Akarasa – Selamat datang
kerabat akarasa. Meski legenda Dewi Sri bukanlah monopoli tanah Jawa, karena
cerita hampir serupa juga terdapat di Kalimantan, Sumatera, Bali, dan masih
banyak daerah lain yang tak bisa saya sebutkan semuanya di sini. Tapi, Dewi Sri
bagi orang Jawa yang agraris ini mempunyai tempat tersendiri. Sangat dihormati.
Bagi kita yang kebetulan
lahir dan besar di pedesaan, pasti tidak asing dengan tradisi yang dinamakan
wiwit atau wiwitan sebelum memanen padi. Wiwit itu dari bahasa Jawa yang berarti
mulai. Mulai panen padi tentu saja. Biasanya tradisi wiwit ini ditandai dengan
selamatan kecil-kecilan. Dulu, semasa kecil saya, hal ini masih sering saya
jumpai.
Menu selamatan tersebut
agak spesial, yaitu nasi menggono yang gurih. Jika keadaan ekonomi sedang baik,
nasib salah satu ayam di kandang sedang tidak baik karena akan menjadi ingkung
pelengkap prosesi wiwitan tersebut. Jangan ditanya lagi betapa nikmatnya menyantap
nasi mengono dengan lauk ayam yang dimasak ingkung dengan santan yang kental. Apalagi
ayam itu masih dere artinya ayam jantan sudah besar tapi belum bisa disebut
jago karena bulu ekornya belum keluar lacur atau bulu yang mengkilat dan
melengkung panjang seperti ekor burung Cenderawasih.
Apalagi makannya di
tengah sawah yang sedang menguning. Sepertinya, suasana seperti demikian sudah
tidak mudah ditemukan lagi sekarang ini.
Prosesi penghormatan
kepada Dewi Sri dalam acara wiwitan ini adalah ketika secara simbolik dengan
memanen beberapa helai padi terbaik, kemudian diikat dan dihiasi dengan daun
dadap serep yang sering digunakan sebagai obat demam. Segengam padi itu
kemudian di bawa pulang dengan cara di pondong memakai selendang dari koleksi
yang terbagus. Dipondong adalah digendong dengan cara seperti seorang ibu
mengendong bayinya yang ditaruh di depan dadanya.
Dulu, ketika Simbah
menggendong segenggam padi seperti itu awalnya membuat saya heran, lha wong padi
segeggam saja nggendongnya sedemikiannya. Hingga pada satu kesempatan lain saya
tanya sama Emak, mau tahu jawabannya? Kata emak saya yang beliau dapat dari Simbah
tentunya, yang digendong itu adalah Dewi Sri yang telah berkurban memberi
kemakmuran kepada kami, para petani.
Sejak saat itu saya
seperti terobsesi dengan Dewi Sri, betapa hebatnya wanita itu sampai
mengorbankan dirinya untuk kehidupan rakyat banyak. Entah kebetulan atau
bagaimana, istri saya namanya ada Dewi-nya, sementara dua anak perempuan saya
tersemat agung nama Dewi dalam barisan namanya.
Penghormatan pada Dewi
Sri ini juga tercermin dalam meja makan, tentu sampeyan pasti ingat ketika
makan dan tidak kita habiskan. Biasanya, orang tua kita akan menasehati kalau
nasinya tidak habis, nanti Dewi Sri akan menangis. Entah karena takut atau apa,
biasanya kita pun akan menghabiskan makan tersebut hingga ke butir nasi
terakhir. Entah sekarang nasihat ini masih dipakai atau tidak.
Selain nasehat di atas,
ada satu lagi nasihat yang masih lekat dalam ingatan saya, yakni kalau makan
tidak habis nanti ayamnya mati. Aneh memang. Karena logikanya kalau makan
banyak sisa mestinya ayam kita justru gemuk. Jadi yang mendidik mestinya yang
dikaitkan dengan Dewi Sri. Padahal mungkin yang nangis justru ibu walaupun
namanya bukan "Sri". Susah-susah bapak cari makan, hasilnya
dibuang-buang.
Sepertinya saat ini
tidak banyak lagi orang tua memberi nama anak perempuannya dengan
"Sri". Kuno barangkali. Ayam pun tidak lagi dipiara di rumah. Nama
"Sri" justru banyak dipakai untuk nama Rumah Makan bahkan hotel.
Ketika tanaman padi banyak diserang hama khususnya wereng, kita ingat satu hal:
Masihkah Dewi Sri melindungi tanaman padi kita seperti pada masanya waktu
melawan celeng Kala Gumarang? Yang menjawab ternyata Didi Kempot dengan lagunya
"Sri Minggat". Bener toh!
Cukup menarik untuk
membaca teks lama tentang padi sebagai penjelmaan atau pengorbanan Dewi Sri. Dalam
bidal lama yang tertuang dalam kisah Ramayana tersebut mengatakan bahwa Dewi
Sinta sebenarnya adalah penjelmaan Dewi Sri. Kisah Ramayana adalah sebuah
cerita tentang kesetiaan seorang wanita yang luar biasa. Pengorbanan dan
kesetiaan sepertinya identik dengan wanita. Dimanapun dan kapanpun dari dulu kala
sekali sampai saat ini. Pengorbanan dan kesetiaan seolah berdampak sistemik
pada wanita sepanjang masa disegala dimensi.
Awal kisahnya dimulai
dari keinginan Rakwana sang penguasa angkara murka yang sangat ingin
mempersunting Dewi Sri menjadi istrinya. Tentu saja ini cinta yang terlarang,
karena Dewi Sri yang mempunyai nama lain Dewi Widowati adalah istri yang sah
dari Dewa Wisnu. Dewa Wisnu dalam menjalankan tugas menjaga perdamaian dunia
selalu menitis ke dalam manusia laki-laki yang harus beristrikan titisan Dewi
Sri.
Dalam Ensiklopedi Wayang Purwo ternyata Dewi Sri nantinya menitis pada
Dewi Sinta yang nantinya harus menjadi istri titisan Wisnu saat itu yaitu Rama.
Dewi Sri dan Dewa Wisnu setiap masa selalu menitis kepada manusia untuk menjaga
perdamaian. Masalahnya Dewi Sinta ternyata terlahir dari Dewi Tarki istri
Rakwana.
Saat istrinya
melahirkan Rakwana sedang melampiaskan kegemarannya yaitu berperang meluaskan
jajahan. Wibisana adik Rakwana yang mengetahui tabiat kakaknya sangat khawatir
suatu saat nanti Dewi Sinta akan dikawini oleh bapak kandungnya yang seumur
hidupnya mengejar-ngejar Dewi Widowati atau Dewi Sri.
Betapa rusaknya dunia
ini nantinya jika itu terjadi. Maka bayi Dewi Sinta dihanyutkan ke sungai yang
kemudian ditemukan oleh Raja Janaka di kerajaan Matili. Sebagai gantinya
Wibisana menganti bayi Dewi Sinta dengan bayi laki-laki yang diciptakan dari
awan atau mega, makanya diberi nama Megananda yang lebih dikenal dengan
Indrajit yang tidak kalah bengisnya dengan Rakwana.
Setelah dewasa Dewi
Sinta oleh Raja Janaka dikawinkan dengan Rama yang berhasil memenangkan lomba
mengangkat panah pusaka Kerajaan Matili. Di kerajaan Ayodya Raja Dasarata
ayahanda Rama sedang bersedih karena telah terikat janji kepada istri ketiganya
Dewi Kekayi bahwa keturunannya yang nanti akan menjadi raja. Sedangkan Rama
adalah anak pertama dari permaisuri yang berhak atas warisan tahta menurut adat
kebiasaan. Rama mengetahui kegelisahan Ramandanya, kemudian pergi ke hutan
diikuti istri dan adik tirinya Lesmana.
Selama tiga belas tahun
Dewi Sinta menemani dan mengabdi kepada Rama dalam kehidupan yang sengsara di
hutan. Sampai kemudian diculik oleh Rakwana. Selama dua belas tahun Dewi Sinta
ditawan Rakwana dan terus menolak pinangannya. Kemudian Rama berhasil mengalahkan
Rakwana dengan bantuan Anoman dan kera lainnya, kisah ini mungkin sudah tidak
asing dengan sebagian besar kita.
Kisah kesangsian Rama
atas kesucian Dewi Sinta juga sudah kita kenal dengan peristiwa Sinta Obong,
dimana untuk membuktikan kesuciannya Dewi Sinta harus lolos dari panasnya
kobaran api. Dewi Sinta lolos dalam ujian tersebut. Kemudian diboyong pulang ke
Kerajaan Ayodya. Rama menjadi raja sedangkan Sinta menjadi permaisuri. Sebuah
kisah yang romantis tentang kesetiaan istri atas suaminya. Tapi saya yakin
tidak semua dari kita mengetahui akhir dari kisah kesetiaan ini.
Beberapa tahun kemudian
setelah kisah keperkasaan Rama menaklukkan Rakwana menjadi cerita sehari-hari,
beredar kasak-kusuk yang mengelisahkan hati Rama. Kabar yang terbawa angin bahwa
rakyat sebenarnya masih menyangsikan kesucian Dewi Sinta selama di sekap oleh
Rahwana selama dua belas tahun.
Sewaktu peristiwa
‘Sinta Obong" dulu terjadi di Kerajaan Alengko. Tidak ada rakyatnya yang
menyaksikan langsung, pantas jika mereka meragukan. Akan tetapi jika rakyatnya
sudah tidak percaya lagi kedudukannya sebagai raja akan terancam. Dengan berat
hati Rama minta Dewi Sinta sekali lagi membuktikan kesuciannya dalam sebuah
ritual api korban di hadapan rakyatnya. Kesetiaan selalu diikuti dengan pengorbanan.
Sinta tidak bisa menolak permintaan itu. Sekali lagi Sinta membuktikan
kesuciannya ketika kobaran api tak mampu menyentuh tubuhnya.
Puaskah Rama dengan dua
bukti kesucian Sinta istrinya yang setia dan rela mengorbankan apa saja?
Kasak-kusuk di kalangan
rakyat masih belum reda. Hati Rama masih gundah. Dalam keadaan hamil tua Sinta
di buang ke hutan dititipkan kepada Resi Walmiki. Di padepokan Resi Walmiki
Sinta melahirkan bayi laki-laki kembar yang diberi nama Rama Batwala dan Rama
Kusya. Kedua bayi itu diasuh oleh Resi Walmiki. Selama dalam pembuangan itu
Sinta mengisahkan perjalanan hidupnya.
Sebuah kisah yang luar
biasa yang kemudian di tulis oleh Resi Walmiki menjadi kitab wiracarita
Ramayana yang berarti Perjalanan Rama bukan Sintayana. Kitab itu ditulis dalam
bentuk kidung atau syair nyanyian yang dalam khasanah budaya jawa di sebut
dengan serat. Jumlah kidung itu hampir enam ratus bait. Kedua anak Rama
menghapal dengan baik kidung itu, sampai suatu ketika nanti dibukukan dan
menjadi kisah yang sampai sekarang masih di baca orang.
Beberapa tahun kemudian
melihat kepandaian kedua anak kembarnya, Rama memanggilnya kembali ke istana.
Keberadaan kembali Sinta di kerajaan memunculkan kasak-kusuk lagi di kalangan
rakyat. Masalah kesucian dan kesetiaan Sinta dipergunjingkan. Kasak-kusuk itu
akhirnya masuk juga ke istana. Rama kembali gelisah di atas kursi tahtanya.
Sinta juga gamang hati adanya orang yang menghembuskan kasak-kusuk itu. Hati
Rama semakin ragu-ragu, tapi kasak-kusuk itu semakin tak terkendali. Sekali
lagi Rama minta kesediaan istrinya untuk berkorban demi kebaikan semua orang.
Sinta heran dengan keraguan hati Rama yang bimbang terombang-ambing kasak-kusuk
itu. Bukankah Rama cukup mengenal siapa Sinta yang sebenarnya. Rama juga bisa
mengukur kesetiaan Sinta.
Demi kesetiaan Sinta
rela berkorban untuk terakhir kali "Kanda
Prabu, dua kali kobaran api sudah membuktikan kesucian dan kesetiaan hamba dan
masih dianggap belum cukup. Kali ini adalah yang terakhir, jika saya tidak suci
atau tidak setia, maka bumi akan menolak saya."
Tiba-tiba bumi
terbelah, kemudian Dewi Pertiwi sebagai penguasa bumi keluar menjemput Dewi
Sinta untuk diajak masuk ke dalam bumi. Beberapa saat kemudian bumi kembali
menutup dan Dewi Sinta tidak lagi muncul. Bumi tidak menolaknya yang berarti
Dewi Sinta masih suci dan setia sampai matinya. Dewi Sinta berkurban merelakan
dirinya ditelan bumi dan menumbuhkan kesuburan. Sebagian orang Jawa bahkan
yakin Dewi Sinta atau Dewi Sri muncul sebagai padi sebagai sumber pangan kita. Rama
sangat menyesal kemudian pergi ke hutan hidup menjadi pertapa setelah
menyerahkan kerajaan kepada putranya.
Kesetiaan dan
pengorbanan wanita seolah tidak mengenal dimensi dan waktu. Dari jaman dahulu
kala, saat ini juga dimasa depan. Juga tidak terikat dimensi, bisa saja itu
terjadi di keluarga, tempat kerja, negara, bangsa, dunia bahkan peradaban
manusia selalu menempatkan wanita dalam kondisi harus setia dan siap berkorban,
seperti Dewi Sri. Bukankah semua agama memuliakan wanita?
Untukmu, Dewi-Dewiku!
(Urd2210)
Bumi Para Nata
03/04/2017
0 on: "Legenda Dewi Sri : Antara Nasi dan Ejawantah Pengorbanan Wanita"