Akarasa – Selamat
datang kerabat akarasa. Bagi masyarakat Sunda khususnya, sepertinya mustahil
tidak mengenal nama dua nama yang saya sebutkan ini, Siliwangi dan Kian
Santang. Kalaupun ada satu yang harus saya sebutkan lagi adalah Maung
(harimau). Selain dua nama barusan, Maung memang begitu lekat dalam masyarakat
Sunda.
Seperti pada judul di
atas, dalam tulisan kali ini saya hanya akan membahas secara khusus satu nama
saja, yakni Kian Santang. Namun sebelumnya, bisa jadi tulisan ini akan berbeda
dari kebanyakan yang pernah beredar saat ini. Kalaupun toh ada perbedaan, saya
harap sampeyan memakluminya. Setuju? Tosss kalau gitu.
Seperti pada pembuka
tulisan ini, sepertinya mustahil khususnya masyarakat Sunda tidak mengenal
tokoh tasawuf Kian Santang ini. Selain, kisah legenda Prabu Siliwangi, kisah
Kian Santang ini selalu dituturkan dari generasi ke generasi. Bahkan, beberapa
tahun yang lalu, kisah legenda Kian Santang sempat di sintetron kan oleg
stasiun tivi swasta. Terlepas dari itu semua, sepertinya tidak banyak yang
tahu, jika sebenarnya tokoh Kian Santang ini pertama kali berhembus di tatar
Sunda sebenarnya dikisahkan oleh
Pangeran Cakrabuana ketika menyebarkan Islan di Cirbon hingga Pasundan. Sebagai
penegasan, sengaja kata dikisahkan saya pertebal.
Pangeran Cakrabuana
adalah anak dari Prabu Siliwangi yang dilahirkan dari permaisuri ketiga yang
bernama Nyi Subang Larang. Nah, pertanyaannya, mengapa mereka menyebarkan
Islam?
Jamak sudah kita ketahui
bersama, Nyi Subang Larang adalah murid dari pendakwah kesohor, yakni Syekh
Maulana Hasanuddin atau lebih sering dikenal dengan sebutan Syekh Kuro
Karawang. Kisah ini bermula ketika Raden Walangsungsang lebih memilih untuk
pergi meninggalkan Galuh Pakuan atau Pajajaran karena beda pandangan dalam hal
keyakinan dengan ayahnya. Ketika itu, haluan keyakinan di kerajaan Pajajaran
adalah ‘Shangyang’, tentu saja dalam hal ini dianut juga rajanya, yakni
Siliwangi.
Dalam riwayatnya,
Cakrabuana berkelana mendakwahkan Islam bersama adiknya, yakni Rara Santang.
Nama yang saya sebut terakhir, atau Rara Santang ini adalah ibu dari Syarif
hidayatullah atau Sunan Gunung Jati. Ketika itu, mereka berdua membuka satu
perkampungan di pesisir utara dengan bantuan Ki Gede Tapa, yang tak lain adalah
kakeknya sendiri ayah dari Nyi Subang Larang, ibu mereka berdua ini. Di
perkampungan baru inilah yang dikemudian hari menjadi cikal bakal dari
Kasultanan Cirebon.
Berkenaan dengan kisah
legenda Kian Santang ini saya punya cerita sendiri yang saya dapatkan dari penulis
novel epos kawakan (maaf saya sebutkan namanya di sini). Kisah yang bisa jadi
anti mainstream ini memang perlu kajian yang lebih mendalam lagi. Tapi minimal bisa
menambah wawasan baru buat kita sekalian.
Baik mari kita ikuti
alur ceritanya secarak seksama, sayang sekali saya tidak bisa menuturkan
sesingkat-singkatnya kisanak, seperti biasa, agak mengalun. Dikisahkan,
sejatinya legenda Kian Santang ini adalah adaptasi dari kisah nyata yang epik
ceritanya tersimpan rapi berbentuk kropak di perpustakaan kerajaan Pajajaran
kala itu. Cukup menarik penuturan ini, saya malah jadi teringat dengan naskah
Serat Wangsakerta yang konon diduga palsu oleh para peneliti tersebut.
Dalam kajiannya para
peneliti yang berpraduga palsu tersebut alasannya adalah tinta yang digunakan
menulis Serat Wangsakerta tersebut terlalu muda dibanding dengan kitabnya.
Diperkirakan ada sebagian naskah yang hilang. Nah, naskah yang hilang
tersebutlah yang menceritakan kisah Kian Santang. Cukup menarik dan semakin
panas toh. Kalem saja kisanak.
Jika asumsi di atas itu
adalah benar adanya, tentu akan timbul satu pertanyaan dibenak kita semua.
Mengapa Pajajaran memiliki kitab tentang cerita Kian Santang?
Mari kita telisik
logika sederhananya. Seperti yang kita tahu, Pajajaran adalah hasil dari
penyatuan dua kerajaan, yakni kerajaan Galuh dan kerajaan Sunda Pura. Dua
kerajaan ini, Galuh dan Sunda Pura adalah merupakan pecahan dari kerajaan yang
lebih dulu ada sebelumnya, yakni Tarumanegara.
Awalnya raja ketiga
Tarumanegara, Purnawarman, sengaja membangun istana baru yang diberi nama Sundapura (pertama kali
istilah Sunda dikenal). Sering perjalanan waktu dan suksesi kepemimpinan hingga
beberapa generasi kemudian, sampailah pada Tarusbawa. Tarusbawa ini adalah
menantu dari Linggawarman, raja ke 12 kerajaan Tarumanegara yang sekaligus raja
terakhirnya.
Kemudian oleh
Tarusbawa, istana Sundapura warisan dari
Tarumanegara ini dijadikan nama ibukota yang sekaligus nama kerajaan baru,
yakni Sunda Pura. Sementara Galuh dijadikan hadiah kepada Wretikandayun yang
merupakan adik dari Gagak Lumyung karena ia berhasil mengusir penjajah dari
dinasti Tang pada tahun 669 Masehi yang hendak menguasai Tarumanegara.
Ada yang cukup mengusik
pikiran saya pada narasi di atas, yakni tahunnya. Jika kita mengacu pada tahun
669 Mesehi ini, artinya itu sangat berdekatan dengan masa hidup dengan Sayidina
Ali ra, tokoh sentral dalam kisah Kian Santang ini. sebelum saya lanjutkan,
saya kutipkan sedikit informasi dari bulek wiki(pedia) tentang Sayidina Ali.
Ali bin Abi Thalib (559
- 661) lahir sekitar 13 Rajab 23 Pra Hijriah/599 Masehi – wafat 21 Ramadan 40
Hijriah/661 Masehi, adalah salah seorang pemeluk Islam pertama dan juga
keluarga dari Nabi Muhammad. Ali adalah sepupu dan sekaligus mantu Muhammad,
setelah menikah dengan Fatimah az-Zahra. Ia pernah menjabat sebagai salah
seorang khalifah pada tahun 656 sampai 661. (wikipedia)
Baik kita lanjutkan
lagi, Siliwangi atau Jaya Dewata adalah orang yang menyatukan kembali dua
pecahan kerajaan Tarumanegara (Galuh da Sunda Pura) menjadi satu kembali tapi dengan nama baru, yakni
Pajajaran. Adapun cara Jaya Dewata menyatukan dua negeri pecahan Tarumanegara
tersebut dengan cara menikahi putri kedua kerajaan tersebut. Ketika itu, kedua
kerajaan tersebut tidak mempunyai penerus laki-laki, maka secara kedua kerajaan
tersebut menjadi hak waris Jaya Dewata.
Sekarang kita kembali
pada kropak yang tersimpan di perpustakaan (bisa sampeyan baca gedung pusaka)
Pajajaran seperti yang sudah saya narasikan di atas. Arkian, pada abad VII,
lebih tepatnya tahun 669 Masehi ada seorang putra mahkota yang saktinya tiada
tanding. Putra makhota yang sakti mandraguna ini adalah Gagak Lumayung, yang
merupakan cicit dari Begawan Manikmaya, yang masih trah kerajaan Tarumanegara. Trah
kerajaan Tarumanegara ini sebenarnya ia dapatkan dari Sobakencana istrinya
Begawan Manikmaya yang merupakan putri dari Singawarman, raja ke 7
Tarumanegara. Kemudian dihadiahi bumi Kendan atau kerajaan Kendan.
Singkat cerita, hingga
kemudian datanglah pasukan dari dinasti Tang yang hendak menaklukkan kerajaan
Tarumanegara. Gagak Lumayung, yang kesohor saktinya tiada tanding dengan
pasukannya berhasil menghalau pasukan Tang hingga kemudian meninggalkan bumi
Tarumanegara. semenjak itulah Pangeran Gagak Lumayung mendapat julukan baru, yakni
‘Ki An San Tang’ yang artinya sang
penakluk pasukan Tang.
Lebih lanjut tentang
Gagak Lumayung atau Sang Kian Santang ini, saking saktinya hingga tak pernah
setetespun darah menetes dari tubuhnya. Bahkan konon dia sendiri tidak mampu
melukai kulitnya sendiri. Saking kepinginnya melihat darahnya sendiri tersebut
sampai membuat ia masygul hingga kemudian memutuskan untuk tapa brata untuk
mencari tahu. Dalam tapa bratanya ia mendapat wangsit bahwa di tanah Arab
terdapat orang sakti mandraguna yang tak terkalahkan.
Jarak bagi Sang Kian
Santang atau Gagak Lumayung ini bukanlah suatu permasalahan yang memberatkan
baginya. Konon, dengan ajian Napak Sancang-nya ia mampu mengarungi lautan
dengan mengendarai kudanya. Singkat cerita, sampailah dia di pesisir Arab dan
bertemu dengan seorang kakek-kakek.
Basa-basinya tidak usah
saya tulis di sini kisanak. Bahasanya pakai bahasa apa saya juga kurang begitu
tahu juga. Tapi intinya, dalam kisah tersebut Sang Kian Santang ini
mengutarakan maksud kedatangannya pada kakek-kakek tersebut jauh-jauh dari
negerinya hendak menemui orang sakti di bumi Arab. Sepertinya kakek-kaket
tersebut tahu siapa orang yang dimaksud oleh Kian Santang karena
menyanggupinya. Namun sebelum diajak menemui orang yang dimaksud, Kian Santang
terlebih dahulu diajak mampir kerumahnya.
Entah lupa atau memang
sengaja, dikisahkan begitu sampai di rumah yang dimaksud ternyata tongkat kakek
tersebut tertinggal di pesisir, tempat kali pertama bertemu. Kian Santang
sebagai seorang tamu dan kebetulan membawa kuda menawarkan diri untuk
mengambilkannya. Tongkat yang hanya tertancap di pasir, ternyata Sang Kian
Santang tak mampu untuk mencabutnya. Saking penasarannya, dengan segenap
kesaktiannya ia terus berusaha mencabut tongkat tersebut hingga telapak tangannya
berdarah-darah.
Berdarah-darahnya
telapak tangannya tersebut justru bagi Kian Santang sangatlah menggembirakan
baginya. Kian Santang sadar, bahwa orang yang dicarinya adalah orang tua yang
barusan ia temui. Karena ia tidak mampu mencabut tongkat tersebut kemudian ia
kembali ke rumah kakek-kakek tersebut, yang kemudian dengan dipandu oleh kakek
tersebut dengan membaca kalimah syahadat tongkat tersebut dengan mudahnya
tercabut.
Dikemudian hari, dalam
kisah tersebut, kakek-kakek tersebut menjadi guru spiritual Sang Kian Santang
atau Gagak Lumayung ini. Pertanyaannya, siapakah gerangan kakek-kakek tersebut?
Saya yakin jawabannya bisa sampeyan tebak. Ya, dalam kisahnya kakek tersebut
adalah Sayidina Ali ra, menantu dari Rasulullah saw.
Cerita di atas ini sangat
membumi, bukan hanya bagi masyarakat tatar Sunda semata, bahkan masyarakat
diluar Sunda sekalipun. Pada konteks tulisan ini, Kian Santang adalah Gagak
Lumayung. Sementara yang kita pahami selama ini, bahwa Kian Santang adalah
Walang Sungsang. Jika Kian Santang ini adalah Walang Sungsang putra Pajajaran
dapat bertemu Sayidina Ali, sepertinya tidak mungkin. Terlalu jauh linimasanya,
800 tahun lebih.
Sebenarnya ada banyak
kisah serupa dengan kisah Walang Sungsang ini. Padahal dia (Walang Sungsang
atau Cakrabuana) hanya mengisahkan, tapi justru dia sendiri yang dikira pelaku
sebagai tokoh yang dikisahkan tersebut. Jika kita tilik dari linimasanya, yang
rentang jaraknya 800 tahun itu, bisa jadi Walang Sungsang menggali kisah
leluhurnya tersebut yang tujuannya adalah sebagai media dakwah penyebaran Islam
baginya di tanah Cirbon dan sekitarnya.
Kisah tentang Kian
Santang ini, baik kisah tutur maupun tertulis, melekatkan Raden Walang Sungsang
atau Cakrabuana adalah Kian Santang. Jika kita bertelekan pada angka tahunnya
pada tokoh sentralnya, yakni Sayidina Ali tentu akan membingungkan. Seperti
yang sudah saya kutip dari bulek wiki(pedia) di atas, masa hidup Sayidana Ali
(559 – 661) atau abak VII, sedangkan Walang Sungsang masa hidupnya sekitar
tahun 1400-an.
Sangat mungkin Walang
Sungsang mengambil cerita ini dari perpustakaan (baca gedung pusaka) kerajaan Pajajaran
dengan pertimbangan karena kisah itu mirip dengan kisahnya.
Gagak Lumayung atau
Sang Kian Santang setelah pulang dari Arab dia ingin meng-Islamkan ayahnya,
Prabu Damunawan. Namun di tolaknya. Kian Santang memilih meninggalkan istana
Galuh dan tahtanya di berikan adiknya yaitu Writekandayun. Begitu pula Raden
Walang Sungsang yang pernah merantau ke tanah Arab bersama adiknya, Rara
Santang. Rara Santang ini kemudian menikah dengan seorang putra dari kerajaan
Mesir yang dikemudian hari terlahir Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati.
Seperti halnya, Gagak
Lumayung, keinginan Walang Sungsang untuk meng-Islam-kan Prabu Siliwangi pun
ditolak oleh ayahnya tersebut. Sebagai orang tua, karena tidak ingin terjadi
konfrontasi fisik dengan putranya, Siliwangi lebih memilih untuk mandito
(melepaskan diri dari urusan duniawi dengan menjadi pertapa). Siliwangi, dalam
pertapaannya ini ada yang mengatakan ngahiyang (moksa), ada juga yang
diceritakan menjelma menjadi harimau putih (maung).
Pengambilan kisah
penokohan dalam sebuah cerita seperti ini sebenarnya pernah juga terjadi pada
era sebelum Walang Sungsang, seperti yang dilakukan oleh raja Sri Aji Jayabaya.
Ada satu riwayat menyebutkan bahwa Jayabaya, raja Panjalu atau Kadiri ini adalah
raja Islam pertama di tanah Jawa, karena ia pernah berguru pada Syekh Ali
Samsuden atau ada juga yang menyebutkan Syekh Samsujen. Syekh Samsujen ini
adalah seorang ulama dari Mesir yang menciptakan kitab Musarar atau yang lebih
dikenal dengan Kitab Jongko Joyoboyo yang terkenal itu.
Keberadaan kerajaan
Panjalu atau Kadiri ini adalah hasil pembagian dari kerajaan Kahuripan pada
masa pemerintahan Airlangga. Kahuripan sengaja dipecah menjadi dua karena dua
anak Airlangga saling menuntut tahta, pembagian tersebut adalah Panjalu dan
Jenggala.
Dalam perekembangannya,
dua kerjaan bersaudara tersebut selalu bermusuhan, tidak pernah ada akurnya. Hingga
pada masa Panjalu atau Kadiri dibawah pemerintahan Jayabaya mampu menaklukkan
Jenggala dan mempersatukannya kembali dalam panji kerajaan Panjalu. Nah, pada
masa penaklukkan tersebutlah Jayabaya meminta Mpu Sedha dan Mpu Panuluh untuk
mengutip naskah Mahabharata dari India, dan menceritakan ulang dalam versi
Jawa. Sebagai titimangsa atas kemenangannya menaklukkan Jenggala. Kita saduran
tersebut diberi judul Barata Yudha.
Kisah perang saudara,
antara Panjalu dan Jenggala ini kemudian banyak dipahami bahwa Jayabaya adalah
kelanjutan dari trah Bharata, cicit dari Parikesit putra Abimanyu dan
kakek dari Angling Darma. Padahal kitab
saduran tersebut adalah fiksi semata. Sebenarnya masih banyak kisah hampir
serupa hal ini, Walang Sungsang hanya mengisahkan namun dalam perkembangannnya
kita mengira bahwa ia adalah pelaku kisah tersebut. Sementara sampai di sini
dulu, sudah terlalu panjang sepertinya. Sampai jumpa pada tulisan selanjutnya. Nuwun.
0 on: "Bagaimana Jika Walang Sungsang Bukanlah Kian Santang?"