Akarasa – Selamat datang kerabat
akarasa. Di zaman Kolonial Hindia Belanda, semangat umat Islam untuk mencapai
Ka'bah sudah sangat tinggi. Meski belum mampu secara finansial, para calon
jamaah haji nekat menyeberang Tanah Suci. Tidak sedikit di antara mereka yang
kehabisan ongkos ketika tiba di Singapura. Menjadi buruh bertahun-tahun untuk
bisa melanjutkan perjalanan. Ada juga yang kehilangan bekal dalam perjalanan
laut yang menyedihkan.
Haji bukan sekadar ritual di Tanah Suci. Tetapi juga
ajang konsolidasi bagi umat muslim. Kondisi itu memicu pemerintah Kolonial
Hindia Belanda untuk menerapkan politik Islam. Mereka memfasilitasi warga
jajahan untuk beribadah haji, sekaligus memata-matai para haji yang berpotensi
memberontak terhadap kekuasaan kolonial.
Selama tiga hari, kapal api
berbobot 4.507 ton itu terombang-ambing badai di tengah samudra. Peti barang
terlempar ke laut. Sejumlah 3.600 penumpang di geladak kapal pun
terpontang-panting. ''Para penumpang banyak yang patah tulang,'' tulis laporan
kolonial Hindia Belanda nomor 2811 tertanggal 4 November 1893.
Bagi Haji Abdullah, salah seorang
penumpang kapal itu, pelayaran dari Jeddah menuju Batavia tersebut merupakan
perjalanan yang sangat panjang. Jumlah penumpang kapal uap Samoa yang disewa
perusahaan Herklots itu melebihi kapasitas. Belum lagi ditambah peti bawaan
para penumpang. Alhasil, lebih dari 3.000 orang duduk berdesakan. Menurut
laporan kolonial itu, sekitar 100 penumpang dikabarkan meninggal.
Dalam laporan lain disebutkan,
setiap jamaah haji yang meninggal, dikubur di samudra. Jenazah yang sudah
dikafani dan disalati, diikat batu atau besi seberat 30-50 kilogram di ujung
kafan kepala dan kaki mayat. Kecepatan kapal dikurangi, terkadang berhenti.
Perlahan, jenazah diturunkan menggunakan tali, hingga tenggelam di samudra
luas.
Pemberangkatan haji menggunakan
kapal layar lebih membuat calon jamaah menderita. Menurut peneliti sejarah haji
di Indonesia,hingga tahun 1858 jamaah haji Nusantara masih menggunakan kapal
layar menuju Jeddah. Waktu tempuhnya bergantung pada arah angin. Paling cepat
enam bulan, ada pula yang berlayar lebih dari satu tahun.
Kapal layar yang hanya bertolak
dari Pelabuhan Aceh itu mengangkut 2.000 jamaah. Setiap malam, seantero kapal
gelap tanpa lampu. Sementara itu, angin bertiup kencang, gelombang mengempas
lambung kapal hingga airnya membanjiri geladak. Kapal berbahan kayu itu pun
oleng ke kiri dan ke kanan. Mabuk laut sudah biasa. Ada pula penumpang yang
terempas, lalu pingsan.
Saat diterjang badai, koper dan
barang tercebur ke laut. Kejadian itu baru diketahui pemiliknya setelah
gelombang surut dan kapal tenang kembali. Emas, uang, dan surat-surat penting
hilang. Yang tersisa hanya pakaian di badan. Kondisi para penumpang itu sungguh
memprihatinkan. ''Boro-boro bisa tidur telentang. Sekadar buang hajat besar dan
kecil pun di tempat dia duduk,'' tutur pria yang mengoleksi arsip haji era
Hindia Belanda itu.
Baru sekitar akhir abad ke-19,
tiga perusahaan pelayaran mendapat restu pemerintah Hindia Belanda untuk
pemberangkatan dan pemulangan jamaah haji Nusantara-Timur Tengah. Dengan kapal
uap, waktu tempuh hanya satu bulan, jika tidak ada hambatan. Adapun tiga
perusahaan pemilik kapal uap itu dikenal sebagai Kongsi Tiga, terdiri dari dua
perusahaan Belanda: De Rotterdamsche Lloyd dan Stoomvaartmaatschappij
Nederland, serta satu perusahaan berbendera Inggris, Stoomvaartmaatschappij
Oceaan.
Biasanya, para calon jamaah haji
memilih kapal tergantung kepada peran syeikh yang mengatur perjalanan. Syekh
itu biasanya keturunan Arab yang lama menetap di Nusantara. Mereka berperan
sebagai pemandu sekaligus ''calo haji''.
Harga tiket kapal
Nusantara-Jeddah pergi-pulang selalu berbeda. Dari kota-kota pantai di Jawa
dengan kapal penumpang milik perusahaan Nederlandsche Lloyd atau Rotterdamsche
Lloyd yang singgah di Jeddah, sebesar f.95, sudah termasuk uang komisi untuk
syekh yang menjadi broker.
Sementara itu, untuk kapal Watson
& Co milik Oceaan yang dipersiapkan untuk mengangkut jamaah haji dengan
ongkos f.65 (baca: gulden). Tidak termasuk bayar jasa syekh sebesar f.85. Jika
perjalanan pulang dari Jeddah ke Hindia Belanda menggunakan agen yang sama,
jamaah dipungut uang tiket sebesar f.92.50. Harga itu termasuk di dalamnya upah
syekh sebesar f.17.50 yang dipungut langsung oleh agen sewaktu jamaah membeli
karcis. Jadi seorang jamaah harus membeli tiket pergi-pulang seharga f.180.
Lain halnya pada kapal yang
tergabung dalam perusahaan Nederlandsche dan Rotterdam Lloyd, harga tiket
pergi-pulang hanya sebesar f.150 tidak termasuk upah syekh. Tetapi jamaah masih
harus mengeluarkan uang f.17.50 untuk upah syekh selama di Mekkah dan komisi
pembelian tiket.
Harga tiket kapal penumpang
termurah adalah kapal berbendera Prancis. Pelayaran antara Singapura-Jeddah
hanya sebesar f.7,50 hingga f.10. Para syekh yang membantu jamaah untuk
membelikan tiket tersebut mendapat premi tidak tetap, tergantung kesepakatan
bersama. Namun pada umumnya, syekh menjual tiket itu kepada jamaah 30 ringgit
atau f.39, termasuk upah mengantar dan memberi pelayanan sejak dari Jawa. Harga
tiket tersebut berlaku sama untuk pulang ke Jawa. Meskipun demikian, kadangkala
ada yang memberikan yang tambahan f.17,50 atau 7 ringgit.
Ada pula harga tiket f.100 per
orang telah dapat pergi-pulang Singapura-Jeddah. Perbedaan nominal ongkos
masing-masing perusahaan tersebut menimbulkan persaingan yang tidak sehat,
bahkan pemerintah Hindia- Belanda mencermatinya secara saksama jika tidak ingin
jamaah memilih rute Singapura sehingga sulit dipantau.
Biaya yang diperlukan untuk
menunaikan ibadah haji dalam sekali jalan tidak sama. Umumnya, tiket standar
f.110 ditambah dengan jasa dan syekh f.17,5, berarti jumlah ongkos yang harus
dikeluarkan sebesar f.127,5. Dalam ketentuan umum pemerintah Hindia Belanda,
setiap calon jamaah harus menyetor uang sebesar f.500. Jika terdapat uang lebih
dari ongkos yang ditentukan akan dikembalikan kepada jamaah. ''Tetapi bagaimana
cara mengembalikan uang itu tidak dijelaskan,'' kata Dien Madjid.
Sayangnya, kebanyakan calon
jamaah haji tidak mengerti cara mencapai Tanah Suci dan kondisi selama di
kapal. Akibatnya, banyak yang kehabisan ongkos sebelum berlayar menuju Tanah
Suci. Padahal, sejak di kampung halaman saja, calon jamaah haji sudah mendapat
banyak pemerasan legal dari pejabat daerah.
Pasalnya, pada 1882-an,
Pemerintah Hindia Belanda memberi peluang kepada para kepala pribumi untuk
memungut premi sebesar f.2,50 bagi setiap jamaah yang naik kapal Nederlandsch
dan Rotterdamsche Lloyd. Ketentuan ini diperkuat dengan dikeluarkannya sirkuler
Sekretaris pertama Gubernemen khususnya pada butir 8,6 Juni 1882, nomor 906B.
Aturan itu baru dicabut tujuh tahun kemudian.
Selain pemerasan dari level
pejabat daerah, banyak juga calon jamaah haji yang tertipu oleh syekh
pemandunya. Akibatnya, mereka banyak telantar di kota-kota pelabuhan. Sebagai
contoh, pada 1898 calon jamaah haji dari Jawa dan Madura yang baru tiba di
Pelabuhan Palembang, Padang, dan Aceh, kehabisan bekal sehingga tidak bisa
melanjutkan perjalanan ke Tanah Suci. Di kota-kota pelabuhan itu, mereka
terpaksa bekerja mengumpulkan uang salama satu tahun, dua tahun, bahkan lebih.
Tergantung penghasilan yang diperoleh untuk transportasi dan biaya hidup di
perjalanan.
Moetasiah, misalnya. Warga
Kabupaten Tegal yang sepulang haji berganti nama menjadi Noer Mohammad itu
menempuh perjalanan haji selama lebih dari empat tahun. Meski sudah mendapat
surat pas dari Residen Tegal pada 8 November 1853, namun ia terhambat lantaran
kurang ongkos. Akhirnya, ia pun bekerja di sekitar pelabuhan.
Namun, setelah ongkos terkumpul,
penderitaan perjalanan belum berakhir. Ia menumpang kapal barang dengan rute
Singapura atau Penang menuju Eropa. Di kapal barang itu tidak tersedia kamar
tidur dan toilet pun tidak memadai. Untuk makan, ia harus memasak sendiri di
geladak kapal. Derita jemaah haji itu belum berakhir juga. Karena awak kapal
yang bertingkah sok akrab selama enam bulan pelayaran ternyata mempunyai maksud
mengambil hartanya.
Calon jamaah haji itu turun di
Pelabuhan Aden, Yaman, saat kapal tersebut transit untuk bongkar-muat barang.
Soal hartanya yang habis, tak jadi soal. Moetasiah bersyukur bisa melanjutkan
ke Mekkah dan memperoleh sertifikat haji pada 3 April 1857, setelah empat tahun
meninggalkan rumah.
Namun, setiba di Tanah Suci bukan
berarti derita berakhir. Ketika dari Jeddah menuju Mekkah, biasanya orang Badui
meminta pungutan tidak resmi dari kafilah. Bahkan terkadang hingga mengancam
membakar barang-barang harta milik jamaah. Setelah tawar-menawar selama beberapa
jam agar perjalanan bisa dilanjutkan, para syekh memberi uang agar
diperbolehkan jalan.
Padahal, ongkos yang dikeluarkan
jamaah untuk menempuh jalan darat dan tinggal di tanah suci sudah cukup mahal.
Sewa unta dengan syugduf sSeperangkat pelana) senilai f.49, sewa bagasi f.47,
sewa unta untuk dipakai orang f.48. Adapun harga untuk membeli roti, girba, air
sebesar f.1,20, sewa penginapan di Medinah f.0,40. Gaji penjaga perkampungan
selama tiga hari tinggal di kota f. 0,10, makan selama 30 hari f.15, bantuan
untuk upacara Badi pada Bir Ali sewaktu pulang kembali ke Mekah f,60, ziarah ke
temmpat suci f.0,60. Total biaya yang dibutuhkan seluruhnya sebesar f. 75,50.
Jika ditambah dengan ongkos kapal f.110 selama melaksanakan haji di Mekah,
setiap jamaah, menurut pemerintah Hindia-Belanda, tidak kurang harus
menyediakan biaya sebesar f.500
Mahalnya ongkos naik haji,
disebabkan kenaikan tingkat calon jamaah haji yang bergantung pada kondisi
pertanian di Nusantara. Sebagian besar calon jamaah haji di Indonesia setiap
tahunnya adalah para petani, termasuk di dalamnya para nelayan dan peternak. Ketika
hasil panen atau ternak bagus, banyak masyarakat yang melawat ke Tanah Suci. Seperti
tertuang dalam buku Historiografi Haji Indonesia.
Dalam Koloniaal Verslag
1881-1882, diberitakan terjadi peningkatan jumlah jamaah haji dari Karesidenan
Preanger (Priangan) dari 843 orang pada 1879 menjadi 2.508 orang pada 1880 yang
disebabkan oleh panen raya kopi dan padi pada tahun sebelumnya. Dari Lampung juga
tercatat, lantaran panen lada melimpah, pada 1889 banyak yang pergi berhaji ke
Tanah Suci.
Namun, betapapun sengsaranya
perjalanan menuju Tanah Suci, mampuberhaji merupakan keberkahan buat muslim
nusantara. Karena banyak para calon jamaah haji yang tidak mampu melanjutkan ke
Tanah Suci lantaran kehabisan bekal di Singapura. Tabungan hasil kerja di
"negeri singa" pun tidak cukup untuk ongkos ke Mekkah. Karena malu
jika tiba di kampung halaman tanpa peci haji, jamaah gagal berangkat itu membeli
sertifikat haji di Singapura. Lembaran kertas itu dibawa ke kampung halaman
sebagai bukti telah menunaikan ibadah haji. Pemerintah Hindia Belanda, menyebut
oknum jamaah itu sebagai ''Haji Singapura''. Sekian.
Disadur ulang dari berbagai
sumber terpilih
0 on: "Haji Singapura Pada Zaman Kolonialisme"