Akarasa – Selamat datang
kerabat akarasa. Pada gambar di atas, saya yakin sampeyan mengenalnya. Bener
sekali, Peci. Ada beragam nama untuk penutup kepala satu ini, ada yang
menyebutnya songkok, kopyah, bahkan di kampung halaman saya mempunyai nama
sendiri, yakni kethu.
Tidak banyak yang tahu,
ternyata ada cerita menarik dibalik asal-usul tutup kepala yang lazim dipakai
shalat atau kegiatan keagamaan ini. Meskipun toh masih perlu dikaji akan
kebenaran asal-usul tersebut. Tak ada ruginya, itung-itung sebagai tambahan
wawasan buat kita semua pada kesempatan kali ini saya akan narasikan di akarasa
ini.
Cerita ini bermula pada
perhelatan besar yang berlangsung di pertengahan abad XVII. Ketika itu
alun-alun Mataram disesaki rakyat yang tumpah ruah menghadiri pisowanan. Tak kurang
dari 800-an bangsawan menghadiri hajatan besar tersebut. Menunggangi kuda-kuda
gagah, mengawal raja yang hendak mengucapkan titah-titahnya. Semua mata tertuju
pada sosok Sri Susuhunan Amangkurat Agung atau akrab disebut Amangkurat I.
Pemimpin mataram yang berkuasa dari tahun 1646 hingga1677. Sebagian besar
perhatian, ditujukan kepada dandanan putra Sultan Agung itu. Terutama ke arah
tutup kepalanya. Apakah sang raja memakai turban gaya turki atau mahkota
khasnya yang berbentuk tabung berwarna hitam.
Sejumlah pelayan disiapkan
oleh pihak kerajaan, membawa tumpukan tutup kepala cadangan, yang dipersiapkan
bagi bangsawan yang hadir. Fasilitas itu diselenggarakan untuk berjaga. Apabila
Sri Susuhunan pada hari itu terlihat memakai turban, maka bangsawan yang hadir
tapi mengenakan tutup yang berbeda, harus segera bergegas menukarnya dengan
yang serupa raja. Atau sebaliknya. Penampilan para permasan itu mesti disamakan
dengan bagindanya.
Seorang Belanda,
Rijckloff van Goens menyaksikan peristiwa di Mataram itu dengan takjub. Dia
hadir disana sebagai perwakilan dari perusahaan dagang VOC. Amangkurat I
mempunyai hubungan baik dengan kongsi dagang tersebut. Kebijakan yang sangat
bertolak belakang dengan ayahnya, Sultan Agung. Dengan keheranan menggelayut,
Van Goens mengamati hal kecil yang kerap lepas dari tinjauan, tentang
pentingnya tutup kepala di Jawa kala itu. Bisa dikatakan, tutup kepala bukanlah
sesuatu yang remeh bagi orang Jawa. Termasuk juga etnis-etnis lain di tlatah
Nusantara. Selain berfungsi melindungi rambut serta kepala dari kotoran-kotoran
yang terbang, juga terik matahari, asesoris busana tersebut juga melambangkan
kebesaran dan kekuasaan. Besertanya tertempel sugesti tentang kepercayaan diri
untuk tampil di hadapan orang lain. Peneguh identitas serta penanda keberpihakan
kepada suatu kelompok maupun keanggotaan kelas sosial tertentu.
Tidak ada catatan detil
mengenai transformasi bentuk tutup kepala di Jawa dari zaman ke zaman. Hanya
terdapat sekian pantauan, tentang kebiasaan penduduknya memakai pernik itu.
Jenis-jenis seperti blangkon, destar maupun udeng, pernah dikenal. Bahkan,
terhitung sejak Islam masuk lalu menyebar luas di pulau Jawa, busana para
pemeluknya pun disesuaikan. Mempengaruhi model tutup kepala, meskipun tak
semuanya berubah. Rakyat tetap banyak yang mengenakan blangkon atau kain ikat.
Bentuk-bentuk penutup seperti Turban yang diserap dari kebiasaan busana orang
Turki, Tharbusy dari Maroko, yang kemudian diadaptasi menjadi songkok, pun
turut hadir sebegai pelengkap pakaian sehari-hari.
Tengara pentingnya
tutup kepala ini, tidak hanya merebak di Jawa atau Nusantara umumnya. Kawasan
kebudayaan lain di sekeliling bumi, juga mengakrabi hal yang sama. Berikut
dengan pemaknaaannya yang tidak sekadar pelengkap berbusana. Tutup kepala
adalah alat untuk menunjukkan kapasitas diri, baik tentang profesi yang
dijalani, ejawantah nilai keyakinan maupun representasi sikap. Apalagi dalam
pemahaman kebudayaan Jawa, penutup kepala memegang peran fungsional. Sebagai
pelindung bagian-bagian penting dan sakral dari tubuh, terutama rambut dan
kepala itu sendiri.
Beberapa sumber yang
mengungkap tradisi kuno Jawa, rambut memegang keistimewaan yang layak
dilindungi. Apabila rambut terlepas dari tubuh, atau terkena kotoran, itu
menandakan bahwa pemiliknya sudah tak suci lagi. Rambut adalah simbol yang
magis, khususnya bagi masyarakat Asia selatan dan Tenggara yang kebudayaannya
banyak di pengaruhi nilai-nilai brahmanisme sebagaimana yang tecukil dalam
wiracarita maupun karya sastra sejenis yang lahir di wilayah itu.
Seperti yang tertulis
dalam Epos besar Mahabharata. Kitab rujukan yang kerap dituju, untuk mengungkap
latar belakang berpikir orang Jawa mengenai filosofi bagian-bagian tubuhnya.
Dalam catatan-catatan yang terus diolah secara jenius oleh kebudayaan jawa
dengan tradisi wayangnya itu, terungkap beberapa hal mengenai kesakralan
rambut, sehingga mesti dijaga. Pada peperangan, seseorang bisa menjadi pemenang
apabila mampu menarik rambut musuh lantas menodainya. Aksi tersebut sudah cukup
menghancurkan martabat lawan. Lebih pedas dan menyakitkan ketimbang membunuh.
Sebab rambut dipercaya sebagai tempat berpusarnya energi rajawi, apabila itu
terenggut dan rusak, musnah sudah kesaktian seseorang.
Alasan di atas itulah yang
mendasari asumsi, bahwa rambut patut dimahkotai dengan hiasan istimewa.
Sejumlah seloka-seloka berbahasa sansekerta dalam mahabharata, menyebutkan itu.
Telaah mengenai posisi penting rambut ini, pernah dikupas secara menarik oleh
Manu J. Widyaseputra dalam jurnal Jumantara. Topik yang menjadi bagian kecil
dari tulisan panjang tentang Kaca sebagai Udyana, menurut Lampahan Tumurunipun
Taman Maerakaca dalam Tradisi Wayang Yogyakarta. Kaca dalam tulisan itu berarti
rambut. Kosakata yang berasal dari bahasa Sansekerta dan lazim disebut dalam
tutur maupun naskah pewayangan.
Pada perkembangannya,
upaya kebudayaan untuk memaknai rambut dan menjaga arti pentingnya,
menghasilkan pernik-pernik penghias maupun pelindung, seperti ikat atau tutup
kepala. Agaknya, sistem kepercayaan Jawa telah menempatkan rambut juga kepala,
sebagai komponen penting pusat sugesti dan motivasi. Kepercayaan diri akan
terpantik berdasar kondisinya.
Sebuah kisah unik,
suatu saat di tuturkan oleh H.J. De Graaf, seorang profesor Belanda yang banyak
mengkaji sejarah Mataram. Dia menceritakan bahwa Raden Patah, Sultan Demak
pertama sempat jatuh sakit dan kehilangan kesadaran, setiap kali hendak
menduduki singgasananya. Keadaan itu berhenti, saat Raden Patah – oleh
pembantu-pembantunya – dikenakan mahkota lengkap dengan sematan pelingkar
telinga. Kelengkapan yang lazim digunakan oleh para pendahulunya, raja-raja
Jawa pra Islam.
Tampaknya, peristiwa
yang dicantumkan De Graaf dari buku berbahasa Belanda-nya, Geschiedenis Can
Indonesie itu, memiliki sisi yang khas. Dibalik nuansa mistik yang lekat dengan
kisah tadi, bisa ditafsir bahwa dorongan kepercayaan diri dan penguasaan sikap,
yang melambangkan kapabilitas atas perkara tertentu, dipengaruhi oleh
titik-titik penting sugesti. Dalam hal ini, penampilan dan keadaan rambut serta
kepala, merupakan titik-titik penting tersebut. Maka wajar, jika di kemudian
hari rambut digelari dengan istilah ‘mahkota tubuh’. Deskripsi tentang
puncak-puncak keutamaan dan tempat keindahan bersarang.
Masa-masa selanjutnya,
tutup kepala mengalami transformasi dan turut meramaikan perjuangan bangsa
menuju kemerdekaan. Benda-benda itu menempel pada sekian tokoh penting yang
bersemangat lepas dari belenggu kolonialisme. Masih terekam jelas, bagaimana
potret-potret beberapa orang penting di masing-masing jamannya, tak meninggalkan
tutup kepalanya. Haji Zainal, seorang anggota PSII kawakan, melukis penampilan
H.O.S Tjokroaminoto pada tahun 1915.
Sosok yang membesarkan
Sarekat Islam itu, digambar dengan menawan. Memakai blangkon dengan tubuh
bagian bawah berlilit sarung. Badan bagian atas dibungkus kemeja warna cerah,
berkrah tegak, dengan kancing-kancing besar berderet vertikal di bagian depan.
Penyosokan pria Jawa yang tangguh dengan sorot mata tajam. Cara duduknya yang
meninggikan letak salah satu kaki, melambangkan seorang priyayi yang mendobrak
konvensi tentang sikap kepriyayiyan yang berlaku saat itu, hingga mau turun ke
jalan sebagaimana jelata.
Tjokroaminoto memang
acap terlihat memakai sarung dan blangkon, sebagai penebal identitas
bumiputeranya. Tanda perlawanan pribumi terhadap imperialisme asing. Peneguh
kebanggaan sebagai anak negeri yang ditampilkan lewat busana. Hingga tahun
1926, usai menunaikan ibadah Haji, Tjokroaminoto berganti memakai Kopiah atau songkok.
Ini bukan semata perpindahan jenis kelengkapan pakaian, namun juga sedikit
banyak mencerminkan pergeseran ideologi.
Pada waktu-waktu
mengenakan kopiah itu, ideologi keislaman Tjokroaminoto sudah tegak sepenuhnya,
hingga tiba di satu babak, dia menulis buku Islam dan Sosialisme. Terdapat
cuilan kecil cerita, yang dicatat Amelz dalam bukunya Tjokroaminoto-Hidup dan
Perjuangannya. Suatu kali, Tjokoraminoto ditanya, kenapa Ia tak pernah lupa
memakai ikat kepalanya (udeng), bahkan pada acara makan malam bersama keluarga
sekalipun. Jawabannya lugas. Dia merasa seperti orang hilang atau tersesat,
apabila tidak mengenakan ikat kepala itu.
Berbeda lagi dengan apa
yang di pakai Agus Salim. Intelektual asal Minangkabau itu akrab dilihat dalam
foto-fotonya memakai tarbus merah. Asal katanya adalah tharbusy. Sebuah penutup
kepala yang menunggi, dan biasanya terbuat dari bahan sintetis atau bulu
binatang. Topi jenis ini, ghalib di pakai lelaki dari daerah Fez, kota terbesar
ketiga di Maroko. Penggunaan tarbus, meluas sejak jaman dinasti Abassiyah
berkuasa di antero jazirah Arab. Kebetulan, Agus Salim pernah berdiam di arab
sekitar lima tahun. Dia bekerja sebagai dragoman atau penerjemah di Konsulat
Belanda di Jeddah, sekaligus mengurus jemaah haji di Hindia Timur yang
beribadah tiap tahunnya ke negara itu.
Rutinitas
bertahun-tahun di Arab, membuat Agus salim terbiasa untuk tampil sebagaimana
umumnya masyarakat disana. Termasuk didalamnya pemakaian Tarbus sebagai penutup
kepala. Ketika kembali ke tanah air, Agus Salim tetap setia mengenakannya. Pada
bagian dalam tutup kepala itu, terpasang label bertuliskan made in italia. Tapi
beberapa waktu kemudian, Agus salim menanggalkannya dengan alasan yang beraoma
ideologis dan keberpihakan politik.
Italia, sebagai negara
produsen tarbus tersebut telah melakukan kekejian atas sejumlah pejuang
kemerdekaan di Libya. Dibawah komando Musollini, negara yang menduduki Libya
sejak 1911 itu, membunuh dan menyiksa beratus-ratus rakyat Libya, tidak
terkecuali wanita dan orang tua. Tentara-tentara Italia juga menembak mati
seorang pemimpin perjuangan Libya, yang dijuluki the lion of the desert, Umar
Muchtar. Tindakan brutal Italia itu berlangsung pada September 1931, kemudian
tenar dengan sebutan peristiwa Tripoli.
Dunia Islam mengecam
tindakan keji tersebut. Termasuk di Hindia Timur. Agus Salim yang saat itu
sedang menjabat ketua Sarekat Islam, mencetuskan sikap memboikot produk-produk
italia yang masuk ke Hindia. Dua komoditas yang terkenal adalah mobil fiat dan
tarbus. Demi melanjutkan sikap politiknya itu, Agus Salim melepas tarbus yang
selama ini dipakainya, kemudian mengganti dengan sebuah peci yang ia buat
sendiri. Peci hijau, terbuat dari kain serdadu, dengan dua anak baju di bagian
depan. Sikap Agus Salim itu, bukan tanpa alasan. Baginya, tutup kepala tidak
sekadar hiasan, tapi lebih sebagai alat untuk mengemukakan sikap.
Jalan serupa juga di
tempuh Soekarno. Dia menegaskan bahwa Peci hitam berbahan beludru yang sering
dipakainya, adalah tanda pengenalnya. Soekarno bahkan pernah berpolemik ulet
perihal peci tersebut. Dia menggulirkan ide tentang penggunaan kopiah sebagai
simbol kebangsaan, pada pertemuan Jong Java di Surabaya, beberapa saat sebelum
dia pindah ke Bandung pada Juni 1921. Wacana tersebut membuat kaget
kolega-koleganya. Kopyah adalah perlengkapan yang biasa dipakai oleh jelata,
seperti penjual sate ataupun tukang becak. Menurut sebagian besar cendekiawan
Jong Java waktu itu, pemakaian kopyah bagi mereka sungguh tak layak. Serta
merta mereka menolak dan mencibir prakarsa Soekarno. Status sosial yang merasa
tinggi, dibanding kaum jelata, menjadi alasan para intelektual zaman itu untuk
tidak menyetujui ide tersebut.
Namun Soekarno tetap
kukuh mempertahankan pendapatnya. Dia terus mendesak dengan retorika-retorika
yang masuk akal. Menurutnya, pemimpin berasal dari rakyat. Demikian juga para
cendekia yang sedang merintis jalan kemerdekaan itu. Maka penyifatan dan
pembawaan setiap pemimpin mesti dekat dengan situasi rutin rakyat. Menggunakan
kopiah akan menjadi salah satu jalan untuk membangun semangat bersama yang
melingkupi segala lapisan sosial. Kopiah atau peci adalah benda yang lekat
dengan keseharian rakyat. Dipakai oleh pekerja-pekerja Melayu dan etnis
lainnya. Ini adalah lambang yang bisa menyatukan tekad tanpa membedakan kelas,
guna menuju kemerdekaan. Bagi Soekarno, Peci merupakan lambang Kebangsaan
sekaligus identitas bersama yang cocok. Seiring perjalanan waktu, peci yang
diusulkan soekarno tadi, lazim dipakai pada acara resmi ataupun tidak, setelah
Indonesia lahir.
Penutup kepala tak
ubahnya sebuah saksi. Benda itu memiliki peran sekaligus pemaknaan yang dekat
dengan wilayah pengemukaan identitas, penggambaran sikap juga keberpihakan.
Baik berupa kain terlilit, topi rapat hingga mahkota berlingkar emas. Penutup
kepala memiliki maksud-maksud penggunaan,dari sekadar alasan subyektif hingga
argumentasi yang menyangkut kepentingan kelompok. Dalam bahasa Belanda, penutup
kepala ini disebut petje. Gabungan dari dua unsur, Pet yang berarti Topi, dan
Je yang artinya kecil. Di kemudian hari, bahasa Indonesia menyerapnya sebagai
Peci : benda mungil, yang punya peran tak kecil. Sekarang ini, Peci tak lagi menjadi tanda kemusliman dan kesalehan
seseorang. Kini, ia menjadi busana formal. Nuwun.
0 on: "Kisah Menarik Dibalik Asal-Usul Peci Yang Anda Kenakan Kini!"