Akarasa – Selamat
datang kerabat akarasa. Gunung Kelud (Klut, Cloot, Kloet, atau Cloete dalam
Bahasa Belanda) adalah salah satu gunung yang masih aktif hingga kini. Tidak
sebegitu tinggi memang, hanya 1.731 mdpl. Gunung ini berada di perbatasan
Kabupaten Kediri, Blitar, dan Malang. Letaknya kira-kira 30 km sebelah timur
pusat kota Kediri.
Sejak tahun 1300an,
gunung ini tercacat rajin meletus dengan rentang waktu yang lumayan pendek,
antara 9 – 25 tahun sekali gunung ini batuk dan muntah untuk menyapa pemukim di
sekitarnya. Karena seringnya menyapa ini, menjadikannya sebagai satu diantara
beberapa gunung api yang ada di Indonesia masuk kategori berbahaya bagi
manusia. Sejak abad ke 15, Gunung Kelud telah meminta koraban jiwa lebih dari
15.000 jiwa. Pada tahun 1586 letusannya merenggut korban lebih dari 10.000
jiwa.
Sebagaimana umumnya
gunung-gunung yang lain, Gunung Kelud ini juga tidak lepas dari legenda dan
berbagai mitosnya. Cerita legenda mengenai Gunung Kelud ini cukup menarik, karena
bertemakan tentang romansa atau asmara lebih tepatnya. Dikisahkan, pengusa
Kelud kala itu, Lembu Sura sedang kesengsem (jatuh hati) pada putri raja
Brawijaya, Dyah Ayu Pusparini (versi lain mengatakan putri tersebut adalah Dewi
Sekartaji atau Galuh Candra Kirana).
Diceritakan, paras Dyah
Ayu Pusparini ini sangat jelita. Saking jelitanya sudah tak terhitung lagi para
pangeran dari manca nagari datang untuk meminangnya. Tapi sayangnya, mereka
harus bersabar dulu, Prabu Brawijaya belum menerima satu pun lamaran yang
diajukan kepada putrinya. Di sisi lain, sang raja tidak menginginkan
kerajaannya hancur karena serangan para bangsawan yang tidak sabar menanti
jawaban darinya.
Setelah berpikir keras
dan menimbang berbagai kemungkinan, Prabu Brawijaya memutuskan untuk mengadakan
sayembara. Sayembara untuk memperebutkan sang putri. Raja menginginkan menantu
yang kuat dan tangguh. Ia mendengar bahwa busur Kiai Garudayeksa merupakan
busur panah yang sangat kokoh sehingga sangat sulit untuk direntangkan. Ia
menggunakan busur tersebut sebagai alat yang akan diujikan saat sayembara.
Selain itu, raja juga hendak memastikan bahwa menantunya kelak merupakan orang
yang pantas bersanding di sisi Dyah Ayu. Raja menambah tantangan untuk
sayembara menggunakan gong Kiai Sekadelima. Gong yang terkenal memiliki
kekuatan sakti, yang membuatnya menjadi sangat payah diangkat hanya dengan
kekuatan satu orang dewasa.
Berita mengenai
sayembara telah tersebar luas di seantero Majapahit dan kerajaan sekitarnya.
Pada hari yang sudah ditentukan, para bangsawan dan kesatria berkumpul di
alun-alun kerajaan. Prabu Brawijaya serta Putri Dyah Ayu bersiap menanti
menantu serta suami yang kelak akan mendiami keraton bersama mereka.
Busur Kiai Garudayeksa
dan Gong Kiai Sekadelima juga telah tertata rapi di tengah alun-alun.
Dipukulnya sebuah gong kecil oleh sang prabu, tanda sayembara dimulai. Dengan
tawa yang lantang dan dada terbusung, satu per satu bangsawan maupun kesatria
mulai berbaris untuk unjuk aksi.
Semua peserta beraksi,
mulai dari mereka yang hanya sekedar berotot hingga yang berbadan besar dan
mengerikan. Dari sekian banyak yang mencoba, tak satupun berhasil menyelesaikan
tantangannya. Bahkan, beberapa dari mereka justru merasa kesakitan setelah
gagal merentangkan busur dan mengangkat gong sakti.
Sang prabu pasrah,
hendak menutup sayembara tanpa hasil. Gong kecil tanda ditutupnya sayembara
hendak dipukulnya. Seketika pula, datang seorang pemuda menghadapnya. Pemuda
itu bertubuh selayaknya manusia biasa. Ia datang menunduk dan memberi
hormat.
“Paduka Prabu
Brawajiya, izinkan hamba menghadap.”
“Dengan senang hati,
berdirilah! Siapakah dikau, tak pernah terlihat sedikitpun olehku dirimu di
kerajaan ini.”
“Lembu Sura menghadap
Prabu.”
“Apa yang terjadi
denganmu?”
“Saya terlahir seperti
ini, untuk itulah Saya dinamakan Lembu Sura”
“Baiklah, jadi, apa
yang dikau inginkan dari Raja Majapahit ini.”
“Hamba hanya
menginginkan Prabu menginzinkan hamba mengikuti sayembara ini.” “
Silakan jika memang kau
sanggup mengikutinya.”
Dari sebelah Prabu
Brawijaya terdengar suara berbisik. “Ayahanda, apa kau yakin mengizinkan
makhluk itu mengikuti sayembara?”
“Biarlah Ananda,
makhluk itu hanya akan membuang tenaganya, dan lagi, penduduk akan sedikit
terhibur dengan sayembara ini.”
Penonton tertawa
melihat Lembu Sura datang ke tengah lapangan. Ia hanya mendengar tawa mereka
sebelah telinga dan membiarkannya pergi. Dia mengangkat Busur Kiai Garudareksa
dan merentangkan busur itu dengan mudahnya. Semua gelak tawa terhenti. Tatapan
mengejek mereka digantikan oleh tatapan kosong terkejut. Putri Dyah Ayu
terlihat cemas. Lembu Sura beranjak menuju Gong Kiai Sekadelima. Sang putri
tampak makin tegang. Ia berharap Lembu Sura gagal kali ini.
Tak beda jauh dengan
semula. Penonton makin terkejut tak percaya. Lembu Sura menyelesaikan sayembara
hanya dengan satu kali mencoba. Sang putri sedih dan kecewa. Ia berlari ke
dalam keraton seraya menangis.
“Aku tidak ingin
bersuamikan seorang manusia berkepala lembu!”
Prabu Brawijaya
terkulai lemas tanpa kuasa untuk melakukan apa-apa. Ia tidak ingin mengecewakan
putri kesayangannya. Ia juga tak ingin martabatnya sebagai seorang raja turun
hanya karena mengingkari sebuah janji. Tidak ada pilihan lain baginya. Dengan
begitulah, sang putri dipaksa menerima Lembu Sura sebagai pendamping hidupnya.
Dengan berat hati Prabu Brawijaya mengumumkan di hadapan masyarakat bahwa
penerusnya kelak adalah Lembu Sura. Orang-orang masih tidak percaya sekaligus
takjub akan kekuatan Lembu Sura.
Berita mengenai Lembu
Sura yang berhasil mengikuti sayembara ramai tersebar dan menjadi topik yang
paling hangat untuk diperbincangkan di seluruh Kerajaan Majapahit. Sementara di
dalam keraton, Putri Dyah Ayu hanya bisa menangis meratapi apa yang baru saja
ia dapatkan. Berhari-hari ia mengurung diri di dalam kamar. Ia selalu menolak
makanan dan minuman yang diberikan kepadanya. Melihat keadaan tuannya yang
makin memburuk, seorang inang pengasuh keluarga kerajaan mencoba memberi saran
kepada sang putri.
“Ampun, Kanjeng! Jika
Kenjeng Ayu tidak ingin menikah dengan Lembu Sura, sebaiknya Kanjeng Ayu segera
mencari jalan keluar sebelum hari pernikahan Kanjeng tiba.”
Sejenak Putri Dyah Ayu
terdiam.
“Lalu, apa kau punya
usul mengenai jalan keluar itu?”
Beberapa menit suasana
menjadi hening. Dua orang itu sibuk berpikir.
“Ada Kanjeng! Kanjeng Ayu bisa memberikan persyaratan yang berat kepada
Lembu Sura sebelum pernikahan dilangsungkan.”
“Bagaimana?”
“Coba, minta kepada
Lembu Sura agar dia membuat sebuah kolam di puncak Gunung Kelud untuk pemandian
Kanjeng serta Lembu Sura setelah menikah. Tapi, kolam tersebut harus selesai
dalam satu malam.”
Usulan itu diterima
oleh Putri Dyah Ayu. Ia segera menyampaikan usulan itu kepada Lembu Sura. Tanpa
berpikir panjang, Lembu Sura menyanggupi permintaan sang putri. Prabu Brawijaya
yang tidak mengetahui maksud putrinya, hanya mengikuti apa yang sang putri
inginkan. Ketika hari menjelang gelap, Ia segera beranjak menuju puncak Gunung
Kelud diikuti oleh putri Dyah Ayu dan keluarga kerajaan.
Setibanya di puncak
Gunung Kelud, Lembu Sura mulai menggali tanah menggunakan sepasang tanduknya.
Dalam sekejap, ia telah menggali tanah dengan cukup dalam. Malam kian larut.
Lembu Sura sudah tidak tampak lagi dari permukaan tanah. Putri Dyah Ayu makin
panik. Ia takut Lembu Sura dapat menyelesaikan permintaannya. Ia pun mendesak
ayahnya untuk menggagalkan usaha Lembu Sura.
“Ayahanda, apakah
engkau tega melihat Ananda menderita seumur hidup hanya karena menikah dengan
manusia berkepala Lembu ini?”
“Sebegitu tidak
inginkah kau menikahinya Ananda?”
“Bahkan jika Ananda
mati, itu akan jauh lebih baik. Tapi, apakah Ayahanda ingin Adinda mati?” Prabu Brawijaya mematung tak bersuara
“Ayahanda, lakukan
sesuatu! Kau adalah Raja Majapahit. Kau bisa melakukan apapun yang Kau mau. Kau
punya segalanya.”
Tidak banyak membuang
waktu. Sang raja memerintahkan pengawalnya untuk menimbun galian Lembu Sura
beserta Lembu Sura di dalamnya. Tanpa
berucap sepatah pun kata, mereka melaksanakan perintah rajanya. Gundukan tanah
bekas galian Lembu Sura dimasukkan kembali oleh mereka. Lembu Sura yang
terkejut, tidak bisa berbuat banyak. Ia hanya bisa meneriaki para pengawal
Prabu Brawijaya untuk segera berhenti menimbun Lembu Sura. Posisinya yang telah
jauh didalam, serta banyaknya pengawal yang melemparkan tanah beserta tumpukan
batu ke arahnya, membuatnya dengan cepat terkubur di dalam tanah. Sekejap, tak
sedikitpun bagian dari tubuhnya tampak dari permukaan tanah. Namun, suara Lembu
Sura masih terdengar. Ia lalu mengucapkan sumpah serapah dari dalam tanah.
“Yoh, mbesuk bakal
pethuk piwalesku sing makaping-kaping yaiku Kediri bakal dadi kali, Blitar dadi
latar, Tulungagung dadi kedung.” (“Hai,
kelak akan kutimpakan pembalasanku yang berkali lipat kepada kalian. Akan Aku
buat Kediri menjadi sungai, Blitar menjadi dataran, dan Tulungagung menjadi
perairan dalam.”)
Semenjak saat itulah
Gunung Kelud memuntahkan lahar serta abunya yang berdampak ke daerah sekitar
seperti Kediri, Blitar, dan Tulungagung.
Nilai-nilai budi
pekerti yang disampaikan cerita di atas mengajarkan kita untuk tidak menjadi
manusia yang suka meremehkan orang lain, terlebih karena penampilan fisik orang
tersebut. Kurangnya sesorang secara fisik, bukan berarti kekurangan untuk
segalanya. Tuhan menciptakan manusia dalam porsi yang telah ditetapkannya. Akan
selalu ada kelebihan yang menutup kekurangan. Lembu Sura yang berkepala lembu,
justru menjadi satu-satunya orang yang mampu menyelesaikan sayembara.
Selain itu, berpikirlah
dengan matang ketika hendak mengambil sebuah keputusan. Tentukan terlebih
dahulu, akankah lebih baik jika dipilih atau ditinggalkan. Prabu Brawijaya
memutuskan untuk membunuh Lembu Sura agar ia tidak menikahi anaknya. Prabu
Brawijaya memilih keputusan yang salah. Keputusan yang diambil tanpa berpikir
sebelumnya. Keputusan yang kelak akan membawa diri, masyarakat, serta
kerajaannya ke dalam kehancuran.
Lalu, jauhilah
perbuatan ingkar janji. Janji merupakan sebuah ikrar yang menyatakan
persetujuan oleh dua pihak yang menyatakan kesanggupan untuk berbuat maupun
tidak berbuat sesuatu. Mengikari sebuah janji mendatangkan sebuah musibah
terhadap pengingkarnya. Ia dapat menurunkan kepercayaan orang terhadap segala
tindakan yang dilakukan pengingkar janji. Prabu Brawijaya dan Putri Dyah Ayu
telah melanggar janji mereka kepada Lembu Sura. Hal itu telah mendatangkan
bencana bagi mereka dan masyarakat sekitar. Letusan Gunung Kelud memakan banyak
korban jiwa, belum lagi kerugian moneter seperti sawah, ladang, peternakan, dan
sebagainya. Nuwun.
0 on: "Kisah Legenda Dibalik Murkanya Gunung Kelud"