Akarasa – Selamat datang kerabat
akarasa. Borobudur adalah cerita yang tak pernah selesai. Itulah kata yang pas
manakala kita ingin menjelajahi sejarah dan kemegahannya. Ya, semakin kita
menjelajahi tulisan-tulisan mengenai Borobudur, seolah menggiring kita pada
rajutan temali intepretasi yang saling ikat, tapi juga mencekik!
Betapa tidak, candi yang mengundak
decak kagum ini seolah tiada henti meluncurkan tanda tanya yang beranak-pinak.
Tiap jaman yang dilewatinya, senantiasa digoda. Borobudur seperti bicara pada
kita, “Inilah aku, apa yang kalian tahu?
Seperti pada narasi pembuka tulisan
ini, Borobudur adalah cerita yang tak pernah selesai. serupa pekerjaan rumah
berjilid-jilid dengan lembaran-lembaran berisi barisan aksara sandi berbeda
satu dengan yang lainnya, yang kemudian menggiring kita untuk
menterjemahkannya.
Seperti pada tulisan-tulisan
sebelumnya, tulisan ini lumayan panjang kisanak, sengaja saya mempostingnya
dalam satu tulisan. Karenanya, ada baiknya sampeyan mencari tempat yang pewe
kata akan muda sekarang. Baik, jika sudah dapat yang pewe mari kita lanjutkan
lagi.
Ya, Borobudur memang ada kesan
tersendiri bagi saya secara pribadi. Kali pertama saya mengunjunginya ketika
study tour, selepas ujian SMP. Awal 90-an silam. Tapi siapa sangka, putaran
cakra manggilingan nasib mengantarkan saya lebih mendekatinya, kini. Tidak
dekat sekali memang, hanya sekitar 40 kilometer atau sejam perjalanan kalau
lancar dari tempat tinggal saya.
Kemarin, setelah membaca email yang
mampir di kontak tronik saya dari Koh Ayong, salah seorang pembaca akarasa dari
Surabaya mendadak mengusik saya. Ya, saya sengaja mendatanginya pada petang
hari kemarin dengan teman satu komunitas motor. Tidak ingin mendekat, lagi pula
sudah tutup, saya sengaja hanya hendak merasakan kekokohannya dari jarak yang
jauh. Borobudur mempesona saya sejak kali pertama saya mengunjunginya. Hingga
menumpuk dalam kepala, pertanyaan-pertanyaan usil mengenai monumen berundak
tersebut.
Saya masih ingat betul setelah itu,
saya terlibat dengan buku-buku dapat pinjam dari perpustakaan, yang berkisah
mengenai candi kuno itu. Rekaman para peneliti dalam dan luar negeri, tumpahan
perspektif yang sedemikian beragam, membuat saya mendadak kangen. Ingin
merasakan Borobudur di senja hingga malam hari. Maka dengan kuda besi yang maaf
knalpotnya lumayan bising, berdua, kami segera meluncur ke arah Magelang, dari
Jogjakarta, kota tempat saya menumpang hidup. Setelah mendapatkan posisi yang
nyaman, kami mengamati candi itu. Gagah, misterius, dan dingin. Seperti hawa
udara malam yang mulai menyelimuti.
Pada warna yang lebur, merah-kuning-hitam,
ujung-ujung stupa itu layaknya tiang kokoh menyangga langit. Ada suasana
‘wingit’ yang menjalar. Saat itu, saya mereka-reka, suasana seperti apa yang
berlangsung di jaman Borobudur dibangun. Mungkin ditempat saya berpijak adalah
desa ramai, atau barangkali kota yang riuh. Bisa juga, disini adalah taman
rindang, tempat untuk menikmati monumen pada jarak yang ideal.
Tiga abad silam, tempat candi ini
masih berupa hutan belantara yang oleh penduduk sekitar disebut Redi Borobudur.
Sementara untuk nama Borobudur itu sendiri kali pertama diketahui dari naskah
Negarakertagama karya Mpu Prapanca pada tahun 1365 Masehi, disebutkan tentang
biara di Budur.
Dalam Naskah Babad Tanah Jawi
(1709-1710) ada berita tentang Mas Dana, seorang pemberontak terhadap Sunan
Paku Buwono I, yang tertangkap di Redi Borobudur dan dijatuhi hukuman mati.
Selanjutnya, pada tahun 1758, tercetus berita tentang seorang pangeran dari
Yogyakarta, yakni Pangeran Monconagoro, yang berminat melihat arca seorang
ksatria yang terkurung dalam sangkar.
Thomas Stamford Raffles, pada tahun
1814 mendapat berita dari bawahannya tentang adanya bukit yang dipenuhi dengan
batu-batu berukir. Berdasarkan berita itu Raffles mengutus Cornelius, seorang
pengagum seni dan sejarah, untuk membersihkan bukit itu. Setelah dibersihkan
selama dua bulan dengan bantuan 200 orang penduduk, bangunan candi semakin
jelas yang kemudian dilanjutkan dengan pemugaran dilanjutkan pada 1825.Sembilan
tahun kemudian, atau tepatnya pada tahun 1834, Residen Kedu membersihkan candi
lagi, dan tahun 1842 stupa candi ditinjau untuk penelitian lebih lanjut.
Mengenai nama Borobudur sendiri banyak
ahli purbakala yang menafsirkannya, di antaranya Prof. Dr. Poerbotjoroko
menerangkan bahwa kata Borobudur berasal dari dua kata Bhoro dan Budur. Bhoro
berasal dari bahasa Sansekerta yang berarti bihara atau asrama, sedangkan kata
Budur merujuk pada nama tempat.
Pendapat ini dikuatkan oleh Prof. Dr.
WF. Stutterheim yang berpendapat bahwa Borobudur berarti Bihara di atas sebuah
bukit. Sedangkan Prof. JG. De Casparis mendasarkan pada Prasasti Karang Tengah
yang menyebutkan tahun pendirian bangunan ini, yaitu Tahun Sangkala: rasa
sagara kstidhara, atau tahun Caka 746 (824 Masehi), atau pada masa Wangsa
Syailendra yang mengagungkan Dewa Indra. Dalam prasasti didapatlah nama
Bhumisambharabhudhara yang berarti tempat pemujaan para nenek moyang bagi
arwah-arwah leluhurnya. Selanjutnya, pergeseran kata itu menjadi Borobudurbisa
jadi hal ini terjadi karena faktor pengucapan masyarakat setempat.
Dalam pelajaran sejarah, disebutkan
bahwa candi Borobudur dibuat pada masa Wangsa Syailendra yang Buddhis di bawah
kepemimpinan Raja Samarotthungga. Sedangkan yang menciptakan candi, berdasarkan
tuturan masyarakat bernama Gunadharma. Pembangunan candi itu selesai pada tahun
847 M.
Menurut prasasti Kulrak (784M)
pembuatan candi ini dibantu oleh seorang guru dari Ghandadwipa (Bengalore)
bernama Kumaragacya yang sangat dihormati, dan seorang pangeran dari Kashmir
bernama Visvawarman sebagai penasihat yang ahli dalam ajaran Buddis Tantra
Vajrayana. Pembangunan candi ini dimulai pada masa Maha Raja Dananjaya yang
bergelar Sri Sanggramadananjaya, dilanjutkan oleh putranya, Samarotthungga, dan
oleh cucu perempuannya, Dyah Ayu Pramodhawardhani.
Sebelum dipugar, Candi Borobudur
berupa reruntuhan seperti halnya artefak-artefak candi yang baru ditemukan
sekarang ini. Ketika kita mengunjungi Borobudur dan menikmati keindahan alam
sekitarnya dari atas puncak candi, kadang kita tidak pernah berpikir tentang
siapa yang berjasa membangun kembali Candi Borobudur menjadi bangunan yang
megah dan menjadi kekayaan bangsa Indonesia ini.
Pemugaran selanjutnya, setelah oleh
Cornelius pada masa Raffles maupun Residen Hatmann, dilakukan pada 1907-1911
oleh Theodorus van Erp yang membangun kembali susunan bentuk candi dari
reruntuhan karena dimakan zaman sampai kepada bentuk sekarang. Van Erp
sebetulnya seorang ahli teknik bangunan Genie Militer dengan pangkat letnan
satu, tetapi kemudian tertarik untuk meneliti dan mempelajari seluk-beluk Candi
Borobudur, mulai falsafahnya sampai kepada ajaran-ajaran yang dikandungnya.
Untuk itu dia mencoba melakukan studi banding selama beberapa tahun di India.
Ia juga pergi ke Sri Langka untuk melihat susunan bangunan puncak stupa Sanchi
di Kandy, sampai akhirnya van Erp menemukan bentuk Candi Borobudur.
Sedangkan mengenai landasan falsafah
dan agamanya ditemukan oleh Stutterheim dan NJ. Krom, yakni tentang ajaran
Buddha Dharma dengan aliran Mahayana-Yogacara dan ada kecenderungan pula
bercampur dengan aliran Tantrayana-Vajrayana. Oleh sebab itu, para pemugar
harus memiliki sekelumit sejarah agama ini di Indonesia. Penelitian terhadap
susunan bangunan candi dan falsafah yang dibawanya tentunya membutuhkan waktu
yang tidak sedikit, apalagi kalau dihubung-hubungkan dengan bangunan-bangunan
candi lainnya yang masih satu rumpun. Seperti halnya antara Candi Borobudur
dengan Candi Pawon dan Candi Mendut yang secara geografis berada pada satu
jalur.
Sebuah catatan berspekulasi, bahwa
dibawah bangunan berstupa itu, dahulunya adalah bentangan danau. Adalah seniman
dan pakar arsitektur Hindu Buddha, W.O.J. Nieuwenkamp, Tahun 1931, yang
berpendapat bahwa Daratan tempat Borobudur
berdiri, dulunya adalah danau purba. Pakar itu membaca mitologi Jawa,
yang beberapa diantaranya menyitir cerita tersebut. Bayangan saya, jika itu
benar, tentu sangat indah. Sebuah candi yang seakan mengapung pada gemerlap air
danau, seperti teratai di kolam. Ilustrasi yang sama, seperti pergulatan benak
Nieuwenkamp.
Susunan batu-batu yang nyaris mengunci
sempurna, mulai samar ditutup bayangan hitam. Malam beranjak, dan bulan tidak
kelihatan. Ini tanggal muda, dalam kalender Jawa. Jika bertemu dengan purnama,
tentu pemandangannya akan lain. Langit terang, dan wujud candi tidak terlalu
terlihat menghitam. Masih ada kilatan terang pada sisi-sisi tertentu.
Sejak mulai mengenal Borobudur, saya
kerap bertanya kepada orang-orang terdekat, juga guru-guru, bagaimana membangun
Borobudur tanpa menancapkan ratusan paku untuk mengokohkan fondasinya?
Bagaimana juga bebatuan itu bisa saling mengunci? Lalu dengan seadanya mereka
memberikan informasi. Seperti diketahui, struktur dan konstruksi candi
Borobudur tidak memakai semen sama sekali, melainkan sistem interlock seperti
balok-balok Lego yang bisa menempel tanpa lem. Lambat laun, saya merasa
jawaban-jawaban semasa kecil itu tak lagi kompatibel dengan logika dan
perkembangan cara berpikir saya. Hingga keingintahuan itu tak tuntas, bahkan
makin membesar menuntut tanggapan.
Saya membayangkan bertemu dengan
perancang Borobudur secara imajiner. Siapapun dia, arsitek candi tersebut,
barangkali mempunyai keinginan untuk menyuguhkan informasi dalam bungkus
ketakjuban-ketakjuban. Menyajikan puncak pencapaian pada masanya, hingga
orang-orang dimasa depan bisa turut menikmati kegemilangan itu. Boleh disebut
Gunadharma atau siapapun, saya tak mau terlibat dalam debat sangkaan perihal
nama perancang itu. Yang saya bayangkan, dia adalah desainer ulung.
Mengeksekusi konsep dari pernik simbol yang mengandung nilai dan pesan kedalam
tata bentuk juga letak.
Tumpuk bebatuan yang menjulang dengan
masa bertahan berabad-abad, bagi saya, bukan sesuatu yang remeh. Ini adalah
hasil dari perhitungan yang matang dengan teknik perapatan antar bilah batu
yang mumpuni. Pada lain sisi, fungsi atas bangunan candi belum terbongkar
seluruhnya. Dalam pengetahuan umum, Borobudur adalah tempat suci untuk
peribadatan agama Buddha. Tapi apakah hanya itu?
Bila dibandingkan dengan Shwe Dragon
(Vietnam) atau reruntuhan tak kalah menakjubkannya, Angkor Wat (Burma), secara
terperinci Borobudur jauh lebih indah dan menakjubkan. Tak hanya itu, menurut
CW Leadbeater, seorang pendeta theosofi Belanda, di candi Borobudur ini pernah
ditanami tumbal penangkal sihir hitam rahub Atlantis yang sudah mengakar di
bumi Jawa.
Memang, jika kita menilik dari bidal
lama, Babad Tanah Jawa misalnya, disana disebutkan, tanah Jawa seolah-olah
dibungkus kabut rahasia yang sangat misterius. pada masa prasejarah pulau yang
sejak lama merupakan daerah kegiatan vulkanis dan merupakan tempat pertemuan 3
lempeng bumi ini menjadi satu dengan daratan Asia. Bahkan, pada dekade 915
masehi, konon Jawa baru bercerai (baca; terpisah) dengan Sumatera Selatan
akibat letusan Krakatau yang maha dahsyat itu.
Dalam pandangan Leadbeater, pulau Jawa
pernah menjadi jajahan kerajaan Atlantis. Setelah Atlantis terpecah belah,
mereka menjadi suatu negara yang terpisah. Termasuk pulau Jawa. Para pendeta
bangsa Atlantis membawa kepercayaan hitam mereka dan kemudian meninggalkannya.
Penduduk asli banyak yang hidup dalam bayangan kekuasaan jahat, ketakutan dan selalu
menyembah dewa-dewa hitam yang kejam dengan upacara menjijikkan berupa
pengorbanan manusia, pada hari-hari perayaan tertentu yang dianggap sakral.
Mereka dipimpin oleh seorang rahib
agung yang sangat fanatik dalam kepercayaanya terhadap dewa-dewa jahat. Di sisi
lain ia juga sangat mencintai Pulau Jawa sehingga ia beranggapan bahwa hanya
dengan jalan pengorbanan darah setiap hari dan pengorbanan nyawa manusia setiap
minggu dan hari perayaan tertentu, pulau Jawa bisa bebas dari bencana alam.
Menurutnya, kemarahan dewa ditunjukan salah satunya dengan letusan gunung
berapi yang kerap terjadi di Jawa. Untuk menjaga agar sistem pengorbanan ini
tetap terlaksana, ia menempatkan penjaga-penjaga gaib di berbagai tempat di
pulau Jawa, terutama di kawah-kawah dan gunung berapi. Untuk melanggengkan
kekuasaan hitam Atlantis, maka Jawa pun harus diberi tumbal. Dan mantera itu
seakan-akan dibawah suatu kutukan.
Tanpa bermaksud menggiring opini
sampeyan untuk mempercayai ini. Jika kemudian teori-teori di atas kita gotak-gathuk-kan
pada fenomena yang masih seringkali dapat kita saksikan pada momen tertentu,
entah karena kebetulan belaka, tuah kutukan dari pendeta Atlantis ini dapat
kita lihat dalam bentuk awan gelap yang maha besar yang melayang di atas pulau
Jawa dan Sumatera. Awan gelap yang maha besar ini seakan-akan muncul dan
tertambat pada titik-titik tertentu yang sudah dimagnetisir dengan ilmu hitam.
Ya, konon, awan hitam itu masih ada
hingga kini, meski kekuatannya jauh lebih berkurang. Titik-titik yang
dimagnetisir, seperti yang sudah saya singgung di atas itu bertepatan dengan
kawah-kawah gunung berapi.
Adalah penguasa bangsa Arya, Sang
Vaivasvatu Manu dan saudaranya, Chakshusha Manu, melihat kekuatan jahat yang
bercokol di pulau ini menjadi resah dan ingin mengadakan perbaikan, namun belum
signifikan. Chakshusha Manu dan Vaivasvata Manu datang ke pulau Jawa sekitar
tahun 1200 SM.
Awalnya pendatang Hindu ini berprofesi
sebagai pedagang-pedagang yang cinta damai dan bertempat tinggal di pantai
hingga lama kelamaan membentuk negeri-negeri kecil. Ketika kekuasaan mereka
semakin kuat, mereka mulai memaksakan pengaruh dan penerapan hukum-hukum Hindu
kepada penduduk asli pulau Jawa. Namun pengaruh Hindu tidak berhasil
menghilangkan prosesi-prosesi keagamaan jahat yang selama ini dipraktikan oleh
penduduk asli. Mereka tetap melakukan kegiatan tersebut secara rahasia.
Raja Karishka, penguasa India apa abad
pertama masehi, tepatnya tahun 78 masehi terinspirasi oleh pendahulunya, Manu
bersaudara, kemudian mengirim ekspedisi ke pulau Jawa. Ekspedisi ini dipimpin
oleh seorang yang bernama Aji Saka atau Sakaji. Saka. Misinya adalah
memusnahkan semua upacara jahat dan kanibalisme serta menerapkan kembali
berlakunya hukum dan budaya Hindu seperti sistem Kasra, vegetarisme, epos
Hindu, dan abjad Jawa.
Untuk melawan warisan kutukan yang
dulunya disimpan rahib agung Atlantis di Pulau Jawa, Aji Saka menanam
benda-benda yang dapat menetralisir kekuatan jahat. Dalam bahasa Jawa,
benda-benda tersebut dikenal sebagai Tumbal. Nah, satu dari 78 lokasi
penempatan tumbal untuk meruwat pengaruh hitam di pulau Jawa tersebut dipercaya
berada di bawah candi Borobudur. Beberapa saya cuplikan untuk menambah wawasan
buat kita sekalian;
- Sebuah gunung yang berada di daerah Jepara, dipercaya sebagai gunung tertua dahulunya bernama Mahameru, tetapi oleh sang Aji Saka diganti nama menjadi gunung Maurya. Maurya merupakan dinasti dari Kaisar Asoka yang terkenal di India, 322 SM. Sekarang gunung tersebut dikenal dengan nama Gunung Muria.
- Dalam catatan Tiongkok, sebuah semburan lumpur yang menyembur dari bumi Grobogan, disebelah selatan gunung Muria. Sedemikian tingginya semburan lumpur tersebut, sehingga adapat dilihat pelaut kala itu. diperkirakan semburan lumpur tersebut sekarang ini kita kenal sebagai Bledug Kuwu.
- Di perairan Tuban, persis di pantainya, ada sebuah sumur dengan sumber yang sedemikian besar yang anehnya adalah tawar. Sumur tersebut kini masih ada dan letaknya tak jauh dari alun-alun Tuban.
- Di Gunung Lawu, yang sekarang terkenal dengan kerajaan gaib Sunan Lawu atau Brawijaya Pamungkas, ia diyakini moksa di gunung ini.
- Telaga Warna, tidak disebutkan tempatnya, tapi diperkirakan di daerah Dieng, yang terkenal dengan sebutan negeri para Shang Hyang.
- Gunung Merapi, satu gunung yang paling aktif meletus di dunia. Setelah Aji Saka mokswa di tempat ini menjadi penyeimbang dan penyelaras tanah Jawa dengan gelar Prabu Joko.
- Tumbal yang paling penting dan paling kuat disebutkan berada disebuah bukit yang rendah, bukit yang terakhir dari deretan bukit-bukit yang berhadapan dengan sungai Progo. Sebuah tempat yang dengan sengaja atau secara kebetulan dekat sekali dengan pusatnya pulau Jawa sekarang ini. dewa spiritual pendamping Aji Saka memilih bukit yang rendah dan bundar ini sebagai tempat tinggalnya. Di tempat inilah tumbal paling kuat di tanam para akhli spiritual bangsa Arya.
Nah, bukit rendah dan bundar itu
tumbalnya dimagnetisir oleh Sang Manu sendiri. Maka tak mengherankan kemudian,
bahwa ketika 7200 tahun kemudian Wangsa Syailendra berkuasa di Jawa Tengah dan
ingin membangun monumen yang benar-benar luar biasa untuk mengenang Sang Budha,
para penasehat spiritual yang sensitif memilih bukit ini sebagai tempatnya.
Maka mulailah dibangun sebuah monumen yang sangat indah yang sekarang kita
kenal candi Borobudur.
Dalam pemandangan saya, Borobudur yang
sedemikian anggun dan penuh misteri itu adalah monumen pengingat. Sama seperti
catatan kamar yang dibuat ketika seseorang remaja, lantas dibuka kembali
sewaktu usia menua. Dia pencatat yang berjibaku dengan alam. Bertahan dari
goncangan gempa, berusaha tetap kokoh dalam semburan debu gunung berapi.
Menyimpan gundukan pesan masa lalu yang dibungkus dalam panel-panel relief,
lekuk arsitektur dan batu-batu pondasi yang mencengkeram lekat bumi. Para
pembangunnya dan mereka yang menginisiasi candi itu tak ubahnya sengaja menyuguhkan
teka-teki dengan serentetan simbol dan kode, lalu menyembunyikan kunci
penerjemahannnya, sembari bilang “Cobalah terka, cari tahu, gunakan akalmu”
Hingga kini saya belum terentas dalam
timbunan berlembar-lembar catatan mengenai tentang candi itu. Berloncatan
antara tulisan-tulisan yang berkutat dalam kenangan dan pemujaan masa lalu yang
megah, hingga tulisan penelitian yang serius dan bertebaran teori. Dibeberapa
map data, terselip ulasan-ulasan dari para peneliti alternatif. Mereka yang
memadukan mitologi, narasi diluar selubung konvensi standar ilmiah, dan juga
telaah dari sudut pandang mistik. Saya mengibaratkan Borobudur layaknya gadis
jelita yang didekati oleh beragam pria. Namun hanya yang berani mengutarakan
kemauanlah yang bersuara. Seperti catatan-catatan dalam komputer yang kemudian
menjadi rujukan tulisan ini. Juga serupa dengan berbagai tulisan di blog-blog
internet mengenai Borobudur.
Analisa mengenai candi besar itu
adalah ikhtiar yang butuh keberanian. Diluar perkara data dan fakta, Borobudur
adalah juga rumah simulasi. Bagaimana menerka kehidupan masa silam, berikut
kelemahan-kekuatannya, hingga asumsi tentang kuno dan kini menjadi tak lagi
bisa dipikirkan linear.
Barangkali waktu seperti gulungan
benang. Saling terkait tapi susah ditemukan mana ujung mana pangkal dengan
sederhana. Sejarah adalah upaya meruntut jalur lilitan. Supaya paham pola dan
karakter, bahwa lingkaran benang didalam berbeda kondisi dengan yang diluarnya.
Baik kekuatan, kepekatan warna juga arah lintangnya. Tak lagi sesuai, menilai
persoalan masa serupa garis lurus yang menempatkan masa lalu sebagai
keterbelakangan teknologi, khasanah intelektual juga spiritual. Lalu masa depan
adalah kecermelangan pencapaian kehidupan.
Bagi saya, peradaban terpilah dalam
tema masing-masing. Berjalan dalam lintasan jaman yang mengulir dinamis pada
sebuah peta bernama waktu. Tiap peradaban mempunyai pencapaian sendiri-sendiri.
Komparasi dilakukan bukan untuk mencari tahu siapa yang pemenang dan mana yang
pencundang. Tapi lebih kepada upaya menyadap nilai-nilai sebuah masa untuk
diterap berlakukan pada penggal waktu yang lain.
Sama seperti apa yang terjadi
belakangan ini. Indonesia dikejutkan oleh penemuan-penemuan diluar hitungan
yang menghentak. Adanya dugaan piramida yang tertimbun tanah membentuk
bebukitan. Bertebaran spekulasi tentang masa lalu nusantara yang gilang gemilang.
Kisah-kisah alternatif mengenai rekonstruksi sejarah kepulaan ini banyak
bermunculan. Dibeberapa bagian rumah bernama Indonesia ini sedang sibuk mencari
jatidirinya. Di saat kegaduhan politik
sedang terjadi di teras.
Bisa jadi ini kerinduan terhadap identitas
diri Indonesia, meski juga tak menutup kemungkinan, kemeriahan penelaahan masa
lalu nusantara adalah penjara nostalgia. Dimana orang bersibuk dalam wacana
sejarah, baik yang konvensional maupun bukan, untuk asyik masyhuk dalam aroma
kebesaran masa lalu, hingga lupa apa yang hendak diperbuat. Tak menghasilkan
apapun kecuali cerita-cerita yang hanya mengundang decak kagum. Semoga bagian
yang akhir tadi tidak menjadi wabah.
Demikian pula ketika membahas
Borobudur. Apa yang bisa didapatkan dari monumen itu selain nilai-nilai
spiritualitas dan hakekat hidup? Barangkali disana masih bergelayutan
simpul-simpul informasi yang berkaitan dengan hal teknis dan teknologi
perangkat fisik kehidupan. Tentu itu
bukan bertujuan mencari kebanggaan semata, tapi telusur atas formula, siapa
tahu bisa menjadi aplikasi yang berguna untuk membantu kehidupan sosial pada
jaman ini.
Borobudur bukan jawaban, tentang
kehidupan manusia atau jatidiri indonesia sekalipun. Tapi dia adalah wahana
mencurahkan pertanyaan. Dimana pada misteri yang melingkupi bangunan itu,
percik-percik informasi bisa dijalin menjadi bentangan pengetahuan, untuk
manfaat hidup bersama, dan cara memahami kebesaran Yang Maha Kuasa.
Sebab bagi saya hidup bukan medan
mencari jawab, tapi tempat membuat pertanyaan. Semua jawaban sudah ada tersedia
melalui mekanisme penciptaan dalam gelaran alam semesta dimana manusia ada
didalamnya, tinggal bagaimana cara membuat pertanyaan secocok mungkin dengan
konteks yang berjalan.
Riset-riset terkini yang menyeruak
memberi aroma baru pada peneropongan Borobudur. Meskipun tak semuanya diterima
dalam diskusi-diskusi terbuka, tapi setidaknya, Borobudur meluangkan tempat
bagi siapapun yang ingin berkenalan dan dekat. Ada tim Arkeoastronomi Borobudur
yang menemukan fungsi stupa pada candi itu sebagai alat penanda musim. Hingga
kemeriahan informasi yang disuguhkan oleh komunitas Turangga Seta juga Fahmi
Basya dengan pendapat-pendapatnya yang menggelitik, merupakan genderang riuh
yang melingkupi kokohnya candi, dan usaha-usaha mencari tahu ada apa disebalik
teka-teki.
Layaknya gadis jelita yang digambarkan
diatas. Borobudur adalah fenomena yang terus menebar pesona. Penari yang
melirik kesempatan, melempar sampur kepada penontonnya. Apakah keikutsertaan
itu membawa keceriaan, tumbuhnya energi yang membahagiakan sesama, atau hanya
melunaskan keinginan diri untuk menggoyang kaki? Itu perkara pilihan. Yang
jelas, masa lalu bisa menjadi kenangan yang ranum untuk di ambil sari
manfaatnya, juga mampu menjelma penjara, dimana orang terasa indah, tapi tak
menghasilkan apapun yang berguna bagi hidup bersama, selain menumpuk ilusi,
memuja mimpi. Barangkali. Nuwun.
0 on: "Sisi Lain Candi Borobudur : Si Jelita Berselimut Gaib"