![]() |
Ilustrasi |
Akarasa – Selamat
datang kerabat akarasa. Budaya Jawa sering kali banyak menampilkan aspek
mitologi, sedemikian kuatnya aspek mitologi ini sehingga tak jarang
meminggirkan fakta-fakta sejarah yang sudah jelas sekalipun. Alas Ketonggo
salah satu contohnya.
Alas Ketonggo dalam ranah
Mistik Kejawen atau kita lebih sering mengenalnya dengan kebatinan Jawa memang
tidaklah asing. Di alas (hutan) kecil ini banyak menyimpan mitos dan legenda
yang melintas jaman. Artinya, meski dunia sudah sedigital ini, mitos dan
legenda tersebut masih sangat mengakar kuat bagi yang mempercayainya, baik
secara histori sejarah maupun secara spiritual.
Memang kalau kita
cermati lebih mendalam, Mistik Kejawen lebih merupakan sikap hidup keagamaan
orang Jawa, karena kenyataannya Mistik Kejawen dalam praktek kehidupan
sehari-hari menjadi semacam agama orang Jawa yang bersifat mistik. Pola hidup
mistik seakan telah menjadi bagian dari kehidupan masyarakat Jawa, sehingga
menjadi bentuk kepercayaan masyarakat. Sederhananya, secara historis Mistik
Kejawen (kebatinan) dapat diartikan sebagai kebudayaan spiritual, “Agama ageming
Aji, Kawruh kawruhing Ratu”.
Sedikit saya kutipkan
tentang hakekat Mistik Kejawen (kebatinan) yang merupakan sikap keagamaan
masyarakat Jawa menurut pandangan De Jong. Dalam bukunya, De Jong mengatakan
bahwa Mistik Kejawen itu tidak berdasar pada doktrin tertentu, namun demikian
dalam aliran yang beraneka ragam terdapat penekanan-penekanan yang sama.
Pandangan tentang konsep manusia, kesatuan dan perkembangannya terdapat
kesamaan. Para penganut mistik dituntut untuk menjadi manusia yang “Sepi ing
Pamrih, rame ing gawe” dan ikut “memayu hayuning Bawana” (Banyak bekerja bhakti
dengan tanpa mementingkan keuntungan pribadi dan ikut membentuk dunia yang
indah dan makmur), inilah yang menjadi pedoman dan falsafah aliran-aliran
kebatinan.
Baik, kita kembali lagi
pada topik awal, yakni Alas Ketonggo. Bicara tentang lokasi Alas Ketonggo ini,
ada banyak tempat yang merujuk nama yang sama. Sebut saja di antaranya, Alas
Ketonggo di Ngawi atau sering disebut juga Alas Srigati. Kemudian, di Kalasan,
Yogyakarta atau sering disebut Bathok Bolu Isi Madu. Di daerah Blora, dekat
dengan komunitas Samin juga disebut Alas Ketonggo, dan masih ada beberapa
tempat lagi dengan penyebutan yang sama, Alas Ketonggo. Tapi secara lokasi atau
obyek yang sesungguhnya, Alas Ketonggo berada di Alas Purwo. Meski demikian,
semua tempat yang saya sebutkan di atas diyakini masyrakat setempat sebagai
pusat kraton gaib yang terus dibangun dan tak kunjung selesai.
Sebagaimana kita
ketahui bersama, budaya Jawa banyak pesan yang diwujudkan dalam bentuk sanepan
dengan makna yang tersirat, bukan tersurat untuk generasi-nya, agar tidak
lengkang oleh perkembangan zaman. Nah, berikut ini saya nukilkan makna Alas
Ketonggo dalam makrifat Jawa.
Ditilik dari namanya, Alas
Ketonggo, "alas" berarti hutan, dasar pokok atau keramaian. Ketonggo
berasal dari kata "katon" (terlihat) dan "onggo" (makhluk
halus) atau makhluk halus atau kehidupan yang halus yang katon atau kelihatan.
Bertelekan pada sanepan
di atas, secara ekplisit menjelaskan bahwa siapapun yang meyakini keberadaan
Tuhan harus meyakini adanya alam rohani, tempat kehidupan makhluk-makhluk
rohani atau gaib. Seperti halnya tentang keyakinan adanya kehidupan setelah
terjadi kematian, yaitu alam kehidupan gaib atau alam rohani bagi para arwah
yang telah meninggalkan dunia atau alam kehidupan jasmani.
Siapapun yang hendak
menuju kehadirat Tuhan-nya esok sebagai tujuan atau perjalanan akhir harus
memahami alam kehidupan rohani. Jelasnya, siapapun untuk tertuju kehadirat-Nya
harus melewati tujuh lapisan alam kehidupan rohani atau harus melewati
perjalanan langit ke tujuh. Selagi dirinya masih terbelenggu oleh pengetahuan
akal alam jasmani dengan mengandalkan perangkat tubuh jasmani dan inderanya, maka
mereka ini tidak akan pernah mampu mengerti dan memahami dimensi kehidupan alam
gaib tersebut.
Memang, dalam hidup di
dunia ini kita tidak bisa melepaskan begitu saja alam kehidupan jasmani yang
memang sebagai pijakan dasar yang tidak bisa ditinggalkan selama menjadi
manusia. Namun yang tak kalah penting juga, dalam Mistik Kejawen setidaknya ada
tujuh alam kehidupan rohani yang akan kita alami.
Sementara untuk
mengetahui kehidupan alam rohani, maka kita terlebih dahulu harus memahami
sinandi (bahasa yang tersirat) Alas Ketonggo, yang sejatinya adalah kehidupan
jagad alit kita sendiri.
Bahasa sanepan di atas,
bisa kita umpakan ketika kita ada di hutan lebat, yang mana pada situasi
tersebut kita akan mengalami kekosongan, sepi, dan jauh dari aktivitas hiruk
pikuk manusia. Tentu di dalam kesepian, kekosongan dan keheningan kita akan
menjumpai keramaian yang melebihi aktivitas alam jasmani yang senyatanya.
Itulah pengertian dasar Alas Ketonggo.
Hal ini senanda dengan
ungkapan, kosong adalah isi, isi adalah kosong. Maya itu katon dan katon itu
maya. Itulah pokok-pokok pengertian rohani Alas Ketonggo yang sesungguhnya
menyimpan rahasia atau tabir pengetahuan dan pengertian dalam menyikapi
kehidupan bersama.
Memahami sifat dan
peran fenomena energi udara dan nafsu di dalam kehidupan ini akan mengungkap
segala pencarian aktivitas keramaian akan mendapatkan kesepian dan mencari
keheningan dan kesepian akan mendapatkan keramaian. Hanya orang yang beralaskan
kesadaran saja yang mampu mengungkap rahasia tersebut. Alas Ketonggo adalah
ekspresi kehidupan jiwa itu sendiri yang terdapat fenomena energi udara dan
nafsu yang harus kita kendalikan dan kita atur demi kebaikan hidup diri kita
sendiri maupun untuk sesama.
Fenomena energi udara
dan nafsu di dalam jiwa manusua hakekatnya ada pada pikiran, perasaan dan
budinya yang syarat dengan adanya kegiatan maya dan samar seperti angan-angan,
harapan, khayalan, imajinasi dan impian. Bukankah fenomena energi itu seperti
aktivitas makhluk halus di alam maya atau alam rohani yang sulit ditentukan
oleh siapapun yang tidak mengetahui dan memahaminya. Nah, berpedoaman pada
pengertian ini, maka siapapun yang mampu menyatakan segala perwujudan yang maya
dan samar maka disebut mengalami Alas Ketonggo.
Melihat dan mengalami
hingga terampil bertahan hidup di Alas Ketonggo (jiwa) adalah yang seharusnya
dialami dalam kehidupan setiap manusia, agar mereka membuahkan cipta, rasa dan
karsa karya nyata untuk membangun hidup dunia untuk sesamanya. Siapapun yang
telah lulus dari Alas Ketonggo akan menjadi pemimpin bagi umat manusia dan
segenap makhluk hidup beserta alam semesta ciptaan-Nya.
Kemudian tentang onggo.
Penegrtian ini bisa kita simpulkan bahwa dalam hidup jangan sampai hidup
dikuasai oleh jagat onggo-onggo atau jagatnya para dedemit atau makhluk halus
yang serba menebar kebingungan, kekhawatiran, ketakutan, mudah heran (gumunan)
tetapi kita yang harus menguasainya. Oleh sebab itu, kuasailah Alas Ketonggo
(jiwa). Dalam konteks ini, bisa juga kita maknai bahwasanya, siapapun yang bisa
menguasai Alas Ketonggo (jiwa) akan memahami pengertian Sastra Jendra
Hayuningrat Pangruwataning Diyu, agar kita tidak dikuasai oleh mereka yang
menguasai segala hal yang samar atau yang tidak jelas, seperti kekhawatiran,
kebingungan, ketakutan, dll.
Seperti juga yang kita
tahu, pengertian takut secara harfiah adalah pada dasarnya ketakutan,
kekhawatiran, kebingungan dan ketakutan hanyalah untuk siapapun yang belum
genap pengertian dan pengetahuannya. Selama manusia mengalami ketakutan,
kekhawatiran dan kebingungan, berarti mereka masih dikuasai dan dibelenggu oleh
setan atau iblis beserta walinya, yang berkarya menguasai dan membelenggu hidup
itu sendiri.
Alas Ketonggo adalah
sinandi (bahasa yang tersirat) bagi setiap manusia yang harus diketahui
rahasianya, agar kita genap disebut
manusia yang hidup karena titah Tuhan, bukan hidup karena asal atau Waton
hidup. Siapapun yang belum memahami apa yang tersirat dalam Alas Ketonggo akan
tersesat, karena sebuah dasar pengetahuan pokok dalam melakukan perjalanan
hidup yang sekaligus sebagai perjalanan rohani.
Dalam konteks lebih
luas, sejarah dan jati diri dan identitas bangsa ini sejatinya tersimpan
memorinya di dalam Alas Ketonggo. Siapapun yang mengebalinya akan mengungkapnya
dengan melihat aktivitas leluhurnya di alam rohani Alas Ketonggo. Memasuki Alas
Ketonggo akan membuat kita cerdas, berpengetahuan dan berpengertian luas untuk
menyelesaikan segala permasalahan yang ada. Bahkan segala pengetahuan yang
telah punah dan sirna oleh zaman masih tersimpan rapi di Alas Ketonggo, tentu
mendapatkannya dengan berinteraksi di dalam pengetahuannya.
Bagi siapapun yang
berhasil mengupas Alas Ketonggo akan menjadi sosok pemimpin, sebab dengan
pengetahuan dan pengertiannya akan membuahkan terang bagi yang mengalami
kegelapan pengetahuannya dan menjadi pembebas penderitaan. Bangsa yang besar
tetap terus berjuang menemukan dan mempertahankan jati diri dan identitasnya,
dengan berjuang mencapai pencerahan atau kemerdekaan menuju kedamaian,
ketentraman dan kemakmuran baginya. Bukankah kesengsaraan dan derita adalah
simbol dari neraka dan simbol kebahagiaan, kemerdekaan, kebebasan, pencerahan,
kemakmuran, kedamaian dan ketentraman adalah simbol surga.
Alas Ketonggo, yang
juga kita pahami bersama selalu dikait eratkan dengan akan munculnya sosok
Satria Piningit. Pemaknaan tentang Satria piningit akan muncul dari Alas Ketonggo,
dengan tanda munculnya Bathok Bolu Isi Madu sejatinya adalah sinandi untuk
perjalanan rohani. Bathok Bolu Isi Madu adalah makna tersirat dalam Sastra
Jendra Hayuningrat Pangruwataning Diyu yang diawali dengan pembukaan delapan
lubang atau pintu gerbang energi kehidupan agar terbuka pintu yang kesembilan.
Hanya Satria piningitlah
dalam pengertian tersirat yang mampu membuka kedelapan pintu gerbang atau yang
disebut bathok Bolu Isi Madu. Olehnya, ke delapan pintu gerbang terbuka di
dalam bathok bolu isi madu oleh satria piningit, kemudian satria piningit mampu
membuka pintu gerbang kedelapan, maka satria piningit menjadi Ratu Adil. Munculnya
Bathok Bolu Isi Madu sebagai tanda keberhasilan satria piningit, jika berhasil
membuka pintu gerbang kebebasan dan pencerahan hidup. Pintu gerbang kesembilan
jika terbuka maka satria piningit akan melepaskan ikatan duniawi lapis tujuh,
hingga disebut sebagai Ratu Adil atau Ingkang Sinuwun atau Ingsun.
Sejatinya, Satria
piningit itu adalah diri kita sendiri atau pribadi sejati atau roh sejati yang
menguasai hidup, yang disebut Ingsun. Pertanyaannya, mengapa alas ketonggo
menjadi sinandi pencerahan rohani dan jasmani beserta keberhasilan umat
manusia, di dalam pengetahuan luhur budaya Jawa? Baik, mari kita kaji bersama
pertanyaan ini.
Alas walaupun disebut
hutan yang oleh beragam makhluk hidup seperti pepohonan, hehewanan serta
makhluk halus yang berasal dari arwah-arwah para leluhur masa silam, sebagai
ekspresi fenomena udara dan nafsu kita semua, yang liar dan terkendali. Sanepan
ini adalah sinandi. Dalam hal ini Alas Ketonggo sebagai sinandi kehidupan jagat
cilik (udara dan nafsu-kita) dan jagat gedhe (alam semesta).
Alas ketonggo dalam
pengertian jagat cilik adalah fenomena kehidupan kita, yang pada dasarnya sulit
dikendalikan tetapi harus mampu kita kendalikan. Sedangkan alas ketonggo dalam
arti makro atau dalam pengertian nyata, seperti Kraton beserta Raja-nya sebagai
sentral budaya, tempat-tempat yang dimitoskan atau disakralkan dalam kegiatan
peziarahan. Arti pesan yang mendalam bahwa kita tidak bisa meninggalkan budaya
dan sejarah masa lalu.
Alas Ketonggo tempat
arwah-arwah para leluhur yang telah meninggalkan dunia puluhan hingga ratusan
tahun, namun belum berpulang dihadirat Tuhan, dan masih menyimpan rapi di dalam
tubuh halus maniknya. Banyak pengetahuan masa silam yang sebagai simbol jati
diri dan identitas bangsa yang tersandikan di Alas Ketonggo. Karena itu,
kehidupan para arwah leluhur masih aristokrat, sesuai peradaban budayanya pada
masa lalu.
Peradaban budaya
beserta nilai-nilai luhur masa silam tersebut menyimpan potensi kekuatan identitas
dan jati diri bangsa. Ketika suatu bangsa ingin jaya dan menjadi terang dunia
harus berpijak pada budaya atau jati diri dan identitas itu sendiri. Hal ini
senada dengan ungkapan Soekarno, Jasmerah, jangan melupakan sejarah atau budaya
leluhur bangsa ini, jika melupakan sejarah dan budaya, maka hal ini adalah awal
mula kelemahan dan akan berangsur suatu identitas bangsa.
Dengan memahami bahasa sandi
Alas Ketonggo, maka rahasia dan kenangan masa lalu yang membantu siapapun yang
tergerak akan dapat menemukan jati diri dan identitas. Karena di Alas Ketonggo
ini banyak menyimpan sejarah.
Meskipun sandi Alas
Ketonggo disebut dan dikatakan mitos bagi pemahaman modern, tetap mereka jaya
sebagai pusat pemikiran dikarenakan berangkat dari mitos atau yang disebut
angan-angan, harapan, cita-cita, impian, dll. Bangsa manapun tidak akan maju
dan jaya jika meninggalkan angan-angan, harapan, cita-cita, keinginan,
keinginan, harapan, impian yang kesemuanya adalah simbol mitos.
Alas Ketonggo adalah sandi
untuk menggali jati diri dan identitasnya sebagai awal mengumpulkan kekuatan
untuk terbebaskan dari kesengsaraan, derita, ketidaktentraman dan
ketidakdamaian, ketidakmakmuran, kemiskinan dan belenggu bangsa. Bangsa yang
telah jaya menggali budaya asalnya sendiri melalui prosesi sinandi Alas Ketonggo
dengan menghormati perjuangan leluhurnya.
Bagaimana bisa jika
suatu bangsa bangsa atau bahkan diri kita sendiri akan mendapatkan pencerahan
dan kemerdekaan hidup bagi bangsa kita sendiri, jika kita saling berjuang demi
kepentingan dan kekuasaan kelompok. Salah satu nasehat sinandi Alas Ketonggo, "Janganlah
energi jiwa udara dan nafsu saling bertubrukan menyalakan api kesengsaraan yang
menambah dirimu atau bangsamu saling terbelenggu dan membelenggu".
Jika energi jiwa udara
dan nafsu saling bertubrukan atau bertabrakan maka mereka akan saling memiliki
kebingungan, saling memiliki kekhawatiran, saling memiliki ketakutan, sekalipun
hal itu terungkap atau tidak terungkap. Dengan memasuki Alas Ketonggo, kita
akan mendapati banyak pengetahuan yang mengisi kekurangan dan kelemahan diri
kita, agar kita tidak mudah bingung, takut, khawatir, menderita dan sengsara.
Memasuki alas ketonggo
dibutuhkan seni ketrampilan melepaskan belenggu tubuh jasmani, jika tidak
memiliki hanya akan dapat kesunyian dan aktivitas kesendirian tanpa arti dan
makna seperti melamun atau menghayal. Memang tidk mudah, namun bukan berarti
tidak bisa, alangkah lebih lengkapnya jika setiap kita yang memiliki kecerdasan
akal jasmani, kemudian memiliki kecerdasan rohani di dalam pikiran, perasaan
dan budi, maka pengetahuan dan ketrampilan kita akan disebut seimbang. Karena
sejatinya keseimbangan diperlukan jika memasuki alas ketonggo, agar akal
jasmani dipersiapkan agar tidak mengalami gejolak keterbatasan dengan kehidupan
rohani. Nuwun.
0 on: "Makna Simbolik Alas Ketonggo dalam Mistik Kejawen"