Akarasa – Belakangan, suasana
Dusun Lidan sangat sepi, bahkan bisa dibilang sangat mencekam. Semua karena
desas-desus karena munculnya hantu Mbah Suro, seorang jawara tempo dulu yang
terbunuh oleh lawannya ketika ada pertunjukkan tayub.
Kabarnya, hantu yang
menyerupai Mbah Suro ini sering menampakkan diri di jalan setapak menuju
tegalan di desa penghasil tuak tersebut. Saking santernya isu ini, sekedar keluar
rumah saja selepas isya’, warga setempat harus mengumpulkan banyak nyali. Sehingga,
desa yang kala itu belum teraliri semakin sunyi mencekam.
Namun tidak untuk dua
lelaki ini, sebagai hansip (linmas kini), berani tidak berani yang harus
menjalankan tugasnya menjaga keamanan kampung, terutama balai desa. Kedua orang
itu bernama Kolik dan Marto.
“Lik, opo bener isu ada
hantunya Mbah Suro di desa kita ini?” bertanya Marto sambil sesekali menrotkan
lampu senternya ke tempat pojokan rumah warga.
"Kata orang-orang
yang sempat melihatnya katanya, iya!" jawab Kolik sambil meraba bulu
tengkuknya sendiri.
“Wes ah. Nggak usah diomong
lagi. Jadi merinding ini”.
“Wedi (takut) po kowe!”
kata Marto.
"Wes ah, Uwes!”
menjawab Kolik dengan bahasa tubuh yang menunjukkan ketakuta.
“Halaaah kamu ini Lik,
wong cuman katanya saja kok takut!” kelakar Marto sambil terus mengarahkan
pandangan ke persawahan yang persis di depan balai desa.
"Itukan hanya
sebagian orang yang melihat. Kecuali jika kita melihatnya sendiri." Kolik berdiam,
ada perasaan was-was malam itu. persis seperti malam ini, malam itu adalah
malam jum’at, yang konon katanya hantu banyak hantu yang sedang plesir.
"Duh, malam jumat
lagi!" kata Kolik.
“Memange kenapa kalau
malam jum’at Lik, sunah rosul” sahut Marto.
“Horor!” sahut Kolik
sengit.
Tiba-tiba terdengar suara,
Krosaaaaak....!
"Suara apa, Tok!"
Kolik terperanjat kaget ketika terdengar suara gemrosak di pohon beringin yang
yang lumayan besar di seberang jalan tak jauh dari balai desa.
"Astagfirullah! Astagfirullah!"
Kolik latah beristigfar. Marto mengarahkan senternya tepat kearah suara gemrosak
tersebut. Tidak ada apa-apa untuk sekedar dicurigai, selain juntaian akar
beringin yang melambai-lambai. Namun ketika senter dimatikan, suara kembali
muncul. Kejadian ini berulang kali, hingga suara gemrosak itu berhenti dengan
sendirinya.
"Gak ada apa-apa
Lik!" kata Marto dengan nada cemas.
“Kira-kira tadi suara
apa ya, Tok?”.
“Halaaah, paling codot,
Lik!”.
Suasana sejenak hening.
Dua hansip ini seperti sedang membayangkan sesuatu yang hanya mereka yang tahu.
Hanya kepulan asap rokok yang ditingkahi suara serangga memecah keheningan
malam itu.
“Lik!” panggil Marto
memecah kesunyian.
“Ono opo, Tok?” Jawab
Kolik sekaligus bertanya balik.
“Lapar ndak kamu. Cari
tahu lontong di Mbok Darmi Lik!” kata Marto sambil berdiri.
“Ayoook!”
Mbok Darmi ini,
kesehariannya adalah penjual tahu lontong yang paling terkenal di desa
tersebut. Meski sebenarnya, hanya pagi saja ia membuka warung yang sekaligus
rumahnya tersebut, biasanya sebagai jujugan orang yang kelaparan sehabis
begadang. Meski sekarang terbilang sepi karena isu tersebut.
Untuk ke rumah Mbok
Darmi ini, dari balai desa memang tak begitu jauh. Dari perempatan belok kiri,
setelah melewati persawahan kas desa disitu ada pasar. Nah, di pasar inilah
warung Mbok Darmi.
Sementara dua orang
hansip ini, berjalan relatif cepat dan sesekali senter meraka menyala. Kontras dengan
kepekatan malam itu.
“Ayo, Tok. Agak cepetan
dikit!” kata Kolik setelah melewati perempatan yang kemudian berbelok ke kiri. Nada-nadanya
Kolik ingin menggunakan langkah seribu untuk segera sampai ke warung Mbok
Darmi.
Belum sempat marto
menjawab Kolik, sayup-sayup terdengar tangisan seorang wanita yang mengiris
hati. Suaranya terkesan jauh, namun memenuhi rongga telinga.
Mereka hanya
berpandangan, tanpa ada aba-aba lagi, "Lariiii
...". Kolik yang memang sudah siap sedari tadi, langsung berlari cepat
seperti dikejar setan. Padahal setannya belum mengejar. Mereka tunggang
langgang, seperti anak-anak berebut layangan putus. Maka sampailah mereka di
tempat idamannya. Warungnya Mbok Darmi.
“Asem tenan, bener toh
ada hantu!” seru Kolik dengan napas masih tersenggal-senggal, dadannya
kembang-kempis. Pias sekali wajahnya, kontras dengan kulitnya yang legam karena
seringnya terpapar matahari. Meski sebenenya juga takut, Marto masih saja bisa
bercanda.
“Ha.. Haa.. Haaa.. lucu
kowe, Lik!” sambil memegangi perutnya.
“Muka saja serem, Lik. Sama
suara cewek nangis saja takut!” sambung Marto yang masih belum bisa
menyelesaikan tawanya.
“Hei, Tok. Tadi itu
suara rondo kuning (kuntilanak)!” bentak Kolik keras. Napasnya masih
senin-kamis sambil mengetuk pintu warung Mbok Darmi.
Rupa-rupanya, suara
ribut didepan warung sudah didengar Mbok Darmi, makanya begitu mendengar
ketukan dan mengenali suara yang memanggilnya langsung di bukakan pintu.
“Bener Lik, baru kali
ini saya mengalami ini. Amit-amit jabang bayi. Jangan lagi-lagi wes”. Kata Kolik
sambil duduk dibangku panjang warung.
“Yawes, khusus malam
ini kamu saya traktir, Lik. Itung-itung amal. Lagian kamu biar ndak semaput”. Kata
Marto menghibur.
Sementara Mbok Darmi
masih sibuk dibelakang yang entah sedang apa. baru sejenak kemudian Mbok Darmi
keluar dan siap melayani dua orang yang sedang mbengkelke perut ini.
“Tahu lontong, Mbok. Dua
yaa” pesan Kolik langsung pesen begitu Mbok Darmi keluar.
“Lagi jaga ya, Lik.
Tok?” tanya Mbok Darmi membuka obrolan.
“Bener, Mbok. Baru lomba
lari juga barusan”, ujar Marto sambil melirik Kolik dengan kesan meledek. Tahu lontong
pesanan belum tersaji, tanpa sepengatuhan mereka berdua, seorang lelaki
berudeng (ikat kepala) berdiri tegap di pintu warung.
“Tahu lontong, Mbak Yu!”
pesen suara lelaki yang barusan datang tersebut. Suaranya lirih dan dan
berkesan dingin. Kolik sempat melirik orang tersebut. Sepantaran dengan Mbok
Darmi. Wajahnya beku. Dia tak mengenalnya sama sekali, barangkali dari desa
sebelah. Pikirnya.
“Sebentar ya. Oya,
dibungkus apa makan sini?” jawab Mbok Darmi sembari mengulek, tanpa
memperhatikan laki-laki tersebut.
"Dibungkus saja
Mbak Yu." jawab lelaki itu masih dengan suara dingin.
"Berapa
bungkus?" tanya lagi Mbok Darmi.
"Sebungkus saja!"
“Dirantos (ditunggu) Kang!”.
Tawar Mbok Darmi sambil mengambil kursi dari sampingnya.
“Mbok, kami diluar ya.
Gerah Mbok!” kata Marto sambil mengajak Kolik.
Tak berapa lama
kemudian, tahu lontong pesanan pun datang. Sepertinya mereka ini tak berdoa
sama sekali, buktinya begitu tahu lontong beralih tangan dari Mbok Darmi ke
tangan mereka langsung sendok memainkan perannya.
Sementara, ketika dua
orang hansip ini masih asik dengan mulut dan tangannya. Tahu lontong pesanan
lelaki itu pun selesai. Daun jati yang kemudian dilapisi daun pisang sudah
membungkus rapi tahu lontong, kemudian dimasukan ke kantong plastik ukuran
kecil. Lalu diserahkan ke lelaki itu yang sedari tadi duduk diam tak bergerak
walaupun sekedar menggaruk. Wajahnya sangat pias dan suaranya khas, berat.
“Berapa, Yu?” kata
lelaki tua tersebut dengan suara khasnya, dingin dan berat.
“Empat ratus, Kang!”
jawab Mbok Darmi.
“Ini, Yu!” kata lelaki
tersebut sambil mengulurkan selembar uang bergambar Kartini, sepuluh ribu
rupiah. Pecahan mata uang paling besar jaman itu.
“Uang kecil saja, Kang.
Belum ada kembaliannya?” kata Mbok Darmi sambil membuka lacinya untuk
memastikan jumlah kembaliannya. Ternyata tidak cukup.
"Ambil saja
kembaliannya!"
Setelah berkata
demikian, lelaki itu membalikan badan dan sepertinya bergegas meninggalkan
warung.
"Tapi ini
kembaliannya sangat besar, Kang!" seru Mbok Darmi yang masih memegang uang
yang kala itu cukup untuk membeli sekarung kecil beras sambil bergegas keluar
hendak nyusul lelaki tua tersebut.
Entah karena ikhlas
atau bagaimana. Lelaki tersebut tak menoleh lagi. Anehnya, hanya ditinggal
noleh dua orang yang sudah menyelesaikan santapannya tersebut. Tau-tau, lelaki
tersebut sudah sangat jauh. Tidak masuk akal.
“Cepet bener jalannya
bapak itu” kata Mbok Darmi yang sebenarnya ditujukan pada dirinya sendiri
sambil memasukkan lembaran uang tersebut dalam gembolannya.
Sementara Marto yang
sedang ngudut setelah makan barusan, begitu mendengar Mbok Darmi berkata
demikian, reflek mengarahkan senternya ke arah lelaki tua yang meninggalkan
warung tersebut. Terlihat jelas, lelaki itu berjalan lambat tapi cepat menjauh
seperti tidak menapak.
Ada keanehan pada
lelaki itu ketika Marto menajamkan pandangannya. Ia melihat bungkusan tahu
lontong tampak besar dan bulat. Padahal, bungkusan tahu lontong itu kecil
ketika sepintas melihat lelaki tua tersebut keluar warung. Masalahnya, tapi
kenapa lelaki itu begitu menjauh tiba-tiba bungkusannya membesar!
"Mbok, bapak itu
beli tahu lontong berapa bungkus toh?” tanya Marto tanpa menoleh ke Mbok Darmi.
Ia masih memandang lelaki tersebut.
"Satu!" jawab
Mbok Darmi cepat.
"Tapi kok,
bungkusannya seperti beli beberapa bungkus ya!" sahut Marto.
Mbok Darmi yang
penasaran dengan keterangan Marto bergegas keluar warung untuk memastkian. Ia tercekat.
Betapa tidak, begitu melihat lelaki tersebut yang hampir ditelan gelap, ia
melihat lelaki tersebut tanpa kepala. Nglimpruk.
“Kepalanya, Tok!” suara
Mbok Darmi gemeteran.
Dan benar saja,
memastikan penglihatan Mbok Darmi, kembali Marto mengarahkan senternya ke arah
lelaki misterius tersebut. Benar adanya. Marto hanya melongong. Ia melihat
jelas lelaki tersebut tanpa kepala. Setelah tersadar dari ketercekatannya, baru
kemudian ia berteriak keras.
“Orang itu, Lik. Orang
itu, Lik” suara Marto tergagap.
“Apa!” sahut Kolik yang
sejak tadi enggan mengikuti pembicaraan Mbok Darmi dan Marto. Karena sejak tadi
dia sebenarnya sudah curiga, dan tidak ingin menambah ketakutannya ketika
mendengar suara tangis di persawahan tadi.
“Kepalanya buntung,
Lik!” tanpa harus mengajak lagi, Marto yang sok tidak mengenal takut itu
ternyata lari juga. Melihat, Marto tunggang langgang, Kolik melihat lelaki itu
yang ternyata berdiri mematung sambil menenteng kepalanya.
“Han.. han.. hantuuuu…..”
Kolik pun langsung nglimpruk, nyusul Mbok Darmi. Semaput.
NB : Cerita ini adalah
adaptasi kisah nyata yang pernah terjadi di sebuah desa yang bersebelahan
dengan kampung halaman saya.
0 on: "Teror Hantu Tanpa Kepala"