Akarasa – Selamat datang kerabat
akarasa. Teori klasik menyebutkan pedagang keturunan Arab yang membawa Islam ke
Nusantara. Versi lain menyebut justru pedagang Tionghoa yang menyebarkan Islam.
Beberapa teori menyangkut hadirnya
Islam di Nusantara dikemukakan para pakar sejarah. Setidaknya tercatat ada dua
teori klasik yang utama ihwal penyebaran Islam di Nusantara. Pertama,
dikemukakan oleh Niemann dan de Holander yang menyebutkan kalau Islam dibawa
oleh pedagang Timur Tengah. Kedua, adalah teori pedagang Gujarat yang diusung
oleh Pijnapel dan kemudian diteliti lanjut oleh Snouck Hurgronje, Vlekke, dan
Schrieke.
Agaknya teori-teori klasik itu
menyandarkan validitasnya pada laporan perjalanan yang ditulis Marcopolo yang
menyebutkan bahwa pada saat persinggahannya di Pasai tahun 1292 M, telah banyak
orang Arab yang menyebarkan Islam. Begitu pula berita dari Ibnu Battuthah,
pengembara Muslim dari Maghribi, yang ketika singgah di Aceh tahun 1345
menuliskan bahwa di Aceh telah tersebar mazhab Syafi′i.
Adapun peninggalan tertua kaum
Muslimin yang ditemukan di Indonesia terdapat di Gresik, Jawa Timur. Berupa
komplek makam Islam, yang salah satunya adalah makam Muslimah bernama Fathimah
binti Maimun. Pada makamnya tertulis tahun 475 H/1082 M, yaitu zaman Singasari.
Diperkirakan makam ini bukan penduduk asli, melainkan makam para pedagang Arab.
M.C. Ricklefs memiliki serangkaian
intepretasi yang meragukan kesahihan teori klasik itu. Semisal dalam kasus batu
nisan di Gresik ia menyebut tentang kemungkinan batu nisan itu hanya pemberat
kapal atau mungkin batu nisan yang dipindahkan setelah muslimah itu meninggal.
Dan batu itu tidak memberikan kejelasan apa-apa mengenai mapannya agama Islam
di tengah-tengah penduduk Indonesia.
Sampai dengan awal abad ke-14, Islamisasi
secara besar-besaran belum terjadi di Nusantara. Baru pada pertengahan abad
ke-14, penduduk pribumi memeluk Islam secara massal. Beberapa sejarawan
berpendapat bahwa masuk Islamnya penduduk Nusantara secara besar-besaran pada
abad tersebut disebabkan saat itu kaum Muslimin sudah memiliki kekuatan politik
yang berarti.
Kekuatan politik itu ditandai dengan
berdirinya beberapa kerajaan bercorak Islam seperti Kerajaan Aceh Darussalam,
Malaka, Demak, Cirebon, dan Ternate. Pesatnya Islamisasi pada abad ke-14 dan 15
antara lain juga disebabkan surutnya
kekuatan dan pengaruh kerajaan-kerajaan Hindu/Budha di Nusantara seperti
Majapahit, Sriwijaya, dan Sunda.
Menarik juga mengamati kisah-kisah
pengislaman Nusantara yang dapat ditemui dalam historiografi tradisional.
Hikayat Raja-Raja Pasai menceritakan bagaimana Islam masuk ke Samudra dan juga
tentang batu nisan Malik as-Salih bertarikh 1297. Dalam hikayat ini diceritakan
tentang Khalifah Mekah yang mendengar adanya Samudra dan memutuskan mengirimkan
sebuah kapal ke sana memenuhi ramalan Nabi Muhammad bahwa suatu saat akan ada
sebuah kota besar di timur yang bernama Samudra, yang akan menghasilkan banyak
orang suci. Hikayat itu dipenuhi cerita tentang proses penganutan Islam oleh
raja Samudra: Marah Silau (atau Silu), bermimpi bahwa Nabi menampakkan diri
padanya dan sekonyong meludah ke dalam mulutnya untuk mengalihkan pengetahuan
Islam serta sekaligus menggelarinya Sultan Malik as-Salih.
Cerita yang kurang lebih sama juga
ditemui dalam Sejarah Melayu. Historiografi ini mengisahkan tentang pengislaman
Raja Malaka. Sebagaimana Malik as-Salih yang bertemu Nabi di dalam mimpinya,
demikian pula dengan Raja Malaka. Dalam pada itu, Nabi mengajarkan kepadanya
cara mengucapkan dua kalimat syahadat.
Hal yang unik justru terjadi pada
kitab Babad Tanah Jawi. Jika dalam dua naskah Melayu di atas Islamisasi selalu
ditandai dengan adanya simbol-simbol formal dari perubahan agama seperti
mengucapkan dua kalimat syahadat dan penggunaan nama Arab maka cerita
pengislaman Jawa yang dituturkan melalui Babad Tanah Jawi memberikan kesan
suatu proses asimilasi yang sedang berlangsung di Jawa.
Naskah Babad Tanah Jawi menuturkan
tentang Islamisasi tanah Jawa yang dilakukan oleh sembilan wali (walisanga). Di
sini pengislaman secara formal tak tampak, namun garis genealogis yang mengacu
pada Arab (baca: Timur Tengah) tetap menjadi alur utama kisah di dalamnya.
Dari keseluruhan historiografi
tradisional ada satu benang merah yang saling menghubungkan perihal penyebaran
agama Islam di Nusantara: berasal dari Arab. Besar kemungkinan hal ini
dilakukan agar ada semacam legitimasi ideologis bagi agama Islam untuk masuk ke
Nusantara. Di lain pihak, hal ini juga menimbulkan bias bahwa seakan-akan Islam
akan lebih sahih jika dibawa dari Arab, bukan dari wilayah lainnya.
Kembali kepada persoalan diskursus
teori klasik kedatangan Islam, amat dimungkinkan jika teoritisi sejarah Islam
juga melihat kenyataan yang dicatat di dalam naskah-naskah kuno itu sebagai
dasar menjadikan pedagang Timur Tengah sebagai pembawa Islam ke Nusantara.
Juga perlu dicatat kiranya tentang dua
dokumen lain yang bisa menghantarkan pada substansi Islamisasi di Nusantara,
khususnya di Pulau Jawa. Kedua naskah itu berisi tentang ajaran-ajaran Islam
seperti yang diberikan di Jawa pada abad XVI. Salah satu naskah yang berisi
tentang pertimbangan-pertimbangan terhadap hal-hal yang diperdebatkan, kemudian
naskah dinisbahkan oleh G.W.J. Drewes kepada seorang ulama yang bernama Syekh
Bari.
Naskah kedua berisi tentang primbon
yang berisi tuntunan menjalankan agama Islam yang dibuat beberapa murid ulama
terkenal. Kedua naskah itu bersifat ortodoks dan mistik, sekaligus mencerminkan
mistisisme Islam dan tasawuf yang berkembang saat itu. Dan kelak Islam di
Indonesia dipenuhi bid’ah dan khurafat yang pada masa selanjutnya mendorong
munculnya gerakan pembaharuan sepanjang abad XIX dan XX.
Dalam historiografi Indonesia, teori
klasik penyebaran Islam menjadi satu monoversi yang sulit dibantah. Hal itu
bercampur aduk dengan bias politik kekuasaan Orde Baru yang mengintervensi
penulisan sejarah. Semisal, kasus pelarangan buku Slamet Muljana yang pernah
mengajukan versi bahwa Tionghoa adalah penyebar Islam.
Menurut Muljana, Islam Nusantara, dan
di Jawa khususnya, bukanlah Islam “murni” dari Arab, melainkan Islam campuran
yang memiliki banyak varian. Dalam bukunya, Runtuhnya Kerajaan Hindu-Jawa dan
Timbulnya Negara-Negara Islam di Nusantara, Muljana menyebutkan bahwa Sunan
Kalijaga yang masa mudanya bernama Raden Said itu tak lain dari Gan Si Cang.
Sedangkan Sunan Gunung Jati atau Syarif Hidayatullah, menurut Muljana, adalah
Toh A Bo, putra dari Tung Ka Lo, alias Sultan Trenggana. Pelarangan versi
Slamet Muljana oleh pemerintah Orde Baru didasari pengkaitan Cina dalam
peristiwa Gestok 1965. Semua hal yang berbau Tionghoa dilarang saat itu,
sehingga “haram” hukumnya mengaitkan Tionghoa ke dalam sejarah Islam Nusantara.
Sumanto Al Qurtuby dalam bukunya Arus
Cina Islam Jawa juga menggugat teori klasik penyebaran Islam. Sumanto menemukan
fakta bahwa nama tokoh yang menjadi agen sejarah Islam merupakan transliterasi
dari nama Cina ke nama Jawa. Semisal dalam nama Bong Ping Nang misalnya,
kemudian terkenal dengan nama Bonang. Raden Fatah yang punya julukan pangeran
Jin Bun, dalam bahasa Cina berarti “yang gagah”.
Raden Sahid (nama lain Sunan
Kalijaga) berasal dari kata “sa-it” (sa = 3, dan it = 1; maksudnya 31) sebagai
peringatan waktu kelahirannya di masa ayahnya berusia 31 tahun. Tentu buku yang
ditulis Sumanto tidak dilarang, karena buku ini terbit setelah Orde Baru
tumbang. Namun sejauh mana masyarakat menerima versi ini, belum kelihatan
secara jelas. Nah, bagaimana menurut sampeyan? Nuwun.
Keren ini blog, kaya punya mbah dukun
BalasHapusOno-ono wae kang, udune dirukun po piye. nuwun kunjungannya kang..
Hapusbuku slamet muljana telah dibantah agus sunyoto dalam atlas walisongo,,,kata kuncinya adalah kata "champa",,,selama ini kita menganggap champa adalah cina padahal champa adalah suku melayu di vietnanm yang eksis abad 5-15 masehi sebelum berdiaspora di semenanjung melayu karena desakan suku dari utara keturunan cina ,penemuan pahatan tulisan melayu tertua juga ditemukan di wilayah ini,,versi lain menurut rafless champa adalah jeumpa perelak aceh
BalasHapus