Akarasa – Selamat datang kerabat
akarasa. Kerajaan Majapahit pada masa diampu raja Jayanegara, banyak terjadi
pemberontakan, beberapa di antaranya adalah pemberontakan Ra Kuti dan Ra Tanca
(1319). Gajah Mada dan belasan pasukan Bhayangkara raja Jayanagara ke Bedander
dan meminta nasehat kakeknya yaitu Ki Wonokerto. Akhirnya, berkat kecerdikan
Gajah Mada, pemberontakan Ra Kuti dapat dipadamkan. Ra Kuti tewas, kecuali Ra Tanca
yang diampuni karena memiliki keahlian sebagai tabib. Saat menumpas
pemberontakan Ra Kuti ini, Gajah Mada dibantu oleh Arya Damar.
Siapakah Arya Damar? Kenapa
perannya begitu besar dan selalu sukses membantu Gajah Mada di beberapa
pertempuran? Arya Damar adalah nama seorang pemimpin legendaris yang berkuasa
di Palembang pada pertengahan abad ke-14 sebagai bawahan Kerajaan Majapahit. Ia
disebut juga dengan nama Ario Damar atau Ario Abdilah.
Nama Arya Damar ditemukan dalam
Kidung Pamacangah dan Usana Bali sebagai penguasa bawahan di Palembang yang
membantu Majapahit menaklukkan Bali pada tahun 1343. Dikisahkan, Arya Damar
memimpin 15.000 prajurit menyerang Bali dari arah utara, sedangkan Gajah Mada
menyerang dari selatan dengan jumlah prajurit yang sama.
Pasukan Arya Damar berhasil
menaklukkan Ularan yang terletak di pantai utara Bali. Pemimpin Ularan yang
bernama Pasung Giri akhirnya menyerah setelah bertempur selama dua hari. Arya
Damar yang kehilangan banyak prajurit melampiaskan kemarahannya dengan cara
membunuh Pasung Giri.
Arya Damar kembali ke Majapahit
untuk melaporkan kemenangan di Ularan. Pemerintah pusat yang saat itu dipimpin
Tribhuwana Tunggadewi marah atas kelancangannya, yaitu dengan membunuh musuh
yang sudah menyerah. Arya Damar pun dikirim kembali ke medan perang untuk
menebus kesalahannya.
Arya Damar tiba di Bali bergabung
kembali dengan Gajah Mada yang bersiap menyerang Tawing. Sempat terjadi
kesalahpahaman di mana Arya Damar menyerbu lebih dulu sebelum datangnya
perintah. Namun keduanya akhirnya berdamai sehingga pertahanan terakhir Bali
pun dapat dihancurkan.
Seluruh Pulau Bali akhirnya jatuh
ke dalam kekuasaan Majapahit setelah pertempuran panjang selama tujuh bulan.
Pemerintahan Bali kemudian dipegang oleh adik-adik Arya Damar, yaitu Arya
Kenceng, Arya Kutawandira, Arya Sentong, dan Arya Belog. Sementara itu, Arya
Damar sendiri kembali ke daerah kekuasaannya di Palembang.
Arya Kenceng memimpin
saudara-saudaranya sebagai penguasa Bali bawahan Majapahit. Ia dianggap sebagai
leluhur raja-raja Tabanan dan Badung. Sejarawan Prof. Berg menganggap Arya
Damar identik dengan Adityawarman, yaitu penguasa Pulau Sumatra bawahan
Majapahit. Nama Adityawarman ditemukan dalam beberapa prasasti yang berangka
tahun 1343 dan 1347 sehingga jelas kalau ia hidup sezaman dengan Arya Damar.
Menurut Berg, Arya Damar adalah
penguasa Sumatra, Adityawarman juga penguasa Sumatra. Karena keduanya hidup
pada zaman yang sama, maka cukup masuk akal apabila kedua tokoh ini dianggap
identik. Di samping itu, karena Adityawarman adalah putra Dara Jingga, maka
Arya Damar dan adik-adiknya juga dianggap sebagai anak-anak putri Melayu
tersebut.
Namun demikian, daerah yang
dipimpin Adityawarman bukan Palembang, melainkan Pagaruyung, sedangkan kedua
negeri tersebut terletak berjauhan. Palembang sekarang masuk wilayah Sumatra
Selatan, sedangkan Pagaruyung berada di Sumatra Barat. Sementara itu, berita
Cina dari Dinasti Ming (1368-1644) menyebutkan bahwa di Pulau Sumatra terdapat
tiga kerajaan dan semuanya adalah bawahan Pulau Jawa (Majapahit). Tiga kerajaan
tersebut adalah Palembang, Dharmasraya, dan Pagaruyung.
Dengan demikian, Arya Damar bukan
satu-satunya raja di Pulau Sumatra, begitu pula dengan Adityawarman. Oleh
karena itu, Arya Damar tidak harus identik dengan Adityawarman. Jadi, meskipun
Arya Damar dan Adityawarman hidup pada zaman yang sama, serta memiliki jabatan
yang sama pula, namun keduanya belum tentu identik. Arya Damar adalah raja
Palembang sedangkan Adityawarman adalah raja Pagaruyung. Keduanya merupakan
wakil Kerajaan Majapahit di Pulau Sumatra.
Arya Damar adalah pahlawan
legendaris sehingga nama besarnya selalu diingat oleh masyarakat Jawa. Dalam
naskah-naskah babad dan serat, misalnya Babad Tanah Jawi, tokoh Arya Damar
disebut sebagai ayah tiri Raden Patah, raja pertama Kesultanan Demak.
Dikisahkan ada seorang raksasa wanita ingin menjadi istri Brawijaya raja
terakhir Majapahit (versi babad). Ia pun mengubah wujud menjadi gadis cantik
bernama Endang Sasmintapura, dan segera ditemukan oleh patih Majapahit (yang
juga bernama Gajah Mada) di dalam pasar kota. Sasmintapura pun dipersembahkan
kepada Brawijaya untuk dijadikan istri.
Namun, ketika sedang mengandung,
Sasmintapura kembali ke wujud raksasa karena makan daging mentah. Ia pun diusir
oleh Brawijaya sehingga melahirkan bayinya di tengah hutan. Putra sulung
Brawijaya itu diberi nama Jaka Dilah. Setelah dewasa Jaka Dilah mengabdi ke
Majapahit. Ketika Brawijaya ingin berburu, Jaka Dilah pun mendatangkan semua
binatang hutan di halaman istana. Brawijaya sangat gembira melihatnya dan
akhirnya sudi mengakui Jaka Dilah sebagai putranya.
Jaka Dilah kemudian diangkat
sebagai bupati Palembang bergelar Arya Damar. Sementara itu Brawijaya telah
menceraikan seorang selirnya yang berdarah Cina karena permaisurinya yang bernama
Ratu Dwarawati (putri Campa) merasa cemburu. Putri Cina itu diserahkan kepada
Arya Damar untuk dijadikan istri.
Arya Damar membawa putri Cina ke
Palembang. Wanita itu melahirkan putra Brawijaya yang diberi nama Raden Patah.
Kemudian dari pernikahan dengan Arya Damar, lahir Raden Kusen. Dengan demikian
terciptalah suatu silsilah yang rumit antara Arya Damar, Raden Patah, dan Raden
Kusen. Setelah dewasa, Raden Patah dan Raden Kusen meninggalkan Palembang
menuju Jawa. Raden Patah akhirnya menjadi raja pertama Kesultanan Demak, dengan
bergelar Panembahan Jimbun.
Kisah hidup Raden Patah juga
tercatat dalam kronik Cina dari Kuil Sam Po Kong Semarang. Dalam naskah itu,
Raden Patah disebut dengan nama Jin Bun, sedangkan ayah tirinya bukan bernama
Arya Damar, melainkan bernama Swan Liong. Swan Liong adalah putra raja
Majapahit bernama Yang-wi-si-sa yang lahir dari seorang selir Cina. Mungkin
Yang-wi-si-sa sama dengan Hyang Wisesa atau mungkin Hyang Purwawisesa. Kedua
nama ini ditemukan dalam naskah Pararaton.
Swan Liong bekerja sebagai kepala
pabrik bahan peledak di Semarang. Pada tahun 1443 ia diangkat menjadi kapten
Cina di Palembang oleh Gan Eng Cu, kapten Cina di Jawa. Swan Liong di Palembang
memiliki asisten bernama Bong Swi Hoo. Pada tahun 1445 Bong Swi Hoo pindah ke
Jawa dan menjadi menantu Gan Eng Cu. Pada tahun 1451 Bong Swi Hoo mendirikan
pusat perguruan agama Islam di Surabaya, dan ia pun terkenal dengan sebutan
Sunan Ampel.
Swan Liong di Palembang memiliki
istri seorang bekas selir Kung-ta-bu-mi raja Majapahit. Mungkin Kung-ta-bu-mi
adalah ejaan Cina untuk Bhre Kertabhumi. Dari wanita itu lahir dua orang putra
bernama Jin Bun dan Kin San. Pada tahun 1474 Jin Bun dan Kin San pindah ke Jawa
untuk berguru kepada Bong Swi Hoo alias Sunan Ampel. Tahun berikutnya, Jin Bun
mendirikan kota Demak sedangkan Kin San mengabdi kepada Kung-ta-bu-mi di
Majapahit.
Tidak diketahui dengan pasti
sumber mana yang digunakan oleh pengarang kronik Cina dari Kuil Sam Po Kong di
atas. Kemungkinan besar si pengarang pernah membaca Pararaton sehingga
nama-nama raja Majapahit yang ia sebutkan mirip dengan nama-nama raja dalam
naskah dari Bali tersebut. Misalnya, si pengarang kronik tidak menggunakan nama
Brawijaya yang lazim digunakan dalam naskah-naskah babad.
Jika dibandingkan dengan Babad
Tanah Jawi, isi naskah kronik Cina Sam Po Kong terkesan lebih masuk akal.
Misalnya, ibu Arya Damar adalah seorang raksasa, sedangkan ibu Swan Liong
adalah manusia biasa. Ayah Arya Damar sama dengan ayah Raden Patah, sedangkan
ayah Swan Liong dan Jin Bun berbeda.
Lain lagi dengan naskah dari Jawa
Barat, misalnya Hikayat Hasanuddin atau Sejarah Banten. Naskah-naskah tersebut
menggabungkan nama Arya Damar dengan Jaka Dilah menjadi Arya Dilah, yang juga
menjabat sebagai bupati Palembang. Selain itu, nama Arya Dilah juga diduga
berasal dari nama Arya Abdilah.
Dikisahkan ada seorang perdana
menteri dari Munggul bernama Cek Ko Po yang mengabdi ke Majapahit. Putranya
yang bernama Cu Cu berhasil memadamkan pemberontakan Arya Dilah bupati
Palembang. Raja Majapahit sangat gembira dan mengangkat Cu Cu sebagai bupati
Demak, bergelar Molana Arya Sumangsang.
Dengan demikian, Arya Sumangsang
berhasil menjadi pemimpin Demak setelah mengalahkan Arya Dilah. Kisah dari Jawa
Barat ini cukup unik karena pada umumnya, raja Demak disebut sebagai anak tiri
bupati Palembang. Sementara itu, berita tentang pemberontakan Palembang
ternyata benar-benar terjadi. Kronik Cina dari Dinasti Ming mencatat bahwa pada
tahun 1377 tentara Majapahit berhasil menumpas pemberontakan Palembang.
Rupanya pengarang naskah di atas
pernah mendengar berita pemberontakan Palembang terhadap Majapahit. Namun ia
tidak mengetahui secara pasti bagaimana peristiwa itu terjadi. Pemberontakan
Palembang dan berdirinya Demak dikisahkannya sebagai satu rangkaian, padahal
sesungguhnya, kedua peristiwa tersebut berselang lebih dari 100 tahun.
Naskah-naskah di atas menunjukkan adanya hubungan antara pendiri Kesultanan
Demak dengan penguasa Palembang. Teori yang paling populer adalah yang
bersumber dari Babad Tanah Jawi (atau naskah lainnya yang sejenis), yaitu Raden
Patah disebut sebagai anak tiri Arya Damar.
Sementara itu catatan Portugis
berjudul Suma Oriental menyebut raja Demak sebagai keturunan masyarakat kelas
rendah dari Gresik. Naskah ini ditulis sekitar tahun 1513 sehingga kebenarannya
relatif lebih meyakinkan dari pada Babad Tanah Jawi. Babad Tanah Jawi sendiri
disusun pada abad ke-18, yaitu berselang ratusan tahun sejak kematian Raden
Patah. Melalui naskah itu, si penulis berusaha menunjukkan kalau Demak adalah
pewaris sah dari Majapahit. Raden Patah pun disebutnya sebagai putra kandung
Brawijaya.
Mungkin penyusun Babad Tanah Jawi
juga pernah mendengar adanya hubungan antara Demak dengan Palembang. Maka,
Raden Patah pun dikisahkan sebagai anak tiri bupati Palembang. Karena nama
bupati Palembang yang paling legendaris adalah Arya Damar, maka tokoh ini pun
“dipilih” sebagai nama ayah tiri sekaligus kakak Raden Patah. Dalam hal ini
penyusun Babad Tanah Jawi tidak menyadari kalau Arya Damar dan Raden Patah
hidup pada zaman yang berbeda. Arya Damar merupakan pahlawan penakluk Bali pada
tahun 1343, sedangkan Raden Patah menjadi raja Demak sekitar tahun 1500–an. Sekian
Referensi :
Babad Tanah Jawi, Mulai dari Nabi
Adam Sampai Tahun 1647. (terj.). 2007. Yogyakarta: Narasi
C.C. Berg. 1985. Penulisan
Sejarah Jawa. (terj.). Jakarta: Bhratara
H.J. de Graaf dan T.H. Pigeaud.
2001. Kerajaan Islam Pertama di Jawa. Terj. Jakarta: Grafiti
M.C. Ricklefs. 1991. Sejarah
Indonesia Modern (terj.). Yogyakarta: Gadjah Mada University Press
Slamet Muljana. 2005. Runtuhnya
Kerajaan Jindu-Jawa dan Timbulnya Negara-Negara Islam di Nusantara (terbitan
ulang 1968). Yogyakarta: LKIS
Slamet Muljana. 2006. Sriwijaya
(terbitan ulang 1960). Yogyakarta: LKIS
0 on: "Arya Damar, Pahlawan Legendaris Masyarakat Jawa"