Akarasa – Selamat
datang kerabat akarasa. Mahfum sudah kita ketahui bersama, sebagian masyarakat
Indonesia meyakini bahwa ‘Ratu Adil’ atau ‘Satrio Piningit’ ialah sosok
pemimpin yang mampu membawa Nusantara atau Bangsa Indonesia menuju negara yang gemah ripah loh jinawi toto tentrem
kertoraharjo (kaya sumber daya alam dan subur, aman, tentram, dan
sejahtera).
Lantas, siapakah Ratu
Adil atau Satrio Piningit yang kita nanti-nati itu? Setelah sekian lama
berjalan dijalur spiritual, baik dari diskusi yang serius maupun obrolan ngalor
ngidul, setidaknya saya menyimpulkan bahwa Ratu Adil atau Satrio Piningit yang
kita nanti-nanti kedatangannya tersebut bukanlah seorang pemimpin. Tetapi
Satrio Piningit atau ratu Adil tersebut adalah orang yang mempersiapkan dan
membuka jalan bagi ksatria yang akan memimpin negeri ini.
Baik, pada kesempatan
kali ini saya akan ajak kisanak untuk mengurai tabir Satrio Piningit atau Ratu
Adil tersebut. Bahkan lebih dari itu, dalam kesempatan ini saya juga akan jaka
sampeyan untuk sekaligus mengurai benang merah antara Sabdo Palon, Uga Wangsit
Siliwangi, Jangka Jayabaya, Imam Mahdi, dan cerita-cerita tentang akhir jaman.
Sebagai permulaan,
untuk menyingkap Satria Piningit yang kita gadang-gadang ini maka terlebih
dahulu kita harus mengetahui dua tokoh penting sejarah tanah Jawa ini. karena
dari dua tokoh penting sejarah tanah Jawa inilah sejatinya yang mengabarkan
kepada kita tentang kedatangan Ratu Adil di akhir jaman. Kedua tokoh ini tak
lain adalah Brawijaya dan Siliwangi yang masing-masing meninggalkan kisah Sabdo
Palon/Naya Genggong dan Uga Siliwangi atau Wangsit Siliwangi.
Untuk menyingkap tabir
siapa gerangan Ratu Adil atau Budak Angon dan Pemuda Berjanggut maka kita harus
terlebih dahulu mengetahui sosok Sabdo Palon. Namun sebelumnya, sebelum kita
mengupas lebih lanjut tentang Sabdo Palon maka terlebih dahulu membahas
Grojogan Sewu, karena ini ada korelasinya.
Grojogan Sewu yang
selama ini kita kenal sebagai air terjun yang indah di daerah Tawangmangu,
Karanganyar, ternyata muasal namanya berasal dari seorang nama seseorang yang
bergelar Grojogan Sewu. Karena konon, di air terjun yang indah inilah tokoh
Grojogan Sewu melakukan laku tapa bratanya untuk mencapai ngelmu kasampurnan.
Dalam kisahnya, tokoh
Grojogan Sewu ini adalah seorang sais dokar yang pasa suatu ketika bekenalan
dengan seorang pengembara bernama Rangga Seta yang menjadi penumpangnya.
Grojogan Sewu ini gumun (penasaran) dengan gaya pakaian Rangga Seta kala itu
yang mengenakan jubah dan sorban, berbeda dengan pakaian orang Jawa kala itu.
Hingga Grojogan Sewu memberanikan diri untuk bertanya sang pengembara tersebut.
Kemudian Grojogan Sewu menanyakan darimana Rangga Seta berasal. Rangga Seta
tidak menjawab dari mana ia berasal tetapi menjawab pertanyaan tersebut dengan
"Saya saudara kisanak, karena semua manusia bersaudara karena anak
keturunan Adam".
Mendengar jawaban
tersebut, Grojogan Sewu tersentuh karena orang yang baru dikenalnya menganggap
saudara. Karena belum tahu Adam, maka kemudian Grojogan Sewu bertanya lebih
lanjut. “Siapakah Adam itu kisanak?”
“Adam adalah nenek
moyang saya, sampeyan dan semua manusia, kisanak?”
Mendengar jawaban
tersebut, Grojogan Sewu semakin penasaran untuk mengetahui lebih jauh dan meminta
Rangga Seta untuk bersedia mengajarkan ilmu pengetahuan kepadanya.
Sebelum menyanggupi
permintaan Grojogan Sewu, Rangga Seta balik bertanya. “Mengapa andika ingin
belajar”
“Karena saya ingin
cerdas seperti panjenengan” jawab Grojogan Sewu.
Melihat niat dan
kesungguhan Grojogan Sewu untuk belajar, maka rangga Seta pun kemudian
mengajarkan banyak ilmu pengetahuan yang dimilikinya. Proses belajar pun kemudian
di mulai dengan materi Aji Kalimasada. Singkat cerita, karena memang bakat
kecerdasan dan niat yang bersungguh-sungguh maka proses belajar Grojogan Sewu
pun berjalan dengan cepat.
Pada saat pelajaran
ujian terakhir Grojogan Sewu di perintahkan untuk semedi di suatu tempat yang
kemudian kita kenal kini sebagai air terjun Grojogan Sewu. Konon, dibalik air
terjun tersebut ada sebuah goa, di goa inilah tempat Grojogan Sewu menjalani
laku tapa brata yang diperintahkan oleh Rangga Seta.
Perintah laku semedi
atau tapa brata ini sekaligus perpisahan Grojoga Sewu dengan Rangga Seta,
gurunya. Namun, sebelum mereka berpisah Rangga Seta sempat berpesan pada
Grojogan Sewu bahwa suatu saat akan mereka akan bertemu kembali dan berharap Grojogan
Sewu bisa menjadi manusia yang bermanfaat dan bisa menegakkan keadilan.
Prosen pencarian lokasi
tapa brata yang dilakukan Grojogan Sewu ini sama halnya dengan Kian Santang
ketika diperintahkan Sayidina Ali untuk mencari sebuah bukit di daerah Godog,
Garut, saat ini. Setelah laku tapa brata Grojogan Sewu selesai, maka paripurna ah
Aji Kalimasada-nya. Konon selain berguru kepada Rangga Seta, Grojogan Sewu juga
belajar kepada Semar Badranaya. Dari Semar Badranaya inilah konon Grojogan Sewu
diwarisi pusakan Cemeti Amarasuli yang bentuknya seperti gagang tongkat kurang
lebih panjangnya 30 cm. Dikisahkan, jika senjata ini di gunakan maka akan
terlihat cahaya atau menyala seperti pedang maupun cemeti.
Lantas, siapakah
Grojogan Sewu ini? Grojogan Sewu adalah pembimbing raja-raja Jawa dan para
wali. Karena Grojogan Sewu diberikan semacam wewenang/mandat dari Semar
Badranaya untuk mengajarkan ngelmu hikmah dan ngelmu kasampurnan kepada para
raja-raja dan para wali di Nusantara bahkan sampai masa sekarang ini.
Pertanyaannya, siapakah
yang pernah belajar kepada Grojogan Sewu ini? Hampir semua raja-raja Jawa di
bimbing olehnya, dan salah satunya adalah Raja Brawijaya yang moksa di puncak Gunung
Lawu dan Prabu Siliwangi, raja Pajajaran. Dari sinilah ada benang merah mengapa
kisah Sabdo Palon dan Uga Wangsit Siliwangi seperti pinang dibelah dua, ibarat
kunci dengan gemboknya.
Nah, sekarang kita
bahas tentang hubungan Grojogan Sewu dengan Sabdo Palon. Masih dalam penuturan
Simbah yang sengaja tak saya sebutkan namanya di sini, bahwa Grojogan Sewu
adalag Sabdo Palong atau Noyo Genggong itu sendiri. Berikut ini pengulasannya.
Grojogan Sewu sejatinya
adalah sebuah gelar bagi seseorang yang mampu mengajarkan ilmu, mengucurkan
ilmu laksana air yang mengucur. Grojogan Sewu adalah seorang yang mengucurkan
ilmu atau orang berilmu (menguasai ajaran/mumpuni) sehingga dia mendapatkan
mandat/wewenang untuk mendidik para raja Jawa maupun para wali.
Setiap ucapan Grojogan
Sewu atau ketika ia mencurahkan ilmu pada muridnya, itulah yang disebut Sabdo. Sementara
Palon itu sendiri adalah artinya filosofi (kata mengandung hikmah). Jadi ketika
Grojogan Sewu memberikan pengajaran atau segala ucapan/sabdo yang mengandung
hikmah yang amat dalam, para raja Jawa maupun para wali menjulukinya ucapan
Grojogan Sewu ini dengan Sabdo Palon. Ucapan yang keluar dari Grojogan Sewu
adalah Sabdo Palon (Sabda yang mengandung hikmah).
Nah sekarang berlanjut
ke Noyo Genggong. Setiap Grojogan Sewu mengucapkan sabda-sabdanya di hadapan
raja-raja Jawa tersebut dengan cara dilantunkan seperti tembang atau syair yang
merdu, ada intonasinya dan di iringi oleh gerakan tubuh maupun tangannya (gaya
mengajar). Jadi nuansa pengajarannya tersebut enak di dengar dan dilihat.
Artinya, Noyo Genggong adalah gaya mengajarnya Grojogan Sewu ketika mengucapkan
sabdanya seperti melantunkan tembang dan di iringi gerakan anggota tubuh
tersebut.
Ringkasnya, Grojogan
Sewu adalah orang yang menguasai dan memiliki ilmu serta berpandangan luas dan
bijak. Grojogan Sewu adalah seseorang yang memiliki kunci sekaligus mampu
mencurahkannya (merujuk pada seorang guru besar/syekh/tuan guru/ para hyang).
Sabdo Palong adalah sebuah ucapan atau sabda yang penih hikmah dari seorang
bernama Grojogan Sewu.
Noyo Genggong adalah
sejatinya gaya mengajar Grojogan Sewu itu sendiri. Selain subtansi materi yang
di sampaikan penuh hikmah (Sabdo Palon), cara penyampaianya pun enak di dengar
dan mudah di pamahi karena dikemas seperti tembang dan diringi penguatan oleh
gerakan-gerakan anggota tubuh. Sabdo Palon dan Noyo Genggong tak lain adalah Grojogan
Sewu.
Grojogan Sewu mempunyai
Senjata Cemeti Amarasuli seperti yang sedikit saya singgung di atas adalag dari
Semar Badranaya. Selain itu, Grojogan Sewu juga memiliki Aji Kalimasada dari
Rangga Seta. Disamping itu, Grojogan Sewu juga mengajarkan ilmu-ilmu yang telah
dimilikinya untuk menjadi bekal sekaligus menjadi pembimbing raja Brawijaya dan
prabu Siliwangi, yang keduanya sama-sama moksa atau meninggal dengan membawa
raganya.
Grojogan Sewu adalah
guru bagi keduanya, Brawijaya dan Siliwangi. Kedua raja inilah yang kemudian
meninggalkan cerita atau kisah kepada generasi yang akan datang (akhir jaman),
yang pesan dari kedua raja ini kurang lebih sama.
Sekarang kita beranjak
untuk menelusuri jati diri Rangga Seta dan Semar Badranaya. Namun sebelum kita
kita membincang lebih jauh tentang jati diri dua tokoh tersebut, saya akan ajak
sampeyan untuk mengurai benang merah antara Uga Siliwangi, Sabdo Palong, Jangka
Jayabaya, Imam Mahdi dan cerita akhir jaman seperti yang sudah saja janjikan di
awal tulisan ini dengan pendekatan silsilah ilmu terlebih dan kata kunci dari
semua ciri dari cerita-cerita tersebut.
Silsilah Ilmu dan Kata
Kunci.
Rangga Seta adalah guru
dari Syeh Grojogan Sewu. Grojogan Sewu adalah
guru dari Brawijaya dan Siliwangi, yang keduanya moksa atau meninggal dengan
membawa raganya.
Lalakon Raja Brawijaya
meninggalkan cerita tentang Sabdo Palon. Cerita Sabdo Palon mengisahkan bahwa kelak
ada seseorang (Syech Grojogan Sewu/Sabdo Palon/Noyo Genggong) akan kembali
mengasuh pemimpin Nusantara.
Lalakon Prabu Siliwangi
meninggalkan cerita Uga Siliwangi atau Wangsit Siliwangi. Cerita Uga Wangsit
Siliwangi adalah sebuah kisah yang menganjurkan untuk menemui Ki Santang karena
kelak dari keturunan-keturunan yang pergi ke barat lah yang akan mengingatkan
saudara-saudara sedaerah dan yang sependirian.
Lalakon Brawijaya
mempunyai tokoh kunci yaitu Sabdo Palon Naya Genggong (Syech Grojogan Sewu).
Lalakon Prabu Siliwangi mempunyai tokoh kunci Ki Santang. Tokoh kunci pertama
adalah Syech Gojogan Sewu/Sabdo Palon Noyo Genggong yang belajar kepada Rangga
Seta yang kemudian di perintahkan mencari goa di belakang air terjun untuk
bersemedi, kelak air terjun tersebut bernama Grojogan Sewu.
Tokoh kunci kedua adalah Ki Santang (Kian Santang) yang
belajar kepada Sayidina Ali Bin Abi Thalib yang kemdian di perintahkan untuk
mencari tempat untuk berdzikir. Akhirnya Ki Santang menemukan Sebuah bukit di
daerah Garut yang kemudian di beri nama bukit Godog Suci. Godog dalam hal ini
bisa menjadi arti sebuah proses pematangan ilmu. Godog Ilmu/mengasah ilmu,
sedangkan kata Suci dibelakang nama Godog tersebut sejatinya adalah sebuah Nisbat kepada Nama Ki Santang sendiri (Syech
Sunan Rohmat Suci Kian Santang).
Tokoh kunci pertama, yakni Grojogan Sewu merujuk ke
Rangga Seta. Tokoh kedua, yakni Ki
Santang merujuk ke Sayidina Ali bin Abi Thalib. Jika di Majapahit ada Syekh
Grojogan Sewu. Maka di Pajajaran ada Syech Sunan Rohmat Suci Kian Santang.
Rangga Seta belajar kepada Semar Badranaya. Sementara Sayidina Ali belajar
kepada Nabi Khidir As atau Semar Badranaya. Ia selalu ada di setiap jaman
sampai akhir jaman. Bahkan sampai saat
ini masih mengasuh dan membimbing dan ilmunya yang diturunkan atau di titiskan.
Kalimat menitis dalam hal ini itu bukanlah sukma, akan tetapi yang menitis
adalah ilmu kasampurnannya. Nabi Khidir As akan selalu ada di setiap jaman, mengasuh,
membimbing sama seperti Semar Badranaya.
Dari penguaraian
panjang dari kata kunci di atas, baik tentang kisah Sando Palon dan Uga Wangsit
Siliwangi juga tentang pemimpin
Nusantara di akhir jaman adalah bentuk dari waskitanya raja Brawijaya
dan Siliwangi. Kewasikitaan dari keduanya tersebut muasalnya dijarakan oleh
Syehk Grojogan Sewu. Sedangkan Syekh Grojogan Sewu mendapatkan ilmu tersebut
dari Rangga Seta yang muasalnya diajarkan oleh Semar Badranaya.
Cerita Sabdo Palon dan
Uga Wangsit Siliwangi adalah satu kesatuan yang tak terpisahkan. Satu naskah
skenario dengan sumber yang sama walaupun dari tempat yang berbeda, Majapahit
dan Pajajaran. Kedua kisah tersebut bagai gayung bersambut, seperti madu dengan
manisnya, seperti kata pepatah "asam di gunung daram di laut akhirnya
bertemu juga" yang berujung kepada dua tokoh Rangga Seta dan Semar
Badranaya.
Rangga Seta tak lain
adalah Syaidina Ali bin Abi Thalib, sedangkan Semar Badranaya adalah Nabi
Khidir As. Rangga Seta yang mengajarkan kepada Syech Grojogan Sewu sejatinya
adalah Syaidina Ali Bin Abi Thalib. Dalam Uga Siliwangi, mengapa Prabu
Siliwangi memerintahkan para pengikutnya yang pergi ke Barat untuk menemui Ki
Santang, padahal konon katanya hilangnya Prabu Siliwangi karena terdesak oleh
Ki Santang. Kenapa di kejar-kejar oleh Ki Santang tapi malah memerintahkan para
pengikutnya yang pergi ke barat untuk menemui Ki Santang? Tidak masuk akal toh?
Prabu Siliwangi
memerintahkan kepada pengikutnya yang pergi kebarat untuk menemui Ki Santang seperti
petikan uga berikut ini, "Kalian
yang di sebelah barat! Carilah oleh kalian Ki Santang! Sebab nanti, keturunan
kalian yang akan mengingatkan saudara kalian dan orang lain. Ke saudara
sedaerah, ke saudara yang datang sependirian dan semua yang baik hatinya"...
Prabu Siliwangi di
bimbing oleh Syech Grojogan Sewu/Sabdo Palon/Noyo Genggong dan Syech Grojogan
Sewu di didik oleh Rangga Seta/Syaidina Ali. Ki Santang juga dididik oleh
Syaidina Ali/Rangga seta di tanah Arab. Prabu Siliwangi dan Kian Santang satu
silsilah ilmu, hanya bedanya Prabu Siliwangi belajar melalui Syech Grojogan
Sewu sedangkan Kian Santang belajar langsung ke Syaidina Ali.
Maka sedikit masuk akal
jika kemudian Prabu Siliwangi memerintahkan kepada pengikutnya yang pergi ke Barat
untuk menemui Ki Santang. Kalau kata pepatah Sunda "Saguru Saelmu Ulah Nganganggu", terlebih keudannya
adalah anak dan ayah. Tidak masuk akal jika mereka berseteru, padahal sudah
se-ilmu, seguru, dan juga sekeluarga. Benarlah menurut Prabu Siliwangi dalam
petikan Uga nya "Suatu saat nanti
keturunan kita akan ada yang sadar, tapi sadar seperti terbangun dari mimpi.
Dari yang hilang dulu semakin banyak yang terbongkar...."
Rangga Seta (Sayidina
Ali) tujuh kali mengelilingi dunia karena hasrat belajarnya yang tinggi.
Sahabat, misan sekaligus menantu dari Muhammad SAW ini merantau ke Nusantara
karena beliaupun mengikuti jejak gurunya, Semar Badranaya. Di Nusantara ini selain
mengajarkan ilmunya kepada Grojogan Sewu, Rangga Seta belajar tentang
pengobatan herbal, karena di Nusantara kaya akan tumbuhan obat, sekaligus untuk
melengkapi hasil belajar di China, yaitu metode totok.
Jika bertelekan pada
asumsi di atas, jika kita dekatkan pada ramalan agung abad 21 yang mengatakan
suatu saat nanti pengobatan akan kembali ke alam dan spiritual, maka hal ini
agak matuk. Pertanyaannya kemudian, siapakah yang membawa nubuwah tersebut?
Dialah Budak Angon dan
Pemuda Berjanggut yang diasuh oleh Syech Grojogan Sewu/Sabdo Palon/Noyo
Genggong dan Ki Santang (Syech Sunan Rohmat Suci Kian Santang) dan di
belakangnya di dampingi oleh Rangga Seta/Syaidina Ali bin Abi Thalib, sang
pemilik kuda putih dan pedang. Juga di dampingi sang Guru Besar, yakni Semar
Badranaya/Nabiyullah Khidir As (guru para Nabi). Budak Angon dan Pemuda
Berjanggut adalah ujung dari semua kisah tentang akhir jaman di Nusantara ini.
Dialah tokoh kembar di akhir jaman, laksana Nabi Musa dan Nabi Harun. Seperti
yang kita juga tahu, Nabiyullah Khidir As adalah guru dari Musa dan Harun.
Selanjutkan kita bahas
tentang hubungan Uga Wangsit Siliwangi dan Kisah Sabdo Palon lebih mendalam.
Sebelumnya saya akan bahas lebih dulu tentang hakekat empat elemen atau unsur
penting dari semua penciptaan, yakni unsur Api, Angin, Air, dan Tanah. Budak
Angon dan Pemuda Berjanggut adalah mereka yang menguasai 4 unsur tersebut. Karena
dengan menguasai hakekat empat unsur ini adalah mereka yang telah menemukan
Sejati dirinya, dan akan menjadi Pancer.
Hakikatnya Api adalah
Cahaya Merah, Angin adalah Cahaya Kuning, Air adalah Cahaya Putih, dan Tanah
adalah Cahaya Hitam. Merah dalam hal ini hakekatnya Sayidina Abu Bakar, Kuning
adalah Sayidina Umar, Putih adalah Sayidina Utsman, dan Hitam adalah Sayaidina
Ali.
Panji-panji Hitam dari
Timur yang sering kita dengar dari nubuat akhir jaman itu bukanlah bendera yang
disablon seperti saat ini. sejatinya, panji Hitam tersebut adalah sebuah takwil
dari suatu kaum yang belajar kepada Sayidina Ali bin Abi Thalib, yang di
sebarkan oleh Budak Angon dan Pemuda Berjanggut. Karena hakikat warna Hitam
adalah Sayidina Ali, Hitam juga hakikat Bumi. Budak Angon dan Pemuda Berjanggut
adalah Pancer Bumi atau Khalifah fil Ardhi.
Itulah mengapa Uga
Wangsit Siliwangi mengatakan temui Ki Santang kepada para pengikutnya yang
pergi ke Barat? Mengapa Prabus Siliwangi tidak mengatakan kepada yang pergi ke
barat untuk menemui anak-anaknya yang lain, bukankah ada anaknya yang lain
selain Ki Santang? Itulah yang saya uraikan sebelumnya, Uga Wangsit Siliwangi
dan Kisah Sabdo Palon adalah satu kesatuan Skenario Jagat. Kisah ini bukan
rekayasa, di luar jangkauan karangan manusia, karena kisah ini terjadi dalam
ruang dan waktu yang berbeda. Inilah bukti kekuasaan Tuhan, bahwa Dia ingin
menegaskan bahwa Ratu Adil ini dari Nusantara untuk dunia.
Kita kembali lagi pada
hakekat 4 unsur (Api, Angin, Air, dan Tanah) penting dalam segala penciptaan di
alam semesta ini;
- Hakekat Cahaya Merah adalah Unsur Api adalah Syaidina Abu Bakar adalah Huruf Alif.
- Hakikat Cahaya Kuning adalah Unsur Angin adalah Syaidina Umar adalah Huruf Lam Awal.
- Hakikat Cahaya Putih adalah Unsur Air adalah Syaidina Utsman adalah Huruf Lam Akhir.
- Hakikat Cahaya Hitam adalah Unsur Tanah adalah Syaidina Ali adalah Huruf Ha.
Pertanyaannya, darimana
muasal dari cahaya 4 warna tersebut? Dari Johar Awal inilah bibit semua
ciptaan/materi termasuk Ruang dan Waktu. Tasjid yang menjadi Pancernya.
Menguasainya Budak Angon dan Pemuda Berjanggut kepada 4 unsur di atas karena ia
sudah menemukan Tasjid Muhammad (Sajatining Syahadat) di dalam dirinya, siapa
yang mengenal dirinya makan akan mengenal Tuhan-nya. Mengetahui awal dan akhir,
mulih ka jati pulang ka awal. Budak Angon dan Pemuda Berjanggut sudah menjadi
pancer/pusat, tidak terbatas ruang dan waktu.
Hal di atas selaras
dengan makna dari Muhammad yang artinya sifat yang terpuji dan Abdullah adalah
hamba Allah. Singkatnya, Budak Angon dan Pemuda berjanggut adalah Insan Kamil
orang yang telah mengetahui hakikat dirinya, mengetahui Tasjid di dalam
dirinya. Menjadi hamba Allah yang terpuji. Karena ia sudah mengetahui sejatinya
Syahadat dalam dirinya. Menjadi pancer akan menebarkan rahmat ke delapan arah
mata angin.
Bicara tentang 8 mata
angin ini selaras dengan lambang Majapahit, siwha ditengah dan 8 batu mirah
delima di kedelapan arahnya. Lambang Garuda ditengah dan 8 bintang di delapan
arah. Mari kita mengurainya dengan pendekatan etimologis.
Delapan atau Dalapan
dalam Bahasa Sunda.
Berdasarkan filosofi
Aksara Jawa;
- DA artinya adalah Dumadining dzat kang tanpa winangenan (menerima hidup apa adanya).
- LA artinya adalah Lir handaya paseban jati (mengalirkan hidup semata pada tuntunan Illahi).
- PA artinya adalah Papan kang tanpa kiblat (Hakekat Allah yang ada disegala arah).
- NA artinya adalah Nur candra, gaib candra, warsitaning candra (pengharapan manusia hanya selalu ke sinar/cahaya Illahi).
DA = 6, LA = 10, PA =
11, NA = 2 (urutan aksara Jawa).
6+10+11+2 = 29, 2+9 =
11, 1+1 = 2.
MIRAH DELIMA = MARAHA
DALAMA
- MA artinya adalah Madep mantep manembah mring Ilahi (mantap dalam menyembah Ilahi).
- RA artinya adalah Rasaingsun handulusih (rasa cinta sejati muncul daricinta kasih nurani).
- HA artinya adalah Hana hurip wening suci (adanya hidup adalah kehendak dari yang Maha Suci).
- DA artinya adalah Dumadining dzat kang tanpa winangenan (menerima hidup apa adanya).
- LA» Lir handaya paseban jati. ( mengalirkan hidup semata pada tuntunan Illahi .)
- MA artinya adalah Madep mantep manembah mring Ilahi (mantap dalam menyembah Ilahi).
16+4+1+6+10+16 = 53,
5+3 = 8.
Delapan/DALAPANA = 2.
Merah Delima/MARAHA
DALAMA = 8.
Makna dari temua jumlah
2 = Simbol Dzat dan Sifat. Sementara jumlah 8 = Malaikat Penjaga ‘Arsy. Dalam
al-Qur’an, angka 8 merupakan jumlah malaikat yang menjunjung ‘Arsy (Kursi,
Singgasana), mengatur keseimbangan ‘Arsy, yang bermakna power and authority
dominion, baik sebelum maupun saat kiamat.
Delapan Merah Delima
dalam Lambang Majapahit adalah menceritakan bahwa gambar Shiwa adalah lambang
Pancer dalam diri manusia, sama seperti lambang bintang dalam dada Garuda
Pancasila. Dalam konsep Sunda adalah Ingsun yang menguasai 4 unsur tadi, mirah
delima di segala penjuru adalah kemana pun kita menghadap harus mantap dalam
menyembah ilahi (madep mantep manembah mring Gusti).
Pesan yang tersirat
dalam dari lambang delapan merah delima seperti pada gambar Shiwa adalah sebagai
pusat yang menandakan mengenal Tuhan bisa melalui perjalanan ke dalam (inner
journey) atau perjalanan luar. Karena hakekatnya, kepunyaan Allah-lah timur dan
barat, maka kemanapun kita menghadap di situlah wajah Allah. Kemanapun kita
melihat di situ ada Tuhan, ada Dzat dan Sifat-Nya, kemana pun kita melihat
disitu ada Arsy-Nya, ada Singgasana-Nya. Barang Siapa manusia yang mengenal
dirinya maka ia akan mengenal Tuhan-Nya,
baik Dzat-Nya, Sifat-Nya, Asma-Nya, Af'al-Nya
(Ciptaannya/Perbuatannya/Kuasanya).
Budak Angon dan Pemuda
Berjanggut senjata sejatinya adalah Aji Kalimasada atau Dua Kalimat Syahadat. Senjata
yang dapat menghancurkan gunung, yang dapat mensejahterakan ke penjuru alam,
yang dapat memuliakan manusia tanpa membeda-bedakan agama, ras, maupun
golongan. Dua hal itu yang akan menjadikan dirinya dicintai semua orang bahkan
seluruh mahluk, karena dua itulah yang menjadikannya welas asih, yang dapat
menyembuhkan berbagai penyakit baik lahir maupun batin.
Makna dua (2) adalah ketentuan, saling berpasangan, hukum
penciptaan. 2 (Dua) itulah yang di ajarkan oleh Rangga Seta/Sayidina Ali kepada
Syech Grojogan Sewu/Sabdo Palon/Noyon Genggong dan Kian Santang. 2 itu juga yang
di ajarkan Semar Badranaya/Nabi Khidir AS.
Kalimat Syahadat adalah
Kun Fayakun, Awal dan Akhir Alam Semesta, di buka dengan Syahadat ditutup oleh
Syahadat. Kalimat yang menjadikan Alam Semesta beserta isinya, malaikat, ruh,
jin, surga dan neraka, dsb.
Itulah Sejatinya Aji
Kalimasada, sakti mandraguna tanpa ajimat. Sabda-nya adalah sabda mukti (saucap
nyata saciduh metu), apa yang di inginkan terkabul, karena dari Aji Kalimasada
itu akan menjadi 2 kembali yaitu Rahman dan Rahim (welas asih). Karena Rahman dan Rahiim inilah yang merupakan Given
dari Tuhan-Nya.
Manusia yang mendapatkan
Rahman dan Rahim dari Tuhan lah yang akan memimpin dunia ini dan mewarisinya.Bukan
Budak Angon dan Pemuda Berjanggut yang merubah dunia, tapi Tuhan yang menghendakinya.
Tuhan lah yang telah memilih Budak Angon dan Pemuda Berjanggut yang
memimpinnya. Ini adalah Lakon Jagat, karena
sejatinya Tuhan Maha Sutradaranya. Nuwun. (Urd2210)
Kian santang tak mungkin gurunya syaidina ali atau pun grojokan sewu...kian santang jg prabu siliwanggi ditahun 1490-1550....sedangakn jaman sahabat 700-800
BalasHapus