Akarasa – Selamat
datang kerabat akarasa. Ungkapan bangsa yang besar adalah bangsa yang
mengahrgai jasa-jasa para pahlawannya adalah benar adanya. Tidak mungkin suatu
bangsa menjadi maju dan sejahtera jika ia tidak belajar dari sejarah masa lalu
bangsanya sendiri.
Bahkan mungkin, karena
ungkapan di atas itu pulalah yang kemudian menjadi ringkasan ujaran Soekarno
‘Jangan lupakan sejarah’ yang melegenda itu. Ya, karena sejarah adalah
merupakan titik tolak dari sebuah masa depan. Karena sejatinya hidup dan
kehidupan adalah sebuah mata rantai dari rangkaian panjang sejarah. Mempelajari
masa lalu bukan berarti terjebak pada romantisme belaka.
Dari sejarah kita bisa
banyak belajar akan makna hidup serta kehidupan, merencanakan sebuah masa depan
dan akhirnya sejarah bisa merupakan sebuah identitas multi dimensi yang sangat
berpengaruh terhadap karakter pribadi atau pun sebuah bangsa. Sejarah memiliki
dimensi luas. Ia tidak hanya berhenti di masa lalu. Sejarah adalah segala
kejadian di masa lampu yang berdampak luas pada sendi kehidupan masyarakat.
Dengan belajar sejarah
kita dapat mengambil hikmah positif dari kejadian masa lalu untuk digunakan
saat ini demi kehidupan masa depan yang lebih baik. Mempelajari sejarah dimulai
dengan menginventarisir apa yang ditinggalkannya. Inilah yang kemudian disebut
dengan jejak atau tapak tilas sejarah. Tulisan yang sedang sampeyan baca ini
adalah tulisan seri pertama yang insya Allah akan berlanjut dalam beberapa
postingan terpisah. Pertimbangannya agar sampeyan tidak mblenger bacanya
sekaligus untuk mengelompokkan masa sejarahnya.
Sejarah Kerajaan Tarumanegara
Umumnya, ketika kita
mendengar kata sejarah alam pikir kita langsung mengarah pada kisah raja-raja
dan kerajaan. Seperti halnya, perjalanan negara kita ini, Indonesia hingga
sekarang ini, tentu bukanlah ujug-ujug (tiba-tiba) terus ada seperti saat ini.
Sudah barang tentu dalam prosesnya diwarnai berbagai macam kejadian dan fase
yang panjang.
Mulai dari masa
pra-sejarah (sebelum ada peradaban) sampai jaman sejarah, jaman kerajaan (dimana
masarakatnya mulai mengenal politik, agama dan tulisan) sampai jaman penjajahan
dan rentang kejadian lainnya yang tak kalah panjangnya, sampai saat yang kita
rasakan sekarang ini.
Masa-masa awal bangsa
Indonesia mengenal sistem pemerintahan, huruf serta agama ini adalah jaman
pemula. Jaman pemula ini ditandai dengan munculnya berbagai macam kerajaan di
Jawa, yang meliputi tatar Sunda (Jawa Barat) Jawa (dalam hal ini mencakup Jawa
Tengah, Jawa Timur, Madura, Karimunjawa sampai Bali).
Pada abad permulaan
masehi, menurut catatan Ptolemeus, dikawasan Argype atau Banten tercatat pernah
ada sebuah kerajaan yang bernama Salakanegara atau negeri perak. Berdasarkan
catatan sejarah ini, jika kemudian kita mengacu pada kisah tentang Aji Saka
yang kerajaannya bernama Medang Kamulan ada satu telaah yang menarik untuk kita
simak. Kata Medang artinya adalah kerajaan, sementara Kamulan artinya adalah
yang pertama. Maka, arti dari Medang Kamulan adalah kerajaan yang pertama.
Sementara kata atau
lebih tepatnya nama Aji Saka ini berasal dari bahasa Sansekerta yang kalau kita
Indonesia-kan, Aji adalah Raja dan Saka artinya Pertama. Nah, jika bertelekan
dari nama Kerajaan Medang Kamulan dan tokoh Aji Saka ini, maka akan timbul satu
perandaian (secara pribadi) jangan-jangan tokoh Aji Saka ini adalah Dewawarman
I yang berasal dari Hidustan itu.
Dalam teks sejarah yang
ada, Salakanegara ini merupakan cikal bakal kerajaan-kerajaan di Pulau Jawa. Setidaknya
dalam hal ini jika kita mengacu pada naskah Wangsakerta bahwa keberadaan
kerajaan Salakanagara dimulai pada tahun 150 mesehi yang raja pertamnya adalah
Dewawarman I yang berkelanjutan hingga delapan keturunannya, lebih tepatnya
hingga Dewawarman VIII.
Selanjutnya, peta kekuasaan
berlanjut ke kerajaan Tarumanegara yang didirikan oleh Resiguru Jayasingawarman
pada tahun 358 masehi, yang merupakan menantu Dewawarman VIII. Ia mendirikan
kerajaan itu di hulu sungai Ci-tarum sehingga kerajaan tersebut dinamakan Tarumanegara.
Jayasingawarman adalah
seorang Resi yang diutus dari negeri Palawa, Hindustan untuk menyebarkan agama
Hindu ke penjuru dunia. Hal tersebut dapat ditinjau dari namanya "Resi Rajaguru"
yang tak lain adalah merupakan seorang sepiritual agama Hindu. Konon resi satu
ini diberangkatkan pada gelombang kedua, setelah sebelumnya yakni gelombang
pertama adalah Dewawarman I arau tokoh yang identik dengan Aji Saka yang
merupakan pendiri kerajaan Salakanegara.
Untuk digaribawahi,
bahwa budaya monarki atau pemerintahan yang dipimpin oleh seorang Raja adalah
budaya yang disebarkan oleh kaum Hindunis hal itu tersirat dari beberapa
kitab-kitab tuntunan mereka seperti Bagawangita ataupun Mahabharata yang
semuanya penuh dengan epik Kerajaan. Perihal penyebaran Agama Hindu ini juga dapat ditandai
dengan munculnya kerajaan Hindu lainnya yang serupa, yakni Kutai di Kalimantan yang didirikan oleh Raja Kundugga serta Kalingga di Jawa Tengah.
Namun untuk Kalingga tidak ada bukti catatan yang
akurat. Hanya di masa Ratu Sima saja, yakni seorang penguasa perempuan yang
tercatat dalam sejarah sebagai penguasa Kalingga,
namun bisa ditebak bahwa Maharani Sima bukan raja pertamanya tentunya ada raja
lainnya sebelum Maharani Sima ini berkuasa.
Ketiga kerajaan di atas
bisa dikatakan berdiri dengan rentang waktu yang beriringan. Maka kemudian
banyak sejarawan yang beranggapan bahwa pada masa itu ada sebuah pergerakan
khusus, yakni misi penyebaran agama Hindu secara besar-besaran ke penjuru dunia
yang salah satu cara penyebarannya melalui kebudayaan Kerajaan. Hal inilah yang
konon menginspirasi para tokoh dewan Islam, atau kita sering menyebutnya
walisongo melakukan hal serupa, yakni ekspedisi menyebarkan Islam. Agar tidak
membias, sementara ini kita khususkan saja membahas tentang kerajaan yang ada
di Pulau Jawa, termasuk di dalamnya tatar Sunda tentunya.
Seperti pada sub judul
di atas, pertama yang akan kita bahas terlebih dahulu adalah kerajaan
Tarumanegara. Setelah era Singawarman berakhir tampuk kerajaan diberikan pada
putranya yakni Darmayawarman. Pada masa peralihan inilah kerajaan Tarumanegara
mengalami masa kejayaan. Lebih tepatnya saat di bawah kekuasaan Purnawarman,
raja ke III Tarumanegara.
Selanjutnya,
Purnawarman ini mengawinkan putrinya yang pertama yang disunting oleh pangeran
dari Kutai, Kalimantan yaitu Wisnuwarman. Seperti yang tercatat dalam prasasti
tugu. Istana kerajaan pada waktu itu dipindahkan ketempat yang lebih dekat
pantai yakni istana Sundapura. (namun kerajaannya masih tetap Tarumanegara).
Dari sinilah awal mula adanya istilah Sunda.
- · Raja IV, Wisnuwarman 434 – 455 M.
- · Raja V, Indrawarman 455 – 515 M.
- · Raja VI, Candrawarman 515 – 535 M.
- · Raja VII, Suryawarman 535 – 561 M.
- · Raja VIII, Kerthawarman 561 – 628 M.
- · Raja IX, Sudhawarman 628 – 639 M.
- · Raja X, Hariwangsawarman 639 – 640 M.
- · Raja XI, Nagajayawarman 640 – 666 M.
- · Raja XII, Linggawarman 666 – 669 M.
Linggawarman ini adalah
raja terakhir, karena pada tahun 669 M, oleh Tarusbawa yang sesungguhnya adalah
menantu Linggawarman atau Raja XII ini kemudian menetapkan secara permanen
Sundapura menjadi kerajaan yang berdaulat penuh. Serta memindahkan sepenuhnya
istana dari kota lama ke Sundapura.
Sedangkan kota lama
berganti menjadi Kerajaan Galuh. Adapun yang menjadi rajanya adalah
Wretikandayun cicit dari Manikmaya menantu Suryawarman (raja Tarumanegara VII)
dari perningkahannya dengan putri Tirta Kencana. Manikmaya adalah pendiri
kerajaan Kendan yang terletak di Nangreng; antara Bandung, Limbangan dan Garut.
Sedang Linggawarman selain punya menantu Tarusbawa, dia juga mempunyai menantu
lain dari putri keduanya Sobakencana yaitu, Dapuntahyang Sri Jayanasa yang
merupakan pendiri Kerajaan Sriwijaya.
Kerajaan Kendan dan Galuh
Dalam Naskah
Wangsakerta dikisahkan bahwa Resiguru Manikmaya adalah seorang resi pengembara
yang tiba di Tarumanegara pada masa pemerintahan raja Suryawarman. Lebih lanjut
dijelaskan, Manikmaya ini juga sangat berjasa besar berkat saran-sarannya,
termasuk didalamnya saran tentang kebijakan mengembalikan kedaulatan pada
rakyat dan penguasa-penguasa daerah. Berkat jasa-jasanya itulah kemudian raja
Suryawarman mengambilnya sebagai menantu yang dijodohkan dengan seorang
putrinya yang bernama Tirta Kencana.
Setelah menjadi menantu
raja Suryawarman, kemudian Manikmaya diberi hadiah berupa tanah perdikan, yakni
‘Tanah Kendan’ yang kala itu masih berupa perbukitan untuk dijadikan sebuah
kerajaan. Termasuk didalamnya perlengkapan raja dan mahkota serta rakyat untuk
memulai atau membangun satu pemukiman baru.
Setelah kepemimpinan
Suryawarman berakhir, para pemimpin Tarumanegara berikutnya terbilang
pendek-pendek masa kepemimpinannya. Sebut saja di antaranya, Sudhawarman 11
tahun, Hariwangsawarman cuma 1 tahun, Nagajayawarman 26 tahun, Linggawarman
(raja terakhir) 3 tahun, hanya Kertawarman yang memerintah sangat lama, yakni selama 67
tahun.
Pada masa Linggawarman atau
raja ke 12 kerajaan Tarumanegara (kerajaan Kendan baru bergulir 4 raja tapi
Tarumanegara sudah berganti raja 6 kali) waktu itu sebenarnya kerajaan
Tarumanegara telah jatuh ditangan penjajah Dinasti Tang, akan tetapi pasukan dinasti Tang dapat
dikalahkan dan Tarumanegara dapat direbut kembali semua tak lain adalah
Wretikandayun yang merupakan raja Kendan ke 4 yang masih punya darah
Tarumanegara. Wretikandayun (cicit Manikmaya).
Maka setelah
Linggawarman menyerahkan Tarumanegara sebagai kompensasi kepada Wretikandayun.
Maka menantu dari Linggawarman yakni Tarusbawa (yang waktu itu masih terbilang
muda sekali) kemudian memindah istana Tarumanegara ke Sundapura sepenuhnya.
Sedangkan ibu kota lama oleh Wretikandayun diber inama Galuh. Dua Kerajaan
tersebut berbatasan oleh arus sungai Citarum. Selengkapnya baca di Sejarah Lengkap Kerajaan Galuh
Wretikandayun seperti
yang tertulis dalam lembaran sejarah mempunyai tiga putra dari istrinya yang
bernama Manawati, putri dari resi Makandria. Manawati setelah menjadi permaesuri
namanya diubah menjadi Candrasemi. Wrwkitandayun dan Candrasemi ini dikaruniai
tiga orang putera, yakni ;
- Rahiyang Sempakwaja
- Rahiyang Kidul
- Rahiyang Mandiminyak
Putra yang pertama Wretikandayun,
yani Sampakwaja kemudian menikah dengan Pohaci Rababu yang kemudian dikaruniai
3 orang putra, yakni; Damunawan, Purbasora, dan Brakasenawa. Nama yang
terakhir, yakni Brakasenawa banyak yang menduga dia adalah hasil perselingkuhan
Pohaci Rababu dengan Mandiminyak, adik iparnya sendiri.
Kisah tentang
perselingkuhan ini bisa sampeyan baca di Pohaci Rababu : Cinta Yang Menikam dalam Lingkar Kuasa
Tatar Sunda
Setelah kejadian
tersebut kemudian Sempakwaja lebih memilih meninggalkan istana untuk menjadi
seorang pertapa dengan mengasingkan diri di gunung Galunggung. Sementara tahta
Galuh Pakuan sendiri kemudian diserahkan pada Mandiminyak, adik bungsu yang
sekaligus menyelingkuh istrinya. Keputusan ini sejatinya adalah pahit bagi Sempakwaja,
tapi mutlak harus dilakukan karena Rahiyang Kidul cacat secara fisik.
Sementara Mandiminyak
sendiri beristrikan Endang Parwati putri dari Maharani Sima, Ratu Kalingga di Jepara.
Mandiminyak mempunyai seorang putri bernama Sanaha yang kemudian di jodohkan
dengan Brakasenawa anak Sampakwaja yang diduga hasil selingkuhannya. Alhasil
kedua saudara Brakasenawa (Damunawan dan Purbasora) merasa iri yang kemudian
melakukan kudeta yang dibantu sepenuhnya oleh Indraprasta. Menurut mereka
(Damunawan dan Purbasora) kalau sesungguhnya merekalah lebih berhak dari pada
Brakasenawa baik menurut garis keturunan ataupun moral.
Setelah dikudeta,
Brakasenawa dan Sanaha kemudian mengungsi ke Sundapura. Tapi perpecahan dan api
dendam belum selesai sampai di sini. Adalah Rakyan Jambri atau yang lebih
dikenal dengan nama Sanjaya yang merupakan anak Brakasenawa dikemudian hari melakukan
misi balas dendam. Merebut kembali tahta Galuh, setelah sebelumnya Sanjaya ini mengawini
cucu Tarusbawa yang bernama Tejakencana. Sedangkan ayah dari Tejakencana yang
didaulat bakal menggantikan ayahnya menduduki tahta Sundapura, meninggal
terlebih dahulu. Maka tahta jatuh ke Tejakencana atau Sanjaya. Seterusnya, dengan
membawa pasukan Sundapura, Sanjaya pun berhasil menyingkirkan Porbasora dan
antek-anteknya.
Sanjaya yang merupakan
pewaris sah Galuh kembali menjadi raja. Akan tetapi hanya beberapa tahun saja
-- akhirnya Sanjaya pun memberikan tahta Galuh Pakuan kepada Permana Dikusuma
yang merupakan cucu Purbasora. Dan Sundapura diserahkan pada putranya Rakai
Tamperan. Sementara Sanjaya sendiri mangambil warisan yang terdapat di Kalingga
yang dibagi menjadi dua. Sebelah selatan diberikan pada Syailendra dan sebelah
utara diberikan pada Sanjaya.
Perubahan Kalingga menjadi Mataram (Hindu)
Dalam prasasti
Mantyasih dan Canggal disebutkan bahwa pendiri Mataram adalah Sanjaya (732). Meski
sebenarnya waktu itu Mataram ada dua dinasti yakni Wangsa Syailendra dan Wangsa
Sanjaya yang kesemuanya menamakan kerajaannya dengan sebutan Bumi Mataram. Akan
tetapi menurut dugaan saya pribadi Bumi Mataram adalah nama lain dari tanah
Jawa pada waktu itu. Karena dalam beberapa prasasti tertulis justru
"kerajaan: Medang i bumi Mataram" dan "bukan kerajaan
mataram" konon kedua wangsa tersebut tak pernah akur, selalu berselisih.
Wangsa Sanjaya
menempati Bumi Mataram sebelah Utara dan Saylendra sebelah Selatan. Dengan dua
agama yang berbeda; Wangsa Sanjaya Hindu dan Saylendra Budha hal itu ditandai
dengan pembangunan Candi Borobudur (candi bercorak Budha) pada masa raja Indra
(raja ke 3 Wangsa Syailendra) dan baru selesai pada Raja Samaratungga, raja ke
4 Wangsa Syailendra.
Adapun raja-raja Wangsa
Syailendra adalah:
- Bhanu 752-775
- Wisnu 775-782
- Indra 782-812
- Samaratungga 812-833
- Pramodawardhani 833-856
- Bala Putra Dewa 833-850
Sedangkan Raja-raja
dari Wangsa Sanjaya adalah:
- Sanjaya 732-760
- Rakai Panangkaran 760-780
- Rakai Pananggalan 780-800
- Rakai Warak 800-820
- Rakai Gunung 820-840
- Rakai Pikatan 840-856
Sementara kita cukupkan
sampai di sini dulu, pada tulisan kelanjutnya kita akan membahas tapak tilas
Kerajaan Medang, Bumi Mataram, dan Kahuripan. Nuwun…
Bersambung…
0 on: "Tapak Tilas Sejarah Awal Kerajaan di Nusantara : Medang hingga Kalingga [1]"