Akarasa – Selamat
datang kerabat akarasa. Jika ingin melihat akulturasi budaya yang nyata maka
datanglah ke kraton Kesepuhan dan makam Sunan Gunung Jati. Kata kolega saya
beberapa waktu yang lalu dalam obrolan di angkringan sore itu. Sepertinya
memang benar adanya. Beberapa kali saya mengunjungi kota udang ini, terutama di
Astana Sunan Gunung Jati, dari bangunannya sangat kental akan budaya Tionghoa.
Pun dari peziarahnya, bukan hanya dari kalangan Muslim, tapi juga penganut
Budha dan Khonghucu, khususnya di salah satu komplek makam di sebelah barat
makam Sunan Gunung Jati.
Warga Tionghoa yang
berziarah ke Astana atau Makam Sunan Gunung Jati ini tentu bukan tanpa alasan.
Mereka datang menziarahi makam putri Ong Tien, yang konon adalah putri dari
kaisar Hong Gie dari dinasti Ming, Tiongkok. Ong Tien ini tak lain adalah Putri
Laras Sumanding, istri kedua Sunan Gunung Jati. Nah, khusus dalam kesempatan
kali ini saya ajak kisanak untuk menyimak kisah hidup Ong Tien ini.
Membaca bidal lama yang
terjadi tak kurang dari 600 tahun yang lalu kisah Ong Tien ini adalah
romantisme yang mengharu biru pada masanya. Betapa tidak, dalam mengejar
cintanya, ia harus berlayar jauh dari kampung halamannya demi menemui kekasih
hatinya, dari Tiongkok ke Nusantara. Ong Tien, meninggalkan kisah romantis
sebagai istri ulama besar di Cirebon, Sunan Gunung Jati, yang menajdikannya
Putri Laras Sumanding di keraton Pakungwati.
Usia pernikahan Ong
Tien dengan Syarif Hidayatullah terbilang singkat, yakni hanya 4 tahun (1481-1485).
Dari rahim Ong Tien juga terlahir bayi laki-laki buah cintanya dengan Syarif
Hidayatullah, tapi sangat disayangkan, bayi yang diberi nama Pangeran Kuningan
tersebut meninggal di usia belia, baru 4 bulan. Selang tiha tahun kemudian, Ong
Tien, sang ibu juga mengikutinya.
Dari satu literasi yang
saya dapatkan, sebenarnya nama Ong Tien ini adalah Tan Hong Tien Nio, meski
dalam catatan lain ada juga yang menyebutkan sebagai Lie Ong Tien. Akan tetapi
bukan bermarga Ong yang seperti sering kita dengar atau baca selama ini, yakni
Ong Tien Nio. Menariknya, Ong Tien bukanlah anak kaisar dari dinasti Ming, Hong
Gie (Hongxi) seperti yang sering kita ketahui selama ini.
Dalam catatan sejarah,
kaisar Hong Gie ini mermarga Zhu, atau nama lengkapnya Hong Gie Zhu Gao Zhi
yang masa hidupnya dari 1378 sampai 1425 masehi. Kaisar dari dinasti Ming ini
berkuasa hanya setahun, menggantikan kaisar sebelumnya, yakni Yongle Zhu. Ditilik
dari titimangsanya, kaisar Hong Gie sudah meninggal jauh sebelum Ong Tien atau
Laras Sumedang inu lahir. Pun halnya, sepertinya Sunan Gunung Jati atau Syarif
Hidayatullah tidak mungkin menemuinya di Tiongkok, semasa dinasti Ming
berkuasa.
Jika kita mengacu pada
literasi sejarah yang tercatat di Tiongkok seperti yang saya narasikan di atas,
cerita pertemuan pertama antara Ong Tien dan Syeikh itu memang masih perlu
dikaji. Sebenarnya, ke Tiongkok dimanakah Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung
jati ini pernah berkunjung sebelum kemudian kembali berdakwah di Cirebon? Baik mari
kita cari tahu…
Kisah Ong Tien dan
Syarif Hidayatullah ini memang cukup melegenda, satu di antaranya adalah
tentang kehamilan Ong Tien karena tuah kesaktian sang Syekh. Kisah ini hampir
serupa dengan kisah Siti Maryam, saat hamil Nabi Isa as.
Syarif Hidayatullah ini
lahir di Kairo pada tahun 1448. Artinya, Armada Ming pimpinan Cheng Ho sudah
dibubarkan 10 tahun sebelumnya. Kosekekuensi dari pembubaran Armada tersebut
adalah perairan Tiongkok sudah disegel tertutup untuk pelayaran masuk maupun
keluar. Bahkan, seabad lebih dari kelahiran Syarif Hidayatullah terjadi
penggusuran masal Muslim Tionghoa mulai dari Teluk Zaitun, Quanzhou Hokkian dan
Dali, Kunming Yunnan. Dari penggusuran ini kemudian pusat Muslim Tionghoa
bergeser ke Indrapura (sekarang Da Nang) di negeri Champa, pertengahan Vietnam
sekarang.
Jika bertelekan pada
titi mangsa tahun lahirnya sang Syekh, maka bisa jadi bukan ke Tiongkok (baca
ibukota dinasti Ming) yang beliau kunjungi. Sangat mungkin Syehk Syarif
Hidayatullah hanya ke Indrapura, Champa yang memang ketika itu adalah negeri
bagian Tiongkok. Dalam lintasan sejarah, dari negeri Champa ini adalah tanah
lahir dari ibunda Raden Patah, Nyai Campa seorang selir dari Brawijaya V, raja
Majapahit. Juga Sunan Ampel dan masih banyak yang lainnya yang asal daerah
Champa ini di abad XV.
Bisa jadi memang pernah
Syehk Syarif Hidayatullah yang juga ahli ilmu pengobatan (baca tabib) menemui
seorang saudagar kaya atau bahkan pembesar setempat yang kemudian bertemu
dengan sang jelita, Ong Tien dengan atau tanpa kisah pura-pura hamilnya. Jika ditilik
dari nama yang kita kenal selama ini, Ong Tien Nio. Harusnya ia bukan anak
kandung dari pembesar tersebut, jikapun acuannya adalah nama resminya Tan Hong
Tien Nio, itu berarti nama lahirnya dari marga Tan. Sedangkan nama lain yang
bermarga Lie bisa jadi adalah gantian setelah ia masuk dalam keluarga besar
saudagar atau pembesar setempat tersebut. Dalam hal ini, bisa jadi Ong Tien
adalah anak angkat yang dipanggil keluar pada saat juragan Lie menguji kesaktian
Syarif Hidayatullah dirumahnya ketika itu.
Sebelum saya lanjutkan
lagi, saya cuplikkan sedikit tentang budaya Tiongkok pada masa lampau. Dalam sejarah
Tiongkok, terhitung mulai dari dinasti Song berkuasa pada abad X sampai
berakhirnya dinasti Qing pada awal abad XX lalu, wanita Tionghoa terbagi 2
golongan status dalam masyarakat yang perbedaannya sangat mencolok, bagaikan
langit dan bumi.
Golongan bagsawan dan
elite kakinya harus dibalut sejak kecil, sehingga hanya berukuran separuh dari
kaki normal dalam pertumbuhannya. Dari kecilnya kaki seorang gadis melambangkan
kecantikan dan keagungan keluarganya. Sementara golongan jelata atau suku
minorotas tidak perlu kakinya dibalut, toh akan bekerja kasar pada nantinya.
Selain itu, maksud dari
kaki kecil adalah supaya tidak keluar bepergian. Bahkan adalah hal yang tabu
bagi gadis bangsawan menampakkan diri dimuka umum, bila hal ini terlanggar
tidak akan ada bujang dari keluarga bangsawan atau elite akan menikahinya.
Jika kita bertelekan
pada narasi di atas, maka suatu hal yang tidak mungkin juragan Lie tersebut di
atas mengeluarkan putrinya sendiri untuk menguji permainan sang Syekh dimuka
umum. Terlebih misalkan saja juragan Lie ini adalah seorang raja setempat. Dengan
kaki kecilnya, tidak mungkin gadis Ong Tien bisa bepergian sejauh ke Nusantara
di jaman itu.
Disini latar belakang
kelahiran Ong Tien yang sesungguhnya
tidak diketahui. Bia jadi ia berasal dari keluarga Tan yang kemudian dijadikan
anak angkat atau sebab lainnya. Kemudian ia dibawa rombongan saudagar Tionghoa Muslim
Tanglang, Lie Guan Cang dan Lie Guan
Hien dari Champa ke Nanyang (Nusantara). Tepatnya di pelabuhan Muarajati,
Cirebon. Berlabuhnya rombongan kapal niaga di Muarajati ini tentu bukan tanpa
sebab. Karena di Malaka (baca Singapura)
yang ketika itu sudah menjadi urat nadi perdagangan lintas negeri sudah
terlebih dahulu kedatangan Tionghoa Tanglang (asal Hokkian).
Rombongan niaga saudagar
Lie lebih memilih Cirebon karena di sini juga ada saudagar besar Dampo Awang
Ong Keng Hong dari Simongan yang bahkan menikahi Nyai rara Rudra, putri penguasa
setempat, yakni Ki Ageng Tapa. Bahkan juga sangat mungkin atas undangan Syarif
Hidayatullah yang ketika mereka mendarat di Muarajati sudah menjadi sultan,
selain sebagai anggota dewan walisongo tentunya.
Ong Tien yang ketika di
Champa, ketika pertama kali bertemu dengan Syarif Hidayatullah sudah menaruh
hati akhirnya bertemu kembali yang kemudian dijadikan istri kedua sang Syekh. Meskipun
toh dalam hal ini mungkin saja Ong Tien dijadikan upeti imbalan persahabatan
dari saudagar Champa, Lie Guan Cang kepada Sultan untuk kelancaran berniaga
diwilayah Cirebon. Begitulah tidak lama setelah pernikahan yang romantis, kedua
mempelai dikaruniai seorang bayi laki-laki yang mungil, dan diberi nama gelar
Pangeran Kuningan. Sementara sampai disini dulu, pada tulisan lanjutan kita
akan bahasa kemungkinan adanya konspirasi atau intrik atas meninggalnya Pangeran
Kuningan.
Bersambung…
0 on: "Putri Ong Tien Nio : Antara Sebagai Upeti dan Cinta Sejati Kepada Sunan Gunung Jati"