Akarasa - Di pagi buta, kapal-kapal pelabuhan Beton telah
menumpahkan barang-barang kebutuhan Sinuhun Paku Buwono II dari kerajaan
Kartasura.
Ki Bau Soroh, abdi dalem kraton yang ditugaskan khusus untuk
mengurusinya, membawanya ke kraton tanpa kekurangan apapun. Betapa senang
Kanjeng Sinuhun atas pengabdian Bau Soroh, hingga akhirnya jabatannya dinaikkan
sebagai kepala pelabuhan sekaligus lurah desa. Wilayah desanya meliputi pinggir
sungai Bengawan. Saat itu masih berupa rawa-rawa.
Namun Ki Soroh tak putus asa. Rakyatnya digerakkan untuk
membangun desa dengan pelabuhan Beton di pinggir sungai Bengawan sebagai titik
pusat pasar persinggahan perdagangan. Maka kapal-kapal dari Madura, Gresik,
Kalimantan, China, Belanda dan sebagainya, hilir mudik di pelabuhan Beton.
Tidaklah heran jika dengan cepat desa rawa-rawa ini dipenuhi
membaurnya beberapa ras manusia yang berbeda. Logat bicaranya juga beraneka.
Banyak juga pendatang yang sulit mengucap huruf R. Padahal mereka sering
berhubungan dengan Ki Bau Soroh. Namun lidah mereka selalu kelu untuk bicara
huruf R dan akhiran H, maka nama Ki Soroh hanya bisa diucapkan dengan nama Ki
Sala (diucapkan Saulau, a nya seperti ucapan au dalam kata beliau).
Akibat Bahasa Melayu tak kenal huruf au, maka agar tidak
salah ucap menjadi Sala (huruf a seperti kala). Nama Ki Soroh pun akhirnya
berganti dengan sendirinya menjadi Ki Sala. Ki Lurah Sala ini adalah pribadi yang
sangat sakti mandraguna, maka namanya menjadi Ki Gedhe Sala. Desanya juga
dinamai desa Sala. Kian ramainya pelabuhan Beton membuat desa Sala kian makmur.
Sampai suatu saat, Ki Gedhe Sala menerima tamu penting
utusan Ingkang Sinuhun dari kerajaan Kartasura. Para utusan itu adalah
Panembahan Wijil, Suranata, Khalifah Buyut, Pangulu Fakih Ibrahim dan Pujangga
Raden Tumenggung Tirtawiguna. Mereka mengemukakan bahwa atas dasar wisik ketika
bertapa, desa Sala ditakdirkan Tuhan untuk menjadi kota pusat kerajaan.
Memang ketika itu Sinuhun Paku Buwono II telah kembali dari pelarian di Ponorogo
(1742), bahkan kota reog ini mendapat julukan Kartasura Wetan. Ia sangat sedih
melihat kehancuran bangunan istananya di Kartasura. Istana ditinggal dan
Sinuhun mengungsi karena adanya pemberontakan Mas Garendi (Sunan Kuning) yang
dibantu RM Said atau Pangeran Sambernyawa.
Mas Garendi dapat menguasai Kartasura pada 30 Juni 1742.
Alasan penguasaan adalah karena Sinuhun Paku Buwono II bekerjasama dengan
Belanda. Di saat yang sama, Geger Pacinan di Batavia menentang Belanda meluas
hingga ke keraton Kartasura. Hancurlah bangunan kraton Kartasura dan tidak
layak lagi sebagai istana pusat kerajaan. Pada akhirnya Sinuwun dapat kembali
ke kraton setelah para pemberontak ditaklukkan Kompeni Belanda. Melihat
istananya rusak, Sinuhun bermaksud memindahkan bangunan istananya ke desa Sala.
Mendengar perintah raja bahwa wilayahnya akan dibangun
istana, Ki Gedhe Sala tentu tidak keberatan. Namun dia mengingatkan bahwa di
desa Sala terdapat sebuah makam bernama Kyai Bathang. Nama Kyai Bathang yang
sebenarnya adalah Raden Pabelan, putera Tumenggung Mayang. Ia dibunuh di dalam
istana, sebab ketahuan bermain asmara dengan puteri Sekar Kedaton di jaman
Sultan Hadiwijaya atau Joko Tingkir, Raja Pajang. Setelah dibunuh, mayat Raden
Pabelan dihanyutkan di sungai Laweyan, lalu terdampar dan nyangkrah atau
menyangkut di pinggir kali Pepe dalam wilayah desa Sala.
Cerita itu tidak menghalangi Sinuwun untuk memindahkan
keratonnya dari Kartasura ke desa Sala. Berita di tentang adanya dua makam ayah
dan kakek Ki Gedhe Sala, tak digubris. Apalagi 3 orang utusan raja yakni Ki
Tohjaya, Ki Yasadipura I dan Raden Tumenggung Padmagara, menemukan sumber Tirta
Amerta Kamandanu (air kehidupan, sumber mata air) di desa ini. Sinuhun kian
bersemangat sehingga memerintahkan pembangunan istana dimulai.
Maka para abdi dalem mulai menimbuni daerah rawa-rawa ini
dengan balok-balok kayu. Herannya, sekian ribu kubik balok kayu ditimbun,
itupun tidak bisa menyumbat mata air rawa tadi, bahkan airnya semakin deras
menyerupai Grojogan Sewu. Ajaibnya, berbagai jenis ikan laut seperti teri
pethek dan lainnya bermunculan dari sumber air rawa. Selain itu tumbuhan lumbu
dengan cepat tumbuh menghutan di desa Sala. Para punggawa keraton panik tak
alang kepalang. Saat itu masuk pada tahun 1743.
Para pujangga akhirnya bertapa tujuh hari tanpa makan, minum
dan tidur. Di malam Anggara Kasih Selasa Kliwon, Pujangga Yasadipura mendengar
wisik yang berbunyi, “Kang padha mangun pujabrata, wruhanira, telenging rawa
iki ora bisa pampet amarga dadi tembusaning samodra kidul. Ewadene yen sira
ngudi pampete, kang dadi saranane, tambaken Gong Kyai Sekar Dlima godhong
lumbu, lawan sirah tledhek, cendhol mata uwong, ing kono bisa pampet ponang
teleng. Ananging ing tembe kedhung nora mili nora pampet, langgeng toyanya tan
kena pinampet ing salawas-lawase.”
Sinuwun mengartikan wisik itu bahwa beliau harus membayar
ganti rugi kepada Ki Gedhe Sala sebesar sepuluh ribu ringgit dan uang itu
akhirnya dibayarkan. Selanjutnya Ki Gedhe Sala berbesar hati untuk menerima
ganti rugi dan langsung membaginya kepada rakyat desa Sala.
Para punggawa seolah melihat bahwa Ki Gedhe Sala bertapa di
makam Kyai Bathang. Keluar dari bertapa, Ki Gedhe Sala membawa “Sekar Delima
Seta” dan daun lumbu (sejenis talas). Dengan upacara ritual, kedua barang
tersebut kemudian dimasukkan ke dalam sumber mata air Tirta Amerta Kamandanu.
Herannya, sumber airpun bisa disumbat dan berhenti mengalir. Tentu bisa
dimaklumi karena Ki Gedhe Sala adalah orang yang mempunyai ilmu bathin yang
tinggi.
Padahal pada kenyataannya, kesulitan menutup rawa-rawa itu
sebenarnya adalah akibat semacam rekayasa rakyat desa Sala. Mereka merasa
terusir, namun Sinuwun hanya memberi ganti rugi berupa gelondongan kayu untuk
membangun rumah di lahan pengganti. Lalu dari mana mendapat uang untuk membeli
uba rampe yang lain?
Maka ramai-ramai rakyat desa Sala tidak setuju. Rasa tidak
setuju itu terungkap pada tahun 1743, dan mungkin itu merupakan protes pertama
di tanah Jawa. Cara protesnya dilampiaskan dengan membuka sumber-sumber air dan
melemparkan ikan laut yang masih hidup di rawa itu.
Rakyat meminta makam Pangeran Pabelan dan ayahanda Ki Gedhe
Sala tidak diusik, tetapi harus dirawat dan dilestarikan. Ki Gedhe Sala
akhirnya menang dalam pertikaian melawan Sinuhun. Namun meski kalah, Sinuhun
bisa membangun kratonnya di desa Sala.
Rakyat kerajaan dikerahkan membangun istana. Permulaan
pembangunan ditandai dengan sengkalan Jalma Sapta Amayang Buwana atau tahun
1744. Rawanya diurug balok kayu dan tanahnya yang wangi diambil dari daerah
Talangwangi, Kadipala dan Sanasewu.
Gelapnya malam di istana Kartasura kian membuat hati Sinuhun
Paku Buwono II sangat gundah. Perselisihan dengan para kerabat tak pernah berhenti,
harta benda terus berkurang, kratonnya pun rusak parah dihancurkan musuh. Dalam
keheningan, Sinuwun berharap Tuhan segera memberikan karunia agar kraton baru
yang sedang dibangun di desa Sala segera rampung.
Doa Sinuhun dikabulkan. Dengan tergopoh-gopoh, abdi dalem
Raden Tumenggung Tirtawiguna telah mendapatkan berbagai persyaratan untuk
perpindahan istana baru, istilahnya slup-slupan. Perintah mengadakan upacara
secara besar-besaran dikelola dengan teliti.
Para pemuka agama melakukan pengajian selama beberapa malam
sebelum hari yang telah ditentukan. Bunga-bunga harum dipetik dari pelosok
wilayah. Juru masak membuat sesaji dan seribu tumpeng lengkap dengan daging
hewan berkaki empat. Ikan air tawar, ikan laut dan berbagai jenis unggas tak ketinggalan,
termasuk palawija, buah-buahan dan jajanan pasar.
Setelah semua persiapan dilengkapi, Sinuhun dengan segala
harta benda dan para abdi dalemnya, pindah dari Kartasura ke desa Sala. Para
tamu berdatangan menyambut perpindahan itu, termasuk pembesar Belanda penguasa
tanah Jawa, Mayor Djohan Andrijas Baron Van Hogendorf beserta 5 kompi
pasukannya. Perpindahan itu dilakukan pada hari Rabu Pahing, 17 Februari 1745.
Iring-iringan barisan kerajaan yang berangkat dari Alun-alun
Kartasura, disambut rakyat di sepanjang jalan yang dilalui. Kereta kencana
Sinuhun digerakkan 8 ekor kuda, diiringi permaisuri dan garwa padmi, lalu
putera mahkota, patih dan para punggawa lainnya sebanyak 50 ribu orang. Barisan
berjalan sangat lambat karena harus memutar melewati Alun-alun kerajaan Pajang
di Kota Gede. Barang-barang yang dibawa juga sangat banyak, sedangkan para
serdadu harus membuka jalan dengan menebasi hutan dan semak belukar.
Di sore hari ketika mentari sudah berada di ujung barat,
iring-iringan barisan Sinuhun baru sampai di desa Sala. Sinuhun disambut
serentak oleh tembakan meriam, bunyi gamelan dan tiupan terompet. Di dampar
kencana, Sinuhun Paku Buwono II bersabda kepada segenap hadirin, “Wahai
hambaku, dengarkan sabdaku. Sejak hari ini, desa Sala aku ambil namanya, aku
tetapkan menjadi negaraku, aku namai negara Surakarta Hadiningrat. Siarkanlah
ke seluruh rakyatku di tanah Jawa.”
Kepindahan ini diikuti kerabat dan pembesar negara yang
segera membangun kediaman yang baru. Di luar tembok istana seperti di
Hadiwijayan dan Suryahamijayan dibangun untuk kerabat raja. Begitupun para
prajurit diberi lahan-lahan dan dibangunkan sesuai dengan jabatan mereka. Nama
daerahnya juga dinamai sesuai dengan pangkatnya seperti di Saragenen,
Mertalulutan, Jayantakan dan Miji Pinilihan. Penempatan per golongan
menciptakan nama-nama kampung seperti Kampung Kalangan, Jagalan, Gandekan dan
sebagainya.
Syahdan, para pembesar Belanda pun ikut gusar jika tidak
mengawasi kerajaan. Maka dengan serta merta penguasa Belanda mencari tanah yang
dekat dengan bangunan kraton Surakarta. Tanah di Kedunglumbu dipilih para
pejabat Pemerintah Hindia Belanda.Orang-orang asing dan para Misionaris,
ramai-ramai membangun rumah kediaman di seputar Gladag.
Sayangnya desa Sala saat itu sering banjir. Penduduknya
belum banyak, suasananya sepi, jika malam senyap karena gelap, setan-setan pun
berkeliaran. Orang sering takut jika keluar malam, apalagi sehabis hujan,
jalanan sangat becek. Rumah penduduk masih berdinding gedhek, berlantai tanah
dan beratap ilalang. Rumah priyagung dan juragan batik sudah berbalok kayu atau
tembok tinggi tanpa lepo. Atapnya genting, alasnya batu bata. Pagar rumah
penduduk juga hanya dari bambu.
Kondisi yang sepi di pusat kerajaan ini berarti menyuburkan
aroma perang. Memang, meski sudah pindah kraton, Sinuhun Paku Buwono II tidak
pernah bisa tidur pulas. Geger Pacinan masih berbuntut. Banyak sekali para
Pangeran yang merasa kuat dan sangat anti Kompeni Belanda. Mereka dengan bebas
telah meninggalkan kraton untuk membuat benteng pertahanan sendiri.
Trah Pangeran Puger membangun pertahanan di daerah Sukowati,
Sragen. RM Said membangun pertahanan di Randulawang dan Nglaroh Wonogiri,
sedangkan Pangeran Mangkubumi lari ke Semarang menuntut penguasa Belanda agar
diangkat sebagai Raja.
Sinuhun merasa sangat terpukul. Sikapnya meminta bantuan
Belanda harus dibayar mahal. Selain dijauhi para Pangeran, Sinuhun juga harus
membayar wilayah pantai utara mulai dari Rembang, Pasuruan, Surabaya dan Madura
untuk dikuasai Belanda. Pengangkatan pejabat tinggi kraton pun harus seizin
Belanda. Benarlah apa yang dikatakan para Pangeran bahwa posisi Raja tak lebih
dari boneka yang meminjam kekuasaan Belanda.
Dalam heningnya malam, Sinuhun Paku Buwono II menyadari
kesalahannya. Raja tak ingin apabila kerabatnya saling berselisih maka
rakyatlah yang akan menjadi korban. Perselisihan antar kerabat kerajaan berarti
keuntungan untuk kompeni Belanda.
Maka Sinuhun bertekad untuk memberikan kekuasaan kepada
Pangeran Mangkubumi. Serta merta Sinuhun meminta agar Pangeran meredakan
pemberontakan dengan janji akan diberi kekuasaan. Namun sang Pangeran sama
sekali tidak percaya. Bukankah ia telah pernah dikhianati saat tanah lungguhnya
dikurangi?
Sinuhun kian sedih. Sudah 4 tahun singgasana kerajaan
Surakarta diduduki. Namun rasa bahagia tak pernah menyambangi. Hatinya tak
mampu berbohong. Di keremangan malam, wajahnya berlinang air mata, badannya
dingin, tubuhnya bergetar. Semangat tandingnya saat berambisi ingin terus
berkuasa, telah surut diterjang rasa kecewa yang mendalam.
Alam bawah sadarnya terluka parah. Sinuhun tak mampu
berdiri. Tubuhnya lunglai, peluhnya mengalir deras. Malaikat seakan sudah
menyediakan jalan untuk dilewati. Saat Raden Patih menghadap, Sinuhun hanya
berkedip ketika Patih menghaturkan sembah atas hadirnya Gubernur Belanda di
pembaringan.
Eyang Londo membezok Sinuhun. Dalam keadaan alam bawah sadar
dan tak sadar karena gering, tangan Sinuhun membubuhkan tanda tangan. Adakah
Sinuhun mengerti apakah makna kertas bertulis yang disodorkan Tuan Gubernur?
Siapa yang menulis surat sakti yang berisi Sinuhun Paku
Buwana II, oleh perintah Kumpeni yang agung, kerajaan diserahkan kepada Tuan
Gubernur dan penguasa tanah Jawa, Djohan Andrijas Baron Van Hogendorf. Tanda
tangannya tertanda: Hamba, Kanjeng Susuhunan Pakubuwana Senapati Hing Ngalaga
Ngabdulrahman Sayidin Pranatagama.…"
Esok harinya langit kota Sala menggelegar. Kilat menyambar,
bumi seakan terguncang saat terompet dibunyikan dengan nada demikian mengenaskan.
Sinuhun Paku Buwono II, telah berpulang. Isak tangis pendiri kota Surakarta
terdengar disana sini. Teriakan rakyat terdengar histeris.
“Duh Sinuhun, hanya seumur jagung usiamu di desa Sala.
Restuilah agar desa ini menjadi besar…!!!”
***
Nama aslinya adalah Raden Mas Subadya, putra Paku Buwono III
yang lahir dari permaisuri keturunan Sultan Demak. Sinuhun Paku Buwono IV
dilahirkan tanggal 2 September 1768 dan naik takhta tanggal 29 September 1788,
dalam usia 20 tahun. Dan bersamaan dengan, juga ditetapkan RM Sugandhi yang
masih berusia 7 tahun sebagai Pangeran Pati atau putra mahkota.
Sinuhun Paku Buwono IV adalah Raja Surakarta yang penuh
cita-cita dan keberanian, berbeda dengan ayahnya yang terkenal lemah dan kurang
cakap. Ia tertarik pada paham Islam dan mengangkat para tokoh golongan tersebut
dalam pemerintahan. Hal ini tentu saja ditentang para pejabat Kejawen yang
sudah mapan di istana.
Para tokoh Islam tersebut mendukung Paku Buwono IV untuk
bebas dari VOC dan menjadikan Surakarta sebagai negeri paling utama di Jawa,
mengalahkan Yogyakarta. Peristiwa besar terjadi pada tahun 1790 ketika Sinuhun
Paku Buwono IV baru dua tahun dinobatkan sebagai Raja Surakarta. Peristiwa ini
tidak saja mempunyai latar belakang politis, yaitu adanya persaingan antar
kerajaan penerus dinasti Mataram, melainkan juga latar belakang keagamaan.
Adanya latar belakang semangat keagamaan yang kuat dari
peristiwa ini menyebabkan banyak penulis menyebutnya sebagai peristiwa gerakan
keagamaan. H.J. de Graaf, misalnya, menyebut peristiwa tersebut memiliki
beberapa kesamaan dengan gerakan Wahabiyah di tanah Arab
Peristiwa besar itu adalah Geger Pakepung (Oktober-Desember
1790), sebagaimana diceritakan dalam Babad Pakepung, berawal dari pengangkatan
kyai dan santri yaitu; Kyai Wiradigda, Panengah, Bahman, Kandhuruhan dan Nur
Saleh sebagai abdi dalem. Keempatnya menjadi abdi dalem kinasih (abdi dalem
terpercaya).
Pengaruh keempat abdi dalem kyai ini ternyata begitu besar
pada Sinuhun sehingga banyak keputusan-keputusan tatapraja didasarkan pada
nasihatnya. Sinuhun Paku Buwono IV kemudian mulai mengadakan perubahan,
seperti: Abdi dalem yang tidak patuh pada syariat agama ditindak, digeser dan
bahkan ada yang dipecat seperti yang dialami Tumenggung Pringgoloyo dan
Tumenggung Mangkuyudo. Dan juga, Sinuhun Paku Buwono IV mengharamkan minuman
keras dan madat (menghisap candu), sebagaimana ajaran agama Islam. Setiap hari
Jumat, Sinuhun pun pergi ke Masjid Agung untuk melaksanakan shalat Jumat,
bahkan sering bertindak sebagai khatib atau pemberi khutbah Jumat.
Perubahan abdi dalem yang terjadi di kraton Surakarta ini menimbulkan
kekhawatiran pihak Kompeni dan Kasultanan Yogyakarta. Kompeni kemudian mengirim
utusannya. Utusan ini dipimpin langsung oleh Gubernur dan Direktur Java’s
Noorden Ooskust yang berpusat di Semarang, yaitu Jan Greeve. Dari tanggal 16
September hingga 6 Oktober 1790, Jan Greeve berada di Surakarta. Tuntutannya
satu, yakni Sinuhun harus menyerahkan keempat orang abdi dalem kepercayaannya
karena mereka inilah yang dianggap sebagai biang keladi peristiwa. Sumber
Kolonial menyebut Kyai Wiradigda, Bahman, Kandhuruhan, Panengah dan Nur Saleh
sebagai panepen yang berarti alim ulama. Sumber dari tradisional Jawa, seperti
Babad Pakepung dan Serat Wicara Keras menyebutnya dengan istilah abdi dalem
santri.
Setelah terjadi negosiasi, namun buntu, akhirnya pasukan
Kompeni dengan dibantu oleh pasukan Kasultanan Yogyakarta, pasukan
Mangkunegaran, dan Pasisiran mengepung kraton Surakarta dari segala penjuru.
Sinuhun Paku Buwono IV, melihat kuatnya pengepungan terhadap
kratonnya merasa gentar juga. Akhirnya, atas bujukan dan usaha Ki Yasadipura I,
Sinuhun bersedia menyerahkan abdi dalem kepercayaannya yang dianggap sebagai
biang keladi kekacauan. Dengan ditangkap dan dibuangnya kelima abdi dalem
kepercayaan itu, pengepungan terhadap Kraton Surakarta dihentikan.
Berdasarkan kenyataan ini, kebijakan politik Sinuhun pada
waktu itu banyak dipengaruhi oleh gerakan keagamaan, termasuk ketika Sinuhun
menuntut kepada Kompeni agar semua penghulu yang ada di Yogyakarta, Semarang,
dan daerah Pasisiran tunduk dan mengikuti kebijakan penghulu Surakarta.
Peristiwa Pakepung sebenarnya juga tidak lepas dari
rangkaian kejadian pergantian Residen Surakarta pengganti AA Palm yang bernama
Andries Hartsinck terbukti mengadakan pertemuan rahasia dengan Sinuhun Paku
Buwono IV. VOC cemas dan menduga Hartsinck dimanfaatkan Paku Buwono IV sebagai
alat perusak dari dalam.
Dengan kekalahan itu, atas prakarsa VOC, maka Sinuhun Paku
Buwono IV, Hamengku Buwono I dan Mangkunegara I sepakat menandatangani
perjanjian yang menegaskan bahwa kedaulatan Surakarta, Yogyakarta, dan
Mangkunegaran adalah setara dan mereka dilarang untuk saling menaklukkan.
Dan dalam setiap menghadapi segala masalah, Sunan dan
Kompeni harus menghadapi bersama dalam ikatan persaudaraan. Pengangkatan Patih
atau Pangeran Adipati Anom harus mendapat persetujuan dari Kompeni.
Walaupun secara lahir Sinuhun tunduk kepada Kompeni,
sebenarnya tidaklah demikian. Sinuhun dengan kepandaian yang dimilikinya
menuangkan gagasan dan pikiran dalam bentuk karya sastra sebagai pedoman
berpikir dan bertindak bagi seluruh warga Surakarta. Salah satu buku buah karya
beliau yang sarat dengan tuntunan hidup untuk memperbaiki moral kaum bangsawan
Jawa adalah Serat Wulangreh.
Sejak tahun 1800 di wilayah nusantara terbentuk pemerintahan
Hindia Belanda yang dipimpin oleh seorang Gubernur Jenderal.
Gubernur Jenderal Herman Williem Daendeles menerapkan aturan
yang semakin merendahkan kedaulatan istana. Dalam hal ini Sinuhun Paku Buwono
IV seolah-olah menerima kebijakan itu karena berharap Belanda mau membantunya
untuk merebut Yogyakarta.
Terhadap raja-raja di Jawa, ia bertindak keras, tetapi
kurang strategis sehingga mereka menyimpan dendam kepadanya. Di mata Daendeles,
semua raja pribumi harus mengakui Raja Belanda sebagai junjungannya dan minta
perlindungan kepadanya. Bertolak dari konsep ini, Daendels mengubah jabatan
pejabat Belanda di kraton Surakarta dan kraton Yogyakarta dari Residen menjadi
Minister.
Minister tidak lagi bertindak sebagai pejabat Belanda
melainkan sebagai wakil Raja Belanda dan juga wakilnya di kraton Jawa. Oleh
karena itu Daendeles membuat peraturan tentang perlakuan Raja Jawa kepada para
Minister di kratonnya.
Jika di zaman VOC para Residen Belanda diperlakukan sama
seperti para penguasa daerah yang menghadap Raja Jawa, dengan duduk di lantai
dan mempersembahkan sirih sebagai tanda hormat kepada raja Jawa, namun Minister
tidak layak lagi diperlaku-kan seperti itu.
Minister berhak duduk sejajar dengan Raja, memakai payung
seperti Raja, tidak perlu membuka topi atau mempersembahkan sirih kepada Raja,
dan harus disambut oleh Raja dengan berdiri dari tahtanya ketika Minister
datang di kraton.
Ketika bertemu di tengah jalan dengan Raja, Minister tidak
perlu turun dari kereta tetapi cukup membuka jendela kereta dan boleh
berpapasan dengan kereta Raja. Sinuhun Paku Buwono IV menerima ketentuan ini
tentu dengan berbagai pertimbangan dan bagian dari strategi kraton Surakarta
dalam menyikapi kraton Yogyakarta.
Di sisi lain, untuk mewujudkan mimpinya Williem Daendeles
berusaha meraih hati Sinuhun Paku Buwono IV dengan memberikan hadiah berupa
perahu dengan hiasan patung putri yang kemudian perahu tersebut diberi nama
perahu Rajaputri.
Malam itu, bumi Surakarta diterangi bulan yang hanya separoh
sembunyi di balik awan tipis. Seolah-olah tidak bersahabat dengan rasa suka
cita seluruh warga Surakarta berikut para sentana dan punggawa. Rasa gembira
itu tidak lain adalah persiapan upacara penyerahan perahu oleh Gubernur
Jenderal Daendeles kepada Sinuhun Paku Buwono IV.
Di sisi lain, samar-samar burung malam sesekali berkelebat
di atas sasana keputren. Perasaan Permaisuri Kencana Wungu malam itu
berkecamuk. Ia merasakan bahwa pemberian hadiah itu adalah usaha halus
pemerintah Hindia Belanda untuk menguasai atau menaklukkan Sinuhun Paku Buwono
IV. Putri Bupati Pamekasan Madura, Cakraningrat itu tidak bisa menyembunyikan
kemarahannya. Wajahnya bermuram durja bahkan berdiam diri seribu basa.
Keadaan ini berlangsung lama hingga Sinuhun marah besar. Permaisuri itu akhirnya
dikebonkan, suatu keadaan yang sangat memalukan bagi seorang garwa permaisuri
karena sudah tidak dikehendaki Raja lagi. Kepedihan Permaisuri Kencana Wungu
benar-benar tak bisa dilukiskan lagi. Namun, Sang Ratu tetap kuat dalam
pendiriannya. Tak bergeming walau beban berat yang harus ditanggung, harus
dirasa. Kecintaan dan baktinya kepada tanah tumpah darah menyadarkan dirinya
untuk memegang teguh keyakinan dan berusaha bertahan walau harus menanggung
siksaan batin.
Siang hari terasa terik. Debu berhamburan dihempas angin
selatan yang kering dan gersang. Rerumput meranggas bagaikan tersapu oleh api
yang membara. Seakan kehidupan hanya menunggu waktu untuk segera berakhir.
Begitu juga yang dirasakan oleh pemuda tanggung bernama
Taruna. Ia mendekap perutnya. Napas perutnya tersendat-sendat menahan rasa
lapar yang sangat. Sudah tiga hari perutnya belum diisi. Hanya kemarin sore
saja ketika mendapatkan sepotong ubi ngganyong. Lumayan untuk sekedar menepis
rasa haus dan lapar. Akan tetapi sifatnya hanya sementara, selepas itu perut
malah terasa melilit.
Ia sebenarnya taruna bukan anak yang manja. Hanya saja,
perutnya belum terbiasa untuk menahan lapar sampai berhari-hari. Orang tuanya
termasuk orang cukup kaya karena seorang saudagar, urusan makan tentu tidak
menjadi masalah. Apalagi ia adalah anak semata wayang dan tentu urusan makan
sangat diperhatikan orang tuanya, khususnya oleh ibunya.
Ada terbersit niat untuk kembali ke rumah. Akan tetapi akal
pikirannya berkata lain. Masih tergambar di pelupuk matanya, bapak dan ibunya
yang menjadi bulan-bulanan perampok karena mempertahankan harta bendanya.
“Hai saudagar tengik.... Tunjukkan kau simpan di mana uang
dan perhiasannmu!” bentak seorang perampok yang menyatroni rumahnya di tengah
malam buta. Samar-samar Taruna bisa melihat wajah tirus dengan mata yang sipit
sang perampok. Badannya tidak terlalu besar tetapi cukup tinggi. Wajahnya bersih
dengan kulit putih. Sebenarnya ia tidak pantas menjadi perampok. Umurnya pun
kelihatan masih sangat muda.
“Mati mempertahankan haknya adalah mati sahid. Untuk apa aku
harus takut kepada manusia?”
“Hai...kamu belum tahu keganasan Panji Kuning ya...?” bentak
perampok keturunan Tionghoa itu dengan sombong. Taruna yang berdiri di balik
bilik, kakinya gemetaran.
Nama Panji Kuning sering ia dengar. Ialah perampok bertangan
dingin yang tak segan-segan membunuh mangsanya apabila melawan. Benar, di depan
mata kepala sendiri Taruna menyaksikan bapaknya bersimbah darah dan tersungkur
terkena sabetan pedang perampok tak berperi kemanusiaan itu. Ibunya yang
tiba-tiba datang untuk memberi pertolongan juga tidak lepas dari amukan Panji
Kuning.
Dengan rasa takut yang sangat Taruna meninggalkan rumahnya.
Ia tidak ingin mati sia-sia. Ia tidak berani teriak minta tolong karena juga
kawatir sia-sia sebab Panji Kuning gerakannya sangat cepat. Siapa tahu setelah
ia berteriak kemudian dalam hitungan detik Panji Kuning sudah berada di
dekatnya dan menghujamkan pedangnya yang haus darah itu.
Taruna tengkurap di gubug pinggir hutan. Akan keluar hutan
rasanya takut bukan kepalang. Dirinya juga merasa heran pada diri sendiri. Baru
kali ini ia merasakan rasa takut luar biasa. Mungkin karena peristiwa yang baru
saja ia saksikan masih jelas tampak di pelupuk mata.
Memori otaknya masih kuat merekam setiap detik demi detik
kejadian di malam buta itu. Sejak peristiwa itu Taruna sudah bulat tekadnya. Ia
tidak ingin menginjakkan kaki di kampung halamannya sebelum dirinya berhasil
membayar kematian kedua orang tuanya.
Malam dingin di musim kemarau. Bulan tanggal tiga belas
memendarkan cahayanya di atas Gunung Braja. Taruna menerawang jauh hingga gugusan
bintang-gemintang. Rasi waluku tepat berada di atasnya. Ia teringat dengan
cerita bapaknya ketika waktu kecil sehingga tahu nama rasi bintang itu. Ia
mencoba mencari letak rasi bintang gubug penceng.
Pada waktu itu, seperti layaknya anak kampung ketika bulan
penuh, selalu berada di halaman rumah hingga hampir tengah malam. Anak-anak ada
yang bermain gobag sodor, ada yang hanya mendengar cerita-cerita orang tua
tentang benda-benda di angkasa yang muncul kelihatan di malam hari. Ah,
kenangan manis masa kecil, gumannya.
Tiba-tiba Taruna melihat sosok hitam berkelebat di sungai
yang airnya kering-kerontang. Ada bayangan lelaki tua berhenti termangu di
sebuah batu besar. Beberapa menit kemudian lelaki tua itu duduk bersila.
Kemudian tampak ada perapian di depannya. Rupanya ia membakar dupa. Tidak lama
kemudian batu hitam di depan lelaki tua itu menjadi terang benderang bagaikan
ada lampu petromak yang menyala.
Taruna seakan tidak percaya dengan apa yang ia saksikan. Ia
mengucek-ucek matanya. Kakinya dihentak-hentakkan ke tanah. Ia yakin dirinya
tidak sedang bermimpi. Meskipun ada rasa takut, Taruna mencoba cari tahu.
Pelan-pelan ia mendekati lelaki tua itu.
Taruna semakin heran ketika dari dalam batu itu keluar
berbagai macam keris dan guci emas. Keris-keris dan guci emas lalu dibungkus
dengan mori putih. Setelah dikemas rapi, lelaki tua itu mengangkatnya dengan
hati-hati.
Selanjutnya membungkuk seperti menghaturkan hormat, lelaki
itu kemudian pergi. Dengan hati-hati Taruna mengikuti jejak lelaki tua itu.
Taruna telah melempangkan tekadnya. Seandainya lelaki tua itu bukan manusia dan
akan mencelakainya, ia pun rela. Semua diserahkan terhadap segala apa yang
bakal terjadi.
Ibaratnya nurut ilining banyu, ikut arus air saja. Toh
hidupnya selama ini tidak memiliki siapa-siapa lagi, ibaratnya daun yang lepas
dari tangkainya kemudian melayang tersapu angin.
Sementara itu Taruna tidak ingin kehilangan jejak.
Langkahnya menyusuri jalan setapak di antara perdu dan rerumputan kering di
sela-sela pepohonan. Rupanya lelaki tua itu menuju sebuah gubug di lereng
Gunung Braja. Tangannya membuka pintu gubug yang kelihatannya tidak terkunci,
lalu masuk. Taruna memberanikan diri untuk mendekat dan mengintipnya. Lewat
celah dinding bambu, tampak lelaki tua itu duduk sambil membuka bungkusannya.
“Jangan suka mengintip, masuk sajalah….!” Suara dari dalam
mengagetkan Taruna. Padahal Taruna yakin bahwa lelaki tua itu tidak pernah
menoleh atau memperhatikan dirinya sejak di sungai tadi. Karena ada rasa gusar,
Taruna ingin lari. Anehnya, kaki-kakinya seolah-olah menancap di tanah.
“Orang disuruh masuk malah ingin pergi. Jangan takut,
masuklah!” perintah lelaki tua membuat Taruna hilang rasa takutnya. Meskipun
masih agak ragu, ia melangkah menuju pintu gubug itu. Matanya menyapu seluruh
isi gubug. Sekilas tidak ada benda berharga di dalamnya. Hanya ada tikar pandan
yang diduduki lelaki tua itu. Sedang di sudut rumah ada lemari kuno. Entah apa
isinya.
“Jangan mematung, duduklah. Kamu memang tidak tahu sopan
santun. Ada orang tua duduk malahan berdiri,” kata lelaki tua itu sambil
mengamati keris kecil mengkilap. Taruna tidak berkata apa-apa. Ia lalu duduk
seenaknya di tikar pandan.
“Namamu siapa?” tanya lelaki tua sambil meletakkan keris
kecil ke dalam guci emas.
“Taruna,” jawabnya seolah bicara dengan teman sebayanya.
Sebenarnya lelaki tua itu agak tersinggung dengan sikap Taruna. Akan tetapi
dirinya juga merasa aneh mengapa ada perasaan ingin tahu lebih jauh terhadap
bocah berumur belasan itu.
“Kamu dari mana dan anak siapa?”
“Aku tidak mempunyai orang tua. Asalku dari mana juga sudah
lupa.”
“Jangan bercanda berlebihan kalau tidak mau dikatakan
sombong. Tidak ada satu pun manusia lahir ke bumi tanpa orang tua.”
“Orang tuaku sudah tiada. Aku sudah tidak mau mengingatnya
kembali. Karena setiap aku mengingat mereka hanya kepedihan yang kurasakan.”
“Ada apa dengan orang tuamu?”
“Maaf Ki, aku tidak bisa menjelaskannya,” jawab bocah
tanggung tersebut dengan suara serak. Matanya kelihatan sembab, tetapi tidak
sampai menitikkan air mata.
“O, begitu. Sebenarnya aku memperhatikan kamu sejak beberapa
hari ini. Apa yang kamu cari di hutan ini?”
Taruna agak terkejut. Ternyata keberadaannya di hutan itu
telah lama diawasi oleh lelaki tua itu. Taruna tidak menjawab pertanyaan lelaki
tua itu. Dirinya malahan berdiri dan akan melangkah.
“Kamu mau ke mana? Diajak bicara orang tua sepertinya tidak
menghargai.”
“Aku tidak akan pergi Eyang. Cuma aku bingung akan menjawab
apa atas pertanyaan itu.”
“Ada sesuatu yang rahasia?”
“Tidak pula. Hanya aku tidak ingin ada orang lain yang tahu
saja.”
“Ha, ha, ha…. Baik jika begitu. Lantas apa tujuanmu
mengikuti langkahku sampai di gubug ini?”
“Eyang adalah lelaki tua yang misterius. Sangat mengherankan.
Baru sekali ini aku saksikan ada benda pusaka keluar dari dalam batu. Berarti
Eyang memiliki ilmu pilihan.”
“Tidak ada yang perlu diherani. Siapa saja bisa melakukan
hal itu.”
“Apa aku juga bisa?”
“Tergantung pada dirimu sendiri.”
“Maksudnya?”
Lelaki tua itu terkekeh. Ia merasakan ada pengharapan untuk
menurunkan semua ilmunya. Mungkin bocah inilah yang pantas menerima warisan
ilmu yang dimilikinya.
“Lha, maumu sekarang bagaimana?”
“Jujur Eyang, awalnya aku hanya heran saja melihat apa yang
Eyang lakukan di sungai itu,” kata Taruna yang sekarang lebih tenang.
Kemudian lanjutnya, “Aku sangat tertarik dengan perkataan
Eyang tadi. Untuk itu jika dibolehkan aku ingin menjadi murid Simbah. Oh ya
Eyang, namaku Taruna.
“Nama yang bagus. Kamu bisa panggil aku Mpu Brajaguna atau
Ki Braja. Sungguh, apa kamu benar-benar ingin berguru padaku?”
“Seandainya Mpu Braja tidak menolak….”
Mpu Brajaguna tersenyum mendengar ucapan bocah tanggung itu.
Walau kadang-kadang terasa kurang sopan dalam berbicara, tetapi anak itu tidak
bermaksud untuk sombong atau kurang ajar kepadanya. Mpu Brajaguna tahu gejolak
yang ada di dalam dada anak ingusan itu.
Gelora dada yang menyimpan suatu keinginan yang kuat.
Keinginan yang diperjuangkan demi sesuatu yang tak bisa diukur dengan harta
benda. Tak bisa disuratkan dalam tulisan, tak bisa diujarkan lewat kata-kata. Akhirnya
Taruna pun diterima sebagai siswa Mpu Brajaguna dan sejak itu siang dan bahkan
malam dengan sepenuh jiwa raga Taruna berlatih keras sesuai petunjuk Mpu
Brajaguna.
Dengan telaten Mpu Brajaguna membimbing dan mendidik Taruna.
Ibarat menatah batu hitam, sedikit demi sedikit seiring berjalannya waktu maka
batu hitam itupun menemukan bentuknya. Dan dimata Mpu Brajaguna, Taruna adalah
anak yang penurut, mudah diarahkan dan selalu jujur dalam setiap keadaan namun
anak kleyang kabur kanginan itu menyimpan bakat besar. Sehingga tidak terlalu
lama Mpu Brajaguna dapat membentuk kemampuan Taruna menjadi sosok yang mumpuni.
Sudah beberapa tahun Taruna menjadi murid atau cantrik Mpu
Brajaguna dan mendapatkan berbagai macam ilmu, seperti kesusastran, tata praja,
sujarah dan olah kanuragan jaya kasentikan. Setiap saat dalam keseharian,
Taruna selalu mendapat bimbingan tentang kejujuran, kerja keras pantang
menyerah, unggah ungguh, budi pekerti dan kesetiakawanan. Dan yang mendasari
semua ilmu dan perilaku itu adalah keimanan; kepercayaan akan keesaan Gusti
Allah.
Seiring itu pula banyak murid lain yang berdatangan untuk
berguru kepada Mpu Brajaguna. Hal itu menjadikan padepokan di lereng Gunung
Braja itu semakin berkembang. Tugas para cantrik selain merawat gubug juga
bercocok tanam. Taruna sebagai cantrik tertua memimpin para cantrik lainnya
untuk mengolah tanah dan beternak. Kini Taruna sudah beranjak dewasa.
Otot-ototnya membesar seiring pertumbuhan badannya. Wajahnya teduh dengan sorot
mata yang tajam. Pembawaannya tenang dan kalem. Kini dalam olah kanuragan,
Taruna telah dipercaya Mpu Brajaguna untuk melatih para cantrik lainnya karena
Taruna merupakan salah satu siswa utama padepokan di lereng Gunung Braja itu.
***
Kabar di-kebon-kannya Permaisuri Kencana Wungu tersiar
sampai Pamekasan. Bupati Pamekasan yang terkenal berperangai keras bagaikan ditampar
mukanya mendengar kabar berita tersebut. Wajahnya yang merah berubah hitam
padam. Giginya bergemeretak di balik kumisnya yang tebal melintang.
Untung saja salah seorang putrinya, yakni Putri Handaya
dapat meredam kemarahan ayahnya. Putri yang terkenal cerdik dan cekatan ini
bisa meyakinkan bahwa dirinya sanggup dan bisa mengatasi masalah itu. Untuk
itu, dirinya mohon kepada ayahnya untuk pergi ke kota raja, Surakarta.
Walau dengan berat hati akhirnya Bupati Cakraningrat melepas
Putri Handaya seorang diri. Pagi-pagi benar Putri Handaya sudah siap
menyeberang selat menuju Ujung Galuh, Gresik. Perjalanan air menempuh sungai
Bengawan yang berjarak lebih dari beribu-ribu laksa bukan merupakan suatu
pekerjaan yang mudah dan aman bagi seorang wanita seperti Putri Handaya.
Apalagi harus bepergian seorang diri. Memang, Putri Handaya bukan wanita
sembarangan. Ia memiliki ilmu bela diri yang mumpuni. Selain itu juga otaknya
yang cemerlang akan membantu dan cepat tanggap apabila di tengah perjalanan menghadapi
masalah atau bahaya.
Pada masa itu sungsi Bengawan juga merupakan sarana
transportasi yang sangat vital. Setiap hari banyak perahu hilir mudik membawa
dagangan dari Ngawi ke Cepu, Jawa Tengah. Sebelum ada trem dari Gundih ke
Surabaya, banyak dijumpai perahu-perahu mengangkut dagangan sampai pasar-pasar
di Kalitidu, Bojonegoro, Babad hingga Sedayu dan Gresik. Lebih dari seratusan
perahu hilir mudik setiap harinya.
Selain itu, mulai dari Cepu ke timur banyak sekali kayu jati
yang diangkut melalui jalur Sungain Bengawan secara dibuat rakit kemudian
dihanyutkan di sungai. Para juragan Tionghoa yang memborong kayu jati dengan
cara dibuat rakit dan menyewa beberapa centeng untuk menghadapi beberapa
kemungkinan di perjalanan.
Sebagaimana alat transportasi lainnnya. Di sungai Bengawan
juga terdapat perampok atau begal yang setiap saat mencari mangsa. Sasaran
empuk adalah para saudagar kaya yang sering berlayar di situ. Para rampok
biasanya bergerombol di titik-titik tertentu. Akan tetapi ada satu rampok yang
sangat disegani. Ia hanya seorang diri dan tidak pernah kenal dengan para
perampok lainnya.
Dialah Panji Kuning seorang pemuda keturunan Tionghoa. Ia
memiliki ilmu bela diri yang pilih tanding. Jangankan para pengguna jalur
sungai Bengawan, para perampok pun juga gentar mendengar namanya. Tempat
operasi Panji Kuning juga berpindah-pindah dengan cepat. Bukan hanya
orang-orang yang berlayar di sungai Bengawan saja yang menjadi sasarannya
tetapi juga penduduk-penduduk kampung. Anehnya, setiap melakukan aksinya tidak
pernah lupa menyebutkan namanya.
Pernah suatu kejadian di siang bolong ketika Panji Kuning
merampok saudagar kaya di sebuah perkampungan. Karena yang dirampok
teriak-teriak minta tolong maka warga sekitar berdatangan untuk memberikan pertolongan.
Mereka bersenjatakan seadanya. Puluhan orang ada yang membawa sabit, cangkul,
linggis atau peralatan tukang lainnya seperti palu, pecok dan lain-lain.
Panji Kuning sudah terkepung rapat dan mustahil untuk bisa
lolos. Alih-alih si perampok dapat dilumpuhkan, justru banyak warga yang
menjadi korban dan si perampok melenggang pergi dengan cepat. Panji Kuning juga menjadi buron dari pihak Keraton
Kasunanan. Sudah puluhan prajurit bahkan tamtama diutus secara khusus untuk
menangkap Panji Kuning, dia diyakini sebagai pengikut setia Geger Pacinan yang belum lama dipadamkan.
Bahkan pihak keraton meyakini bahwa Panji Kuning tidak
seorang diri. Panji Kuning diperkirakan memiliki banyak pengikut. Ibaratnya api
dalam sekam yang hanya kelihatan asapnya saja, tetapi sebenarnya yang tidak
kelihatan adalah bara yang panas. Kekuatan tersembunyi ini harus segera
dilumpuhkan. Jika tidak, tidak mungkin bakal terjadi pemberontakan lagi yang
dilakukan oleh keturunan Tionghoa.
Akan tetapi Panji Kuning bukan hanya seekor binatang buruan
yang mudah ditaklukan. Selain memiliki kanuragan yang pilih tanding, ia cepat
sekali menghilang dan berganti-ganti tempat. Panji Kuning layaknya belut saja,
licin dan cepat menghilang. Namun, sepandai-pandai tupai melompat, suatu saat
akan jatuh pula. Demikian jua dengan Panji Kuning.
Malam itu ia mengendap-endap di sebuah hutan. Kabar adanya
putri dari Madura yang hendak pergi ke Surakarta didengarnya. Kali ini niat
Panji Kuning bukan untuk merampas harta benda milik sang Putri. Akan tetapi
Panji Kuning ingin menyatakan dengan mata kepala sendiri bahwa gadis Pamekasan
itu memiliki kecantikan yang luar biasa.
Konon, sudah menjadi rahasia umum di antara para pencoleng
atau perampok bahwa wanita Madura itu memiliki pesona yang tiada taranya. Panji
Kuning telah melompat dengan tali yang telah dipersiapkan sebelumnya ketika
perahu yang dinaiki Putri Handaya lewat. Semua yang ada di dalam perahu sigap.
Terjadilah pertarungan yang sangat sengit. Panji Kuning dikeroyok lima orang
anak buah kapal. Akan tetapi pertarungan itu tidak berlangsung lama karena lima
orang anak buah kapal dengan mudah dapat dilumpuhkan. Kini Putri Handaya
berdiri di antara orang-orang yang meraung menahan sakit. Putri Handaya
berkacak pinggang.
“Hentikan...!” teriak Putri Handaya.
“Rupanya kau Putri Pamekasan itu.... Hmmm... Benar kata
orang bahwa kamu memang cantik. ”
“Lancang betul kau kisanak.... Kamu ini siapa dan punya
maksud apa membuat keonaran di perahu ini, he?!”
“Apa kamu belum tahu siapa aku?”
“Jangan merasa sok terkenal...!”
“Tanya saja semua orang di perahu ini, pasti mengenalku
semua.”
“Tak perlu banyak
bicara, siapa namamu tidak penting. Yang lebih penting enyahlah dari perahu ini
jangan ganggu perjalananku!”
“Untuk apa pergi jauh-jauh ke Surakarta. Ayo lah manis ikut
aku saja pasti hidupmu akan bahagia.”
Perang mulut akhirnya tak bisa dihindari. Bahkan sejenak
kemudian terjadilah pertarungan dengan perjanjian. Mereka sepakat; jika Putri
Handaya kalah bertarung harus bersedia menjadi istri Panji Kuning. Sedangkan
apabila Panji Kuning yang kalah, maka dirinya harus tunduk dan menjadi anak
buah Putri Handaya. Dan pertarungan pun terus berlangsung.
Mungkin karena meremehkan musuh, kali ini Panji Kuning
benar-benar dibuat malu. Karena kurang hati-hati akhirnya dirinya dikalahkan
Putri Handaya di hadapan para penumpang perahu lainnya. Sorak-sorai membahana.
“Bunuh saja pengacau itu....!” teriak salah seorang
penumpang.
“Penggal saja kepalanya perampok keji itu....” teriak yang
lain.
“Sabar kisanak.... maafkan aku karena telah membuat kalian
kecewa karena kami telah membuat kesepakatan. Panji Kuning sudah tobat. Ia akan
menjadi anak buah saya. Untuk itu Panji Kuning akan kulepas. Pergilah Panji,
tunggulah aku di tempat yang kita sepakati tadi!” kata Putri Handaya sambil
memberikan sebuah panji kecil lambang Kadipaten Pamekasan.
Panji Kuning melangkah dengan malu. Walaupun dirinya seakan
tidak bisa menerima kekalahan ini, tetapi ia berusaha berbesar hati.
Bagaimanapun pula jiwa lelaki harus mengakui bahwa kesepakatan harus
ditegakkan. Ia tidak mau dikatakan sebagai lelaki pengecut.
Sementara itu Putri Handaya sudah memasuki gerbang kraton
Surakarta. Dua penjaga hendak memeriksa, tetapi setelah Putri Handaya
mengeluarkan sebuah lencana emas pertanda Kadipaten Pamekasan maka penjaga
mempersilakan Putri Handaya melanjutkan langkahnya.
Sunan Paku Buwono IV menerima Putri Handaya dengan senang
hati. Dan mempersilahkan Putri Handaya tinggal di kraton sesuai keinginan, dan
bahkan disediakan sebuah pesanggrahan mewah baginya. Akan tetapi ada sesuatu
yang membuat Putri Handaya merasa tidak nyaman. Ternyata kebaikan Sinuhun punya
maksud tertentu, yakni ingin mengambil Putri Handaya sebagai istrinya.
Putri Handaya tidak mau dimadu dengan kakaknya. Ia marah dan
protes kepada Sinuhun. Akan tetapi Sinuhun tetap dalam pendiriannya. Sinuhun
telah benar-benar jatuh cinta kepada adik iparnya itu. Putri Handaya berusaha
mencari jalan keluar. Ia kemudian teringat siapa kerabat yang dirasa dapat
membantunya. Putri Handaya kemudian menemui RM Sugandhi. RM Sugandhi adalah
putra Sinuhun Paku Buwono IV ketika Sunan masih menjadi Adipati Anom Sudibya
Rajaputra.
Bagi Putri Handaya, RM Sugandhi adalah keponakannya juga karena
ibunda RM Sugandhi adalah kakak sulungnya. Sebagaimana mengawali kepedihan
Sinuhun Paku Buwono IV setelah dinobatkan menjadi Raja karena Sinuhun Paku
Buwono III wafat, sepekan kemudian harus kembali menanggung duka karena
istrinya BRAy Adipati Anom meninggal dunia dan dimakamkan di Astana Laweyan dan
mendapat sebutan Kanjeng Ratu Pakubuwana.
Untuk itu, sejak kecil RM Sugandhi diasuh dan dan dididik
oleh Mpu Brajaguna yang ketika itu masih mesanggrah di kraton Surakarta sebagai
salah seorang senopati. Dan dalam keseharian RM Sugandhi juga diasuh oleh ibu
tirinya Permaisuri Kencana Wungu, sehingga RM Sugandhi terbiasa memanggilnya
dengan sebutan ibu.
Adapaun Permaisuri Kencana Wungu yang waktu mudanya bernama
Sukaptinah adalah adik dari BRAy Adipati Anom, yakni ibundanya RM Sugandhi.
Dalam istilah Jawa, Sunan Paku Buwono IV melakukan ngarangulu atau menikahi
adik dari istrinya yang telah meninggal dunia.
RM Sugandhi menyanggupi permintaan Putri Handaya walaupun
dalam dilema. Bagaimanapun pula keinginan Raja bisa dikatakan suatu keharusan.
Menentang Sinuhun bukan hanya sekedar menentang orang tua tetapi juga menentang
titah raja.
Sebaliknya, tidak menyanggupi permintaan Putri Handaya
artinya juga akan menyiksa batin ibu tirinya, Permaisuri Kencana Wungu.
Disamping itu, RM Sugandhi berpendapat kurang elok ketika Ramandanya harus
‘ngarangulu’ untuk kedua kalinya. Sekian.
Sumber : Sobo Turut Lurung Solo
0 on: "Sejarah Panjang Kasunanan Surakarta Hadiningrat"