Akarasa – Selamat datang
kerabat akarasa. Sebagai orang yang lahir dan besar di kampung, bahasa pertama yang saya kuasai adalah bahasa daerah. Tentu saja dalam hal ini adalah bahasa
Jawa, sebagaimana saya terlahir sebagai orang Jawa. Maksud saya kuasai disini
adalah bahasa ngoko lo ya, bukan bahasa kromo inggil. Tapi saya rasa hal ini
bukan berlaku untuk saya pribadi, mungkin terjadi pada sampeyan juga.
Salah satu keunikan
Bahasa Jawa adalah terletak pada kekayaan perbendaharaan kata dan bunyinya yang
lugas. Dulu saya sempat mengira orang Jawa memiliki kemampuan linguistik yang
buruk, karena setiap kali menggunakan Bahasa Indonesia, dikit-dikit menggunakan
kata "anu". Bahkan tak jarang orang Jawa berkata: "Anunya sudah
dianu-kan?". Lah terus piye jal mengartikannya, ini maksudnya apa, ora jelas. Tapi sebenarnya
fenomena semacam itu dikarenakan orang Jawa sering kesulitan menemukan kata
bahasa Indonesia (melayu) yang tepat untuk suatu maksud dalam bahasa Jawa.
Sebagai contoh saja, misalnya
kalimat ini, "Bocah cilik iku kunduran montor". Nah terjemahan ke
bahasa Indonesia-nya susah, jadinya pun panjang, "Anak kecil itu tertabrak
mobil yang tanpa sengaja sedang mundur ke belakang".
Selain itu banyak pula
kosakata Jawa ngoko yang susah diterjemahkan ke Bahasa Indonesia, misal: kata
"Jatuh" bisa memiliki varian yang bermacam-macam, antara lain seperti
dibawah ini;
- Tibo : artinya jatuh (secara umum).
- Ceblok : sesuatu yang jatuh dari atas, misal buah jatuh dari pohon.
- Lugur : hampir sama dengan Ceblok.
- Roto : hampir sama dengan Ceblok dan Lugur.
- Njlungup : orang yang jatuh ke depan dari tempat yang tinggi - Nyosop : Orang yang jatuh tersungkur ke depan dengan terantuk mukanya.
- Ndlosor : Hampir sama dengan Nyosop - Nyungsep : hampir sama dengan Nyosop dan Ndlosor tapi lebih parah.
- Njungkel : jatuh terjungkal ke belakang.
- Nggeblag : hampir sama dengan Njungkel tapi terdengar bunyinya "blak!!"
- Mblasah : Diperuntukkan untuk benda cair yang jatuh dan berceceran.
Istilah di atas belum
termasuk berbagai varian dialek antar daerah di Jawa yang mungkin sedikit
berbeda lafalnya, tapi mengacu pada maksud yang sama. Saking kayanya Bahasa
Jawa, sampai-sampai anak-anak hewan lengkap punya nama sendiri-sendiri.
Anak kucing = cemeng,
anak jaran (kuda) = belo, anak macan (harimau) = gogor, anak bajul (buaya) =
krete, anak iwak (ikan) bandeng = nener, anak cecek (cicak) = sawiyah, dsbnya.
Bahasa Jawa juga kaya
permainan kata, yang biasa disebut parikan, sanepa, dan nyandra. Apalagi kalau
sudah bicara tingkatan-tingkatan dalam Bahasa Jawa, ada ngoko (bahasa
awam/kasaran), ngoko alus (agak halus), kromo inggil (bahasa halus dan
terhormat), dan bahasa Jawa Kawi yang memiliki kehalusan dan nilai sastra yang
tinggi.
Saat ini sudah jarang
generasi anak-anak Jawa asli yang mampu menguasai ragam bahasa Jawa dengan
mahir. Justru orang-orang Belanda dan mancanegara lain banyak yang tertarik dan
mendalami sastra Bahasa Jawa dengan sangat baik. Bapaknya kolega dekat saya yang
mahir berbahasa Jawa pernah bercerita bahwa guru mata pelajaran Bahasa Jawa-nya
dulu (jaman sebelum merdeka) adalah orang Belanda, dia sangat mahir sastra
Jawa.
Sepenggal cuplikan di
atas mencerminkan betapa kayanya nilai Bahasa Jawa dari segi linguistik. Dan
biasanya kekayaan suatu bahasa mencerminkan tingginya peradaban masyarakatnya.
Sayang seribu sayang, generasi anak-anak Jawa hari ini lebih suka belajar
bahasa asing daripada belajar Bahasa Jawa. Walhasil transfer nilai budaya lokal
juga semakin terdegradasi.
Fenomena ini barangkali
juga terjadi pada bahasa suku-suku lain di Nusantara, saya tidak tahu pasti.
Tapi yang jelas UNESCO (2009) menyatakan bahwa dari 742 bahasa daerah di
Indonesia, 169 di antaranya terancam punah. Punahnya suatu bahasa menyebabkan
hilangnya berbagai bentuk dari warisan budaya, khusus warisan tradisi dan
ekspresi berbicara masyarakat penuturnya, mulai dari sajak-sajak dan cerita,
hingga peribahasa dan lelucon-lelucon. Nuwun.
0 on: "Mengulik Ragam dan Kekayaan Bahasa Jawa"