Jogja.. Jogja.. tetap istimewa…Istimewa negerinya… istimewa orangnya…Jogja.. Jogja.. tetap istimewa..Jogja istimewa untuk Indonesia… (Jogja Hip Hop Foundation)
Akarasa – Sugeng rawuh
kadang kinasih akarasa. Barisan kalimat di atas pembuka tulisan ini adalah
petikan syair dari lagu Jogja Istimewa. Latar belakang terciptanya lagu ini
adalah penolakan masyarakat Jogja terhadap RUU Keistimewaan Yogyakarta oleh pemerintah
pusat pada Desember 2010 silam, semasa kepemimpinan presiden SBY.
Namun pada kesempatan
ini saya tidak hendak membincang tentang penolakan tersebut, tapi lebih kepada
kalimat Istimewa yang sekarang menjadi jargon baru untuk kota pelajar dan budaya
ini. Sebagai bagian dari sekian juta manusia yang hidup di Jogja ini, masih
kerap saya temui kentalnya budaya tersebut. Salah satunya adalah bentuk
penghormatan kaum ningrat atau priyayi di sini. Seringkali saya temui untuk
memanggil kaum ningrat ini dengan sebutan, gusti. Ada yang salah? Tentu tidak.
Justru karena inilah saya ingin menguliknya pada kesempatan ini.
Kaum ningrat atau
bangsawan, dalam sebutan lain yang lebih familiar kita dengar adalah dengan
menyebutnya Priyayi. Priyayi ini berasal dari kata ‘para yayi’, yakni adik dari
raja. Maksud adik disini bukan hanya adik secara biologis, namun juga adik
ideologis. Priyayi merupakan sebuah kelas di masa tumbuhnya kerajaan-kerajaan
besar, terutama di Jawa, seperti yang banyak ditunjukkan di kerajaan Mataram
Islam, termasuk di Jogja.
Sederhananya Priyayi
berarti sebuah kelas sosial di masyarakat yang berasal dari bangsawan, yang
tentunya, mereka adalah keturunan para raja. Priyayi adalah sebuah kelas sosial
yang diturunkan secara turun-temurun, biasanya bergelar Raden, Raden Mas,
Putri, dan lain sebagainya. Biasanya masih berkerabat dengan raja, atau
keluarga raja.
Adalah A.P.E Korver
dalam bukunya, "Sarekat Islam Gerakan Ratu Adil?", menceritakan
pergulatan seorang Soemarsono sebagai bentuk perlawanan individu, terhadap
sistem etiket kolonial tentang cara berpakaian.
Dalam bukunya Korver
menceritakan bagaimana seorang pemuda Soemarsono kecewa bukan main. Saat pagi
datang dan ia bergegas memasuki pendopo tempat kerja, rentetan ucapan penolakan
keras dari atasannya, terasa layaknya tamparan pipi yang banter. Pasalnya hanya
sederhana, dia mengenakan pakaian Eropa dan tak membungkukkan badan kepada
pejabat yang lewat –sebagai bentuk hormat- seperti lazimnya pegawai pamong
praja.
Kala itu tahun 1913,
peraturan tatacara berpakaian dan bagaimana bersikap kepada kalangan Belanda
serta golongan priyayi-pejabat, masih ketat diberlakukan. Sengaja, pemuda yang
bernama Soemarsono tersebut, berusaha melawan konvensi. Hari itu, dia tidak
memakai sarung, seperti kebiasaan sebelumnya. Soemarsono menukarnya dengan
celana dipadu jas necis. Berjalan tegak dan percaya diri, menuju kantor
karesidenan karawang, tempatnya mencari nafkah.
Rutinitas penghormatan dengan merangkak atau jongkok di tanah, saat
bertemu pejabat, pun tidak dilakukannya.
Seorang asisten residen
asal Belanda menegurnya dengan garang. Tak pelak, sanksi kontan di jatuhkan,
akibat ulah soemarsono yang menyalahi peraturan itu. Dia dipecat dengan tidak
hormat. Tidak terima dengan perlakuan itu, Soemarsono melancarkan sekian protes.
Sebagai salah seorang yang sudah memiliki kesadaran pemberontakan terhadap
kesewenang-wenangan pemerintah kolonial, Soemarsono tidak tinggal diam mendapat
perlakuan tersebut. Tak cukup dengan adu argumentasi dengan pejabat yang
menegurnya, dia pun menulis surat unjuk rasa kepada residen Batavia.
“Ketika itu saya
merasa, bahwa Asisten residen itu tidak senang hatinya, melihat saya mengenakan
pakaian Eropa” keluh Soemarsono. Lanjutnya, “Dilain hal, tidak pula saya
ketahui bahwa para pegawai tinggi disini masih sangat menghargai tata cara
penghormatan dan tradisi-tradisi adat”.
Dekade-dekade awal abad
ke 20, masyarakat Hindia timur memang sedang dibakar semangat emansipasi.
Organisasi-organisasi modern seperti Jamiat Choir, Boedi Oetomo, Sarekat Islam
hingga Indische Partij, sedang tumbuh menyemai naluri pembelaan hak hidup di
tanah koloni. Mereka menggelorakan pemberontakan nilai-nilai yang mengungkung
kemanusiaan. Upaya-upaya pendobrakan tatanan bangunan penjajah dan kelas
bangsawan yang berkolaborasi dengan pemerintah kolonial, dirintis melalui
rapat-rapat terbuka dan tulisan pada media massa. Tak hanya menangkal regulasi
pada isu-isu besar, semisal ketenagakerjaan dan hak berserikat, namun merambah
hal-hal kecil, seperti cara berpakaian dan tata penghormatan antara golongan
jelata dengan penguasa.
Apalagi sejak kewajiban
menghormat dan berpakaian tertentu, dicabut pemerintah atas warga Tionghoa.
Dampak dari keberhasilan revolusi Xinhai di Tiongkok, yang membuat pemerintah
berpikir keras untuk mencegah rambatannya ke Hindia Belanda. Akhirnya,
kebijakanpun diterapkan, dengan melepas kewajiban-kewajiban yang membatasi
ruang gerak warga Tionghoa juga keturunannya, seperti pembebasan berpakaian dan
tatacara penghormatan kepada pejabat maupun warga Eropa. Dengan melakukan itu,
pemerintah berupaya menghindari gejolak lebih lanjut, akibat deru emansipasi di
Tiongkok.
Tak mengherankan, jika
keistimewaan atas warga Tionghoa itu membuat kalangan tersebut naik kelas,
akhirnya juga memancing cemburu golongan Bumiputera Jawa. Lewat
organisasi-organisasi yang diikutinya, Bumiputera melancarkan gerakan
kesejajaran. Dijalan-jalan, mulai muncul Bumiputera yang menanggalkan
sarungnya, lantas beralih menggunakan celana. Kaki yang nyeker, dikenakan
terompah. Ikat kepala tradisional dilepas, seperti juga yang dilakukan oleh
warga Tionghoa yang menggunting kuncir-berkepang taucang tradisi dinasti Qing,
berganti model rambut a la Eropa.
Sejak masa VOC,
aturan-aturan berpakaian memang telah dicanangkan. Tujuannya tak lain adalah membuat
batas pembeda antara pendatang dan penduduk asli. Mereka membangun
simbol-simbol lewat apa yang dipakai pada badannya, untuk menyekat identitas
kebangsaan juga upaya kontrol. Kekuasaan VOC hingga Hindia Belanda, membutuhkan
alat identifikasi yang jelas, terhadap apa yang dikuasainya. Maka mereka
menerapkan regulasi-regulasi mengikat untuk jenis pakaian, bentuk rumah tinggal
hingga jenis bahasa tutur.
Penduduk Hindia Timur,
dipilah-pilah berdasar itu, guna memudahkan pengawasan terhadap pergerakan mereka.
Jika ada tindak kejahatan baik skala kecil maupun yang menganggu stabilitas
politik pemerintah kolonial, penguasa lebih gambang mendeteksinya. Lewat
pakaian, orang-orang ditandai. Mereka dari kelas sosial apa, tempat tinggalnya
dimana, termasuk bagaimana dasar-dasar kebudayaannya yang mempengaruhi cara
berpikirnya.
Kelengkapan-kelengkapan
berbusana diatur serta. Bangsa Belanda juga Eropa lainnya, mengenakan topi,
celana dan sepatu. Awalnya, saat VOC baru menginjakkan kakinya di tlatah
Nusantara, eksklusifitas itu hanya ditujukan demi mempertahankan jatidiri,
kebudayaan dan agama para penjelajah. Mereka yang mempunyai latar belakang
diluar itu, yaitu warga pribumi, di larang mengenakannya.
Kecuali bagi dua
golongan. Yaitu para bangsawan yang bekerjasama dengan pemerintah kolonial,
dengan mengakui keabsahan otoritas politik penjajah, juga untuk para jelata
berpindah agama sesuai dengan kepercayaan mayoritas pendatang atau menjadi
pembantu-pembantu di keluarga Eropa. Itupun masih belum seutuhnya lepas dari
diskriminasi. Tetap ada komponen-komponen etiket yang tetap diberlakukan.
Adalah Madame J.M.J
Catenius Van der Meijden, seorang penulis Belanda yang merupakan perintis
wacana mode di Hindia Timur, di awal abad 20. Lewat bukunya yang berjudul “Ons
huis in Indie”, atau diterjemahkan sebagai “Rumah kami di Hindia”, dia
mengkampanyekan bagaimana membuat petuah-petuah menata rumah, menyusun
kelengkapan interior, tata ruang, hingga cara berbusana bagi rumah tangga eropa
di tanah jajahan yang beriklim tropis.
Buku yang terbit di
tahun 1908 itu, dijadikan semacam pedoman berpakaian sekaligus berperilaku bagi
keluarga Belanda. Didalamnya, dinyatakan dengan jelas, tentang apa yang mesti
pakai seorang Eropa untuk bersantai, berwisata, olah raga, hingga saat mendatangi
jamuan makan malam. Tak cukup itu, kepada para pembantu mereka yang rata-rata
adalah warga pribumi, pun dikenakan ketentuan yang wajib diikuti.
Pembantu-pembantu yang
berasal dari kalangan Bumiputera itu mesti diletakkan dalam ruang-ruang khusus
dengan perlakuan yang berbeda dengan bangsa Eropa. Mereka disebut dengan
istilah “Baboe” atau si pengasuh. Tinggal di bagian rumah yang tidak memiliki
akses langsung ke keluarga Belanda. Zona yang terkategori sebagai tempat paling
berbahaya, tidak beradab dan terbuka, dalam pemahaman tata ruang rumah tangga
Belanda.
Para baboe harus
mengenakan pakaian yang berbeda dengan tuan rumah. Setiap hari kerja, mereka
mesti memakai seragam berupa celana panjang putih bagi laki-laki atau kain
sarung bagi perempuan, rompi putih longgar bermotif garis putih, merah, biru
dan kuning. Diwajibkan pula untuk menutup kepala dengan topi bermodel sama.
Bila itu terlalu rumit, Madame J.M.J
Catenius Van der Meijden, juga menyarakan untuk nyonya rumah, agar mengharuskan
pembantunya mengenakan baju Toro. Sejenis pakaian panjang hingga mencapai
lutut, berkancing banyak dibagian depan. Apa yang ditulis oleh Madame Catenius
dalam bukunya itu, kemudian menjadi rujukan bagi orang-orang belanda dan Eropa
lainnya, untuk semakin memperlebar jarak antara mereka dan penduduk pribumi.
Membangun kelas-kelas sosial yang engkah, mengukuhkan diskriminasi.
Di kalangan ningrat dan
kaum menengah sendiri, kemudahan akses ekonomi dan pengistimewaan regulasi dari
pemerintah kolonial, membuat mereka mampu menikmati cara berpakaian bergaya
Eropa. Meskipun tidak sepenuhnya mengikuti, minimal, percampuran busana telah
dilakukan.
Orang-orang jawa yang
memiliki status sosial tinggi, mengenakan kemeja berleher kaku, dasi kupu-kupu,
dan jas-jas warna gelap dengan jalinan pita, seperti halnya busana resmi kerja
milik orang-orang Belanda dan Eropa lainnya. Apalagi bagi mereka yang bisa
mengenyam pendidikan Belanda hingga taraf menengah. Pembauran cara berpakaian
pun dilakukan. Mengenakan jas berpadu sarung dan blangkon. Jenis busana begini,
kerap dipakai oleh pelajar-pelajar, HBS, OSVIA, STOVIA dan sekolah pendidikan
guru. Para pegawai rendahan seperti guru, juru tulis, juga pengusaha lokal
seperti pemilik toko.
Dalam beberapa foto
yang diteliti oleh Nieuwanhuis, seorang penulis berkebangsan Belanda yang lahir
di semarang 1908, para bangsawan Jawa juga melakukan pencampuran pakaian demi
beradaptasi dengan gelombang perubahan kebudayaan yang dibawa bangsa asing. Kaum
ningrat yang telah memiliki kontak akrab dengan Belanda itu, mendandani dirinya
dengan kreatifitas yang ragu-ragu. Antara mempertahankan ciri tradisi atau
mengikuti seutuhnya model berbusana a la Eropa.
Seperti yang
diungkapnya ketika memperhatikan foto seorang sunan di Solo, misalnya.
Bangsawan itu memilah-milah tubuh dengan apa yang dipakainya. Bagian dada
mengenakan baju bergaya Eropa, sedangkan kepala menggunakan mahkota raja dan
bagian kaki mengenakan kain sarung. Ini menandakan bahwa modernitas yang dibawa
oleh pendatang Belanda, ditanggapi dengan setengah hati. Hendak melawan tapi
tak berdaya, akhirnya mengikuti dengan penyesuaian-penyesuaian. Seakan-akan,
kalangan menengah dan bangsawan tadi berlaku sebagai jembatan, antara golongan
jelata yang memiliki status terendah dan pendatang Eropa yang menduduki status
tertinggi. Misi-misi sebagai penghubung itu terwakilkan lewat cara berpakaian
mereka yang asimiliatif. Menduduki peringkat sosial menengah, dan tetap kalah
kuasa dengan kaum yang berasal Belanda.
Pemandangan yang
kontras justru ditemukan pada apa yang dipakai oleh rakyat jelata. Di jalanan,
mereka bertelanjang dada, mengenakan kain seputar pinggang yang panjangnya
sampai lutut. Kadang, para jelata itu, mengikatkan selempang untuk menyisipkan
senjata tradisional mereka. Kepala tertutup kain ikat atau semacam topi
tradisional, sesuai dengan latar budaya kesukuan masing-masing dan berjalan
tanpa alas kaki. Mereka berbicara dengan bahasa ibunya, karena tak memiliki
kuasa untuk menjangkau pendidikan, hingga mengerti bahasa lainnya, seperti
Melayu atau Melanda.
Seorang pelancong
Belanda yang bergabung dengan VOC, Johan Nieuhoff, menceritakan apa yang
dilihatnya di ruang-ruang publik Batavia dalam buku catatan perjalanannya tahun
1682. Perbedaan yang serius, pada apa yang dipakai oleh rakyat jelata, priyayi,
pengusaha dan kalangan Eropa, terjaga kemapanannya dalam periode yang panjang.
Jelas, ini merupakan keberhasilan penguasa kolonial untuk memisah-pisah rinci
struktur sosial demi keberlanjutan kontrol. Perangkat adab yang terserta
bersamanya, diterapkan bukan untuk tujuan penghargaan kemanusiaan, tapi demi
penyekatan kelas, agar teridentifikasi jelas, mana golongan terendah dan patut
dieksploitasi dan mana yang tidak.
Maka, di dekade pertama
abad 20, lalu bersambung di masa-masa berikutnya, persoalan pakaian dan tata
krama yang diskriminatif itu paling disorot oleh gerakan-gerakan emansipasi.
Sarekat Islam, adalah organisasi yang santer menggulirkan isu kesejajaran
status sosial itu. Tak lama setelah konggres-konggres terbukanya di kisaran
1911-1913, perlawanan terhadap sekat kemasyarakatan terus membanjir.
Keberanian-keberanian rakyat jelata untuk menjebol tatanan yang sudah nyaris
membeku, tentang pakaian dan etiket, melanda sebagian besar Jawa. Termasuk yang
dilakukan oleh Soemarsono, sebagaimana yang sudah ternarasikan diawal tulisan
ini. Seorang pemuda bergelar Raden, anak seorang jaksa kepala di Magelang.
Soemarsono adalah
penghuni kelas menengah yang mendapatkan kemudahan-kemudahan akses hidup di
Hindia Timur. Dia lulusan HBS, fasih berbahasa Belanda, pegiat Boedi Oetomo,
pemrakarsa berdirinya Sarekat Islam di Purwakarta. Diantara sekian kemudahan
itu, Soemarsono gelisah dengan diskrimasi yang dicanangkan pemerintah kolonial
lewat tata berbusana, berbahasa dan tata susila. Perangkat perundang-undangan
yang meletakkan bangsa Bumiputera sebagai subsistem kebudayaan yang kalah dan
termarjinalkan. Soemarsono memberontak, memberanikan dirinya meretakkan
lapis-lapis pembeda itu.
Perubahan zaman, senantiasa
diindikasikan dengan peralihan komponen-komponen kehidupan. Pakaian, termasuk
sebagai penanda itu. Masa berganti, begitu juga dengan model baju berikut cara
memakainya. Menyeberangnya sebuah cara berpikir, pemahaman budaya, dari satu
kawasan ke kawasan lain, ditunjukkan dengan pengenalan cara-cara baru
berbusana. Secara merambat, pergeseran tata busana ini akan beriring pula
dengan perubahan cara berpikir masyarakat rambahan. Termasuk dengan berubahnya
cara berbahasa.
Pakaian tak hanya tentang bagaimana cara menutupi tubuh dan
tampil santun. Tapi juga mengenai sebuah kekuatan politik-ekonomi-budaya, yang
mengikatkan kontrol. Meneguhkan kuasanya dengan hal yang nyaris tak terasa.
Masuk dalam alam bawah sadar manusia, memaksa orang secara halus, mengenai apa
yang layak-tidak layak dipakainya. Cita rasa berbusana, yang merupakan hasrat
dasar manusia, diterabas dan didikte untuk kepentingan-kepentingan pembuatan
kelas dan identifikasi peta gerak sosial.
Dari tiap penggal masa,
perubahan itu bisa dikenali dengan gejala yang kecil seperti dengan mengamati
dinamika mode busana juga cara mengenakannya. Di awal abad 19 itu, Hindia Timur
yang kemudian menjelma menjadi Indonesia, merayapi hal yang sama. Pakaian telah
menjadi semangat bergerak dan mendobrak. Penanda bergulirnya periode baru
kehidupan. Dari masyarakat terjajah, beralih kepada masyarakat yang
menginginkan kemandirian. Orang-orang memprotes apabila cara berpakaiannya
dilarang untuk sejajar dengan eropa. Seperti yang dialami oleh Soekarno, saat
hendak mengucapkan sumpah pernikahan atas istri pertamanya, Oetari
Tjokroaminoto. Cindy Adams, dalam Soerkarno penyambung lidah rakyat Indonesia,
menceritakan konflik pakaian itu.
Penghulu yang hendak
menikahkan, melarang pemuda Soekarno mengenakan dasi. Hal tersebut langsung
membuat pemuda yang tengah terbakar semangat emansipasi itu membela diri.
"Tuan Kadi" Kata Soekarno, "Saya menyadari, bahwa dulunya
mempelai hanya memakai pakaian Bumiputera, yaitu sarung. Tapi ini adalah cara
lama. Aturannya sekarang sudah diperbarui."
“Ya, akan tetapi
pembaruan itu hanya untuk memakai pantalon dan jas buka." kata sang
penghulu membentak.
Dengan lantang,
Soekarno menjawab "Adalah kegemaran saya untuk berpakaian rapi dan memakai
dasi. Dalam hal ini, kalau masih terus berkeras kepala untuk berpakaian seperti
yang diharuskan penghulu itu, saya menolak untuk melakukan pernikahan".
Waktu berjalan, zaman berubah, kuasa bergeser, begitu pula dengan cara berpikir
dan argumentasi-argumentasinya. Nuwun.
0 on: "Priyayi : Sekat Antara Busana dan Kuasa"