Akarasa – Selamat
datang kerabat akarasa. Miris. Itulah ungkapan yang pas bagi kita yang sedang
menjalani hidup di jaman sekarang ini. Memangnya miris kenapa? Barangkali ini
pertanyaan dari sampeyan.
Begini, kalau kita
sedikit jeli dan ngraito (merenungkan) baik dari kehidupan kita sendiri maupun
yang terjadi disekitar kita, dapat dikatakan saat ini kita telah mengalami satu
masa yang disebut jaman edan. Satu jaman dimana kalau tidak ngedan ora keduman.
Benar demikian? Mungkin. Namun bagi sebagian orang akan menjawab iya.
Ya, jaman edan, jaman
dimana situasi mejadi tidak menentu. Segalanya penuh dengan kecemasan dan
ketidakpastian. Tidak hanya sampai di sini, bahkan cuaca pun ikut ngedan. Jika dulu
petungnya jelas antara mangsa rendeng (hujan) dan paceklik (kemarau), kini
tidak bisa ditentukan lagi. Semuanya menjadi berubah-rubah, tidak menentu.
Jaman edan, jaman
dimana orang yang pandai yang sekolahnya tingi-tinggi hingga mentok belum tentu
sukses. Jaman dimana orang bodoh belum tentu sengsara hidupnya. Jaman dimana
orang sukses adalah orang yang cerdik dan licik, sedangkan orang jujur dan
berintegrasi tinggi meski pekerja keras hidupnya malah sengsara. Inilah faktanya
yang terjadi di jaman ini.
Jujur ajur, ala mulya. Inilah
ungkapan yang pas untuk menggambarkan jaman edan ini. Selain miris tentu saja. Ya,
ungkapan Jawa ini sepertinya pas banget, bahwa orang yang jujur malah bisa jadi
hancur karena ditinggalkan orang-orang sekitarnya dan sebaliknya orang ala
(tidak baik moralnya) malah kehidupannya bisa jadi baik, karena berani berbuat
dengan menghalalkan segala cara.
Di jaman edan seperti
ini, korupsi sudah dimaklumi sedemikian rupa. Saking edannya, KTP pun dimakan. Besi
di makan, aspal dipakai lalapan. Ya, kita mengalami yang namanya moral hanya
jargon semata. Tak lebih dari itu, sudah tidak dipentingkan lagi. Kita sudah
tak akan menemukan yang namanya persahabatan dan perkawanan yang abadi, yang
ada semua serba kepentingan. Kawan bisa menjadi lawan, dan yang tadinya lawan
bisa menjadi kawan asalkan menguntungkan. Syahwat dibiarkan tanpa kendali.
Jaman wes edan, sing ora ngendan ora keduman!
Sejatinya, keadaan ini
jauh sebelumnya sudah ditulis oleh Ranggawarsita dalam sebuah syair yang
dikenal dengan Serat Kalathida. Nah, pada kesempatan ini saya ajak sampeyan
untuk menelisik serat tersebut lebih dalam lagi. Tapi sebelumnya, tulisan ini
lumayan panjang dan sengaja tidak saya posting berseri, alangkah baiknya
mempersiapkan piranti pendukungnya. Kopi dan cemilan misalnya.
Mengutip dari bulek
wiki(pedia), nama lengkap Ranggowarsito adalah Raden Ngabehi Ranggawarsita,
pakai ‘a’ penulisannya. Ia lahir pada tanggal 15 Maret 1802 dengan nama kecil
Bagus Burham. Ia meninggal dunia pada tanggal 24 Desember 1873 atau dalam usia
71 tahun. Ia dimakamkan di Desa Palar, Klaten, Jawa Tengah. Sebelumnya bilang
maturnuwun dulu sama bulek wiki yang memberi informasi ini.
Baik, mari kita sedikit
serius anak muda. Selama ini banyak orang beranggapan bahwa Serat Kalathida
karya Raden Ngabehi Ronggowarsito ini
adalah sebentuk ramalan seperti Jangka Jayabaya. Namun sejatinya tidak. Serat Kalatidha
karya Ronggowarsito bukanlah ramalan seperti Jangka Jayabaya. Serat Kalatidha
adalah serat yang berisi falsafah atau ajaran hidup Ranggawarsita.
Kalathida, adalah dari
kata ‘kala’ yang berarti jaman dan ‘tidha’ adalah ragu. Arti paling
sederhananya kalau kita Indonesia-kan adalah jaman penuh keraguan. Kalaupun toh
kemudian, kita memberi pengertian ‘Kalathida adalah jaman edan’ itu karena
mengambil makna dari baik ke tujuh serat ini. bait tersebut memang
menggambarkan situasi ‘edan’ ketika itu. Saat Ronggowarsito menulisnya.Serat
yang terdiri dari 12 pada (bait) tembang Sinom ini ditulis kira-kira tahun
1860an.
Kita menang tidak
mengalami masa itu, tetapi setidaknya melalui Ronggowarsito sedikit kita bisa
membayangkan bahwa saat itu jaman sudah edan. Ada satu cerita menarik yang
melatarbelakangi kisah penulisan serat Kalathida ini. Konon, serat yang sarat
makna ini ditulis saat Ronggowarsito sedang dirundung kecewa karena pangkatnya
tidak dinaikkan seperti rencana semula. Tentunya ada sebab-sebab yang
melatarbelakangi mengapa Pakubuwono membatalkan rencananya. Belum tentu karena
Ronnggowarsito kurang baik reputasi dan prestasinya. Tetapi hal seperti itu lumrah
saja terjadi dan sampai jaman sekarang pun masih terjadi.
Kelebihan Serat
Kalatidha bagi saya pribadi adalah Ronggowarsito tidak berhenti pada
kekecewaan, tetapi mengungkapkan pula bagaimana ia mengelola stressnya. Nah,
kabar baiknya, hal ini merupakan “pepeling” bagi kita, generasi-generasi
setelah surutnya Ronggowarsito.
Ada yang membagi syair
Serat Kalatidha dalam tiga bagian. Bagian pertama adalah pada (bait) ke 1 sd 6
yang merupakan kondisi tanpa prinsip, bagian kedua adalah pada (bait) ke
tujuh yang berisi tekad manusia untuk
mawas diri, sedangkan bagian ke tiga adalah pada (bait) ke 8 sd 12 yang berisi
ketaatan kita pada ajaran agama. Nah, sekarang mari kita mengkajinya bait perbait
dari Serat Kalatidha yang kesohor ini. Kesemuanya ini dalam tembang Sinom.
Bait Pertama : Situasi
Mangkya darajating praja;
Kawuryan wus sunyaruri; Rurah pangrehing ukara; Karana tanpa palupi; Atilar
silastuti; Sujana sarjana kelu; Kalulun kala tidha; Tidhem tandhaning dumadi;
Ardayengrat dene karoban rubeda
Makna dari bait pertama
ini kurang lebih sebagai berikut: Keadaan negara yang demikian merosot karena
tidak ada lagi yang memberi tauladan (karana tanpa palupi). Banyak yang
meninggalkan norma-norma kehidupan (atilar silastuti). Para cerdik pandai
terbawa arus jaman yang penuh keragu-raguan (sujana sarjana kelu; kalulun ing
kalatidha). Suasana mencekam karena dunia sudah penuh masalah.
Pada bait pertama ini
kelihatan bahwa ki Ronggowarsito mencoba melakukan analisis situasi mengapa
masalah ini terjadi. Yang di atas tidak memberikan tauladan, semua orang
meninggalkan norma, para cerdik-cendekiawan terbawa arus keraguan.
Bait Ke Dua : Pengaruh
Jaman
Ratune ratu utama;
Patihe patih linuwih; Pra nayaka tyas raharja; Panekare becik-becik; Parandene
tan dadi; Paliyasing Kala Bendu; Mandar mangkin andadra; Rubeda angrebedi;
Beda-beda ardaning wong saknegara
Makna dari bait ke dua
kurang lebih sebagai berikut: (Sebenarnya) baik raja, patih, pimpinan lainnya
dan para pemuka masyarakat, semuanya baik. Tetapi tidak menghasilkan kebaikan
(Parandene tan dadi). Hal ini karena kekuatan jaman Kala bendu. Malah semakin
menjadi-jadi. Masalah semakin banyak. Pendapat orang sat negara pun
berbeda-beda (beda-beda ardaning wong sak nagara).
Pada bait ke dua ini Ronggowarsito
menjadi geleng-geleng kepala, bingung. Mengapa mesti terjadi dan semakin
menjadi-jadi padahal pimpinan dari atas ke bawah, termasuk tokoh informalnya
semua baik. Mungkin karena pengaruh jaman yang dinamakan “Jaman Kalabendhu”.
Bait Ke Tiga :
Kekecewaan
Katetangi tangisira;
Sira sang paramengkawi; Kawileting tyas duhkita; Katamen ing ren wirangi;
Dening upaya sandi; Sumaruna angrawung; Mangimur manuhara; Met pamrih melik
pakolih; Temah suhha ing karsa tanpa wiweka
Makna dari bait ke tiga
kurang lebih sebagai berikut: Hati rasanya menangis penuh kesedihan karena
dipermalukan (baris 1 sd 4). Karena perbuatan seseorang yang seolah memberi
harapan (baris 5-7). Karena ada pamrih untuk mendapatkan sesuatu (met pamrih
melik pakolih, baris 8). Karena terlalu gembira sang Pujangga kehilangan
kewaspadaan (baris 9).
Pada bait ke tiga ini Ronggowarsito
mulai kecewa dan menyesal. Kegembiraannya menghilangkan kewaspadaan. Ia lena
dengan mulut manis seolah memberi harapan dan ia sendiri memang ingin
mendapatkan sesuatu. Akhirnya menjadi sedih karena dipermalukan. Disini ada
kesadaran dalam kekecewaan, bahwa “melik nggendong lali” yang tergambar dalam
“met pamrih pakolih, temah suh-ha ing karsa tanpa weweka”.
Bait Ke Empat :
Pengakuan Lupa
Dasar karoban pawarta;
Bebaratun ujar lamis; Pinudya dadya pangarsa; Wekasan malah kawuri; Yan pinikir
sayekti; Mundhak apa aneng ngayun; Andhedher kaluputan; Siniraman banyu lali;
Lamun tuwuh dadi kekembanging beka
Makna dari bait ke
empat kurang lebih sebagai berikut: Karena terlalu banyak kabar angin yang
beredar (dasar karoban pawarta; bebaratun ujar lamis). Akan diposisikan sebagai
pimpinan tetapi akhirnya malah di taruh di belakang dan dilupakan (baris 3 dan
4). (sebenarnya) kalau direnungkan, apa manfaatnya menjadi pimpinan (kalau)
hanya menebar benih kesalahan, (lebih-lebih) bila disiram air “lupa” hasilnya hanyalah
berbunga kesusahan (baris 5 sd 9).
Pada bait ke empat ini
Ronggowarsito mengungkapka bahwa ia terlalu gede rumongso dengan kabar angin
bahwa ia akan dijadikan “pangarsa”, pimpinan. Ketika kemudian harapannya
ternyata hilang (Pinudya dadi pangarsa; wekasan malah kawuri), ia mencoba
menghibur diri dengan mengungkapkan: Untuk apa jadi pemimpin kalau hanya
menanam kesalahan yang disiram dengan air lupa. Bunga yang dipetik hanyalah
“masalah”.
Bait Ke Lima : Menulis
Ujaring panitisastra;
Awewarah asung peling; Ing jaman keneng musibat; Wong ambeg jatmika kontit;
Mengkono yen niteni; Pedah apa amituhu; Pawarta lolawara; Mundhuk angreranta
ati; Angurbaya angiket cariteng kuna
Makna dari bait ke lima
kurang lebih sebagai berikut: Menurut para ahli sastra, sebenarnya sudah ada
peringatan bahwa di jaman yang penuh musibah ini orang yang berbudi akan
ditinggalkan (baris 1 sd 4). Demikian pula kalau kita perhatikan, apa
manfaatnya percaya pada desas-desus. Lebih baik menulis kisah-kisah lama (baris
5 sd 9).
Pada bait ke lima ini Ronggowarsito
mencoba mencari makna lain dari kehidupan dengan lebih banyak menulis cerita:
“angurbaya angiket cariteng kuna”.
Sebuah pelarian, mungkin. Tetapi sekarang pun terjadi seperti itu, menulis
buku.
Bait Ke Enam : Takdir
Keni kinarta darsana;
Panglimbang ala lan becik; Sayekti akeh kewala; Lelakon kang dadi tamsil;
Masalahing ngaurip; Wahaninira tinemu; Temahan anarima; Mupus pepesthening
takdir; Puluh-puluh anglakoni kaelokan
Makna dari bait ke enam
kurang lebih sebagai berikut: Kisah ini dapatnya dijadikan cermin dalam
menimbang hal-hal yang baik dan yang buruk. Sebenarnya banyak kisah lama yang
dapat dijadikan contoh, mengenai masalah-masalah dalam kehidupan (baris 1 sd
5). Setelah ketemu akhirnya bisa “nrima” dan berserah diri pada kehendak takdir
atas hal-hal elok yang terjadi (baris 6 sd 9).
Pada bait ke enam ini,
Karena tidak menemukan sebab-sebab yang pasti (diungkapkan sebagai “kaelokan”)
akhirnya Ronggowarsito mengambil
kesimpulan bahwa hal tersebut memang sudah takdir Tuhan. Dengan demikian selesailah
bagian pertama dari Serat Kalatidha dimana beliau menyerahkan kepada
kebijaksanaan Tuhan dengan “mupus pepestening takdir”.
Bait Ke Tujuh : Jaman
Edan
Bait ke tuju inilah
bagian ke dua dari Serat Kalatidha. Bait yang paling populer, cukup banyak yang
hapal lengkap satu “pada” (bait) atau hanya hapal dua baris terakhir:
“begja-begjane kang lali; luwih beja kang eling lawan waspada”. Orang sekarang
yang tidak tahu bait ke satu sampai dengan enam bisa menganggap sebagai
ramalan. Sekali lagi ini bukan ramalan, ini kritik jaman pada abad ke 19 yang
ternyata masih dipakai pada abad ke 21. Bukan prediksi untuk abad ke 21.
Bait ke 7 selengkapnya
adalah sebagai berikut:
Amenangi jaman edan;
Ewuh aya ing pambudi; Milu edan nora tahan; Yen tan milu anglakoni; Boya
kaduman melik; Kaliren wekasanipun; Ndilalah karsa Allah; Begja-begjane kang
lali; Luwih begja kang eling lawan waspada
Makna dari bait ke
tujuh adalah sebagai berikut: Mengalami hidup pada jaman edan; memang serba
repot; Mau ikut ngedan hati tidak sampai; Kalau tidak mengikuti; Tidak kebagian
apa-apa; akhirnya malah kelaparan; namun sudah menjadi kehendak Allah;
Bagaimanapun beruntungnya orang yang “lupa”; Masih lebih beruntung orang yang
“ingat” dan “waspada”
Pada bait ke tujuh ini Ronggowarsito
mengungkap dilema kehidupan pada jaman edan. Dilema pada orang yang ragu-ragu
tentunya. Mau ikut gila hati masih belum sampai, tetapi kalau tidak ikut ngedan
bisa kelaparan. Dan lagi-lagi kehebatan Ronggowarsito, ia tidak sekedar
memasalahkan masalah, namun memberi peringatan sekaligus solusi: “Eling” lan
“Waspada”.
“Eling” berarti ingat
pada Tuhan. Tuhan tidak pernah tidur, Tuhan adalah Maha Mengawasi. Disamping
“Eling” juga “Waspada” kepada manusia lainnya karena diantara manusia ada yang
mempunyai kelakuan suka menjerumuskan orang lain. Demikianlah bait ke tujuh
sekaligus bagian ke dua dari Serat Kalatidha: “Eling lan waspada”
Bait Ke Delapan :
Merasa Tua
Semono iku bebasan;
Padu-padune kepengin; Enggih mekoten man Doblang; Bener ingkang angarani;
Nanging sajroning batin; Sejatine nyamut-nyamut; Wis tuwa arep apa
Muhung mahas ing asepi;
Supayantuk pangaksamaning Hyang Suksma
Makna dari bait ke
delapan adalah sebagai berikut: Hal itu sebenarnya karena ada keinginan. Begitu
kan paman Doblang? (baris ke 1 sd 3). Kalau ada yang mengatakan begitu, memang
benar. Tetapi dalam hati memang susah juga. Sekarang sudah tua, mau mencari apa
lagi. Lebih baik menyepi agar mendapat ampunan Tuhan (baris 4 sd 9).
Pada bait ke delapan
ini Ronggowarsito mulai merasa tua, mulai memikirkan kematian. Merasa banyak
dosa ditambah menyadari kematian maka sang pujangga berupaya mencari
pengampunan dosanya. “Menyepi” adalah ungkapan Jawa untuk mendekatkan diri
kepada Tuhan. Jangan dibayangkan sebagai semacam menjauhkan diri dari kehidupan
dengan bertapa di goa-goa. Inilah “wis
tuwa arep apa, muhung mahas ing asepi, supayantuk parimarmaning Hyang Suksma”.
Bait Ke Sembilan :
Iktiar
Beda lan kang wus
santosa; Kinarilah ing Hyang Widhi; Satiba malanganeya; Tan susah ngupaya
kasil; Saking mangunah prapti; Pangeran paring pitulung; Marga samaning titah
Rupa sabarang pakolih;
Parandene maksih taberi ikhtiyar
Makna dari bait ke
sembilan adalah: Lain dengan yang sudah sentausa. Mendapatkan rahmat Allah.
Nasibnya selalu baik. Tidak sulit upayanya. Selalu memperoleh hasil. Tuhan
selalu memberi pertolongan. Memberi jalan semua ummatnya. Sehingga memperoleh
semuanya. Tetapi manusia tetaplah berikhtiar.
Pada bait ke sembilan
ini Ronggowarsito menekankan pentingnya ikhtiar. Ia memberi contoh orang-orang
yang berhasil karena dirahmati Allah.
Bait Ke Sepuluh :
Rahmat
Sakadare linakonan;
Mung tumindak mara ati; Angger tan dadi prakara; Karana riwayat muni; Ikhtiyar
iku yekti; Pamilihing reh rahayu; Sinambi budidaya; Kanthi awas lawan eling
Kanti kaesthi antuka
parmaning Suksma
Makna dari bait ke
sepuluh adalah: Kita laksanakan, apapun, sekedarnya. Perbuatan yang
menyenangkan dan tidak menimbulkan masalah. Karena sudah dikatakan, manusia
wajib ikhtiar. Melalui jalan yang benar. Sembari berikhtiar tersebut, manusia
harus terap awas dan ingat supaya mendapatkan rahmat Tuhan.
Pada bait ke sepuluh:
“ikhtiar iku yekti, pamilihing reh rahayu, sinambi budi daya, kanthi awas lawan
eling, kang kaesthi antuka marmaning Suksma. Kembali kata ikhtiar dan “Eling”
diulang dalam upaya kita mendapatkan rahmat Allah. Ikhtiar yang kita lakukan
adalah ikhtiar di jalan yang benar. Bait ke sepuluh adalah penekanan bait ke
sembilan.
Bait Ke Sebelas :
Mendekatkan Diri
Ya Allah ya Rasulullah;
Kang sipat murah lan asih; Mugi-mugi aparinga; Pitulung ingkang martani; Ing
alam awal akhir; Dumununging gesang ulun; Mangkya sampun awredha
Ing wekasan kadi pundi;
Mula mugi wontena pitulung Tuwan
Makna dari bait ke
sebelas adalah: Ya Allah, ya Rasulullah yang bersifat pemurah dan pengasih.
Kiranya berkenan memberi pertolongan dalam alam awal dan akhir dalam kehidupan
saya (baris 1 sd 6). Sekarang hamba sudah tua. Akhir nanti seperti apa, kiranya
mendapatkan pertolongan Allah (baris 7 sd 9).
Pada bait ke sebelas
ini Ronggowarsito merasa waktunya untuk “pulang” menghadap Sang Maha Pencipta
sudah semakin dekat. Ia harus semakin mendekatkan diri. Hanya Allah yang akan
menyelamatkannya di kehidupan akhirat nanti.
Bait Ke Duabelas :
Mohon Ampunan
Sageda sabar santosa;
Mati sajroning ngaurip; Kalis ing reh aruraha; Murka angkara sumingkir; Tarlen
meleng malat sih; Sanistyaseng tyas mematuh; Badharing sapudhendha
Antuk mayar sawetawis;
BoRONG angGA saWARga meSI marTAya
Makna dari bait ke
duabelas adalah: kiranya saya mampu sabar dan sentausa. Mati dalam hidup.
Terbebas dari semua kerepotan. Angkara murka menyingkir (baris 1 sd 4). Saya
hanya memohon karunia kepadaMu, guna mendapat ampunan, diberi sekedar
keringanan. Hamba serahkan jiwa dan raga hamba (baris 5 sd 9).
Pada bait ke duabelas
ini Ronggowarsito sampai pada puncak pendekatannya kepada Tuhan yang
diungkapkan dalam “mati sajroning urip”. Mati dalam hidup bukanlah orang yang
sudah lepas sama sekali dari dunia padahal kakinya masih menginjak bumi, bukan
pula pelarian karena pelarian tidak akan memberikan apa-apa. Sekali lagi, “mati
sajroning urip bukanlah pengasingan diri orang yang lari”.
Demikianlah bait ke
delapan sd duabelas yang merupakan bagian ketiga dan terakhir Serat Kalatidha
yang intinya “Kembali kepada Allah” melalui “mati sajroning urip.
Catatan kaki :
Raden Ngabehi Ronggowarsito
melalui kekecewaan dan pengalaman hidupnya dalam sebuah karya yang sampai
sekarang tetap kesohor “Serat Kalatidha” yang bertujuan memberi peringatan
kepada kita agar senantiasa “Eling” kepada Allah dan “Waspada” kepada manusia
dan kehidupan manusia. Ia tidak pernah menganjurkan orang jadi pemberontak,
melainkan manusia hendaknya percaya kepada “Takdir”. Takdir yang dilandasi
dengan “Ikhtiar” di jalan yang benar. Setelah ikhtiar maka semuanya
dikembalikan ke Takdir.
Ronggowarsito menyadari
kehendak Allah yang kadang sulit diterima akal manusia. Namun beliau yakit
bahwa Allah akan menolong orang-orang yang “eling lawan waspada”. Orang yang
“eling dan waspada” tidak akan terombang-ambing dalam riak gelombang Kalatidha.
Sebagai karya seni yang
menulis tentang manusia dan kehidupannya ternyata karya ini tidak lapuk oleh
jaman. Baris terakhir bait terakhir Serat Kalatidha yang terjemahan bebasnya
adalah “Hamba serahkan jiwa dan raga (kepada Allah) ditulis dalam sebuah “sandhiasma”
yang menunjukkan nama penulisnya: BoRONG
angGA saWARga meSI marTAya (urd2210).
0 on: "Telisik Serat Kalathida dalam Konteks Kekinian"