Akarasa – Selamat
datang kerabat akarasa. Bagi penggemar wayang khususnya, gunung Indrakila tentu
tidaklah asing lagi. Gunung Indrakila ini sering disebut dalam babar wayang
dengan lakok Partadewa, Mintaraga, ataupun Begawan Ciptoning. Selain itu, di
gunung Indrakila inilah penengah Pandawa, Arjuna melakukan mesu budi (bertapa)
untuk memohon anugerah dari para dewa.
Penamaan Indrakila
sendiri sebenarnya merujuk pada Kailasa, yakni tempat persemayaman Dewa Siwa di
Himalaya. Hal ini sesuai perintah Khrisna kepada para Pandawa seusai kalah
dalam permainan dadu, bahwa masing-masing dari kelima Pandawa tersebut harus
melakukan perjalanan solo terlebih dahulu guna mencari bekal seandainya
peperangan dengan para Kurawa tidak bisa dielakkan. Nah, khusus untuk Arjuna,
Kresna menunjukkan tempat Indrakila ini untuk bertapa memohon sebuah pusaka
dari Dewa Siwa.
Kitab Arjuna Wiwaha
sendiri merupakan turunan dari cerita Wanaparwa, bab ketiga dari Mahabarata,
yang ditulis oleh Mpu Kanwa pada jaman pemerintahan Raja Airlangga di Kerajaan
Medang, Jawa Timur, pada tahun 1019 sampai dengan 1042 Masehi. Sedangkan
kakawin ini diperkirakan digubah sekitar tahun 1928 – 1935 M. Arjuna Wiwaha
menceritakan Arjuna yang sedang bertapa di gunung Indrakila (dalam cerita
wayang kulit dikatakan lebih spesifik, yakni goa Pamintaraga, di lereng gunung
Indrakila) mendapat berbagai ujian dari para dewa hingga akhirnya menerima
pusaka berupa panah Pasopati kemudian berhasil membunuh raja raksasa
Niwatakawaca yang menyerang kahyangan dengan cara menyusupkan salah seorang
istrinya sebagai mata-mata. Sebagai hadiahnya, Arjuna diangkat menjadi raja di
kahyangan Jonggring Saloka selama tujuh hari tujuh malam dan dinikahkan dengan
tujuh bidadari.
Beberapa peneliti ada
yang menyebut kalau cerita Arjuna Wiwaha adalah kisah pribadi perjalanan Airlangga
setelah menjadi menantu raja Dharmawangsa sampai menjadi raja di Medang. Mulai dari
acara wiwoho (pernikahan) Airlangga, peristiwa pralaya ( terbunuhnya raja
Dharmawangsa saat penyerangan kerajaan Wora Wari ke Medang), pelarian Airlangga
bersama istrinya dan Narotama, sampai saat Airlangga berhasil menjadi raja di
Medang dan mengalahkan kerajaan Wengker juga dengan cara memyusupkan
mata-mata.
Begawan Ciptoning
Sesuai dengan intruksi Krisna, Arjuna menuju gunung Indrakila. Karena sudah masuk
dalam masa hukuman pembuangan selama tiga belas tahun maka Arjuna menyamar
menjadi seorang resi atau pandhita dengan menggunakan nama samaran Begawan
Ciptoning agar tidak dikenali oleh para Kurawa. Di dalam sebuah goa, setelah
menanggalkan semua senjatanya, Arjuna melakukan laku tapa brata. Ciptoning,
dari bahasa Jawa yang berasal dari dua suku kata, Cipto (pikiran) dan Hening
(jernih).
Untuk menguji keteguhan
hati Arjuna, maka para dewa melakukan berbagai ujian guna menggagalkan
pertapaan Arjuna. Turunlah tujuh bidadari dari kahyangan di hadapan Arjuna.
Kecantikan wajah, kemolekan tubuh, kemerduan suara, semua ditawarkan cuma-cuma
kepada Arjuna. Sebagai seorang laki-laki, ini adalah ujian yang sangat berat
untuk Arjuna, dimana dia harus bisa mengendalikan hawa nafsunya. Dan, Arjuna
pun berhasil menolak godaan birahi tersebut.
Ujian selanjutnya,
dalam suasana hujan lebat datanglah seorang tua renta. Arjuna pun menawarinya
untuk masuk goa agar bisa berteduh. Setelah bertanya jawab lalu orang tua tersebut
bercerita bahwa kampungnya sudah dirusak oleh seekor babi hutan yang mengamuk.
Mendengar cerita demikian, Arjuna segera mengambil senjatanya untuk memburu
babi yang mengamuk tersebut dan berhasil membunuhnya. Dari sinilah, akhirnya
Arjuna mendapat anugerah dari Dewa Siwa berupa panah Pasopati.
Nglakoni
Nglakoni dalam bahasa
Jawa berarti menjalankan, dari kata laku yang berarti jalan (kata kerja).
Ritual nglakoni dalam tradisi masyarakat Jawa adalah bentuk sebuah laku tapa
brata peningkatan spiritual guna meraih cita-cita yang diinginkannya. Berbagai
macam laku tapa brata dalam kepercayaan masyarakat Jawa tadi biasanya dibarengi
dengan puasa dan pengendalian diri. Namun secara harfiah, masyarakat Jawa
mengartikan laku dengan proses. Mereka menyakini bahwa untuk mewujudkan sebuah
keinginan harus didasari dengan proses, karena keberhasilan bukan sesuatu yang
jatuh dari langit begitu saja.
Pentingnya nilai proses
tergambar jelas pada salah satu bait tembang Pocung di Serat Wulangreh (ajaran
untuk mencapai sesuatu) karya Pakubuwono IV, raja Surakarta. Ngelmu iku kalakone kanthi laku, lekase
lawan kas, tegese kas nyantosani, setya budya pangekese durangkara, (ilmu
itu bisa dikuasai harus dengan cara, cara pencapaiannya dengan cara kas,
artinya kas berusaha keras, kokohnya budi akan menjauhkan diri dari watak
angkara). Bila seseorang mengabaikan nilai proses maka akan sulit mengendalikan
diri, tergambar di salah satu bait lanjutannya. Durung becus kesusu selak besus, amaknani rapal kaya sayid weton mesir,
pendhak pendhak angendhak gunaning jalma (belum menguasai sudah berlagak
pintar, menerangkan ayat seperti sayid dari Mesir, setiap saat meremehkan orang
lain).
Dari jagad pewayangan
pun, masyarakat dibebaskan untuk ngonceki (mengupas) pesan yang tersirat dari
dialog maupun dari adegan di setiap segmennya tentang ajaran pengendalian diri.
Seorang tua pernah mengatakan kepada saya, kenapa setiap ksatria ketika sedang
melakukan laku selalu berada di hutan dan bertarung dengan Buta Cakil? Menurut
beliau, hutan adalah tempat yang sepi atau juga gambaran keruwetan masalah,
desire, serta banyaknya keinginan manusia. Ketika seseorang sedang mengalami
hal-hal tadi maka sebaiknya dia sejenak menyingkir dari keramaian untuk laku
kendali diri yang diibaratkan dengan mengalahkan buta cakil sebagai perwujudan
nafsu diri sendiri. Masih menurut beliau, menyingkirkan diri, bukan meminta
orang lain yang menyingkir, karena proses pengendalian diri itu internal
sehingga tidak ada yang merasa dirugikan.
Lakon Begawan Ciptoning
adalah contoh jelas tentang laku pengendalian diri. Ketika mempunyai keinginan,
tempat untuk memohon Arjuna adalah pada yang Maha Kuasa (Kailasa) dengan cara
mendekatkan diri kepada-Nya. Laku tapa brata yang dia jalani adalah bentuk
sebuah proses kerja keras. Dia tidak menyembunyikan diri dari kedatangan tujuh
bidadari yang menawarinya kenikmatan duniawi, dengan kejernihan pikir akan
tujuan utamanya, dia berhasil mengendalikan dirinya sehingga tidak jatuh dalam
godaan yang diberikan para wanita-wanita cantik tersebut.
Tanya jawab seorang tua
renta dengan Arjuna. Mengapa seorang yang bertapa brata mendekatkan diri kepada
Yang Maha Kuasa membawa senjata? Arjuna menjawab, senjata tersebut adalah
dharma seorang ksatria. Selama proses spiritual, Arjuna tidak pernah melupakan
tugas-tugasnya di dunia sebagai seorang ksatria yang digambarkan dengan
melindungi penduduk desa lewat cara membunuh babi hutan. Bahwa selama proses
laku tapa brata (pengendalian diri), kewajiban dunia dan spiritual harus tetap
berjalan seimbang. Mengejar nilai spiritual tanpa melupakan kewajiban dunia,
begitu juga sebaliknya, mengejar nilai dunia tanpa melupakan kewajiban
spiritualnya.
Setelah mendapatkan
pusaka dari Dewa Siwa, Arjuna lalu berperang melawan raja raksasa Niwatakawaca.
Arjuna menggambarkan bahwa dalam proses pengendalian diri, dia tetap bisa
menebar kebaikan pada masyarakat banyak. Setiap orang bisa memberi manfaat
kepada orang lain. Yang kuat melindungi yang lemah, yang pintar mengajari yang
bodoh, yang kaya membantu yang miskin, dan yang besar menuntun yang kecil.
Secara umum, Begawan
Ciptoning memberi pesan bahwa keseluruhan hidup adalah bentuk sebuah laku tapa
brata atau proses dalam mencapai tujuan duniawi dan spiritual. Jadi,
keseluruhan hidup adalah bentuk pengendalian diri. Nuwun.
0 on: "Pesan Penting Dari Begawan Ciptoning"