Akarasa – Selamat datang kerabat
akarasa. Boleh jadi Merapi, yang hanya berjarak 25 kilometer dari kediaman saya
adalah gunung yang paling rajin menyapa kita dengan batuk dan muntahnya. Tapi (bukan
berharap akan batuk dan muntah lagi seperti yang terakhir pada tahun 2010 yang
lalu), itu masih belum seberapa jika dibandingkan dengan batuk dan muntahnya
Gunung Krakatau tahun 1883 yang lampau. Selengkapnya bisa sampeyan baca di Telaah
Simulator Kiamat dari Bencana Krakatau 1883 dan Suksesi
Alam Gunung Krakatau Setara 21 Ribu Ton Bom Atom.
Selain Krakatau, salah satu
gunung yang terletak di Indonesia dan letusannya berdampak sampai ke
negeri-negeri manca adalah Gunung Tambora. Ya, kebanyakan dari kita lebih
mengenal Krakatau dengan letusan dahsyatnya, padahal jika dibandingkan dengan
sejarah Gunung Tambora (2.850 m dpl), energi letusan yang dikeluarkannya 4 kali
lebih besar dari Gunung Krakatau.
Sebelum mengalami letusan puncak
Tambora mencapai 4.300 mdpl, ketinggian ini berarti gunung tersebut menempati
daftar gunung tertinggi di Indonesia pada masanya. Dunia barat bahkan
menjulukinya sebagai Pompeii dari Timur dan digolongkan sebagai gunung berapi
yang mempunyai kekuatan ledakan super (Supervulcano) yang artinya proses
letusan gunung berapi ini memuntahkan isi perutnya lebih dari 1.000 kubik kilometer
atau 240 mil kubik.
Tambora yang saat itu berbentuk
stratovulcano, gunung yang berbentuk runcing pada ujungnya sebagaimana
penggambaran awam kita tentang sebuah gunung. Meletus pada tahun 1815 dengan
kekuatan peringkat ke tujuh menurut Volcanic Explosivity Index, dan termasuk
sebagai ukuran letusan gunung berapi terbesar sepanjang sejarah.
Gunung ini terletak di dua
kabupaten, yaitu Kabupaten Dompu (sebagian kaki sisi selatan sampai barat laut,
dan Kabupaten Bima (bagian lereng sisi selatan hingga barat laut, dan kaki
hingga puncak sisi timur hingga utara), Provinsi Nusa Tenggara Barat. Gunung
ini terletak baik di sisi utara dan selatan Kerak Oseanik. Tambora terbentuk
oleh zona subduksi di bawahnya. Hal ini meningkatkan ketinggian Tambora sampai
4.300 mdpl yang membuat gunung ini pernah menjadi salah satu puncak tertinggi
di Indonesia dan mengeringkan dapur magma besar di dalam gunung ini. Perlu
waktu seabad untuk mengisi kembali dapur magma tersebut.
Letusan hebat itu sebenarnya
sudah mulai dirasakan gejalanya sejak 3 tahun sebelumnya yaitu tahun 1812
dengan suara gemuruh yang dahsyat dan adanya awan hitam. Letusan dahsyat Gunung
Tambora dicatat pada skala 7 Indeks Letusan Gunung Berapi atau Volcano
Explosivity Index, yang berarti 4 kali lebih dahsyat daripada letusan Gunung
Krakatau tahun 1883.
Sejarah Letusan Dengan
menggunakan teknik penanggalan radiokarbon, dinyatakan bahwa gunung Tambora
telah meletus tiga kali sebelum letusan tahun 1815, tetapi besarnya letusan
tidak diketahui. Perkiraan ketiga letusannya pada tahun:
- Letusan pertama: 39910 sebelum masehi ± 200 tahun
- Letusan kedua: 3050 sebelum masehi
- Letusan ketiga: 740 ± 150 tahun.
Ketiga letusan tersebut memiliki
karakteristik letusan yang sama. Masing-masing letusan memiliki letusan di
lubang utama, tetapi terdapat pengecualian untuk letusan ketiga. Pada letusan
ketiga, tidak terdapat aliran piroklastik. Pada tahun 1812, gunung Tambora
menjadi lebih aktif, dengan puncak letusannya terjadi pada bulan April tahun
1815. Besar letusan ini masuk ke dalam skala tujuh Volcanic Explosivity Index
(VEI), dengan jumlah semburan tefrit sebesar 1.6 × 1011 meter kubik.
Karakteristik letusannya termasuk letusan di lubang utama, aliran piroklastik,
korban jiwa, kerusakan tanah dan lahan, tsunami dan runtuhnya kaldera.
Letusan ketiga ini mempengaruhi
iklim global dalam waktu yang lama. Aktivitas Tambora setelah letusan tersebut
baru berhenti pada tanggal 15 Juli 1815. Pada saat letusan terjadi, beberapa
orang Belanda yang berada di Surabaya mencatat dalam buku hariannya mengaku
mendengar letusan tersebut, juga beberapa orang di benua Australia bagian Barat
Laut. Mereka mengira itu hanyalah suara gemuruh guntur karena tiba-tiba muncul
awan mendung yang membuat redupnya sinar matahari. Namun mereka tidak yakin
karena yang mereka yakini awan, ternyata adalah asap dan debu vulkanis. Dan
yang turun ke bumi bukanlah air melainkan debu dan kerikil kecil. Letusan
Gunung Tambora merupakan letusan gunung terdahsyat sepanjang masa yang pernah
tercatat.
Pada saat gunung Tambora meletus,
daerah radius kurang lebih 600n km dari gunung Tambora gelap gulita sepanjang
hari hampir seminggu lamanya, letusan yang terdengar melebihi jarak 2000 km dan
suhu Bumi menurun hingga beberapa derajat yang mengakibatkan bumi menjadi
dingin akibat sinar matahari terhalang debu vulkanis selama beberapa bulan.
Sehingga berdampak juga ke daerah Eropa dan Amerika Utara mengalami musim
dingin yang panjang. Sedangkan Australia dan daerah Afrika Selatan turun salju
di saat musim panas. Peristiwa ini dikenal dengan “The year without summer”
atau tahun tanpa musim panas.
Aktivitas selanjutnya kemudian
terjadi pada bulan Agustus tahun 1819 dengan adanya letusan-letusan kecil
dengan api dan bunyi gemuruh disertai gempa susulan yang dianggap sebagai
bagian dari letusan tahun 1815. Letusan ini masuk dalam skala kedua pada skala
VEI. Sekitar tahun 1880 (± 30 tahun), Tambora kembali meletus, tetapi hanya di
dalam kaldera. Letusan ini membuat aliran lava kecil dan ekstrusi kubah lava,
yang kemudian membentuk kawah baru bernama Doro Api Toi di dalam kaldera.
Berikut ringkasan laporan
kesaksian saat letusan Gunung Tambora terjadi, yang disarikan dari
”Transactions of the Batavian Society” Vol VIII, 1816, dan dan ”The Asiatic
Journal” Vol II, Desember 1816.
Sumanap (Sumenep), 10 April 1815
Sore hari tanggal 10, ledakan
menjadi sangat keras, salah satu ledakan bahkan mengguncang kota, laksana
tembakan meriam. Menjelang sore keesokan harinya, atmosfer begitu tebal
sehingga harus menggunakan lilin pada pukul 16.00. Pada pukul 19.00 tanggal 11,
arus air surut, disusul air deras dari teluk, menyebabkan air sungai naik
hingga 4 kaki dan kemudian surut kembali dalam waktu empat menit.
Baniowangie (Banyuwangi), 10
April 1815
Pada tanggal 10 April malam,
ledakan semakin sering mengguncang bumi dan laut dengan kejamnya. Menjelang
pagi, ledakan itu berkurang dan terus berkurang secara perlahan hingga akhirnya
benar-benar berhenti pada tanggal 14.
Fort Marlboro (Bengkulu), 11 April 1815
Suaranya terdengar oleh beberapa
orang di permukiman ini pada pagi hari tanggal 11 April 1815. Beberapa pemimpin
melaporkan adanya serangan senjata api yang terus-menerus sejak fajar merekah.
Orang-orang dikirim untuk penyelidikan, tetapi tidak menemukan apa pun. Suara
yang sama juga terdengar di wilayah-wilayah Saloomah, Manna, Paddang,
Moco-moco, dan wilayah lain. Seorang asing yang tinggal di Teluk Semanco
menulis, sebelum tanggal 11 April 1815 terdengar tembakan meriam sepanjang
hari.
Besookie (Besuki, Jawa Timur), 11
April 1815
Kami terbungkus kegelapan pada 11
April sejak pukul 16.00 sampai pukul 14.00 pada 12 April. Tanah tertutup debu
setebal 2 inci. Kejadian yang sama juga terjadi di Probolinggo dan Panarukan,
terus sampai di Bangeewangee (Banyuwangi) tertutup debu setebal 10-12 inci.
Lautan bahkan lebih parah akibat dari letusan tersebut. Suara letusan terdengar
sampai sejauh 600-700 mil.
Grissie (Gresik, Jawa Timur), 12
April 1815
Pukul 09.00, tidak ada cahaya
pagi. Lapisan abu tebal di teras menutupi pintu rumah di Kradenan. Pukul 11.00
terpaksa sarapan dengan cahaya lilin, burung-burung mulai berkicau mendekati
siang hari. Jam 11.30 mulai terlihat cahaya matahari menerobos awan abu tebal.
Pukul 05.00 sudah semakin terang, tetapi masih tidak bisa membaca atau menulis
tanpa cahaya lilin. Dua ilmuwan sedang menyelidiki bekas-bekas peradaban yang
telah lenyap di dekat gunung Tambora.
Tidak ada seorang yang ingat
ataupun tercatat dalam tradisi erupsi yang sedemikian besar. Ada yang melihat
kejadian itu sebagai transisi kembalinya pemerintahan yang lama. Lainnya
melihat kejadian itu dari sisi takhayul dan legenda bahwa sedang ada perayaan
pernikahan Nyai Loro Kidul (Ratu Kidul) yang tengah mengawini salah satu
anaknya. Maka dia tengah menembakkan artileri supernaturalnya sebagai
penghormatan. Warga menyebut abu yang jatuh berasal dari amunisi Nyai Loro
Kidul.
Makasar, 12-15 April 1815
Tanggal 12-15 April udara masih
tipis dan berdebu, sinar matahari pun masih terhalang. Dengan sedikit dan
terkadang tidak ada angin sama sekali. Pagi hari tanggal 15 April, kami
berlayar dari Makassar dengan sedikit angin. Di atas laut terapung batu-batu
apung, dan air pun tertutup debu. Di sepanjang pantai, pasir terlihat bercampur
dengan batu-batu berwarna hitam, pohon-pohon tumbang. Perahu sangat sulit
menembus Teluk Bima karena laut benar-benar tertutup.
Dari serangkaian letusan yang
terjadi dalam waktu beberapa hari, meledakkan dan memotong gunung dengan lebar
hampir satu mil. Kolom vulkanik yang keluar dari perut bumi terbang ke angkasa
sejauh 40 km dan kembali ke tanah membuat aliran abu besar piroklastik, batu
apung dan puing-puing. Aliran piroklastik sudah berdampak menewaskan
orang-orang di jalan-jalan, dan melakukan perjalanan sejauh 1.300 km. Ketika
aliran ini mencapai laut, menciptakan sebuah perpindahan yang sangat besar
sehingga menyebabkan tsunami setinggi 5 meter yang memancar keluar dari pulau.
Dan Tsunami ini juga menyebabkan dampak banjir, kehancuran dan kematian pada pulau-pulau
lainnya di Indonesia.
Beberapa catatan tentang letusan
ini dilaporkan oleh Thomas Stanford Raffles yang menyebutkan kepanikan
masyarakat serta tentara di Yogyakarta karena dianggap ada serangan besar.
Catatan kondisi paska letusan juga dituliskan oleh Letnan Philips yang disuruh
Raffles pergi ke Sumbawa. Smithsonian Institution mencatat beberapa jenis hal
yang terjadi saat letusan itu yaitu: Letusan yang sangat hebat, aliran
piroklastik, kerusakan besar, kematian, keruntuhan kaldera gunung, dan tsunami,
serta pengungsian besar-besaran.
Petroeschevsky (1949) memperkirakan sekitar 48.000 dan 44.000 orang terbunuh di Sumbawa dan Lombok. Stothers (1984), yang menyatakan jumlah kematian sebesar 88.000 jiwa. Sedangkan Oppenheimer (2003) menyatakan jumlah kematian lebih dari 71.000 jiwa.
Petroeschevsky (1949) memperkirakan sekitar 48.000 dan 44.000 orang terbunuh di Sumbawa dan Lombok. Stothers (1984), yang menyatakan jumlah kematian sebesar 88.000 jiwa. Sedangkan Oppenheimer (2003) menyatakan jumlah kematian lebih dari 71.000 jiwa.
Pengaruh global yang ditimbulkan
oleh letusan Gunung Tambora yang dikemukakan adalah munculnya kabut kering di
pantai timur Amerika Serikat yang ditimbulkan karena kenaikan konsentrasi
sulfur pada lapisan stratosfir. Kabut itu menimbulkan pengurangan cahaya
matahari dan dampak yang kemerahan di dalam pandangan. Musim panas tahun 1816
menjadi berkurang di negara-negara belahan utara sehingga tahun itu
disebut-sebut sebagai tahun tanpa musim panas. Bahkan tahun 1816 disebut
sebagai tahun terdingin kedua di belahan bumi utara sejak letusan gunung Huaynaputina
di Peru tahun 1600.
Letusan Gunung Tambora
disebut-sebut juga sebagai salah satu alasan kekalahan pasukan Napoleon
Bonaparte melawan Inggris dan Prusia. Cuaca yang sangat buruk menyebabkan pada
tanggal 18 Juni 1815 pasukan Perancis terjebak dan tidak bisa bergerak sehingga
terkepung musuh. Demikian teori yang dikemukakan oleh Kenneth Spink seorang
pakar geologi.
Hikayat Sayyid Idrus
Lain lagi di Indonesia, letusan
Gunung Tambora menurut hikayat tidak luput dari peran seorang bernama Said
Ahmad Al Idrus atau dikenal dengan nama lain Sayyid Idrus. Dalam hikayat yang
ditulis (ulang) oleh Chambert Loir letusan Gunung Tambora bermula dari kisah
Sayyid Idrus yang mengusir seekor anjing milik raja Tambora ketika hendak
melakukan ibadah shalat.
Peristiwa itu membuat Raja Tambora
marah dan mengatur siasat agar Sayyid Idrus memenuhi undangan makan darinya
dengan menu utama daging kambing dan daging anjing. Setelah acara makan
selesai, Raja menyelidik alasan Sayyid Idrus tidak menyukai anjing. Dan ketika
disebut bahwa daging yang barusan dimakan adalah daging anjing, maka Sayyid
Idrus bersikeras bahwa yang dimakannya adalah daging kambing dan meminta raja
memuntahkan semua makanan yang telah dimakan.
Dari muntahan Raja Tambora,
menjelmalah seekor anjing yang berarti bahwa daging yang dimakan oleh Raja
Tambora adalah daging anjing, sedangkan dari muntahan Sayyid Idrus menjelma
seekor kambing yang berarti daging yang telah dimakannya hanyalah daging
kambing.
Raja Tambora tidak bisa menerima
bahwa siasatnya tidak berhasil, sehingga Sayyid Idrus dibawa ke puncak Gunung
Tambora untuk dibunuh. Tak mempan diseligi, kepala Sayyid Idrus pun dikepruk
batu. Sayyid Idrus pingsan dan dikira mati. Oleh para pelaut Bugis, Sayyid
Idrus diselamatkan. Dan dari kapal yang membawanya pergi, Sayyid Idrus
mengatakan biarlah Allah yang menghakimi Raja Tambora. Lantas tak lama
berselang, dari Bugis dan Mengkasar (Makasar) suara gemuruh dari dalam perut
Gunung Tambora pun dapat didengar.
Akhir kata, semoga Tambora ataupun
gunung-gunung lainnya tidak murka lagi pada bumi ini. Gunung nan elok, tapi
bisa menjadi alat yang kuasa untuk menyeleksi alam dan segala isinya, jadi mari
kita berharap agar Tambora atau gunung yang lainnya hanya akan mengamuk jika
saatnya sudah tepat saja. Dan tidak lagi menunjukkan kehebatannya pada dunia
kita yang sudah penuh dengan kebohongan ini. Semoga. Sekian. (Urd2210)
Dirangkum dari berbagai sumber
Bumi Para Nata, Kaliurang, Ngayogykarto Hadiningrat, titimangsa 26052017
0 on: "Gunung Tambora : Pompeii dari Timur dalam Hikayat Sayyid Idrus"