Pada pukul lima petang
saya diganti dan menerima perintah untuk segera menyiapkan suatu pasukan yang
akan diberangkatkana ke daerah yang terkena musibah di Sumatra Selatan. Pada
saat itu di Batavia tidak seorangpun tahu dengan tepat apa yang sebenarnya
terjadi di sebelah barat. Semua hubungan telegram dengan daerah yang terlanda
malapetaka terputus.”
Serang Sunyi Mencekam
Kalau di Jakarta, air
pasang itu tak mengambil korban terlalu besar, tapi di daerah pantai sebelah
barat Jawa Barat yang lebih dekat dengan gunung yang sedang murka itu,
akibatnya sangat mengerikan. Di Tangerang, pantai utaranya digenangi sampai
sejauh satu hingga satu setengah km dengan meminta korban manusia cukup besar.
Sembilan buah desa pantai musnah. Korban di daerah ini tercatat 1.794 orang
penduduk asli dan 546 Cina dan Timur Asing lainnya.
Di Serang suara gemuruh
mulai terdengar pada pukul 3 siang, hari Minggu. Malamnya terus-menerus tercium
bau belerang dan guruh serta kilat terlihat dari arah Krakatau. Hari Seninnya
langit di sebelah barat berwarna kelabu, lalu hujan abu turun tanpa hentinya.
Pukul setengah sebelas hari mulai kelam, dan makin menggelap, sehingga hampir
tak terlihat apa-apa. Lewatpukul sebelas datang kawat dari Serang bahwa telah
terjadi hujan kerikil batu apung; tak lama kemudian hubungan telegram dengan
Jakarta terputus. Setelah hujan kerikil menyusul hujan lumpur, yakni abu basah
yang melekat pada daun-daun dan dahan-dahan pohon sehingga kadang-kadang runtuh
karena beratnya. Sekitar pukul 12 hujan lumpur ini berhenti, tetapi abu kering
tetap turun.
Anehnya, selama itu di
Serang tak terdengar letusan-letusan, bahkan suasana sangat sepi mencekam, yang
membuat banyak orang makin gugup dan tertekan. Hewan peliharaan juga makin
gelisah, mereka ingin sedekat mungkin dengan manusia di dalam rumah, di dekat
lampu. Dengan kekerasan sekalipun hewan-hewan itu tak berhasil diusir. Setelah
pukul dua siang langit mulai terlihat agak terang di sebelah timur, ayam-ayam
jantan mulai berkokok. Suara gemuruh mulai terdengar lagi, sedang hujan abu
turun terus-menerus dan bau abu belerang menusuk hidung. Pada pukul empat sore
lampu-lampu masih dinyalakan.
Surat-surat kabar yang
terbit di Batavia tertanggal 28, 31 Agustus, dan 4 September penuh dengan
berita-berita tentang malapetaka yang menimpa daerah Banten. Tetapi jarang
sekali ada kisah dari saksi mata, sebab tempat-tempat yang letaknya di tepi
pantai seperti Merak, Anyer, dan Caringin, hancur luluh dan hanya ada beberapa
orang Belanda yang melarikan diri dan tertolong pada saat yang tepat.
Ketika Siuman Semua
Gelap
Di Merak seorang
pemegang buku pada perusahaan pelabuhan bernama E. Pechler merupakan
satu-satunya orang Belanda yang lolos. Ia sedang bertugas membawa telegram
atasannya untuk dikirimkan ke Batavia lewat Serang. Berita ini mungkin yang
terakhir dikirimkan dari Merak. Isinya laporan kepada Kepala Jawatan Pelabuhan
di Betawi, yang menyebutkan bahwa pada hari Minggu tanggal 26 Agustus dan
keesokan harinya, sebagian Merak yang lebih rendah letaknya, Pecinan, jalan
kereta api, tergenangi; jembatan berlabuh dan teluk tempat pengambilan batu
untuk pelabuhan rusak; jembatan dan derek-derek masih di tempat saat itu,
tetapi gerbong-gerbong sudah masuk laut.
Sekitar pukul sembilan
pagi Pechler berada di kaki sebuah bukit di luar Merak. Tiba-tiba ia ditimpa
hujan lumpur dan badai. Ia melihat gelombang air mendekat, sehingga ia lari
tunggang-langgang ke atas sebuah bukit, tapi sebelum ia mencapai puncaknya, ia
sudah terkejar air pasang. Apa yang terjadi setelah itu ia tak tahu lagi…
Keesokan harinya ia
baru siuman kembali. Tempat sekitarnya sudah kering, tetapi ia tak dapat
mengenali sekelilingnya karena sangat gelap.
Pada hari Selasa ia
baru bisa berjalan kembali ke Merak. Di tengah jalan ia melihat sebuah
lokomotif yang rusak parah, sekitar 500 m dari tempat berhentinya. Di Merak ia
tidak menemukan apa-apa lagi. Bahkan mayat pun tak dijumpainya semuanya telah
dihanyutkan ke laut. Di antara petugas pemerintah di Merak hanya Pechler dan
seorang insinyur bernama Nieuwenhuis yang selamat, karena sedang berpergian ke
Batavia. Waktu insinyur itu kembali ke Merak, rumahnya yang dibangun di atas
bukit setinggi 14 m hanya tinggal lantainya saja.
Hujan Deras Batu Apung
di Teluk Betung
Anyer dilanda gelombang
pasang pada Senin pagi, tanggal 27, sekitar pukul sepuluh pagi. Gelombang ini
menyapu bersih pemukiman di tepi pantai itu, sehingga yang tinggal hanyalah
benteng, penjara, kediaman Patih dan Wedana. Dataran sekitar Anyer, yang di
belakang tempat itu lebarnya kurang lebih 1 km seakan-akan dicukur gundul; di
dekat pantai bongkahan-bongkahan karang dilemparkan ke darat.
Caringin yang
berpenduduk padat juga hancur luluh; letaknya di dataran yang lebarnya sekitar
1.500 m, disusul oleh bukit-bukit 50m, tempat sejumlah kecil penduduknya menyelamatkan
diri.
Bukan hanya di darat,
tetapi di laut lepas Krakatau juga meneror kapal-kapal yang kebetulan berlayar
di dekatnya. Penumpang kapal yang melayari Selat Sunda pada hari naas itu tidak
dapat melupakan pengalaman dan ketakutan mereka selama hidupnya.
Kapal api Gouverneur
Generaal Loudon, dengan nakhoda Lindeman, sebuah kapal Nederland Indische
Stoomvaartsmaatschappij (pendahulu KPM) berlayar dari Batavia ke Padang dan
Aceh dengan menyinggahi Teluk Betung, Krui, dan Bengkulu. Kapal itu berangkat
pada tanggal 26 Agustus pagi hari dari Jakarta. Seorang penumpang kapal itu
mengisahkan pengalamannya sebagai berikut:
“Cuaca
pagi itu sangat cerah. Siang harinya kami berlabuh di Anyer, sebuah pelabuhan
kecil di pantai Banten. Beberapa orang pekerja kasar naik dari pelabuhan ini.
Kapal kemudian melanjutkan pelayarannya ke arah Teluk Lampung, melewati Pulau
Sangiang dan Tanjung Tua. Di sebelah kiri kapal kami lihat Pulau Rakata dari
kejauhan, yang kami singgahi dua bulan yang lalu.”
“Waktu
Gunung Krakatau mulai bekerja bulan Mei yang lalu, setelah dua abad
beristirahat, perusahaan pemilik kapal Loudon mengadakan suatu tour pariwisata
bagi penduduk Batavia. Dengan membayar dua puluh lima gulden kita bisa berlayar
ke Pulau Krakatau. Pada waktu itu masih mungkin untuk mendarat ke pulau, bahkan
mendaki kawahnya yang mengeluarkan uap putih.”
“Sekarang
gunung berapi itu nampaknya jauh lebih gawat. Asap hitam pekat membubung dari
kawahnya ke langit biru dan hujan abu halus turun di geladak kapal…”
“Pada
pukul 7 petang kami berlabuh di Teluk Betung. Hari amat cepat menjadi gelap,
sedang lautpun agaknya makin berombak dan hujan abu makin deras. Kapal Loudon
memberi isyarat ke darat agar dikirimi sekoci bagi penumpang yang akan
mendarat, tetapi tidak ada jawaban apa-apa. Lalu kapten memerintahkan agar
sekoci kapal diturunkan, tetapi gelombang besar tak memungkinkan untuk mencapai
darat, sehingga sekoci itu harus kembali lagi.”
“Lampu
pelabuhan menyala seperti biasa, tetapi tampaknya ada kejadian-kejadian luar
biasa di Teluk Betung. Sekali-sekali terlihat tanda bahaya dari kapal-kapal
lain dan terdengar suara kentongan bertalu-talu. Penerangan kota dipadamkan.
Sementara itu hujan abu kini berubah menjadi hujan batu apung yang deras…”
Menara Suar Patah
Seperti Batang Korek Api
“Dengan
rasa kurang enak kami melewatkan malam itu. Air laut makin liar dan ombak-ombak
besar mendera lambung kapal tanpa hentinya. Ketika fajar menyingsing kami
melihat bahwa Teluk Betung menderita kerusakan cukup parah oleh gelombang
pasang. Kapal api pemerintah Barouw, terlepas dari jangkarnya dan dihempaskan
ke darat. Gudang-gudang dan gedung-gedung pelabuhan lain rusak. Tetapi tak
tampak tanda-anda kehidupan di kota kecil itu…”
“Pukul
tujuh pagi tiba-tiba kami melihat dinding air melaju ke arah kapal kami. Loudon
sempat melakukan manouvre untuk menghindar, sehingga gelombang itu mengenai
sejajar dengan sisi kapal. Kapal itu menukik hebat, tetapi pada saat bersamaan
gelombang itu telah lewat dan Loudon selamat. Kami sempat melihat betapa air
pasang itu mendekati, lalu melanda kota Teluk Betung dengan tenaga tak
terbendung…”
“Tak
lama kemudian masih ada tiga gelombang dahsyat yang menghambur, yang di hadapan
mata kami memporak-porandakan segala apa yang ada di pantai. Kami melihat
bagaimana menara suar patah seperti batang korek api dan rumah-rumah lenyap
digilas gelombang. Kapal Barouw terangkat, kemudian dicampakkan ke darat
melewati puncak-puncak pohon nyiur. Yang tadinya Teluk Betung kini hanya air
belaka…”
“Di
kota itu tentunya ada ribuan orang yang meninggal serentak dan kotanya sendiri
seperti dihapuskan dari muka bumi. Semua itu terjadi dengan cepat dan mendadak,
sehingga melintas sebelum kita sempat menyadari apa yang sebenarnya terjadi.
Seakan-akan dengan satu gerakan maha kuat dekor latar belakang sebuah sandiwara
telah digantikan…”
“Akhirnya
Kapten Lindeman memutuskan untuk meninggalkan teluk itu, karena ia beranggapan
bahwa keadaannya cukup berbahaya. Kapal menuju ke Anyer dengan tujuan untuk
melaporkan malapetaka yang menimpa Teluk Betung. Tak lama kemudian kapal sudah
berlayar di laut lepas. Walaupun hari masih pagi, cuaca makin menggelap, dan
menjelang pukul sepuluh sudah gelap seperti malam. Kegelapan itu bertahan
selama delapan belas jam dan selama itu turun hujan lumpur yang menutupi
geladak sampai hampir setengah meter.”
“Di
ruang kemudi nakhoda melihat bahwa kompas menunjukkan gerakan-gerakan yang
paling aneh; di laut terjadi arus-arus kuat, yang selalu berubah arahnya. Udara
dicemari oleh gas belerang pekat yang membuat orang sulit bernapas dan beberapa
penumpang menderita telinga berdesing. Barometer menunjukkan tekanan udara yang
sangat tinggi. Kemudian bertiuplah angin kuat yang berkembang menjadi badai.
Kapal diombang-ambingkan oleh getaran laut dan gelombang tinggi. Ada
saat-saatnya Loudon terancam akan terbalik oleh luapan air yang datang dari
samping. Apa saja yang tak terikat kuat dilemparkan ke laut…”
Api Santo Elmo
“Tujuh
kali berturut-turut halilintar menghantam tiang utama. Dengan rentetan letupan
yang gemeretak, geledek itu kadang-kadang seperti bergantungan di atas kapal
yang diterangi cahaya mengerikan. Alat pemadam kebakaran disiapkan di geladak,
sebab nakhoda khawatir setiap waktu Loudon bisa terbakar.”
“Kecuali
halilintar, kami juga menyaksikan gejala alam aneh lain, yakni apa yang disebut
sebagai api Santo Elmo. Di atas tiang kapal berkali-kali terlihat nyala api
kecil-kecil berwarna biru. Kelasi-kelasi pribumi mendaki tiang untuk memadamkan
‘api’ itu, tetapi sebelum mereka sampai ke atas gejala itu telah lenyap
kemudian terlihat berpindah ke tempat lain. Api biru yang berpindah-pindah itu
sungguh merupakan pemandangan yang menyeramkan dan membangunkan bulu kuduk.”
“Antara
badai dan ombak besar kami mengalami saat-saat tenang. Tiba-tiba saja semuanya
menjadi sunyi senyap dan lautpun licin seperti kaca. Tetapi sepi yang tak wajar
ini lebih mencekam daripada gegap gempita ombak dan topan yang harus kami
alami. Tak terdengar suara lain, kecuali keluh kesah dan doa para penumpang
Indonesia di geladak depan, yang yakin bahwa ajal mereka segera akan sampai.”
“Akhirnya
pada malam menjelang tanggal 28 kami melihat sekelumit cahaya membersit
dilangit! Seberkas sinar bulan pucat berhasil menembus awan gelap. Ketika itu
sekitar pukul empat pagi. Di kapal orang bersorak-sorai gembira dengan rasa
syukur dan lega.”
“Memang
masih ada batu apung dan abu turun ke geladak, tetapi paling tidak kami bisa
melihat sekelilingnya dengan agak jelas. Kami masih berlayar menyusuri pantai
Sumatra. Nampaknya pantai sangat sunyi. Yang dulunya ditumbuhi pohon-pohon kini
hanya tersisa tunggul bekas batangnya yang patah. Laut penuh dengan kayu dan
batu apung, yang di pelbagai tempat mengumpul menjadi semacam pulau besar yang
menutupi jalan masuk ke Teluk Lampung.”
“Tampang
kapal Loudon benar-benar mengejutkan. Ia lebih mirip kapal yang tenggelam
sepuluh tahun di dasar laut dan baru diangkat kembali. Kami melayari Selat
Sunda dan pagi-pagi sekali Krakatau nampak kembali. Sekarang kami baru mengerti
apa yang sebenarnya terjadi. Seluruh pulau itu meledak sampai hancur lebur dan
sebagian besar hilang. Dinding kawahnya sama sekali runtuh, kami hanya melihat
celah-celah raksasa yang mengeluarkan asap dan uap.”
“Di
laut, antara Pulau Sebesi dan Pulau Krakatau yang tadinya masih merupakan jalur
pelayaran, kini bermunculan pulau-pulau vulkanik kecil dan berpuluh gosong
arang timbul dari permukaan air. Pada delapan tempat tampak asap dikelilingi
uap putih dari laut.”
“Dengan
lambat kami mendekati pantai Jawa. Pemandangan yang terlihat hampir tak
terperikan. Segalanya telah diratakan menjadi gurun tak bertuan. Waktu kami
berlabuh di Teluk Anyer, kami baru menyadari bahwa pelabuhan kecil itu sudah
tidak ada lagi. Semuanya telah tersapu bersih, tiada rumah, tiada semak, bahkan
tak ada batu yang kelihatan! Hanya sebuah tonggak masih menandai bekas tempat
berdirinya mercusuar. Selebihnya tidak ada apa-apa lagi, kehampaan dan
kesepian…”
“Yang
dulunya merupakan kampung-kampung yang makmur, kini hanya hamparan lumpur
kelabu. Sungai penuh dengan puing dan lumpur. Di mana-mana tak nampak
tanda-tanda kehidupan…”
“Pulau-pulau
di Selat Sunda juga tak luput dari musibah. Pulau Sebesi yang pernah dihuni dua
ribu orang, kini hanya tinggal seonggok bukit abu, sampai puncaknya yang hampir
lima ratus meter tingginya itu, dan semua tumbuh-tumbuhan tak berbekas. Tak
terlihat perahu atau desa lagi. Demikian pula keadaan pulau-pulau lain, Pulau
Sebuku dan Pulau Sangiang.”
Hujan Lumpur
“Pada
tanggal 29 Agustus kami kembali di Lautan Hindia. Makin ke utara, makin kurang
kelihatan akibat malapetaka besar itu. Kemudian di Padang dan beberapa tempat
lainnya kami bertemu dengan orang-orang yang mendengar ledakan-ledakan dan
gemuruh Krakatau. Yang aneh ialah bahwa kami yang berada di tempat yang paling
dekat dengan Krakatau, tidak mendengar dentuman-dentuman itu.”
Itulah kisah seorang
penumpang kapal yang melihat malapetaka itu dari jarak jauh. Dari kota Teluk
Betung sendiri ada saksi mata yang selamat. Menurut dia gelombang pasang yang
pertama tiba tanggal 27 Agustus pagi sekitar pukul setengah tujuh, yang
merebahkan lampu pelabuhan, gudang batu bara, gudang di dermaga, dan
melemparkan kapal Barouw dari sisi timur bendungan melewati pemecah gelombang
sampai ke Kampung Cina. Gudang Garam rusak dan Kampung Kangkung beserta
beberapa kampung di pantai lainnya dihanyutkan. Kapal pengangkut garam Marie
terguling di teluk, tetapi kemudian dapat tegak kembali. Orang juga melihat
kapal Loudon berlabuh, kemudian berlayar lagi pada pukul tujuh.
Langit berwarna kuning
kemerah-merahan seperti tembaga, dari arah Krakatau terlihat kilatan-kilatan
api, hujan abu turun tiada hentinya, tetapi sekitar pukul delapan keadaannya
tenang. Sementara orang-orang yang sempat mengungsi ke tempat yang tinggi waktu
itu masih sempat kembali ke rumah masing-masing untuk menyelamatkan apa saja
yang masih bisa diambil, atau untuk melihat keadaan.
Kurang lebih pukul
sepuluh tiba-tiba terdengar letusan hebat yang membuat orang terpaku. Suatu
pancaran cahaya dan kilat terlihat di arah Krakatau. Segera setelah letusan itu
hari mulai remang-remang. Kerikil batu apung mulai bertaburan. Menjelang pukul
sebelas hari gelap seperti malam, hujan abu berubah menjadi hujan lumpur.
Selanjutnya apa yang tepatnya berlangsung, tiada yang tahu, karena yang selamat
berlindung di rumah residen dan hanya mendengar deru dan gemuruh sepanjang
malam yang disebabkan oleh angin topan yang mematahkan ranting, menumbangkan
kayu-kayuan, dan melemparkan lumpur pada kaca-kaca jendela. Para pelarian itu
tidak sadar bahwa gelombang pasang sebenarnya sudah mendekati tempat
pengungsiannya sejauh 50 m di kaki bukit.
Baru keesokan harinya
orang mengetahui betapa besar kehancuran yang terjadi. Seluruh dataran
diratakan dengan tanah, tiada rumah maupun pohon yang masih tegak. Yang ada
hanya abu, lumpur, puing, kapal ringsek, dan mayat manusia maupun hewan
bertebaran di mana-mana. Kapal Barouw sudah tak terlihat lagi. Baru kemudian
kapal yang naas itu ditemukan di lembah Sungai Kuripan, di belakang belokan
lembah pada jarak 3.300 m dari tempat berlabuhnya, dan 2.600 m dari Pecinan,
tempatnya dicampakkan gelombang pertama pukul setengah tujuh itu. Sejumlah
perahu kandas di tepi lembah, sebuah rambu laut ditemukan di lereng bukit
pekuburan. Awak kapal Barouw, mualim pertama Amt dan juru mesin Stolk hilang
tak ketahuan rimbanya.
Bagian pantai Sumatra
yang terjilat malapetaka Krakatau paling parah, terutama adalah yang letaknya
berhadapan dengan Selat Sunda. Misalnya tempat-tempat di tepi Teluk Semangka.
Terjepit Dua Rumah
Seorang Belanda yang
mengalami pribadi kedahsyatan letusan Krakatau dan berhasil mempertahankan
hidupnya adalah seorang controleur yang ditempatkan di Beneawang, ibukota
afdeling Semangka, yang letaknya di Teluk Semangka, Lampung. PLC. Le Sueur,
pejabat Belanda itu, melaporkan kepada atasannya dalam sepucuk surat tertanggal
31 Agustus 1883 sebagai berikut:
“Pada
hari Minggu sore, menjelang pukul empat, sewaktu saya sedang membaca di serambi
belakang rumah saya, tiba-tiba saja terdengar beberapa dentuman yang menyerupai
letusan meriam. Saya mengira bahwa residen yang menurut rencana akan tiba besok
dengan kapal bersenjata pemerintah telah mempercepat jadwal kunjungannya. Saya
segera mengumpulkan para kepala adat dan pejabat setempat ke pantai. Tetapi
kami tidak melihat ada kapal di laut. Saya segera kembali ke rumah.”
“Baru
saja saya sampai di rumah, seorang pesuruh melaporkan bahwa air laut mulai naik
dan beberapa kampung di pantai sudah tergenang. Saya segera berangkat lagi
untuk menertibkan keadaan di antara rakyat yang mulai panik dan
memanggil-manggil nama Allah. Saya menyuruh mereka membawa wanita dan anak-anak
ke tempat-tempat yang letaknya lebih tinggi. Kemudian air surut lagi dengan
cepat, tetapi mulai hujan abu.”
“Sekitar
pukul empat pagi saya dibangunkan oleh orang-orang yang memberitakan bahwa di
kaki langit terlihat cahaya kemerah-merahan. Saya merasa khawatir…”
“Pukul
enam pagi, hari Senin, saya pergi ke pantai. Permukaan air laut jauh lebih
rendah dari biasanya. Sementara batu karang yang biasanya tak nampak, kini
menjadi kering. Selanjutnya saya mendengar guruh sambung-menyambung, sehingga
saya khawatir masih ada hal-hal yang lebih mengerikan yang akan menimpa kami…”
“Setiba
di rumah saya menyuruh memanggil Van Zuylen (pembantu saya) untuk menulis
rancangan surat kepada residen tentang apa yang terjadi. Jam sudah menunjukkan
pukul tujuh lewat, tetapi cuaca begitu gelap sehingga lampu-lampu masih
menyala. Sejurus kemudian kata Van Zuylen: ‘Maaf tuan, untuk sementara saya
berhenti menulis saja. Saya merasa gelisah.’”
“Baru
saja ia mengatakan itu, tiba-tiba kami mendengar ribut-ribut. Laki-laki,
perempuan, dan anak-anak berlarian sambil berteriak: ‘Banjir! Banjir!’. Van
Zuylen dan saya segera keluar dan menawari orang-orang itu agar berlindung di
rumah saya saja, karena rumah saya terletak di tempat yang agak tinggi dan
dibangun di atas tiang. Tetapi tak lama kemudian air pasang kembali ke laut
sehingga semuanya tenang kembali…”
“Ketenangan
itu tak berlangsung lama: Sejurus kemudian air laut kembali lagi dengan debur
dan gemuruh yang menakutkan. Di rumah saya saat itu sudah ada sekitar tiga
ratus orang pengungsi. Saya mondar-mandir di antara mereka untuk agak
menenangkan mereka. Tiba-tiba saya mendengar serambi depan runtuh dan air
segera menerjang ke dalam rumah. Saya menganjurkan mereka untuk pindah ke
serambi belakang. Baru saja saya mengatakan itu, tiba-tiba seluruh rumah roboh
berantakan dan kami semuanya terseret oleh arus air.”
“Setelah
itu saya tak tahu lagi apa yang terjadi. Saya berhasil meraih sekerat papan dan
mengapung mengikuti aliran air, sampai kaki saya tersangkut sesuatu sehingga
papan itu harus saya lepaskan. Setelah itu saya berhasil menggapai beberapa
keping atap. Saya berpegangan erat-erat sampai air kembali ke laut dan kaki
saya menginjak tanah. Saya menggunakan jas saya untuk melindungi kepala dari
hujan lumpur.”
“Di
kejauhan saya mendengar suara minta tolong dari laki-laki, perempuan, dan
anak-anak, tetapi saya tak berdaya menolong. Saya tak bisa berdiri karena
lemas, takut, dan terkejut, lagi pula tak terlihat apa-apa sebab gelap. Saya
mendengar air datang lagi dengan kuatnya. Saya hanya bisa berdoa sejenak
memohon penyelamatan nyawa kami semua sambil menyiapkan diri untuk menghadapi
maut. Lalu saya dihanyutkan oleh air, diputarkan, lalu dicampakkan dengan
kekuatan dahsyat. Saya terjepit di antara dua rumah yang mengapung. Saya tak
bisa bernapas lagi rasanya. Saya mengira bahwa ajal saya sudah sampai. Tetapi
tiba-tiba kedua rumah itu terpisah lagi. Kemudian saya mendapat batang pisang
yang tak saya lepaskan lagi…”
“Dengan
batang pisang itu saya mengapung beberapa lama, berapa lama tepatnya saya tak
tahu lagi. Waktu air surut, saya terduduk saja, barangkali sejam lamanya saya
di situ tanpa bergerak. Di sekitar saya masih gelap gulita dan hujan lumpur
berlangsung terus.”
Kontrolir Berteriak
Minta Tolong
“Akhirnya
saya mendengar suara-suara manusia di dekat tempat itu. Saya memanggil,
bangkit, lalu mulai berjalan tertatih-tatih dengan mata tertutup lumpur sambil
meraba-raba jalan saya. Semua pakaian saya, kecuali baju kain flanel, telah
tercabikkan dari badan saya. Saya berjalan dalam keadaan kedinginan di bawah
hujan lumpur, tetapi tidak berhasil menemukan orang-orang yang saya dengar
suaranya itu.”
“Saya
menginjak semak-semak berduri dan kulit saya tercabik oleh duri rotan, sedang
saya lebih banyak jatuh bangun daripada berjalan. Akhirnya saya mendengar ada
orang berkata dalam bahasa Lampung: ‘Kita tak jauh dari sungai besar.’ Saya
mempercepat jalan saya sedapatnya, menyapu lumpur dari mata saya lalu bergegas
menuju ke arah suara tadi. Saya bertemu seorang Jawa, seorang Palembang, dan
beberapa wanita Jawa.”
“Tak
lama kemudian kami melihat cahaya obor dari jauh. Tanpa berhenti saya
berteriak: ‘Tolong! Tolong! Saya kontrolir!’ Tetapi agaknya pembawa obor itu
tak mendengar suara saya. Beberapa kali kami melihat cahaya itu, tapi kemudian
menghilang di dalam kegelapan. Ketika itu semestinya sudah pukul delapan atau
sembilan pagi, tetapi masih gelap gulita…”
“Akhirnya
ada juga seorang pembawa obor yang datang mendapatkan kami. Saya katakan
kepadanya siapa saya, lalu ia mengantarkan saya melewati hutan semak berduri
dan mengarungi lumpur ke Kampung Kasugihan, kemudian diteruskan ke
Penanggungan. Hari sudah pukul delapan malam waktu kami tiba di sana. Di
kampung ini saya baru beristirahat sejam ketika kami mendengar gemuruh air,
sehingga tempat ini juga masih belum aman. Kami melarikan diri lagi ke arah
pegunungan. Setelah dua jam berjalan kami mencapai desa Payung yang terletak di
lereng Gunung Tanggamus. Di tempat ini ada yang memberi saya sehelai sarung, sehingga
saya berpakaian agak pantas.”
“Mujur
bahwa saya mendapat sambutan baik dari kepala desa maupun rakyatnya, sehingga
setiap hari saya bisa makan nasi dengan lauk ayam. Pada hari Selasa saya
menyuruh orang untuk menyelidiki siapa-siapa yang masih hidup dari
tempat-tempat di pantai. Hasilnya amat menyedihkan. Hampir seluruh Beneawang
musnah. Saya perkirakan korban jiwa di daerah ini ada sekitar seribu orang.
Banyak kampung lenyap. Di banyak desa terjadi kelaparan. “Mohon dikirim
beberapa potong pakaian, sebab saya tak mempunyai apa-apa lagi, juga sepatu dan
selop.”
Hujan Batu Apung
Membara dan Abu Panas
Menurut laporan resmi,
di Beneawang sekitar 250 orang meninggal, termasuk hampir semua pemuka adat
daerah itu yang berkumpul untuk menyambut kedatangan Residen. Termasuk Van
Zulyen, klerk griffier pembantu Le Sueur, satu-satunya orang Belanda yang
tewas. Kampung-kampung di sebelah barat dan timur Teluk Semangka mengalami
penghancuran total atau sebagian; di Tanjungan dan di Tanjung Beringin yang
terletak di dekatnya, 327 orang dinyatakan hilang, di Betung yang berdekatan,
244 orang.
Dari Ketimbang di
pantai Teluk Lampung kita ikuti kisah kontrolir Beyerink yang lebih
mengenaskan, karena ia pribadi kehilangan seorang anggota keluarganya dalam
malapetaka itu.
“Pada
Minggu sore, tanggal 26 Agustus itu distrik kami ditimpa hujan abu dan batu
apung yang membara. Rakyat melarikan diri dalam suasana panik. Abu yang jatuh
itu begitu panasnya, sehingga hampir semua orang menderita luka bakar pada
muka, tangan, dan kaki. Di antara penduduk yang berjumlah kurang lebih tiga
ribu orang yang mengungsi bersama saya ke daerah yang lebih tinggi, paling
sedikit ada seribu orang yang meninggal karena luka bakar. Seorang di antara
anak saya juga ikut meninggal. Kami terpaksa memakamkannya dalam abu.”
Antara pukul sembilan
dan sepuluh malam air mulai menggenangi rumah kontrolir. Ini merupakan dorongan
kuat bagi Beyerink untuk mengajak keluarganya yang terdiri atas istrinya dan
kedua anaknya yang masih kecil memgungsi ke Kampung Umbul Balak di lereng
Gunung Rajabasa. Semalam-malaman turun hujan kerikil dan abu, hari Minggunya
sampai pukul sebelas hujan deras, paginya antara pukul sembilan dan sepuluh
jatuh kepingan-kepingan batu apung, ada yang sebesar kepala. Ledakan-ledakan
sudah terdengar terus-menerus sejak hari Minggu dan sejak hari Senin tercium
bau belerang.
Gelegar letusan
terhebat terdengar sekitar pukul sepuluh, disusul segera oleh kegelapan total.
Tak lama kemudian mulai turun abu panas, yang rasanya sangat nyeri saat mengenai
kulit. Ini berlangsung kira-kira seperempat jam, mungkin lebih lama, disertai
uap belerang yang menyesakkan napas.
Sesudah itu turun hujan
lumpur, yang melekat pada tubuh seperti lem, tetapi lebih mending daripada abu
panas yang mengakibatkan luka-luka bakar. Lumpur dan abu silih berganti
berjatuhan semalam suntuk, mungkin juga sampai Selasa pagi.
Selama lima hari
Beyerink dengan keluarganya menderita di bawah tempat berteduh yang sederhana,
dikelilingi sejumlah besar rakyat yang ikut melarikan diri ke tempat itu.
Mereka semuanya sangat menderita, terutama oleh luka-luka bakar yang tak
diobati. Anak terkecil keluarga Beyerink akhirnya meninggal karena luka-lukanya
dan keadaan yang menyedihkan itu.
Akhirnya mereka
dibebaskan oleh kapal bargas Kedirie yang pada Sabtu pagi, tanggal 31 Agustus
membuang sauh di Teluk Kalianda. Nakhoda kapal beserta beberapa anak buahnya
melakukan peninjauan ke darat. Mereka mendengar bahwa kontrolir dan keluarganya
mengungsi di Umbul Balak. Mereka bergegas menjemputnya. Dengan bantuan tandu
keluarga yang malang itu akhirnya dapat dibawa ke pantai dan hari itu juga
Kedirie bertolak ke Jakarta.
Tersangkut Di Pohon
Kapal bargas Kedirie
menyelamatkan sejumlah korban, di antaranya seorang kakek yang berumur sekitar
enam puluh tahun, bernama Kimas Gemilang, yang kemudian dirawat di rumah sakit
umum di Jakarta. Dalam sebuah wawancara dengan harian berbahasa Belanda ia
mengisahkan pengalamannya sebagai berikut:
“Pada
hari Senin pagi, sekitar pukul enam, saya menuju ke pantai, tak jauh dari rumah
saya di Ketimbang. Saya melihat permukaan air laut sangat tinggi, jauh lebih
tinggi daripada sehari-hari, tetapi saya tidak melihat gelombang atau hal lain
yang mencurigakan. Sekitar sepuluh menit kemudian, saya melihat air menggulung
dari kejauhan, warnanya hitam dan tingginya menyerupai gunung. Saya hendak
melarikan diri, tetapi sudah tak keburu sebab air telah mencapai saya, sehingga
saya terseret.
Mujurnya,
saya tersangkut pada batang pohon besar. Saya memanjat pohon itu sampai ke
puncaknya. Tak lama sesudah itu air menghilang sama cepatnya seperti tibanya
tadi. Setelah lewat lima menit gelombang pasang itu datang kembali. Saya tetap
bertengger di pohon, tak berani turun. Sesudah lewat sekitar satu jam air
pasang tak kembali lagi, barulah saya perlahan-lahan merosot ke bawah. Tetapi
saya tak mampu berjalan karena cedera akibat hempasan gelombang tadi. Jadi saya
duduk dan rebah di bawah pohon penyelamat itu beberapa hari dan beberapa malam
dalam keadaan antara sadar dan tidak, seperti terbius, tanpa mengetahui apa
yang terjadi di sekeliling saya.
Tentu
saja selama beberapa hari itu saya tidak makan dan minum sampai suatu pagi,
saya sudah tak tahu lagi hari apa, ada seorang Cina menghampiri saya, lalu
mengangkat saya ke perahunya. Di tengah laut kami ditolong oleh sebuah kapal
api yang membawa saya kemari.”
Demikianlah kisah
beberapa saksi mata yang mengalami secara pribadi malapetaka Krakatau itu. Para
pengamat waktu itu setelah mengumpulkan data yang diperoleh, menyimpulkan bahwa
letusan Krakatau bulan Agustus 1883 itu tidak disertai atau didahului oleh gempa
kuat. Di beberapa tempat memang terasa guncangan ringan.
Bulan dan Matahari
Berwarna-Warni
Yang meminta korban
jiwa maupun kerusakan paling berat adalah air pasang yang melanda pantai-pantai
yang berbatasan dengan Selat Sunda dan utara Pulau Jawa. Hanya sebagian kecil
korban diakibatkan oleh abu panas, sedang awan panas dan gas beracun tak
tercatat.
Dari laporan-laporan
ternyata bahwa gelombang pasang itu terjadi tiga kali, yang pertama pada hari
Minggu pukul 18.00, pada hari Senin sekitar pukul 06.30, dan pukul 10.30.
Gelombang yang terakhir adalah yang terbesar, yang menyebabkan kerusakan paling
banyak. Penghancuran Teluk Betung dan Caringin terutama diakibatkan oleh
gelombang yang terakhir itu.
Setelah aktif selama
121 hari sejak bulan Mei dan puncak ledakan tanggal 28 Agustus itu akhirnya
semuanya menjadi tenang kembali. Krakatau lenyap seperti ditelan bumi; hampir
seluruh belahan utara pulau itu hilang. Yang tinggal hanya bebatuan sepanjang
813 meter. Gunung berapi Danan dan Perbuatan juga gaib, dan di tempat itu
terbentuk kaldera raksasa yang berdiameter 7,4 km.
Abu halus yang
dilontarkan ke angkasa ditiup ke arah barat oleh angin dan keliling dunia
dengan kecepatan 121 km tiap jamnya. Setelah enam minggu, dalam bulan Oktober
1883 suatu sabuk debu dan abu halus menyebar sekitar bumi. Hanya dua hari
setelah letusan abu halus itu sudah meliputi benua Afrika dan lima belas hari
kemudian telah mengitari bumi, mengkibatkan suatu kabut di seluruh daerah
khatulistiwa yang menyebar sedikit demi sedikit.
Pada tanggal 30
Nopember kabut itu mencapai Eslandia. Kabut itu menyebabkan pelbagai dampak
optik, termasuk senja kala yang gilang-gemilang, matahari dan bulan berwarna,
dan munculnya corona. Di banyak tempat di dunia terlihat matahari atau bulan
berwarna merah jambu, hijau, biru. Enam bulan setelah letusan Krakatau,
penduduk Missouri di Amerika Serikat melihat matahari kuning dengan latar
belakang langit hijau.
Sebuah majalah populer
Belanda memberi judul karangan tentang letusan Krakatau “Lebih hebat dari bom atom.”
Ledakan bom atom bukan apa-apa dibandingkan dengan letusan Krakatau. Bom atom
pertama yang diledakkan sebagai percobaan di dekat Los Alamos pada tanggal 16
Juni 1945 memancarkan energi sebesar 0,019 Megaton, sedangkan ledakan Krakatau
diperkirakan sebesar 410 megaton! Kekuatan letusan itu
setara dengan 21.428 bom atom. Sekian.
Referensi :
Pustaka Halwany
Intisarai Agustus 1982
keren....mantap gan
BalasHapusmakasih gan...
Hapus