Akarasa – Selamat datang
kerabat akarasa. Beberapa kali dalam setiap penulisan yang mengangkat tema
tokoh perempuan saya selalu menyertakan kalimat peringatan bahwa kita (kaum
Adam) harus berhati-hati, karena perempuan itu adalah penakluk sebenarnya. Perempuan
yang dalam pandangan sekilas menyiratkan suatu sisi kelemahan yang menggiurkan
lelaki untuk menguasai, sesungguhnya di dalamnya mengandung jiwa penakluk.
Pemikiran ini tidak
berlebihan kisanak. Jikalau kita mau mengingat kembali sejarah penaklukkan
Mangir oleh Pembayun, itu cukup memberikan gambaran bagaimana peran penaklukkan
yang dilakukan perempuan. Selengkapnya bisa sampeyan baca Sejarah
Ki Ageng Mangir : Antara Cinta dan Kehormatan.
Pembayun adalah salah
satu contoh akan ‘keperkasaan’ perempuan dengan menggunakan kecantikan dan
kecerdasannya untuk menaklukkan kedigdayaan laki-laki. Sebenarnya masih banyak
contoh perempuan perkasa dari negeri ini yang patut kita apresiasi. Sebut saja
ada Kartini yang baru kita peringati hari lahirnya beberapa hari yang lalu,
Malahayati dari Aceh yang merupakan laksamana perempuan pertama di Indonesia
atau bahkan dunia barangkali. Selengkapnya tentang Malahayati bisa sampeyan
baca di Sejarah
Kombatan Wanita : Inong Balee, Trinisat Satya, dan Langen Kesuma.
Selain Malahayi di
atas, dari Aceh masih ada beberapa nama lain yang tak kalah kesohor dan tidak
mungkin saya sebut satu persatu dalam tulisan ini, sebut saja yang paling terkenal
di antaranya, Cut Nya Dien dan Cut Meutia. Selain nama-nama di atas, jarang
kita ketahui ternyata masih ada satu nama yang terlewat, bahkan dia adalah
sosok perempuan yang menjadi pemimpin pemerintahan atau kesultanan. Nah, khusus
pada kesempatan kali ini saya akan menarasikan jejak sejarah perempuan yang
bergelar sultanah ini.
Adalah dari pekawinan
Sultan Iskandar Muda dan Puteri Kamaliah, lahirlah Puteri Seri Alam tahun 1612 yang ketika dewasa dinikahkan dengan Raja
Mughal putera Raja Ahmad Syah dan Puteri Bongsu Candera Dewi yang dibawa ke
Aceh setelah Sultan lskandar Muda berhasil mensterilkan Pahang dari pengaruh
kolonial Portugis.
Di Aceh keluarga Raja
Ahmad Syah dihormati dan dilayani dengan baik. Ini dibuktikan dengan
dinikahkannya Raja Mughal dengan puterinya yang bernama Tajul Alam Safiatuddin dan
bahkan diangkat menjadi Sultan Aceh setelah Iskandar Muda meninggal pada tahun
1636 diberi gelar Sultan Iskandar Tsani yang berkuasa sampai tahun 1641 yang
kemudian diganti oleh istrinya Sultanah Tajul Alam Safiatuddin, satu-satunya
puteri Sultan Iskandar Muda.
Nama Sultanah Tajul
Alam Safiatuddin adalah sebuah gelar. Nama aslinya Puteri Seri Alam dan ketika
memerintah mendapatkan nama Sultanah Tajul Alam Safiatuddin. Nama ini sering
juga ditulis Sultanah Tajul Alam Safiatuddin Syah. Bahkan, lebih panjang lagi,
Sri Sultanah Ratu Safiatuddin Tajul-’Alam Syah Johan Berdaulat Zillu’llahi
fi’l-’Alam binti al-Marhum Sri Sultan Iskandar Muda Mahkota Alam Syah.
Sebelum ia menjadi
sultana, Aceh dipimpin oleh suaminya, yaitu Sultan Iskandar Tsani (1637-1641).
Setelah Iskandar Tsani wafat amatlah sulit untuk mencari pengganti laki-laki
yang masih berhubungan keluarga dekat. Terjadi kericuhan dalam mencari
penggantinya. Kaum Ulama dan Wujudiah tidak menyetujui jika perempuan menjadi
raja dengan alasan-alasan tertentu. Kemudian seorang Ulama Besar, Nurudin Ar
Raniri, menengahi kericuhan itu dengan menolak argumen-argumen kaum Ulama,
sehingga Sultana Safiatuddin diangkat menjadi sultana.
Dalam memimpin
kesultanan Aceh, kemampuan Sultanah Tajul Alam Safiatuddin bisa dikatakan
mengagumkan. Aspek kesejahteraan rakyat, politik, pendidikan, militer, dan
aspek lainnya menjadi perhatian serius. Penulisan dan penerbitan buku-buku
berlangsung di masa pemerintahannya. Para ulama dalam masa pemerintahannya
dikirim memperdalam ilmu pengetahuan ke beberapa tempat seperti Mekkah,
Madinah, dan Baghdad. Ulama-ulama digencarkan dalam menulis buku-buku. Kecerdasan
perempuan ini juga bisa dikatakan menakjubkan.
Sultanah Safiatudin
dikenal sebagai sosok yang sangat pintar dan aktif mengembangkan ilmu
pengatetahuan. Selain bahasa Aceh dan Melayu, dia menguasai bahasa Arab,
Persia, Spanyol dan Urdu. Di masa pemerintahannya, ilmu dan kesusastraan
berkembang pesat. Ketika itulah lahir karya-karya besar dari Nuruddin
ar-Raniry, Hamzah Fansuri, dan Abdur Rauf. Ia juga berhasil menampik
usaha-usaha Belanda untuk menempatkan diri di daerah Aceh. VOC pun tidak
berhasil memperoleh monopoli atas perdagangan timah dan komoditi lainnya.
Sultanah memerintah
Aceh cukup lama, yaitu 1644-1675. Ia dikenal sangat memajukan pendidikan, baik
untuk pria maupun untuk wanita. Kiprah dan prestasi Sultanah Tajul Alam
Safiatuddin tentu tak sekadar apa yang dipaparkan di atas. Perempuan ini juga
dikenal sebagai diplomat ulung. Ia juga membentuk semacam parlemen dalam
pemerintahannya. Banyak hal yang bisa dipaparkan mengenai sepak terjang
Sultanah Tajul Alam Safiatuddin.
Sultanat Safiatuddin
memerintah selama 35 tahun, dan membentuk barisan perempuan pengawal istana
yang turut berperang dalam Perang Malaka tahun 1639. Ia juga meneruskan tradisi
pemberian tanah kepada pahlawan-pahlawan perang sebagai hadiah dari kerajaan.
Sejarah pemerintahan Sultana Safiatuddin dapat dibaca dari catatan para musafir
Portugis, Perancis, Inggris dan Belanda. Ia menjalankan pemerintahan dengan
bijak, cakap dan cerdas. Pada pemerintahannya hukum, adat dan sastra berkembang
baik.
Sultanah Tajul Alam
Safiatuddin telah berhasil membangun karakter dan mental rakyat Aceh dengan
menanamkan semangat cinta tanah air, patriotisme, dan pantang menyerah
bersumber pada ajaran agama. Sentuhan rohani ini benar-benar terpatri di dada
rakyat Aceh sehingga nama Tajul Alam tetap dikenang di hati rakyat Aceh. Pada
pribadi Tajul Alam Safiatuddin tidak hanya sebagai seorang sultanah, tetapi ia
juga sebagai sosok negarawan, diplomat, sekaligus pemimpin masyarakat dan
agama. Nuwun.
0 on: "Riwayat Hidup Sultanah Tajul Alam Safiatuddin"