Akarasa – Selamat datang kerabat akarasa. Masih di tatar
Sunda, sekaligus menyambung tulisan sebelumnya, Selayang
Pandang Sejarah Sumedang Larang. Sejarah Sumedang memang tidak bisa
dilepaskan begitu saja dari sosok Harisbaya pada masa Geusan Ulun. Seperti lepasnya
daerah Sindangkasih (asal Pangeran Santri atau Pangeran Kusumadinata) menjadi
wilayah Cirebon, yang kemudian memunculkan beragam mitos yang berkaitan dengan
tokoh Jayaperkosa. Sebut saja diantara mitos-mitos tersebut misalnya dengan
penggunaan batik, Sindang Jawa, Dago Jawa, dan Hanjuang.
Pada masa Geusan Ulum ini pula kotapraja Sumedang berpindah,
dari Kutamaya ke Dayeuh Luhur. Kisah Geusan Ulun dengan Harisbaya inilah yang
kemudian kerap menimbulkan perbedaan pendapat dalam menafsirkan sejarah di
tatar Sunda umumnya dan khususnya sejarah Sumedang. Pada tulisan terdahulu dan
untuk menyingkat pembahasan kisah tersebut sudah saya tulis sebelumnya di Menakar
Hakekat Perempuan dari Kisah Asmara Segitiga Harisbaya.
Baik kita lanjutkan lagi. Sedikit saya cuplik dari tulisan
sebelumnya pada tautan di atas, setelah mangkatnya Geusan Ulun sangat
mempengaruhi perjalanan sejarah tatar Sunda secara umum. Dapat dikatakan, sulit
untuk menarik benang merah untuk mengetahui kesejatian sejarah dan budayanya.
Dalam buku History of Java misalnya, Raffles masih
dibingungkan, apakah Sunda itu dialek atau bahasa yang mandiri. Mengingat pada
masa itu di tatar Sunda sangat sulit menemukan jejak kejayaan Urang Sunda,
bahkan berada di bawah daulat Mataram, dan satu persatu wilayah di tatar Sunda
diserahkan kepada Kompeni Belanda. Tak cukup sampai disitu, Raffles menyimpulkan
pula, bahwa : bahasa Sunda sebagai varian dari bahasa Jawa, bahkan ada juga
yang menyebut bahasa Sunda sebagai “bahasa Jawa gunung dibagian barat”.
Nasib kesejarahan di tatar Sunda pasca kemerdekaan pun
demikian, banyak sejarah yang dikisahkan, terutama yang berasal dari sejarah
lisan tidak menemukan tumbu dengan titi mangsa peristiwanya, sehingga tak
jarang dituduh memiliki catatan sejarah palsu, atau tuduhan “sejarahnya
diciptakan oleh Belanda”.
Jika ditelusuri lebih lanjut, konon masalah ini dahulu hanya
karena Suryadiwangsa, putra Geusan Ulun (ada juga yang menyebutkan anak
tirinya), dari Harisbaya menyerahkan Sumedang tanpa syarat kepada Mataram.
Penyerahan ini bukan hanya berpengaruh terhadap Sumedang, melainkan juga
seluruh tatar Parahyangan. Padahal ketika Geusan Ulun diistrenan, ia dianggap
dan di amanahkan sebagai pewaris syah tahta Pajajaran. Pada masa itu Sumedang
menguasai sisa Pajajaran yang berada di tatar Parahyangan (selebihnya dikuasai
Banten dan Cirebon), tak kurang dari 44 Kandaga Lante dan 8 umbul berada
dibawah daulat Sumedang.
Peristiwa Harisbaya dan segala akibatnya diceritakan melalui
beberapa versi, diantaranya Babad Sumedang, Babad Cirebon dan Babad Limbangan.
Namun masing-masing versi memiliki alasan, adakalanya muncul perbedaan didalam
menuturkan peristiwanya. Namun tentunya, kita pun tidak perlu mengadili
kebenaran masing-masing yang dikisahkannya, karena masing-masing memiliki
paradima yang berasal dari keyakinan kebenaran yang dikisahkannya. Dan memiliki
alasan sesuai dengan jamannya.
Didalam Pustaka Kertabumi ½ dikisahkan, bahwa peristiwa Harisbaya
terjadi pada tahun 1507 Saka atau 1585 M. Pada peristiwa ini pusat kekuasaan Islam
tidak lagi di Demak, karena sejak tahun 1546, setelah huru hara Demak yang
menewaskan Prawoto (Demak) dan Muhamad Arifin alias Pangeran Paseran (Cirebon)
putra Susuhunan Jati maka kekuasaan beralih ke Pajang. Pada masa huru hara
Demak, Geusan Ulun belum lahir, ia lahir 12 tahun pasca peristiwa tersebut atau
pada tahun 1558.
Peristiwa Demak yang menewaskan Muhamad Arifin alias Pangeran
Paseran (Cirebon) menyebabkan Susuhunan Jati (ayahnya) merasa sakit hati, iapun
mendukung penobatan Hadiwijaya (Pajang). Tak cukup sampai disitu, Susuhunan
Jati mengirimkan Panembahan Ratu, cicitnya untuk berguru kepada Hadiwijaya
(selama 16 tahun), untuk kemudian ia dinikahkan dengan putri Hadiwijaya.
Pada tahun 1582 hubungan antara Cirebon dengan Pajang
menemukan kendala. Hadiwijaya berseteru dengan Sutawijaya, putra Ki Ageng Pamanahan,
bupati Mataram. Hadiwijaya berhasil dikalahkan oleh Mataram, hingga ia pun tewas
setelah terjatuh dari gajah. Panembahan Ratu, Sutawijaya dan keluarga keraton
Pajang menghendaki agar Pangeran Benowo, putra bungsu Hadiwijaya menggantikan
ayahnya. Dipihak keluarga Trenggono dan kerabat keraton Demak menghendaki agar
yang menggantikan Hadiwijaya adalah menantunya, putra Sunan Prawoto, yakni Arya
Pangiri. Kemudian Arya Pangiri disepakati menggantikan Hadiwijaya, sedangkan Benowo
menjadi bupati Jipang.
Kisah ini menggambarkan, bahwa pada saat peristiwa Harisbaya
terjadi (1585) yang berkuasa adalah Arya Pangiri (Pajang), sedangkan Panembahan
Senopati (Mataram) mulai berkuasa pada tahun 1586 setelah ia menjatuhkan Arya
Pangiri dari tahta. Pajang pun diserahkan kepada Sutawijaya.
Panembahan Ratu pada waktu itu telah menjadi menantu
Hadiwijaya, sehingga Arya Pangiri menganggap Panembahan Ratu memiliki pengaruh
untuk menentukan kelangsungan Pajang. Ketika Arya Pangiri masih berkuasa, untuk
menetralkan sikap Panembahan Ratu yang pro terhadap Benowo, ia diberi hadiah
Harisbaya, seorang putri Madura yang cantik. Konon peristiwa ini terjadi ketika
Panembahan Ratu menghadiri pemakaman Hadiwijaya. Namun Arya Pangiri tidak
mengetahui, bahwa Harisbaya telah menjalin cinta dengan Geusan Ulun.
Harisbaya sebenarnya tidak sedemikian mencintai Panembahan
Ratu, bukan karena Panembahan Ratu telah berusia lanjut, ia diperkirakan
berusia 38 tahun sedangkan Geusan Ulun 27 tahun, namun karena Harisbaya telah
memiliki hubungan dengan Geusan Ulun.
Pertemuan Geusan Ulun dengan Harisbaya terjadi ketika Geusan
Ulun sedang berguru dan masih berstatus putra mahkota. Jika dilihat dari
masanya, dimungkinkan terjadi ketika Geusan Ulun berguru di Pajang bukan di
Demak, mengingat sejak huru hara (1546) Demak telah kehilangan fungsinya, baik
sebagai pusat kekuasaan maupun sebagai pusat perguruan Islam. Keberadaan Geusan
Ulung di Pajang sama halnya dengan Panembahan, menurut Kertabhumi ½ , waktu itu
Pajang sangat bersahabat dengan Cirebon, Banten dan Sumedang. Jika saja
Susuhunan Jati yang terkenal sebagai mahaguru agama Islam mengirimkan
Panembahan Ratu untuk berguru kepada Hadiwijaya, Pangeran Santri pun tentu akan
menganggap layak mengirimkan putranya (Geusan Ulun) untuk berguru kepada
Hadiwijaya di Pajang.
Pertemuan Geusan Ulun dengan Harisbaya di Pajang dalam waktu
yang cukup lama (menurut babad sekitar 5 tahun), tentunya wajar jika
menimbulkan benih-benih cinta. Hingga pada suatu ketika Geusan Ulun harus pulang
ke Sumedang (tahun 1580) untuk dinobatkan sebagai penguasa Sumedang,
menggantikan ayahnya. Pada waktu pertemuan tersebut dimungkinkan telah ada
janji dari Geusan Ulun kepada Harisbaya tentang pewaris tahtanya dikemudian
hari, sehingga Harisbaya mau dipersunting Geusan Ulun, dan rela meninggalkan
Panembahan Ratu.
Tujuan Geusan Ulun ke Pajang dipaparkan pula, bahwa dimungkinkan
ia bukan hanya untuk berguru agama Islam, sama halnya dengan Panembahan Ratu,
melainkan berguru tentang ilmu kenegaraan dan ilmu perang dari Hadiwijaya,
bahkan disana ia bukan sebagai “santri” melainkan sebagai “satria”. Hal ini
berdasarkan pada alasan antara Hadiwijaya disatu sisi dan disisi lain Geusan
Ulun (keturunan Pangeran Santri) dan Penambahan Ratu (keturunan Susuhunan Jati)
memiliki mazhab yang berbeda. Hadiwijaya penganut madzhab Syiah Muntadar
sedangkan Geusan Ulun dan Panembahan Ratu penganut madzhab Syafi’i.
Peristiwa Harisbaya dijamannya membuahkan perseteruan antara
Cirebon dengan Sumedang. Menurut cerita dari Sumedang, terjadi peperangan
antara Cirebon dengan Sumedang, dimenangkan oleh Sumedang. Berdasarkan Babad
Pajajaran yang ditulis pada masa Pangeran Kornel menyebutkan, tentara yang
dikerahkan Cirebon sebayak 2.000 orang, sebaliknya menurut sumber Cirebon
diceritakan akibat peristiwa Harisbaya hampir terjadi perang di antara kedua
negara, tetapi dapat dicegah melalui jalan kompromi, “talak” Ratu Harisbaya
dari Penembahan Ratu ditukar dengan daerah Sindangkasih. Dan dalam cerita
manapun kompromi ini memang ada disebutkan.
Menurut Babad Cirebon “masa idah” Harisbaya itu 3 bulan 10
hari dan pernikahannya dengan Geusan Ulun menurut Pustaka Kertabhumi I/2
dilangsungkan pada tanggal 2 bagian terang bulan waisak tahun 1509 Saka,
bertepatan dengan tanggal 10 April 1587 . Peristiwa ini dilakukan 2 tahun pasca
Harisbaya dilarikan dari Cirebon ke Sumedang.
Didalam Rintisan masa silam sejarah Jawa Barat, selanjutnya
saya singkat rpmssJB dijelaskan,
bahwa : Peristiwa Harisbaya dalam cerita babad dimulai ketika Prabu Geusan Ulun
pulang berguru dari Demak, ia didampingi empat senapatinya, Jayaperkosa
bersaudara. Kemudian singgah di Keraton Panembahan Ratu penguasa Cirebon.
Geusan Ulun bertemu dengan Ratu Harisbaya isteri kedua Panembahan Ratu yang
masih muda dan cantik, puteri Pajang berdarah Madura. Harisbaya sangat
tergila-gila dengan ketampanana Geusan Ulun, ia merayu Geusan Ulun untuk
melarikan diri ke Sumedang. Geusan Ulun yang didukung empat senapatinya yang
tangguh kemudian mengabulkan permintaan tersebut. Kemudian ditengah malam buta
ia meloloskan diri dari Cirebon.
Pelarian ini diketahui, Cirebon kemudian memerintahkan
prajurit bayangkaranya untuk menangkap mereka, namun pasukan tersebut berhasil
dipukul mundur oleh Jayaperkosa dan adik-adiknya, hingga mereka tiba di Kutamaya
dengan selamat. Konon, daerah bekas pertempuran tadi kemudian diberi nama “Dago
Jawa” dan “Sindang Jawa”.
Kisah lolosnya Harisbaya membuat kegelisahan Cirebon. Panembahan
Ratu mengutus para telik sandi mencari keberadaan Harisbaya. Pada suatu hari
dua orang mata-mata Cirebon memergoki Harisbaya yang sedang berbelanja di
pasar. Informasi ini disampaikan segera ke Cirebon. Dalam merespon kondisi ini,
Cirebon menyiapkan pasukannya untuk menyerang Kutamaya. Namun tidak pernah
menemukan sasarannya karena di hadang oleh pasukan Sumedang yang dipimpin
Jayaperkosa.
Dalam kisah babad, peperangan ini pula muncul mitos tentang
Jayaperkosa dan pohon “hanjuang”. Konon kabar, sebelum berangkat menyambut
musuh yang akan menyerang Sumedang, Jayaperkosa berwasiat, : Jika daun hanjuang
itu masih segar, maka ia masih hidup (walagri), namun jika daunnya menjadi layu
artinya ia telah gugur”. Karena asyiknya Jayaperkosa mengejar musuh ia
tersesat. Saudara-saudaranya menduga, Jayaperkosa gugur, sekalipun hanjuan itu
masih tetep segar. Nangganan, salah satu saudara Jayaperkosa segera menuju ke
Kutamaya untuk membujuk Geusan Ulun agar segera mengungsi ke Dayeuh Luhur.
Kemudian evakuasi pun terjadi.
Selanjutnya diceritakan, Jayaperkosa terkejut ketika
mendapatkan Kutamaya telah kosong, sementara hanjuang yang ditanam Jayaperkosa
masih segar. Ia pun sangat merah ketika mengetahui Geusan Ulun dan rombongannya
telah pindah ke Dayeuh Luhur dan menganggap Jayaperkosa dan pasukannya telah di
kalahkan Cirebon. Ia mendatangi Geusan Ulun untuk menanyakan pangkal soal
kepindahannya ke Dayeuh Luhur, setelah mengetahui persoalannya, kemudian
membunuh Nangganan. Ia pun berujar : “tidak akan mau mengabdi lagi kepada
siapapun juga”.
Konon sebelum menjelang akhir hayatnya ia pun berpesan agar
dikuburkan dipuncak bukit dalam sikap duduk yang menghadap ke arah Kabuyutan.
Namun ada juga kisah babad yang menceritakan, “Jayaperkosa tidak mau kuburannya
menghadap ke arah kuburan Geusan Ulun”. Sekalipun yang terakhir ini masih perlu
ditelaah lebih jauh, karena Jayaperkosa lebih dahulu wafat sebelum Geusan Ulun.
Didalam Babad Limbangan maupun Babad Sumedang peranan
Jayaperkosa dimasa Geusa Ulum dicertikan panjang lebar. Menurut rpmssJB,
dipaparkan : kedua babad itu seolah-olah menenggelamkan peran Geusan Ulun di
Sumedang dan menjadikan babad tersebut sebagai riwayat hidup Jayaperkosa.
Padahal Jayaperkosa dan adik-adiknya menganggap Geulan Ulun bukan penguasa
biasa, sehingga Jayaperkosa menyerahkan perangkat pakain raja Pajajaran, serta
menyerahkan 44 Kanda Lante dan 8 Umbul, sehingga Geusan Ulun ditatar
Parahyangan dianggap pewaris syah tahta Pajajaran. Kedudukan Jayaperkosa
sendiri menurut koropak 630 adalah Mangkubumi, jabatan itulah yang tertinggi
namun berada dibawah raja.
Buku tersebut selanjutnya menjelaskan pula, seandainya perselisihan antara Geusan Ulun itu
memang ada, satu-satunya faktor yang beralasan untuk diketengahkan adalah
kesediaan Geusan Ulun untuk menerima tawaran kompromi dari Panembahan Ratu
melalui pertukaran talak Harisbaya dengan daerah Sindangkasih.
Hal di atas sangat bertentangan dengan tujuan Jayaperkosa
yang ingin menebus kekalahan Pajajaran dari Banten dan Cirebon. Ketika masa
Jayaperkosa, Cirebon dianggap paling lemah, karena Banten dan Pajang sedang
terjadi permasalahan di internnya. Jayaperkosa menjamin pula segala akibat dari
terjadinya kasus Harisbaya, bukan hanya untuk menyenangkan Geusan Ulun
melainkan bertujuan membuka kembali “Perang Pakuan”. Dan memang pada waktu
Sumedang sudah kuat.
Disisi lain Panembahan Ratu dianggap tokoh penting dalam
penaklukan Pajajaran. Jayaperkosa juga beranggapan, bahwa Panembahan ratu akan
merasa terhina jika istrinya dibawa orang lain dan kemudian ia menyerang
Sumedang. Kalau saja Panembahan Ratu tidak menawarkan kompromi dan Geusan Ulun
tidak menerima tawaran tersebut, diniscayakan rencana ini akan berhasil.
Namun nampaknya Panembahan Ratu lebih realistis, ia lebih
memilih mendapat kompensasi daerah Sindangkasih ketimbang harus memiliki
Harisbaya, atau semacam memilih langkah memenangkan langkah politik dari pada
masalah harga diri. Kompromi yang diterima Geusan Ulun menyebabkan kemarahan
Jayaperkosa. Dan dari sinilah kemudian muncul mitos tentang Jayaperkosa.
Geusan Ulun wafat pada tanggal 7 bagian gelap bulan Kartika
tahun 1530 Saka, bertepatan dengan 5 November 1608 . Ia dimakamkan di Dayeuh
Luhur. Sedangkan Jayaperkosa tinggalah Lingga yang ada di dataran tinggi Dayeuh
Luhur, saat ini masih nampak menghadap kabuyutan, suatu wilayah Dangiang Sunda,
tempat Urang Sunda dimasa lalu mempertahankan harga dirinya.
Adanya perbedaan penulisan kisah dalam babad dan kisah
lainnya dimungkinkan berbeda, suatu hal yang tidak dapat dipungkiri adalah
paradigma dari para penulis dan petuturnya. Sangat tergantung keyakinannya
ketika ia menuturkan atau mengisahkan. Sebagai generasi sesudahnya, kita tidak
dapat begitu saja mengadili kebenaran dari masing-masing versi, atau
menyalahkan paradigma para penulis dimasa lalu dengan paradigma kebenaran barat
yang kadung menyeruak menjadi kebenaran kita saat ini.
Penafsiran kisah dan sejarah tersebut tentunya tidak lebih
rumit dibandingkan dengan cara menafsirkan cerita pantun yang telah ada sebelum
masa Sri Baduga. Cerita pantun tidak instan sebagai mana mencerna cerita komik
atau sejarah lain, ia lebh rumit, penuh simbol-simbol yang perlu dimaknai.
Padahal dari cerita pantun akan diketahui tentang budaya dari Urang Sunda
“baheula”. Mungkin ini pula cara yang perlu digunakan dalam menafsirkan
kesejarahan babad melalui pemaknaan dan membaca simbol-simbol budaya Sunda.
Untuk akhirnya, peristiwa Harisbaya dan segala akibatnya
diatas mengajarkan pada generasi berikutnya tentang hidup dan pilihan hidup.
Bagaimana suatu cita-cita besar dan masa depan dipertaruhkan hanya karena
urusan pribadi. Pada akhirnya generasi yang akan datang menjadi tergadaikan.
Disisi lain menggambarkan, bagaimana cita-cita dan harapan dipertahankan dan
dijalankan, bagaimana pula pamadegan Urang Sunda dalam mempertahankan harga
diri dan cita-citanya. Dan memang demikian seharusnya jika ingin bermartabat
dan memiliki harga diri. Nuwun.
Referensi :
Sumedang
Larang (wikipedia, 17 Maret 2010).
Sejarah
singkat Kabupaten Sumedang – sumedang.go.id – Pemda Sumedang, 17 Mei 2010.
Rintisan masa
silam sejarah Jawa Barat – Proyek Penerbitan Sejarah Jawa Barat Pemeirntahan
Propinsi Daerah Tingkat I Jawa Barat, Tjetjep Permana, SH dkk. 1983 – 1984.
Bupati Di
Priangan – dan Kajian Lainnya mengenai Budaya Sunda, Pusat Studi Sunda 2004.
Sejarah Jawa
Barat, Yoseph Iskandar – Geger Sunten Bandung 2005.
0 on: "Harisbaya : Wanita dalam Lingkar Kuasa Sumedang Larang"